Tumgik
melinmenulis · 4 years
Text
Toko Bersejarah (Part 1)
“Permisi..”
“Iya mari silakan masuk, ada yang bisa dibantu?”
“Saya.. ingin menjual sejarah saya”
“Baik, tolong diisi lembar ini terlebih dahulu nama… alamat… nomor telepon yang bisa dihubungi..”
--
Terik matahari membangunkan Jeromme dari tidurnya yang nyenyak. Suara para penjual bunga bersorak-sorak memanggil para turis-turis melewati jalanan ke arah pantai. Jendela kamar Jeromme mengarah ke arah pantai dengan suara air laut. Kamar Jeromme dipenuhi oleh catatan-catatan penting yang harus Jeromme baca setiap harinya.  Jeromme berdiri dan bergegas mandi dan bersiap-siap untuk membuka tokonya. Pada saat Jeromme masuk kamar mandi, Jeromme kebingungan karena catatan alat mandi dia hilang.
“Aduh, hilang lagi… bodoh banget sih aku. Aku taruh mana ya catatan mandiku.. Anjing siapa ini.. Hey! Pergi! Oh.. sebentar… ada tulisan di kalungmu.. OH kamu anjingku Coco! Baiklah.. Aku coba cari lagi catatanku ini”
Jeromme menghabiskan waktunya di kamar mandi untuk mencari catatan itu. Tanpa adanya catatan itu, Jeromme tidak dapat mengingat dimana dia menaruh alat mandinya kemarin. 
“Ah itu dia.. ternyata terselip disini catatanku. Kalau tidak ada catatan ini, aku tidak bisa mandi haha, benar begitu Coco?”
Coco adalah anjing kesayangan Jeromme, yang sebelumnya adalah kesayangan ayahnya yang sudah meninggal. Setelah orang tuanya meninggal dunia, Jeromme tinggal sendirian bersama anjingnya yang bernama Coco.
Setelah Jeromme mandi, Jeromme menemukan beberapa catatan di tangganya. Catatan bahwa Jeromme adalah pemiliki toko bernama “Toko Bersejarah” yang didirikan 2 tahun setelah orang tuanya meninggal dunia. Catatan lain yang ditempel di dinding sebelah tangga berisi siapa dan apa saja yang harus dia ingat untuk mengatur jalannya bisnis toko. 
“Disini tertulis, hari ini akan ada yang menjual sejarahnya… namanya Silvia… alamatnya .. hmm.. Oke… nomor telepon yang dapat dihubungi… oke baiklah.”
Tidak lama setelah Jeromme membaca catatan tersebut, datanglah Silvia yang ingin menjual sejarahnya kepada Jeromme hari ini. 
“Permisi…”
“Oh.. kamu pasti Silvia? Bukan? Apa aku salah?”
“Iya, benar. Saya Silvia yang kemarin kesini dan sudah mengisi lembar yang kamu berikan kemarin.”
“Baik Silvia.. Mari duduk di sebelah sini.”
“Baik…”
Jeromme mempersilahkan Silvia untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan untuk orang-orang yang ingin menceritakan sejarahnya sebelum mereka menjualnya. Jeromme sangat senang ketika orang-orang bercerita tentang sejarahnya, maupun itu manis atau pahit, Jeromme senang mendengarkan. 
“Jadi.. aku baru putus minggu lalu.”
“Wah, ada apa dengan mantan kamu?”
“Dia selingkuh.. Aku tau itu dari temannya. Lalu, setelah itu saya langsung pergokin mantan dengan wanita yang ternyata sahabat saya dari kecil..”
“I’m so sorry to hear that ya.. Kamu gapapa? Menceritakan ini semua?” “... tidak apa apa. Aku sudah merelakannya.. Hei.. apakah aku boleh tahu nama kamu siapa? Agar bisa lebih akrab saja hihi”
“Oh.. hmm.. sebentar.. Aku harus melakukan sesuatu sebentar, Silvia.”
“Oh baik, aku tunggu.”
Jeromme bergegas mengambil catatan diarynya yang berada di sebelah kasur di kamarnya. Catatan yang dia cari adalah biodatanya, termasuk nama, alamat, nomor telefon yang dapat dihubungi dan informasi penting lainnya. 
“Namaku Jeromme, aku tinggal di Jalan Anoa 2 blok 14, nomor telepon yang bisa dihubungi adalah 081217766534, aku tinggal bersama anjingku bernama Coco, aku adalah pemilik Toko Bersejarah yang aku sendiri jalankan setiap jam 8 pagi hingga 5 sore.”
Setelah Jeromme ingat, dia langsung bergegas ke bawah untuk melanjutkan cerita Silvia. Namun, anehnya pada saat Jeromme turun, Silvia tidak ada lagi disana. Silvia menghilang begitu saja.
“Silvia? Kamu dimana? Halo?”
Jeromme kebingungan dan pada akhirnya dia duduk menunggu penjual sejarah selanjutnya.
“Halo? Permisi? Apakah ini benar toko bersejarah?”
“Benar! Silakan masuk, ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Kristo, apakah kamu bernama Jeromme?”
“Benar… Bapak tahu darimana saya bernama Jeromme?”
“Oh.. saya ingin bertemu kamu saja. Saya ingin menjual sejarah saya.”
“Baiklah, silahkan duduk disini, pak.”
