Tumgik
rmdhani · 4 years
Text
The Untold Story - Part 1
“A’ nasi orak-ariknya dua pedes semua ya, yang satunya tambah gorengan.”
“Oke. Pake minum nggak?”
“Es teh satu, es nutrisari jeruk satu.”
Suasana burjo cukup ramai dengan pengunjung ketika kami datang. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mencari tempat duduk yang masih kosong. Bangku panjang di dekat pintu menjadi pilihan kami. Aku tidak pernah tahan dengan asap rokok, setidaknya di bangku yang kami tempati ini masih ada udara segar yang bisa masuk sehingga tidak akan membuatku pusing. 
Burjo ini adalah burjo langganan kami sejak masih mahasiswa baru dulu. Selain lokasinya yang dekat dengan kos, kami sudah akrab dengan semua aa’ dan teteh burjo ini. Setiap burjo memang punya ciri khas masing-masing. Konon, nasi orak-arik di sini terkenal paling enak seantero Jogja. 
“Kamu kenapa?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Hah maksudnya? Aku gapapa kok.”
“Kamu diem banget hari ini, ga kayak biasanya. Ada apa?”
“Laper sama kecapekan sih ini kayaknya.”
“No no no, kamu tuh paling ga bisa boong tau. Liat aja, ntar juga akhirnya bakal cerita sendiri.”
“Udah ah, aku mau nonton tv aja. Kayaknya seru tuh pertandingannya!” jawabku mengalihkan topik pembicaraan. 
Ia bergeming. Matanya menatapku lekat-lekat. Seperti biasa, matanya sedang berusaha menerka-nerka jalan pikiranku. Selama beberapa menit, aku memfokuskan perhatianku pada layar televisi yang sedang menayangkan pertandingan bulutangkis antara Indonesia dan Korea Selatan. Permainan berlangsung sangat seru. Namun, aku tidak benar-benar menikmatinya. Pikiranku sedang kalut. 
Dari sudut mataku, ku lihat ia masih saja menatapku. Jengah karena ditatap seperti itu, aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Hatiku berdebar-debar tak karuan dibuatnya. Matanya menuntut penjelasan, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi padaku. Pertahananku runtuh. Tangisku pecah seketika. Ia menepuk-nepuk pelan bahuku. Aku semakin terisak. 
“Udah gapapa, nangis aja sepuasnya. Habisin dulu sedihnya biar lega.” ujarnya menenangkanku. 
Tak lama kemudian, pesanan kami datang. Aa’ burjo menatap kami heran lantaran melihat mataku sembab. Ia mengacungkan jempol memberi tanda kepada aa’ burjo bahwa semuanya baik-baik saja. 
“Makan dulu, yuk? Tadi katanya laper.” 
Aku mengusap pipiku yang basah oleh air mata dengan tissue yang disodorkannya. Kami menyantap makanan dengan lahap karena sudah menahan lapar sejak masih di kampus tadi. Dalam waktu sekejap, piring dan gelas di hadapan kami kosong. 
“Mau nambah? Aku pesenin lagi ya?” tanyanya. 
“No thanks, udah kenyang banget gini.”
“Jadi, udah siap cerita sekarang?”
Aku mengangguk. Lalu ku tumpahkan segala kekhawatiran yang ada dalam benakku. Tentang ayah yang memintaku langsung bekerja di perusahaan keluarga selepas lulus kuliah nanti. Sementara ibu, menginginkanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang master dan mengikuti jejaknya menjadi seorang akademisi. Keduanya bersikeras agar aku menjadi yang mereka inginkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak berminat dengan pilihan yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Aku memiliki cita-cita lain. Sebuah passion yang akhirnya aku temukan di bangku kuliah ini. Bidang yang baru ku tekuni selama beberapa tahun terakhir. Ia mendengarkan ceritaku dengan seksama. Tak sedikitpun ia menyela pembicaraanku. 
“Ya gitu deh, jadi bingung mau nurutin siapa dan harus gimana.” ujarku mengakhiri cerita.
Hening. Tidak ada tanggapan. Ia masih memandangiku dengan sorot matanya yang teduh sama seperti tadi. Sorot mata yang selalu membuatku salah tingkah. 
