Tumgik
playdumbyoudumbdumb ¡ 11 months
Text
New Home
The morning sun leaked into my bedroom, casting a shadow on my bed—just like you used to, in your usual sleeping pattern. But no, not anymore. This morning, you insisted we get a whole new bedsheet just because I couldn't sleep like a baby, the way I used to the other night. But no, you're not there anymore.
I was almost there but you weren't so sure. My everyday prayers, your Sunday routines. I looked everywhere. We blamed each other, each looking for the one who'd better be right. Yet we both were right; it was the perseverance that we lacked.
As I gazed outside the window, I saw my life branching out. I gathered the belongings. My longings. Some doors are slamming, fruits and leaves are falling. Surprisingly, I woke up safe in my one-sized woman bed, swimming into a new horizon. Because who knew? It had always been there in me.
0 notes
playdumbyoudumbdumb ¡ 2 years
Text
Masa
Sempat dia dengar kalau waktu bukan kita yang punya. Siapa yang sangka bahkan semesta juga tak punya kuasa? Lagi-lagi dia disuruh tidur dan mulai bersyukur.
Untuk mengurangi rasa cemas dan panik, saat menunggu hal baik. Setelah bersusah payah, akhirnya dia percaya kalau ini semua cuma perkara masa. 
Tahunan hidupnya kini dia sadar, tak lagi ada yang bisa dipercaya bahkan untuk sekedar bersandar. Tak ada lagi orang selain dirinya sendiri. Dia bilang ibunya selalu ingkatkan, “Mau sampai kapan lari? Caranya cuma berdamai sama diri sendiri.”
Tidak akan pernah ada kabar baru dari masa lalu, dan tidak akan pernah ada berita pasti dari masa depan nanti.
Pada akhirnya dia dipaksa hidup, meronta dengan banyak-banyak yang bikin dia ingin tubuhnya lenyap tapi harus harus berkuat-kuat dia hadapi. Larut malam dia berpikir panjang, sampai ternyata malampun lelah dan pamit sejenak kepada semesta. Fajar datang mengganti, berusaha membawa semangat di tengah keringat. Melihat ke luar jendela, dia sudah lupa rasa meriah dan bagaimana menjadi utuh di dalamnya. Dia lelah dan memilih menutup mata. Jingga masih di sana, mengintip ingin menyeruduk masuk. Memanggil dia untuk kembali berpijak di tempatnya. Selamat pagi kata Jingga, selamat jadi dua puluh lima.
0 notes
playdumbyoudumbdumb ¡ 2 years
Text
Martha Kauffman Was Right
Yes. Martha Kauffman, David Crane, and all of the Friend’s writers were damn right. There’s no way Rachel & Joey would have ended up together happily. It has stopped at their friendship, the genuine dynamic duo. 
From the very first start, finding you is like finding my own Joey. I don’t see a possible long-term ending for us as one. And I’m crying right now for God knows why. It’s not like we have something real, or even start to do it. We had fun. It’s weird we spent time together without really knowing each other. So for all the good stuff we had, I had to thank you very much. Goodbye, Joey. 
-
We had our fun, and maybe that’s enough. She repeated herself. And after a long pause with a really painful tear, she turned the page over. As she sighed, heavy, she turned off the light. Saying her last good night.
0 notes
playdumbyoudumbdumb ¡ 2 years
Text
Dik,
Banyak yang bilang jangan, dan yang kumaksud banyak adalah setiap organ di dalam dirimu yang konsisten menyerang saat temanmu itu datang.
Rasanya salah, tapi sebagai ciptaan Tuhan yang bodohnya keterlaluan, kau merasa tidak ada salahnya memberi kesempatan. Kapan sih kau bisa belajar? Kalau tak semua hasrat bisa sekali tuntas terbayar. Apalagi kalau kau ternyata tak sengaja memilih empunya yang buruk hatinya.
Ya ampun, Dik. Bahkan anak monyet pun malu saat mereka mencuri dan berbuat salah. Dan temanmu itu, dia lebih hina dari serigala yang menipu kawannya hanya untuk membuat perutnya sentosa.
Sudah, sudah. Tak guna bertahan menabung sendu. Semua yang sudah terjadi hanya akan menjadi abu. Ku tahu kau marah, di titik didih tanpa menyalahkan temanmu yang tidak ada sopan santunnya. Karena kau tahu dari awal, memang dia tidak berguna. Bahkan tidak nyata untuk hatimu yang terlalu mulia.