Jeromme menyiapkan kopi hitam untuk Kristo. Lalu, Jeromme siap-siap untuk mendengarkan cerita sejarah dari Kristo dan menjualnya. Seperti biasa, Jeromme mencatat inti sejarah dari para penjual sejarahnya agar Jeromme bisa membaca lagi dan lagi.
“Jadi semua dimulai dari saya yang sangat ingin memiliki anak laki-laki.. Namun sayangnya istri saya yang bernama Angel tidak bisa hamil. Maka dari itu, saya ke panti asuhan. Saya mencari-cari anak laki-laki yang kira-kira saya dan istri saya dapat rawat.”
“Apakah bapak menemukan anak itu?” “Iya, saya menemukannya. Anak ini sangat sempurna. Dia pintar berbisnis, bergaul, tampan, ramah, hampir tidak ada cacatnya. Lalu, saya dan istri saya sepakat untuk mengadopsi anak ini.”
“Lalu?”
“Setelah itu, anak saya bertumbuh menjadi anak yang tangguh dan berani. Saya sangat bangga padanya. Hingga suatu hari, pada saat kami bertiga ingin berlibur pada musim panas, kami mengalami kecelakaan berat. Istri saya sangat terluka parah begitupun saya dan anak saya. Namun, karena saya percaya anak saya akan bertahan hidup, anak saya sampai sekarang masih bisa menjalani hari-harinya seperti biasa dengan kekurangan yang dimilikinya.”
“I’m very sorry to hear that. Are u okay? Kekurangan apa yang dimiliki anak bapak?”
“... sepertinya sampai situ saja cerita saya. Bagaimana dengan 500 ribu?”
“500 ribu? Bagaimana kalau 550 ribu?”
“Deal.”
Tepat pukul 4.30 sore, Jeromme bersiap-siap untuk menutup tokonya dan menyiapkan makanan. Setelah Jeromme menutup tokonya, Jeromme menuliskan apa saja yang dia pikirkan, lakukan, dan temukan di hari itu. Setelah itu, Jeromme bergegas menyiapkan makan malam untuk dirinya dan anjingnya Coco. Malam ini, Jeromme merapihkan tabungan uang-uang hasil dari tokonya sebelum dia tidur. 
“Selamat malam, Coco. Aku tau aku tidak akan mengingatmu besok, tapi aku berusaha untuk mengatakan ke kamu kalau aku sayang kamu setiap harinya, Coco.”
Keesokan harinya, Jeromme terbangun dengan suara kencang dari pintu tokonya di bawah. Terdengar teriakan seorang wanita yang berteriak minta tolong. Jeromme langsung bergegas ke bawah tanpa melihat catatan hariannya. Ketika Jeromme sudah di bawah, dia langsung membuka pintu toko. Pada saat pintu dibuka, wanita itu langung memeluk Jeromme dan menangis sekencang-kencangnya. Jeromme pun sangat bingung karena dia tidak mengenal wanita ini.
“Hei, tunggu dulu. Siapa kamu?”
“Aku Silvia, kamu tidak ingat?” “Hm… tidak.”
Tiba-tiba Silvia menampar Jeromme dengan cukup keras. Jeromme pun kesal dan secara cepat memegang tangan Silvia.
“Hei, tunggu dulu. Aku tidak akan menyakitimu, tapi kamu kenapa menyakitiku? Kamu siapa sih?”
“Aku Silvia dan kamu .. ah kamu tidak memberikan namamu kemarin”
“Kemarin? Aku tidak ingat kemarin..”
“Dasar memang semua cowo sama saja. Pura-pura tidak ingat. Yasudah saya pergi!”
“Dasar, wanita aneh.”
Jeromme bergegas balik ke kamar untuk membaca siapa saja yang datang kemarin beserta cerita-cerita sejarah yang sudah terjual. Ternyata nama Silvia tertera di lembar yang harus diisi sebelum menceritakan sejarahnya dan menjualnya. 
“Mati aku.”
Jeromme langsung berlari mengejar Silvia di luar toko. Di sepanjang jalanan terlihat pedagang-pedangang bunga dan buah yang terlihat sangat sibuk. Ternyata Silvia masih ada sedang bersiap-siap untuk menyebrang jalanan. Jeromme langsung berlari mendekati Silvia dan menarik tangannya dengan erat
“SILVIA! TUNGGU DULU!”
“Kenapa lagi? Mau kamu apa?”
“Sebentar… Hm… Namaku Jeromme, aku tinggal di Jalan Anoa 2 blok 14, nomor telepon yang bisa dihubungi adalah 081217766534, aku tinggal bersama anjingku bernama Coco, aku adalah pemilik Toko Bersejarah yang aku sendiri jalankan setiap jam 8 pagi hingga 5 sore…. IYA itu.. Namaku Jeromme, salam kenal ya.”
“Kamu aneh, Jeromme.”
“Memang.”
--
“Jadi bagaimana dengan mantan kamu? Apakah kamu masih ingin menjual cerita sejarahmu?” 
“Masih kok, Jeromme. Jadi intinya, aku putus dengannya.. Oh.. dia tadi pagi menerorku hingga sampai rumahku. Kebetulan aku tinggal sendiri karena kampusku jauh dari rumahku. Jadi aku ngekos deh. Oh.. terus aku lari kepadamu.. Ke toko ini untuk minta tolong.”
“Oh.. Maaf.. tadi aku sempat lupa… Tapi apakah ada lagi sejarah yang ingin kamu jual?”