“Kok diem aja sih?” protesku memecah keheningan.
“Mau dikasih saran nih?”
“Ya iyalaaaah! Kalo nggak, ngapain tadi cerita panjang lebar sampe berbusa-busa gitu?” gerutuku.
Ia tergelak. 
“Hahaha... oke oke. Ya siapa tahu, kamu cuma butuh didengerin aja kan? Nggak semua orang yang lagi cerita tuh pengen dikasih saran lho.” 
“Jadi, aku harus gimana?”
“Coba ajak bicara pelan-pelan ayah ibumu. Jangan lewat telepon, harus ngobrol langsung. Kamu kasih pengertian kalo kamu punya cita-cita sendiri dan akan tanggung jawab sama pilihanmu itu.”
“...”
“Mungkin awalnya memang nggak mudah, tapi kita nggak akan pernah tahu kalo nggak pernah nyoba kan? Kamu yang paling tahu gimana harus ngadepin orangtua kamu.”
“Iya deh, ntar coba ngobrol kalo waktunya udah tepat.”
Aku termenung. Berusaha meresapi saran yang ia berikan. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi ia berhasil membuatku tenang. Aku bukan orang yang mudah membuka diri kepada setiap orang. Namun, setiap bersamanya aku selalu bisa terbuka dan menjadi diri sendiri. I’m beyond grateful to meet such a beautiful soul like him. 
“Udah mau balik sekarang?” tanyanya.
“Yuk! Besok kita ada kelas pagi kan?”
“Yup, kelas hukum internasional jam 7.30.”
Kami segera beranjak dari tempat duduk dan membayar makanan kami kepada aa’ burjo.
“Semuanya dua puluh lima ribu, Teh.”
“Ini A’, makasih ya.” 
“Sama-sama Teh, jangan sedih lagi ya.”
“Hahaha... siap A’!” 
Kami pun meninggalkan burjo. Ia mengantarkanku pulang. Kos kami tidak terlalu jauh, hanya berbeda satu blok saja. Sesampainya di gerbang kosku, aku turun dari sepeda motornya.
“Thank you ya!”
“For what?” tanyanya heran.
“Yaaa.. buat semuanya. Terutama makasih karena udah mau denger ceritaku dan kasih saran juga. I owe you a lot.”
“Hahaha.. kirain apaan, kayak baru kenal aja deh. Iya, sama-sama.”
“Ati-ati pulangnya.”
“Oke, aku balik dulu ya.” jawabnya sambil melambaikan tangan.
Ia memacu motornya. Aku tersenyum memandangi punggungnya yang bergerak semakin jauh meninggalkan kosku dan hilang di ujung gang. 
-----to be continued-----
0 notes
rmdhani · 4 years
Text
Berdamai dengan Diri Sendiri
sebagai orang yang selalu percaya bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha, bukan perkara mudah bagiku menerima tiga pil pahit kekecewaan sekaligus. 
tapi yah, memang begitulah hidup.
dunia tidak selalu berputar sesuai keinginan kita, kan?
ada masanya kita di atas, ada kalanya pula kita di bawah.
silakan menumpahkan rasa kecewa dan sedih.
jangan denial. take your time. 
orang bilang, senang dan sedih itu datangnya satu paket.
yakinlah bahwa ada hal baik yang sedang menantimu di kemudian hari.
all of your hard work will pay off soon.
cheer up and never give up!
0 notes
rmdhani · 4 years
Text
A Note to Myself
segala sesuatu ada masanya sendiri
zona waktumu tentu berbeda dengan zona waktu temanmu
jalani dan nikmati yang sedang terjadi
syukuri yang telah terlewati dan petik pelajaran berharga darinya
fokus pada tujuan di masa mendatang dan selalu libatkan Tuhan dalam setiap langkahmu
tolok ukur keberhasilanmu bukan orang lain, tetapi dirimu sendiri
apakah kamu sudah lebih baik dari hari kemarin?
tunjukkan versi terbaik dari dirimu setiap harinya
lakukan segala sesuatu dengan usaha terbaikmu
ingat untuk selalu percaya diri, tetapi juga rendah hati
tak lupa untuk apresiasi dan senantiasa menyayangi diri sendiri
1 note · View note