Begini, Dik. Sakitmu itu lebih karena kau sulit memaafkan dirimu yang sudah lengah. Di dalam hidup yang melulu menuntutmu jadi serba sempurna, ku yakin ini tak akan mudah. Tapi percayalah, sebentar lagi, kau akan bernapas bebas.
Bagaimana kalau tidak menjadi sekeras batu dengan dirimu? Bahkan di dalam duniamu yang semua harus serba sempurna. kau memang tidak masuk dalam salah satunya. Dan itu tak mengapa, selama kau menemukan bahagiamu, ritme langkah ke tempat yang kau tuju, rasanya semua sudah penuh. Penuh. Suatu hari nanti, kau akan berada di sana, merasa penuh.
1 note ¡ View note
playdumbyoudumbdumb ¡ 2 years
Text
Surat untuk Adik Kecil yang Berpulang,
Semoga ragamu mengampuni pikirmu yang kemarin-kemarin sudah terlalu
Semoga jiwamu tenang, penuh, tak lagi mengambang,
Semoga batinmu lekas pulih, lewati sendu segala pilu.
Sendirimu bukan salahmu.
Tidak ada yang salah dengan berisik di kepalamu.
Ragumu beralasan,
Tidak ada yang bisa jadi payung untuk mereka yang suka hujan.
0 notes
playdumbyoudumbdumb ¡ 2 years
Text
Lelah
Hari itu jadi hari paling melelahkan buat Nora. Salah sendiri, tadi pagi dia bangun kesiangan, ditambah showernya rusak, mau mandi jadi mesti antri sama penghuni kos lainnya. Belum lagi keringin rambut, pakai skincare, nyatok biar nggak lepek. Centil tapi gimana ya, namanya juga hari pertama masuk kerja setelah lama banget di rumah aja.
Hape-nya daritadi nggak berhenti bunyi tingtungtingtung, tanda semua orang udah bangun, check-in masuk kerja di group chat kantor. Lama didiamkan sambil dandan, akhirnya Nora melirik ke benda kotak hitam itu sekilas, terus lanjut pakai merah-merah di pipinya. Oh belum ada chat masuk, oke. Batinnya.
Padahal kayaknya baru dari minggu lalu, tapi rasanya udah lama gak halo-halo sama orang yang sempet bikin Nora nyaman. Oke oke ralat, perang (hubungan) dinginnya emang nggak jelas, kadang ada kadang enggak. Nora sendiri bingung sih mau bawa kemana, cuma yang jelas dia tau dia gamau jadi nomer dua. Nora menggeleng kepikiran ini itu di kepala. Fokus-fokus! Kira-kira gitu deh kalau perasaannya udah mulai berkuasa, cepat-cepat Nora berusaha keluar, nggak mau lagi kalah.
Akhirnya Nora pake baju, siap super siap buat berangkat. Ada yang ketinggalan nggak ya? Nggak ada sih, kalau kosong iya. Seperti biasa, di jalan sampai ke kantor Nora gak pernah banyak bicara, kayak lagi siapin energi buat jadi orang paling happy aja, nggak tau juga manfaatnya apa. Dia melongok-longok keliatan gelisah, cari apa sih Nor? Menggeleng, Nora balik mencoba fokus sama yang di depannya. “Gini nih ciri-ciri orang jauh dari Tuhan, nggak mindful.” Celetuk temannya. “Bawel lu.”
Kerjaan banyak, meeting padat, mepet semua pula. Nora butuh yang manis, jadi dia lari ke bawah di sela meetingnya, beli es kopi sama sosis bakar terus ngibrit lagi ke atas dengerin meeting sambil ngunyah. Ngecek hape, mau cari apa? Kosong isinya, paling cuma chat satu-dua sahabatnya yang bales dia buat bilang have a nice day juga. Nice day my ass, ini engap nggak tau lagi bisa dibawa kemana.