“Mungkin itu saja. Apakah kamu ingin tahu alasanku kenapa aku ingin menjual sejarahku ini, Jeromme?”
“Boleh..”
“Alasannya karena aku benar-benar ingin move on. Aku menganggapnya sekarang hanya sejarahku saja dan aku ingin sejarah itu seakan-akan hilang karena aku sudah jual.”
“Alasan yang bagus, Silvia. Jadi kamu ingin jual berapa?”
“250?”
“Deal.”
Silvia pun memberikan uang sebesar 250 ribu kepada Jeromme dan tiba-tiba Silvia memegang tangan Jeromme. Jeromme pun terkejut dan kebingungan kenapa Silvia memegang tangannya dan menatapnya dengan tatapan serius. “Jeromme, aku ingin lebih kenal kamu. Bolehkah aku mengenalmu lebih dalam lagi?”
“Kenapa? Karena aku aneh?”
“Bukan.. Sepertinya aku suka sama kamu pada pandangan pertama.”
“Hah?”
Jeromme langsung berdiri dan bergegas ke atas kamarnya. Jeromme meninggalkan Silvia begitu saja dan mengunci dirinya di dalam kamar. Ketika sudah di dalam kamar, Jeromme mengambil catatan-catatannya dan membaca kembali apa yang dilakukan Silvia kepadanya kemarin. Suara kaki ke atas terdengar dari kamar Jeromme. Silvia mencoba untuk ke atas menemui Jeromme yang terlihat panik dan kebingungan. Lalu, Silvia mengetuk pintu kamar Jeromme berharap Jeromme akan menemuinya.
“Silvia, pulang saja. Aku aneh. Kamu tidak boleh suka sama aku.”
“Kenapa tidak boleh? Kamu memang aneh, makanya aku ingin cari tahu kamu kenapa, Jeromme.”
“Aku akan lupa sama kamu terus menerus. Seperti tadi pagi.”
“Catat namaku saja, Jeromme. Biar kamu tidak lupa.”
“Kamu tidak mengerti--”
“Buka pintunya, Jeromme.”
“Sudah sana pulang saja!”
--
Tepat pukul 10 malam, Jeromme sudah berada di dalam kamar kembali. Handphone-nya tiba-tiba berbunyi menandakan ada pesan masuk. Ternyata itu dari nomor yang tidak dikenal. Pesannya adalah “Jeromme, ini aku Silvia, terima kasih telah membantu menjual sejarahku ya. Aku dapat nomormu dari kamu sendiri kok hehe. Ini nomorku. Tolong dicatat ya. Sampai ketemu di lain hari ya, Jeromme. Selamat malam.”. Melihat pesan itu Jeromme pun kebingungan. Apa yang dia harus lakukan. Jika dia menjawab pesan itu, Jeromme memberikan harapan kepada wanita itu. Jika dia tidak menjawab pesan itu. Jeromme akan kehilangan seseorang yang bisa mengerti kondisinya. Jeromme pun menaruh handphone-nya dan kembali ke kasur untuk siap-siap tidur. Tidak lama setelah itu, Jeromme merasa sangat gelisah dengan pesan yang baru saja dia dapatkan. Lalu, Jeromme mengambil kertas dan pulpen dan menuliskan sesuatu.
“Silvia, rambut pendek, bulu mata lentik, bibir merah, gaya busana casual, menggunakan kacamata, senyumannya manis, baru menjual sejarahnya tentang mantannya, wanita cantik yang ingin mengerti aku.”
“Sampai bertemu lagi, Silvia.”
--
0 notes
melinmenulis · 4 years
Text
Toilet
“ANTONIO!” 
Suara teriakan ayah terdengar di kupingku dari ruang tamu. Matahari terik membangunkanku dari tidur yang nyenyak-- dan suara ayahku tentunya. Ternyata ini sudah jam 6 pagi dan aku harus siap-siap sekolah. Sial. Ayah sepertinya sedang naik ke kamarku.
“Siapa yang berani-beraninya mukul kamu di sekolah? Sini, ayah keluarkan dia dari sekolah.”
Ayah memang keras kepala. Susah sekali untuk dikasih tau.
“Ayah, tidak perlu. Aku yang memulai duluan, karena aku--”
“Sudah lah, sekarang ayah hubungi kepala sekolah supaya dia dikeluarkan. Dasar anak tidak tahu diri.”
“Ayah! Aku memang tidak suka sama orang itu atau manusia. Kehadiran mereka sangat mengganggu. Sudah, aku ingin mandi.”
“Baiklah. Kamu nanti diantar Mas Yo, ya. Mau pakai mobil yang mana hari ini?”
--
Bel sekolah pun berbunyi pertanda pembelajaran akan segera dimulai. Lelah sekali rasanya jalan ke kelas. Tadi aku diantar dengan supir yang dongo tapi baik sih. Hari ini aku diantar mobil range rover. Aku sungguh tidak suka dengan mobil itu tapi ayah memaksaku. Eh-- ada si jelek, Sasha. Aku tidak suka dengan dia. Anak itu seringkali mengejarku seolah-olah aku tertarik padanya. 
“Eh Antonio, ganteng sekali kamu hari ini. Sudah sarapan?”
“Minggir. Kamu menghalangi jalanku.”
“Aduuuh, cool banget sih kamu. Nih, aku udah bawakan kamu sarapan--”
Tuh kan, ngeselin bukan? Aku jatuhkan saja makanannya biar tau rasa.
“Kan aku sudah bilang, minggir!” 
