Tumgik
ngoceh · 2 years
Text
Tiga Hari yang Terburu-Buru untuk Sebuah Pandangan yang Baru
Tiga hari aku menghabiskan waktu di kota yang seharusnya sudah menyimpan banyak kenangan bagiku, tapi karena dunia yang belum memberiku restu, lama-kelamaan tergantikan oleh perasaan cemas dan takut, serta sebuah pertanyaan, “Haruskah aku?”.
Berbekal keyakinan bahwa waktu tak dapat diputar, akhirnya aku memanfaatkan kesempatan yang ada untuk pergi juga. Sesampainya di sana, walau harus berpindah-pindah karena tidak punya lagi tempat untuk menetap, aku berusaha sebisa mungkin untuk membuat diriku kembali familiar. Menyusuri jalan-jalan yang tidak aku hafal lagi namanya, makan di tempat-tempat yang pernah aku jadikan langganan, bertukar cerita dengan teman-teman kelas yang tidak pernah aku anggap dekat sebelumnya, mengobrol panjang dengan sahabat yang aku sayang hingga larut malam, mengejar ketertinggalan sebanyak mungkin yang aku bisa.
Walau letih kerap menyapa, aku senang berada di sana. Aku senang mengetahui kalau selama ini aku salah tentang banyak hal, terutama perihal persepsiku pada sebagian orang. Aku hanya melihat permukaannya saja tanpa mengetahui dalamnya lautan, bahwa setiap orang pasti punya torehan luka yang disimpannya erat-erat. Benar bahwa dunia ini hanyalah panggung sandiwara. Lihat, betapa handalnya kita bermain peran.
Aku selalu menikmati proses bagaimana cara pandangku terhadap sesuatu berubah. Oleh karena itu, sewaktu pulang, untuk pertama kalinya aku bertanya-tanya apa yang membuatku merasa berat untuk meninggalkannya, seolah-olah ada kepingan hatiku yang juga ikut tertinggal. Ternyata, aku baru sadar bahwa itu semua bukan karena kotanya, atau memorinya, atau orang-orang di dalamnya, tetapi karena aku mulai menilai bahwa segalanya dapat begitu berharga, bahkan untuk tiga hari yang terasa begitu singkat.
Maka, tiga hari aku berada di kota itu, walau kesannya terlalu buru-buru, semuanya setimpal untuk sebuah pandangan baruku.
0 notes
ngoceh · 2 years
Text
Seputar Lebaran dan Kata Maaf
Hari raya pertama selalu menjadi yang paling sakral.
Hari di mana kita bersimpuh di hadapan orang tua, meminta ampun atas segala kesalahan yang pernah kita perbuat sebelumnya, sekaligus meminta rida untuk menemani langkah yang akan kita ambil selanjutnya. Hampir mustahil kalau aku bisa menahan air mataku agar tak keluar, bahkan di detik pertama ketika ayah menyentuh tanganku saja, hatiku sudah bergetar. Pertahanan pun akhirnya runtuh juga.
Lebaran cenderung identik dengan acara berkeliling mengunjungi kerabat, dari satu rumah ke rumah yang lain, rasanya begitu hangat dan manis, meski momen-momen seperti ini mungkin hanya terjadi setahun sekali. Semakin dewasa, aku menyadari bahwa lebaran bukan seharusnya jadi ajang pamer kehebatan diri atau menggunjing sana-sini, namun aku ingin menggarisbawahi perihal memaafkan dan dimaafkan satu sama lain, yang di dalamnya membutuhkan kelapangan hati untuk bisa mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Meski sulit, itu berarti kita mampu berdamai dengan diri sendiri, dan aku percaya akan ada tenteram yang mengikuti.
Lebaran memang hanya setahun sekali, tetapi satu kata maaf akan sangat berarti.
1 note · View note