Nggak ada yang sadar sebesar apa rasanya Nora ingin punya sandaran, di tengah naifnya ia mengejar mimpi dan membahagiakan orang yang sudah menaruh banyak harapan kepadanya, Nora harus berjuang sendirian hidup di ibu kota. Menyumpal diri dengan bekerja sana sini biar rasa dan teriakan dalam dirinya teredam sampai mau tidak mau akhirnya dia paksa menikmati sibuknya. Sekalian biar lupa isi kepala yang belum jelas maunya apa.
Hari itu jadi hari paling melelahkan buat Nora. Lagi-lagi yang ditunggunya menolak muncul ke permukaan. Nora menghela napasnya panjang, mengambil pesanannya dan bergegas kembali ke atas. Hari itu ia mengambil keputusan yang seharusnya ia pilih dari awal, mengambil kendali atas satu-satunya yang bisa ia kendalikan − memilih dirinya sendiri.
1 note ¡ View note
playdumbyoudumbdumb ¡ 3 years
Text
Siapa suka pahit?
Piko benci pahit.
Pikirannya selalu hitam kelam. Apa-apa jadinya salah, apa-apa jadinya negatif aja.
Dia selalu marah kalau sore-sore ibu yang harus seduh minuman, gulanya cuma sedikit. Payah. Emang gakbisa lebih manis lagi?
Piko benci pahit. 
Benciii banget liat orang yang order kopi, tapi pas minum mukanya menyerngit. Kalau nggak suka kenapa dipesen? Pikirnya.
Piko benci pahit. Kenapa semua nggak jujur aja? Kalau dunia nggak ada indah-indahnya.
Biar sama-sama tahu, kalau semua butuh manis.
Piko benci pahit. 
Menurutnya, mereka yang tertawa riang itu toleransi nya sedikit! Pasti egois, kok bisa-bisanya merasa manis saat semua merasakan kebalikannya?
Piko nggak sadar, mungkin ‘semua’ itu mengarah ke dirinya sendiri.
Piko benci pahit.
Hari ini ibu yang seduh kopi lagi, Piko yakin gulanya sedikit. Tapi kok bersenandung? Loh loh? Kok dua sendok?
Piko gak tau, tadi ibu dapat kabar kalau gaji tiga belasnya turun. Moodnya bagus hari ini, karena besok bisa beli gula lagi.
Tapi, Piko tetap benci pahit.
Menurutnya dia butuh lebih banyak gula dan teman untuk bikin semua jadi terasa lebih manis lagi. Padahal mungkin, mungkin loh ya, semua pahit itu justru datang dari dirinya sendiri. Piko nggak sadar itu, sampai satu hari, waktu ibu seduh kopi, kotak gula yang tidak tertutup rapat itu bikin semua isinya berjatuhan. Seperti hujan salju, tapi manis! Kali ini Piko semangat, dengan banyak gula pasti akan  manis dan enak sekali. Piko yang benci pahit, kali ini semangat mencicip.
1/3 gelas itu berisi gula. Entah kenapa ibu tetap mengaduknya. Dan waktu diicip di lidah, “PYAHHH” semua menjulurkan lidah. Terlalu manis ternyata nggak lebih baik dari pahit. PIko tertegun, ternyata manis bukan jawaban dari segala pikir negatifnya.
Piko benci pahit. Piko benci pikirannya sendiri.
1 note ¡ View note
playdumbyoudumbdumb ¡ 3 years
Text
Pulih dan Terbaring
"Hari ini akan jadi hari baik. Lo bisa, Nya!!" Ujar Anya sambil tersenyum menyemangati pantulan diri nya sendiri di depan kaca. Dengan atasan lime polos dan trousers khaki nya, wanita itu menyambar tas pundak biru tua kesayangannya di kursi dan beranjak keluar dari kamar. "Pagi mbak, Kanya", Sampai di lantai 12 gedung perkantoran tempat editor kesayangannya bekerja, ia disambut dengan resepsionis dengan nametag bertulis "Morin" yang sudah mengenalnya. Sambil membalas sapaan itu, pandangannya menyapu sekeliling dan berhenti di seorang wanita mungil dengan potongan rambut bob yang melambaikan tangannya sambil memegang gelas karton kopi. Di dalam ruangan temannya itu, Anya memberikan beberapa lembar draft tulisan nya yang baru rampung kepada Monic, editor sekaligus teman baiknya.