“Um.. Yasudah aku besok bikinkan lagi ya!”
Bodoh.
Aku biasa duduk di pojok belakang sendirian. Tidak terlalu mendengarkan apa kata guru di depan karena malas mendengarkannya. Ditambah lagi, Rio dan teman-temannya yang seringkali membully aku. Manusia-manusia memang bodoh. Sejak aku pindah ke sekolah ini, rasanya semua orang tidak menerimaku. Aku bingung kenapa. Padahal aku sudah menjadi diri sendiri yang apa adanya, sama seperti mereka. Dasar, semua manusia memang jahat. Tidak pernah mengerti perasaan orang lain-- Eh sebentar, tadi guruku ngomong apa aja ya? Haha. Sudah jam istirahat aja di kelas. Ke kantin ah, laper. 
“Oi, Antonio! Jangan rebut Sasha dari gue.”
Rio. Iya. Si anak bodoh itu. Ya ampun, anak SD kelas 5 sudah berani-berani cinta-cintaan. Dikira aku rebut kali ya? Suka aja engga.
“Apaan sih. Ngga jelas.” 
“Lo jangan macem-macem sama Sasha. Awas lu”
Yah, aku sudah terbiasa dengan situasi kayak gini. Difitnah, dicela, dan diolok-olok. Pokoknya semua yang negatif-negatif deh. Dunia kejam banget sama aku. Yasudah, aku makan dulu deh. Keburu mati kelaparan.
-- 
Akhirnya pulang sekolah juga. Aku diantar kembali dengan supir yang dongo ini haha. Biarin deh, yang penting bisa nyetir. Lagian dia digaji besar untuk nyetir, harus baguslah nyupirnya. Wah, ada kamera di tiang di atas trotoar itu. Kok kameranya ditaro situ ya? Bisa jadi aparat kepolisian itu naro situ supaya bisa memantau orang-orang di jalanan. Oh! Bisa jadi karena ditaruh situ agar aku dipantau kali ya? Kan deket rumahku gitu.. Jadi aku harus hati-hati nih kalo melewati jalan ini-- haha aku mikir apa sih. Eh sudah sampai rumah. Pintu pagar sudah dibuka sama satpam-satpam. Pas aku turun dari mobil, aku dijamu oleh es teh manis kesukaanku. Seger banget. 
“Mas Nio, mau makan apa sore ini?”
“Biasa, Mbak.”
“Siap, Mas Nio. Ditunggu di meja makan ya.”
Makanan kesukaanku itu spaghetti bolognaise karena dulu ibuku senang membuatkan aku makanan itu. Oh, ibuku? Dia tau deh kemana. Hilang ditelan bumi. Ayah pisah dengan ibuku 3 tahun lalu.. Ibu meninggalkanku begitu saja. Tidak jelas. Masa seorang ibu jahat ke anak kandungnya sendiri? Tapi dulu ibu itu seringkali mengetahui apa yang aku sedang pikirkan. Aku sedang tidak suka dengan ini lah, itu lah. OMG! Apa jangan-jangan ibu taro chip di spaghettiku terus memantau pikiranku dari situ?  Haha wanita memang jahat. Ngga jelas banget. Eh-- duh aku kebelet pipis. Ke toilet dulu deh.
“Mas Nio, makanannya sudah ditaro di meja makan ya.”
“Iya mbak sebentar! Aku masih di toilet.”
Sebentar, kok, aku melihat sesuatu di cermin. OH! Aku bisa mencium bau lavender. Apa mbak taro pewangi kamar mandi ya? Tapi tunggu, baunya ini ada di dalam cermin. Hah? Mana bisa. Eh tunggu-- jika aku menyentuhnya, aku bisa merasakan angin-angin sejuk. Aku bisa merasakan telunjukku masuk ke dalam cermin--
“ANTONIO!”
Aduh, sepertinya ayah sudah datang. Mengganggu saja. 
“Iya, Ayah! Sebentar, aku lagi pipis.”
“Lama sekali kamu. Ayo dimakan ini. Makan bersama ayah.”
Ih, yaudah deh aku keluar saja.
Aku keluar dari toilet dan duduk di meja makan bersama ayah. Sepertinya ayah sangat lelah karena pekerjaannya. Ayahku hebat sih. Dia bisa mendidikku dan menjagaku sampai saat ini. Walaupun terkadang ayah keras sekali padaku sampai aku tidak bisa memilih apapun dalam hidupku. Hanya uang saja yang diberi. 
“Antonio, kenapa kamu melamun? Ayo dimakan.”
“Oh, ayah..”
“Ada apa?”
“Ayah beli cermin baru?”
“Hah? Tidak. Mengapa? Cermin kamar mandimu rusak?”
“Oh tidak ayah. Aku cuma ingin tanya aja.”
“Tidak usah banyak tanya, ayo dimakan keburu dingin.”
--
Ini masih jam 1 malam. Susah banget tidur. Apa aku main switch ya sebelum aku tidur? Oh-- apa itu? Halo? Ada yang ngajak aku berbicara? Aku tadi mendengar suara perempuan memanggilku dari luar jendela. Kok tidak membalas sih? Ah sudahlah, aku ke toilet saja. Eh-- sebentar. Aku mencium bau itu lagi. Tetapi kenapa ada seorang laki-laki yang gagah di dalam sana-
“Selamat malam, Antonio.” 
“Oh- hai? Kamu siapa?”
