Tumgik
negeriwacana · 3 years
Text
“They always say time changes things, but you actually have to change them yourself.” Andy Warhol
127 notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Photo
Tumblr media
Enjoy your sun., . . #diskjokey #bali #indonesia #beach #music #photography #sunset #wonderful_places #batubelig #batubeligbeach #batubeligbeachbali (at Batu Belig Beach)
0 notes
negeriwacana · 7 years
Text
Kami
Assalamu'alaikum, Setiap waktu yang terlewat mendekatkan pada hari dimana sebuah hati yang ingin disucikan dan memohon ampunan. Segenggam jari melambai lambai di seberang jalan, saling menjabat meminta maaf dari kami. Dari kami yang bermuara didalam sukma memohon maaf atas semua yang telah terjadi dalam sebuah perjalanan. Kami yang mengalir dalam pembuluh memohon maaf atas semua jalan yang berbeda dalam memaknai sebuah kehidupan. Kami yang menyembur dari mata memohon maaf atas semua apa yang kami pandang dari sisi lain. Kami yang tumbuh pada golongan memohon maaf atas pilihan yang kami selesaikan. Kami yang lahir dalam gelap memohon maaf atas pemikiran kami yang menimbulkan masalah. Kami yang ditiup aroma memohon maaf atas apa yang kamu dan mereka anggap salah karena tidak melewati apa yang kami lewati, apa yang kami jalani, apa yang kami pelajari, apa yang kami maknai, apa yang kami harapkan dan apa yang kami dapatkan. Sekali lagi kami segerombol hal yang hanyut dalam sebuah tujuan memohon maaf lahir dan batin untuk hari yang suci. "Kami" RCN~2017
1 note · View note
negeriwacana · 7 years
Quote
Hei dik, menangislah. Dunia ini kejam, kau sudah dijeratnya. Lihat wanita yang memelukmu. Air mata sudah banyak membasahi syal merah jambunya. Dasar bocah, selalu dan selalu polos. Selalu Damai.
(via kawananmalam)
Wooooow
5 notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Text
Lha.?
Mohon maaf. Mulutku ngelantur, Otakku terbentur Tanganku terbujur, dan Mataku menatap kedalam.
0 notes
negeriwacana · 7 years
Quote
Lantas, apa yang harus dirayakan dari kebahagiaan yang tanpa kau di dalamnya?
(via mbeeer)
Dalam
1K notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Text
Aku, pilih(an dan) kamu
Bulir pasir terseret angin beriringan menghantam debu, bertiup kebelakang memahat jejak mengikis jalur Tak dapat memilih untuk menghantam, Tak dapat memilih untuk menggores Tak ada pilihan! Aku iri dengan ketidak adaan pilihan, cukup terombang ambing menjalani, Cukup terseret dan menerima. Disisi lain koin diatas meja itu Berputar menentukan mana yang diatas dan mana yang dibawah Tangan kanan atau tangan kiri menepuk berhenti kaki kaki meja Bersamaan dengan suara keras teriakan radio usang Menggelegar menutup mata Heiiii, aku iri kepada mu, Kau kuat menggores, Kau kuat mengikis, Aku disini pusing, cuma pusing seperti koin yang diputar Diasingkan kertas kertas bergambar wajah karena tak mau jadi kembalian. Hahahahaha Tapi tak apalah, siapa tau koin ini mengantarku menang judi atau bahkan sebaliknya. Menyanggaku untuk berputar lagi. RCN2017
0 notes
negeriwacana · 7 years
Text
Bunga Matahari
Bunga matahari, Siang sebelum memetik 3 tangkai bunga matahari aku berfikir., "mau sampai kapan memutar kenangan ini?" "Mau sampai kapan ini menjadi bayang-bayang?". Sebilah pisau menyayat tangkai bunga matahari yang dengan bangga disimpan sebelah kanan tas ransel lusuh aku, Dengan bunga itu dengan bumbu bahagia dihati aku mendeklarasikan diri ingin membuat kenangan baru dengan cerita yang berbeda, Kata matahari dikala itu menyimbolkan cahaya baru untuk menerangi jalan menorehkan cerita yang berbeda. Tapi dalam kata pergi hanya pisau tadi yang muncul, pisau yang menikam tidak hanya mematikan 3 kehidupan bunga matahari. Pisau itu menikam tepat pada bekas luka yang sebelumnya dengan susah payah dijahit.
1 note · View note
negeriwacana · 7 years
Text
Pohon mangga
Seseorang berkata padaku, "kau menanam pohon mangga cuma untuk berbuah, sampai berbuah kau makan buahnya. Tapi kau tidak tau buah mangga bisa jadi manisan, gorengan, jus, dan banyak lagi yang lain".
1 note · View note
negeriwacana · 7 years
Text
Tak kemaren
Senja ku jingga, tapi tidak sejingga kemaren Pagi ku biru, tapi tidak sebiru kemaren Cahaya ku hilang tertutup gelap awan Angin ku pergi, pergi jauh ketengah lautan Bunga ku membungkuk membelakangi matahari Sampai akhir sujud ku kaku diam terpapar dipanas pasir gurun Angan ku sadar menggigil menghadapi
Tidak kemaren, tapi sampai detik tadi
2 notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Text
Seperti menghirup aroma hujan pertama dimusim kemarau panjang yang sudah lama tandus dan kering.
2 notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Text
Buktikan!
Buktikan bacot mu bung., untuk sekarang kau hanya seonggok plastik sampah yang bernyanyi ditiup angin.
1 note · View note
negeriwacana · 7 years
Quote
Perkenalkan Namaku Putus Asa. Di balik batu-batu yang ditopang tanah basah. Aku bagai cacing yang bosan hidup. Diam, suram dan lapuk.