-
“Takjub sekali dengan mereka yang mampu menidurkan ego nya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Tidak bermaksud memuji tapi... Rasanya begitu pula dengan kami, yang mencoba lebih keras kepala dari sebelumnya untuk berbesar hati dan memilih mundur jauh sebelum memulai nya. Takjub atau ironi ya, lebih tepatnya?
Puluhan tahun bangsa ini hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan dan kata banyak orang, perbedaan itulah yang biasanya menyatukan. Tapi nyatanya? Tiga tahun sudah aku mencoba mencari celah. Mencari jejak langkah, arah, remah roti, apapun itu yang memungkinkan dua raga ini bisa akhirnya bersatu. Sepuluh tahun berlalu, kami sudah berusaha sekuat tenaga melupakan rasa familiar yang menggelitik perut untuk mereka yang pertama kali menjadi alasan setiap kita tersenyum geli sendiri melihat pesan masuk di ponsel.
Masih nggak habis pikir, bagaimana bisa kami ini berjalan sendiri selama bertahun-tahun, mencoba membuka pintu-pintu baru dengan semangat empat lima tanpa masa lalu, tapi kemudian luruh semua dinding pertahanan nya dengan pertemuan yang bahkan tidak lebih dari lima jam?”
-
Monic menarik napas panjang dan melepaskan kacamata nya. Jemari mungilnya merapikan lembaran itu, “Bagus. Nanti gue terusin ke Adit juga. Kita lihat responnya gimana.” Ujarnya sambil mengangguk. Anya masih terdiam, ucapan Monic barusan terasa bagai angin yang numpang lewat di telinganya sama sekali tak membuat hati berdesir.
“Tapi lo yakin, Nya?” tanya Monic ekstra hati-hati pada Anya. Sahabat nya itu mengangguk pasti walau sekilas jelas terlihat ada kesenduan yang minta diperhatikan di bola mata cokelat nya.
“Yakin. Udah dua tahun gue ga bisa kasih cerita baru, Mon, sampe yang ada di tangan lo sekarang ini. At least, harusnya setelah ini langkah gue bakal lebih ringan.” Ia mencoba meyakinkan Monic, bukan, bukan Monic. Ia mencoba meyakinkan perasaannya sendiri. Grekk. Pintu ruangan Monic terbuka, seorang laki-laki dengan kemeja putih bergaris-garis tipis dengan rambut ikal yang jatuh sedikit melebihi kerahnya melongok ke dalam. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Tatapan mereka bertabrakan tanpa aba-aba, satu.. lima.. tujuh.. Entah berapa detik sudah berlalu dan yang terdengar hanya sunyi, sampai lelaki itu menemukan kembali titik tumpunya. Mata nya mencari pertolongan, ah iya, Monic.
“Mon, kalo udah ke ruangan saya ya.”
“Oke, bos!”
Pintu kembali tertutup. Ingin rasanya Anya melebur dengan udara dan menghilang seketika karena untuk beberapa detik tadi ia tidak punya kendali atas tubuhnya sendiri. Seakan lupa kalau dunia masih berputar. Kikuk, ia menenggak habis segelas kopi yang ada di hadapannya. Saat itu juga ia tahu, rasanya nggak akan semudah itu langkahnya menjadi lebih ringan. Bahkan setelah menumpahkan segala emosi nya ke setumpuk kertas putih polos yang sekarang penuh dengan tinta hitam. Karena semesta mempertemukan mereka kembali, Anya dan cinta pertama nya.
0 notes
playdumbyoudumbdumb ¡ 4 years
Text
Tumblr media
Tentang Tuan Tanah dan Hujan yang Mengalah
1 note ¡ View note
playdumbyoudumbdumb ¡ 4 years
Photo
Tumblr media
We all are too afraid to fail, And soon we’ll regret all the things We wish we did You felt like it’s you vs. the world But darling, can’t you see? It’s really just you, and yourself You might be wrong about something Not just once, many times But will it be worth it If you end up doing nothing?
1 note ¡ View note
playdumbyoudumbdumb ¡ 4 years
Text
A Proud Past
Not a long ago I thought I couldn't make it I never knew that breath would be this priceless That a single gesture would mean so much Even too much To be accepted by the fellow heart
Thank you, For never give up For always stay in line That no one could hang
Thank you, For being so strong and did your very best in any chance
Thank you, My dearest self and soul
I am a proud past
1 note ¡ View note