“Perkenalkan saya Aryo. Kamu telah diutus menjadi seorang raja di kerajaan Majapahit yang terpisahkan. Kami memisahkan diri dengan kerajaan Majapahit dengan alasan--”
“Ha- sebentar. Aku? Diutus menjadi seorang raja? Kenapa?”
“Antonio. Kamu adalah orang yang sangat tepat untuk melanjutkan nasib kerajaan kecil yang dipisahkan dari kerajaan Majapahit. Dengan alasan, raja kami tidak ingin memperjuangkan kemerdekaan kerajaan kami kembali dan kamu lah satu-satunya orang yang sangat tepat untuk melanjutkan kerajaan kami.”
“Ah begitu. Baik, tetapi ada syaratnya.”
“Apa itu, Antonio?”
“Saya ingin mendapatkan segudang emas dan seorang wanita idaman yang akan saya nikahkan nanti ketika saya menjadi raja.”
“Baik, Antonio. Apakah kamu berjanji setelah saya memberikan itu semua kepadamu, kamu akan menjadi raja dan memperjuangkan kerajaan kami?”
“Saya janji.”
-- 
“Selamat pagi, Mas Nio.”
“Selamat pagi”
Matahari di hari sabtu ini tampak berbeda dari sabtu-sabtu sebelumnya. Aku mengawali pagi dengan berjemur di depan balkon kamar dengan segelas teh hangat dan roti panggang. Suasana rumah di pagi hari ini terasa berbeda dari sebelumnya. Hatiku senang sekali rasanya dengan suasana seperti ini--
“ANTONIO! AYO TURUN! Ada tamu menunggu.”
Urgh. Ayah teriak-teriak mulu. Kenapa sih? Kenapa tidak dengan suara yang lebih halus saja. Masih pagi gini sudah bikin aku kesal saja. 
“Iya, aku turun.” 
Sesampainya di bawah, ada seorang wanita yang sedang senyum-senyum melihatku turun dari tangga. Aneh sekali. Kira-kira siapa wanita itu?
“Hai, anak ganteng. Sini duduk dengan ibu.”
“Ibu?”
Hah? Ibu? Berani sekali ibu datang ke rumah. Setelah apa yang telah ibu perbuat kepadaku? Meninggalkanku begitu saja? Sebentar--
“Bagaimana ibu bisa datang kemari, ayah?” “Oh, ayah undang ibu kesini. Kamu tidak kangen dengan ibumu?”
“.. tidak! IBU UDAH TINGGALIN AKU! PERGI--”
AH-- wanita tua itu. Bikin aku kesal saja. Aku lari ke kamar. Bukan-- Aku pergi ke kamar mandi. Untuk-- bertemu dengan istriku. Aku akan menjadi seorang raja. 
“Wahai para rakyat, berikan sambutan untuk raja baru kita. Raja Antonio. Yang telah bersedia untuk membantu kemakmuran rakyat kerajaan kecil dari kerajaan Majapahit ini.”
“Baik. Terima kasih, Aryo. Mana calon istriku dan segudang emas yang aku inginkan?”
“Oh, tentu sudah dipersiapkan, Tuan Raja. Baik. Sheila, ayo masuk.”
“Wah, cantik sekali tampangnya. Badan sempurna. Wajah. Rambut. Aku suka.”
“Oh begitu kah, Tuan Raja?”
“Aku ingin menikahinya sekarang juga. Panggilkan semua rakyat, aku akan mengadakan pesta pernnikahan yang sangat megah.”
“Baik, Tuan Raja.”
Sudah malam. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Tidak sadar besok hari Senin. Sekolah lagi. Ah rasanya tidak ingin pergi. Aku ingin kembali lagi ke dunia toiletku. 
“Sheila, dewiku. Bagaimana dengan pesta pernikahan kita?”
“Semua sudah dipersiapkan, tuan.” “Oh.. apakah kamu yakin rakyat kita akan suka? Aku ingin rakyatku bahagia dengan kekayaanku. Kekayaan kita berdua, dewiku.”
“Aku yakin.”
“Baiklah, mari kita istirahat untuk esok hari.��
--
“Mas Nio, ayo bangun. Waktunya sekolah. Sarapan dan supir sudah siap.”
Oh, sekolah? Aku tidak ingin sekolah. Aku ingin bertemu dengan Sheila setiap harinya. Juga aku ingin membuat pesta rakyat yang besar-besaran. Hari ini adalah hari pernikahanku.
“Engga. Aku hari ini ada acara besar! Jangan ganggu istirahatku.”
“Acara besar apa, Mas?”
“Acara pernikahanku dengan Sheila!”
“Pernikahan? Mas ini bagaimana sih. Ngelantur saja. Masih ngantuk ya?”
Mbak bagaimana sih?! Tidak mengerti apa. Aku tidak ingin sekolah lagi. Aku telah diutus menjadi raja. Aneh sekali--
“ANTONIO! AYO BERDIRI!”
“Ayah! Aku tidak bisa sekolah lagi! Aku ingin menikahi seorang wanita di suatu kerajaan--”
“HAH?! Kamu ini tidak jelas sekali! Dasar anak kurang ajar! Acara pernikahan apa?! Kamu ini masih SD! Kerajaan apa?! MIMPI!” 
Ayah menamparku keras. Pipiku terasa sakit sekali. Bagaimana ini? Kalau pipiku merah seperti ini, apakah Sheila masih mencintaiku? AH sebentar aku sepertinya tidak harus berpikir seperti ini. Aneh. Nanti ada yang mendengar pikiranku. Rencanaku untuk membangun kerajaanku. 