(via kawananmalam)
:(
15 notes · View notes
negeriwacana · 7 years
Text
#1
Sangat sulit memberi sepenuhnya, karena hal itu cuma ada satu. Dan saat hal itu diberikan sepenuhnya hanya kecewa sebagai sarapan setiap bangun dari tidur yang nyaman.
~2016, bandung
1 note · View note
negeriwacana · 8 years
Quote
Dia di sana, yang hatinya tidak lagi teduh, tanpa henti-henti menyalahkan manusia lain, merasa kebenaran mutlak miliknya sendiri, dan yang paling suci. Setiap kali melontar cacian bertambahlah flek di hatinya. Tuhan dan taik-taik di bundaran
(via kawananmalam)
Sedap
9 notes · View notes
negeriwacana · 8 years
Text
Alunan Rasa
Perlahan lahan hujan menumbuhkan genangan, Genangan yang sudah lama tak dirasakan perlahan terisi. Sampai saat matahari menguapkan semuanya lagi.
4 notes · View notes
negeriwacana · 8 years
Text
(tidak) Kosong,
Cangkir ini terlihat kosong, maka kau ditipu oleh mata. Cangkir ini terasa kosong saat diraba, maka kau ditipu oleh kulit. Cangkir ini tidak berbau aroma minuman apapun, maka kau ditipu oleh hidung. Cangkir ini berdenting keras saat dipukul, maka kau ditipu oleh telinga. Dan di cangkir ini tidak ada setetespun cairan yang dapat diminum, maka kau ditipu oleh lidah.
Tapi, gelombang kedipan matamu menumpahkan isi cangkir. Hawa panas kulitmu merubahnya menjadi uap. Terhirup sampai mengalir di setiap darah. Menggema alunan gesekan yang menyamankan. Dan air liurmu mendorong butiran uap yang menyejukan.
Si cangkir tak pernah kosong. Hanya tak tau itu penuh karena apa.
Cerita Meja Kosong
Kedai minum di tengah kota pelabuhan, menyemarakkan malam yang jumawa. Arak, anggur sampai rum tumpah ruah, Diiringi lagu sukacita dan bahak tawa. Mereka, pasukan perang pemerintah yang pulang riang menggenggam kemenangan. Berpesta menerjang malam, membunuh waktu, mencumbui pelacur-pelacur kota sampai kering kemihnya. Mereka terus bernyanyi, berdansa, tangan-tangan nakal mulai meraba-raba wanitanya.
Tak ada yang mau menyentuhku,mereka memilih berpaling ke meja-meja sebelah sana yang lebih terang, lebih menggoda. Aku sendirian, tak ada yang sudi menindih diriku. Dibiarkan sepi, di sudut jauh kedai minuman begitu lama.
Dulu, pelanggan setiaku sepasang kakek-nenek. Waktu itu mereka berdua begitu mesrah bagai remaja umur 17 tahunan. Saling lempar senyum, saling membelai, memuji satu sama lain, saling berbalas puisi-puisi cinta yang manis. Pernah di usia perkawinannya yang ke 60, mereka merayakannya bersamaku. Kue tart cokelat dengan lilin angka yang menunjukan usia perkawinan mereka menghiasi suasana kedai minuman ini, khususnya Aku.
Lalu mereka berdua berdoa di dalam hati masing-masing. Aku sanggup mendengar doannya, semuanya. Si kakek mendoakan istrinya umur panjang, dan berbahagia, sedangkan doanya untuk pribadi adalah ia ingin secepat mungkin tamu tak diundang datang, menjemputnya pulang terlebih dahulu. Begitupun do'a Si nenek, pada pejaman mata dalam-dalam hatinya berdoa supaya suaminya berumur panjang bersama senyuman yang melekat di bibirnya. Dan dia ingin lebih dulu bertemu dewa kematian ketimbang suami. Dia rindu pulang. Alasannya sama, mereka takut kesepian, tak biasa sendiri, tak mau sedih, tak sanggup melihat sang kekasih tertidur selamanya dan tak kembali.
Delapan bulan setelah perayaan ulang tahun perkawinannya yang ke 60. Kakek datang sendiri ke kedai , dia duduk di sisiku. Dia menceritakan istrinya yang seminggu kemarin meninggal entah ke siapa, tapi aku mendengar. Katanya, istrinya meninggal pagi hari di kursi goyang kesayanganya, seperti tidur pulas yang panjang. Doanya terkabul sudah. Kakek mengakhiri ceritanya dengan meneteskan airmata, tumpah membasahi tubuhku. Sebelum pergi pulang, kakek sempat menulis di selembar kertas yang ia tinggalkan. “Melahirkan anak dan tidak itu sama saja. Di waktu senja kita tetap saja sendiri. Anak seperti lupa darimana ia lahir, ia makan. Setelah bisa dan dewasa anak hilang entah kemana. Berdosakah? tidak, anak pernah kecil dan menghibur hidup kita kala itu, mereka tumbuh dewasa dan mandiri, meski tetap saja yang suci adalah milik anak kecil”. Sejak saat itu, kakek menghilang atau menyusul isterinya aku tidak tau, yang pasti dia tak pernah mampir lagi, tak kelihatan lagi di kedai.
Kini aku adalah yang kosong. Kehangatan, kemesrahan sudah tidak lagi menghampiri diriku. Bahkan untuk sekedar menyentuhku saja enggan. Aku dibiarkan berdebu di sudutan, sawangan. Aku adalah yang hampa, tanpa lakon yang memainkan, diam mendengar bisik-bisik meja tetangga. Aku meja kosong yang terpinggirkan lagi.
Cirebon, 17 september 2016
7 notes · View notes