“Kalau kamu tidak bangun dari kasurmu, Ayah seret kamu! AYO!”
“Ayah ada hutang?”
“APA?!”
“Aku ada emas segudang! Aku bisa berikan ke ayah sekarang juga. Ada di toilet--”
“KAMU SUDAH GILA!”
Ayah memukulku. Kali ini di punggungku. Punggungku sampai mati rasa. Ayah ini susah sekali dibilangin. Sangat keras kepala. Oh tunggu, Sheila tidak boleh tahu ayahku ini sangat keras.
“Ayah! Tunggu dulu! Jangan sakiti, nio! Aku akan panggilkan Aryo!”
“Aryo siapa? Sini suruh menghadap ayah!”
“ARYO!”
Tidak ada jawaban.
“ARYO KEMANA KAMU! BANTU SAYA!”
Masih tidak ada jawaban. 
“ARYO!!!!!!! TOLONG SAYA--”
Aku marah. Geram… Aku mendengar bisikan.
“Dokter, pasien tidak dapat dikendalikan..”
“Injeksi obat antipsikotik.”
“Sekarang, dok?”
“Cepat-- Antonio? Apakah kamu sadar?”
“Pasien tidak menjawab, dok.”
“Panggilkan keluarganya.”
--
Aku terbangun di bawah lampu-lampu kamar.. Warna putih.. Tidak seperti kamarku. 
“Antonio? Apakah kamu sudah sadar?”
“Saya sadar tetapi--”
“Baik, bapak Aryo sudah datang menjenguk. Apakah kamu ingin bertemu?”
“Bapak Aryo?”
“Iya, dia yang merawatmu selama ini di Rumah Sakit.”
“Mana ayahku?”
“Ayah? Ini sudah 5 tahun, Antonio. Apakah kamu masih lupa? Ayah dan ibumu sudah cukup lama menghilang. Nah, bapak Aryo yang merawatmu disini. Beliau yang memiliki panti asuhan yang disana kamu dibuang oleh orang tuamu sejak bayi.”
“Aku.. dimana?”
“Kamu di Rumah Sakit Jiwa, Antonio.”
“Aku-- Aku memiliki rumah yang besar dan memiliki kaca ajaib! Aku akan menjadi seorang raja--”
“Antonio, jangan biarkan bapak Aryo menunggu terlalu lama. Setelah ini kamu dapat bertemu dengan Sheila.”
“Istriku?”
“Teman mainmu selama kamu di panti asuhan. Kamu tidak ingat?”
1 note · View note
melinmenulis · 4 years
Text
Meja Makan
Alunan musik keroncong berdengung dari kejauhan. Suara air sungai mengalir setelah derasnya hujan yang datang semalam. Seorang anak berlarian kesana kemari menghasilkan suara teriakan kegembiraan atas kehadiran teman-temannya yang membawa loncat tali untuk dibuat main bersama. Angin yang sejuk dengan matahari yang tertutup oleh awan-awan tebal. Nina, wanita cantik berusia 25 tahun yang berambut panjang berkulit sawo matang, sedang duduk manis di depan rumahnya menikmati cuaca pagi yang indah.
“Mas Joko, reneo disek.” Suara Nina dengan kelembutan seorang wanita Solo memanggil tukang kebunnya. 
“Ada apa, cah ayu?” Jawab Mas Joko sambil menyirami tanaman-tanaman hijau yang berada di dekat Joglo di kediaman keluarga Nina.  
“Iki lho, Bapak ada keperluan dengan Mas Joko.” 
“Yongalaah, yowes tak urusi disek yo taneman-tanemane.” 
Terdengar suara lantang dari dalam rumah yang bernuansa Jawa Timur kediaman keluarga Nina. “Cah ayu eraaam, nyapo duduk neng arepan? Reneo! Dolan karo adikmu neng njero. Cah wedok koyo sampean ora usah nangkring neng arepan omah. Ra oleh.” 
“Iyo sek to, Pak.”. Nina berdiri dengan perasaan sedikit kesal karena Bapak menyuruhnya masuk ke dalam rumah untuk bermain dengan adik kesayangan keluarga, Adipati. 
Suasana jam 7 pagi di kediaman rumah keluarga Nina telah menghasilkan suara-suara dari dapur dan juga meja makan. Ibu Nina, Tris, dengan pembantu-pembantu wanitanya, menyiapkan makanan-makanan untuk sarapan keluarga. Rutinitas setiap pagi yang dilakukan oleh keluarga ini adalah untuk selalu makan di meja makan setiap sarapan dan makan malam. Adipati, anak laki-laki yang sangat dibanggakan keluarga yang baru saja berulang tahun ke 24 tahun, sedang dihadapi oleh tekanan ekonomi yang besar. Terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 ini, membuat keluarga ini cemas akan kestabilan ekonomi.
“Nduk, ayo bantu Ibu memasak di dapur dulu. Cah wedok harus bisa mengurus suami nanti.” Ibu Nina dengan suara yang cukup lantang dari dapur yang sedang memotong bawang merah dan bawah putih. 
“Yah bu, biarin aku istirahat sebentar. Aku habis diskusi dengan Adipati mengenai krisis ekonomi yang sedang--” Argumen Nina dipotong oleh Ibu.
“Halah, ayo to, ora usah kebanyakan gaya sampean. Sampeyan iki lho wes umur 25 tahun. Mau sampe kapan kamu malas-malasan seperti ini? Kapan mau punya suami?”.
“Aku ora ngurus!” Nina berteriak di depan meja makan dan Bapak tidak segan-segan ingin menampar Nina yang dipandangannya kurang ajar. 
“NINA! Njaluk ngapuro karo Ibu! Sampeyan iki lho, cah wedok wani tenan berteriak seperti itu. Cangkemmu kui wuelek tenan! Saiki lingguh neng meja makan kene!”.
Suasana meja makan cukup tegang setelah kejadian itu. Nina duduk disebelah Adipati dan orang tua mereka duduk di seberang meja.` Adipati terlihat tenang menyuap Nasi Goreng Kampung buatan Ibu dengan Ayam Goreng yang dimasak sangat sempurna dengan kremesan sebagai makanan pelengkap. Nina terlihat sangat tertekan dan menahan amarahnya.
“Kita harus bisa memikirkan finansial keluarga kita, Pak. Kita bisa lama-lama menunggu usaha keluarga bangkrut. Rekan kerjaku yang merantau ke Jakarta, si Andi, sedang berkeluh kesah tentang pekerjaannya. Katanya sulit sekali.” Suara gagah Adipati menggelegar di satu ruangan meja makan. 
“Iyo, cah bagus. Bagaimana dengan usaha Emas kita?”
“Baik-baik saja, tapi yah begitu pak, lagi krisis. Kanan-kiri-depan-belakang sedang sulit…. Apakah kita jadi pindah ke Jakarta?” 
“Ora perlu, cah bagus. Seng penting sampeyan nyambut gawe ae. Suruh kakakmu itu, bilang suruh cepat nikah.. cepet cari bojo.” 
Nina pun tidak bisa menahan amarahnya dan tidak segan-segan untuk menggebrak meja. Tatapan Bapak Nina tajam melihat Nina berdiri dan menggebrak meja yang menghasilkan suara yang cukup kencang dan mengagetkan orang-orang di dapur.
“Bapak! Sampeyan iki lo keterlaluan. Kulo kakak paling sepuh ing ngriki lan kulo mboten nate dipunsukani pilihan! 2 minggu lalu Indra, 1 minggu lalu Laksmana, kemarin Abiroma. Kulo mboten remen kalih piyambakipun sedoyo! Napa kajengipun kulo milih pasangan gesang lan perjalanan kulo piyambak!” Nina berteriak sekencang-kencangnya dan tidak segan-segan lari mengarah keluar rumah. 
Tepat pukul 3 sore, matahari terik menyinari kota Solo. Tidak sedikit petani yang sedang mencabut padi-padi segar yang sudah siap diambil. Suara burung bersiul-siul yang bertengger di ranting pohon. Bunyi percikan air sungai yang mengalir cukup deras. Terdengar suara tangisan Nina yang sedang duduk di pinggir sungai. 
“Nuwun sewu, cah ayu.” seorang lelaki muda berkulit sawo matang sedang membawa banyak sekali padi yang siap untuk dibawa pulang untuk diproses. Lelaki itu tidak sengaja melihat seorang wanita muda yang sedang menangis dalam perjalanannya.
“Wonten nopo, Mas?” Tangan Nina yang langsung mengusap air matanya dan melirik lelaki yang sedang membawa padi dan sepeda kunonya. 
“Kenging menapa panjenengan muwun?” Suara halus lelaki tersebut secara tidak langsung membuat Nina berhenti menangis. 
“Mboten nopo-nopo, Mas. Mas tiyang pundi?” 
“Kulo tiyang ngriki asli. Beh beh, kulo lelah sanget ngurus bisnis keluwargi. Angel eram ekonomi saiki, beh jan apes. Oh, Mbake, kulo wangsul sek yo, Mbak. Amit--”
Percakapan singkat tersebut membuat Nina merasa lebih lega dibandingkan sebelumnya. Tidak lama, Nina bergegas balik ke rumah untuk bertemu kembali dengan keluarganya untuk meminta maaf atas perbuatan kasarnya tadi. Ketika Nina sudah sampai di depan rumah, Mas Joko sudah menunggu kedatangan Nina. 
“Non, kemana saja? Bapak dan telah mencari.”
“Oh, tidak apa-apa pak.” 
“Kalau bisa jangan keluar rumah dulu, cah ayu. Soeharto sedang mengurangi subsidi BBM. Takut ada kerusuhan, Non.”
Dari kejauhan, terdengar Bapak berdiri di depan pintu utama rumah dengan wajah penuh dengan kekhawatiran. Nina menghampiri Bapak dengan berlari sekencang mungkin. 
“Bapak, maafkan aku ya. Aku terlalu keras dengan--”
Bapak langsung memeluk Nina erat dan sedikit meneteskan air mata. 
“Ojo ngono yo, nduk. Maafkan Bapak.” 
Pada pagi hari, Nina membantu Ibu membawakan makanan-makanan untuk sarapan keluarga. Kali ini Bapak Nina tiba-tiba menggunakan baju Polisi yang di idam-idamkan selama sejak dia kecil. 
“Wuapik yo seragamku.” kata Bapak dengan senyum sumringah. 
“Iyo, pak. Doakan usaha Emas kita lancar ya.”Adipati pun sedang bersiap-siap untuk bekerja setelah beberapa hari tidak bekerja karena pekerjaannya di Toko Emas hampir bangkrut. 
“Aku karo Nina belanje sek neng Matahari Mall, yo.” Sahut Ibu yang sedang bersiap-siap untuk mengajak Nina berbelanja ke Mall. Keluarga Nina sudah siap untuk beraktivitas untuk hari yang cerah ini. 
“Cendol-cendol e, mas e mbak e.” Tukang es cendol melewati depan Toko Emas yang dimiliki oleh keluarga Nina tepatnya di depan Masjid Agung. Teriknya matahari pada pukul 10 siang tidak membuat para pekerja lengah dan berputus asa untuk mencari uang. Tidak lama setelah itu, keramaian datang dari kejauhan. Setidaknya ada puluhan anak-anak muda mengambil alih pertokoan di sekitar. Teriakan massa membuat Adipati yang kebetulan sedang ada di Toko Emas tersebut merasa cukup panik. 
“AYO SEMUA KELUAR! BAWA EMAS-EMASNYA CEPAT!”. Adipati menyuruh karyawan toko untuk segera membawa emas keluar dari toko. Secara cepat tanggap, Adipati membawa tulisan “Asli Pribumi, Asli Wong Jowo, Asli Muslim” dan menaruhnya di depan Toko untuk menghindari ancaman para massa yang rusuh. Namun, hal tersebut tidak membuat anak-anak muda berhenti menjarah Toko Emas tersebut. 
“KELUAR KALIAN SEMUA!” Teriak para anak-anak muda sambil membawa emas-emas dan mencegat jalannya Adipati. Kaki dan tangan Adipati dipenuhi oleh luka memar dan sayatan karena senjata tajam yang dibawa oleh para massa. 
“Nina, nduk, cah ayu, belanjaannya dibawa yang bener dong.” Ibu dan Nina sedang berbelanja pakaian untuk merayakan ulang tahun Adipati di hari Minggu nanti. 
“Iyo, buk. Ini kenapa barangnya banyak sekali? Nanti gimana bawanya?”
“Bisa, nduk.”
“Buk, ibu mencium bau asap dari lorong sana?”
Pandangan Nina tajam melihat puluhan massa menjarah Mall yang sedang dikunjunginya bersama ibunya. Nina melihat langsung tindakan kasar yang dilakukan oleh para massa kepada para penjual-penjual di Mall. Ibu menarik tangan Nina dengan sangat erat. Teriakan para penjual makin kencang. Barang-barang berjatuhan dan berhamburan. Asap tebal menutupi penglihatan para pengunjung. Situasi Mall menjadi sangat mencekam.  
Selagi Nina melihat sekitar, seorang laki-laki, berkulit sawo matang, merampas barang-barang yang dimiliki Nina dan Ibu. Nina pun menarik barang-barangnya kembali sambil berteriak “Jangan tarik! Saya pribumi, Ibu saya pribumi, saya wong jowo--” Teriakan Nina terputus pada saat Nina melihat wajah familiar yang pernah ia temui sebelumnya.
“Awakmu? Sing nggowo pari dek wingi?”
Mendengar kata-kata tersebut, laki-laki tersebut dengan cepat membawa belanjaan Nina dan Ibu. Dengan kasar, dia pun mendorong Nina dan Ibunya ke lantai lalu meninggalkan mereka dalam asap hitam yang tebal. Nina membantu Ibu bangun sambil menutup mulut dan hidungnya untuk menghindari asap. Dengan sisa tarikan nafas yang ada, Nina menggendong Ibu dan tetap melanjutkan perjalanannya untuk keluar. 
“Ibu, kulo badhe wangsul. Pulangkan kulo, bu.” Nina merasa sangat ketakutan dan kesakitan sambil berlari mencari jalan keluar melewati asap. 
“Komandan! Sedang terjadi kerusuhan di Jalan Selamet Riyadi. Ratusan ribu orang memenuhi jalan! Banyak korban luka-luka!” Rekan polisi menepuk pundak Bapak dari Nina yang menjadi salah satu pimpinan kepolisian. Tanpa basa-basi, Bapak segera memanggil para anak buah untuk turun ke lapangan memastikan keamanan para warga. Bangunan rumah ibadah, pertokoan, mall dan bank rusak. Para massa mulai melempar batu dan merampas barang dagangan yang berada di toko. Matahari Mall telah dipadati ribuan orang yang melempar batu dan membakarnya. Para polisi siap melawan para massa. Namun, para massa tidak segan-segan melawan para polisi. Batu dilempar. Senjata tajam. Darah. Keringat.
“BUNUH POLISI! BUNUH POLISI!” teriak para mahasiswa yang menjadi salah satu massa yang membuat ricuh. 
Tidak lama setelah itu, darah mengalir dari kepala Bapak Komandan. Terjatuh tidak sadarkan diri. 
“Tulung aku, Gusti Allah.”
Suasana kediaman keluarga Nina sunyi sepi. Daun-daun hijau bertebaran. Kaca rumah pecah yang menyebabkan beling bertebaran di sekitar pintu utama. Pepohonan yang sebelumnya hijau, sekarang menjadi kecoklatan dan layu. Dapur tidak lagi diisi oleh teriakan para pembantu yang sibuk memasak. Meja makan kosong. Tidak ada sarapan maupun makan malam. Yang tersisa hanyalah memori yang tidak akan pernah pudar. Tidak akan pernah tiada. 
2 notes · View notes