Tumgik
mdzakyf · 4 years
Text
 "Wahai anak Adam! Kalian tidak lain hanyalah kumpulan hari, setiap satu hari berlalu maka sebagian dari diri kalian pun ikut pergi."
-Hasan Al Bashri
Selamat tahun baru hijriah!
3 notes · View notes
mdzakyf · 4 years
Text
No Excuse!
banyak jurnal dan hasil penelitian mengatakan salah satu faktor utama penyebab kenakalan remaja adalah keluarga yang tidak harmonis dan kurangnya kasih sayang orang tua.
Pada perjalan menuju akhir zaman ini, istilah kenakalan remaja berkembang menjadi penyimpangan seksual, zina, baku hantam, konsumsi narkotika dan jenis penyakit lainnya.
Maka kemudian, saya adalah termasuk bagian dari secuil warga yang menyuarakan perlunya di tegakkan RUU Ketahanan Keluarga. bagaimana keluarga berperan sangat penting untuk terwujudnya negara yang kokoh. setiap rumah yang kemudian dari dalamnya melahirkan kebaikan adalah satu sumbangsih menuju perbaikan ummat ini.
Tapi disisi lain, sebagai anak yang juga pernah dibesarkan orangtua. mengalibikan kondisi keluarga dan cara didik yang kita terima untuk menjadi alasan ketidakberesan kita adalah wujud dari pendeknya akal dan sempitnya nalar. Maka mari kita belajar dari seorang anak yang memiliki kisah masa kecil paling memilukan.
Namanya Yusuf, dipilah menjadi salah satu surah dalam Al-Qur'an. sebagaimana yang dikisahkan, dia mengalami begitu banyak hal di masa lalu yang mungkin, -bagi ukuran psikologi kita hari ini-, dapat menjadi pembenaran untuk kelak berperilaku menyimpang.
Pertama; saat masih menjadi bocah kecil, sibling rivalry (persaingan antar saudara) di dalam keluarganya telah amat parah. Dengki kakak-kakaknya pada dirinya begitu tinggi. Kebencian pada adik sendiri itu meruyak menjadi permufakatan yang amat jahat.
Kedua; dia mengalami percobaan pembunuhan yang amat sadis, dilempar ke dalam sumur menjelang senja. Bayangkan sosok mungil itu direnggut dari Ayah dan Bunda yang menyayanginya, terluka, sendirian, sempit, gelap, sunyi. Pengalaman semacam ini amat memicu trauma. Claustrophobia (takut pada ruang sempit tertutup) dan Auchlophobia (takut pada gelap) dapat menjadi gejala yang membayangi hidupnya.
Ketiga; dia menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia). Kafilah niaga yang tak sengaja menemukannya ketika mengulurkan timba ke dalam sumur bersegera menjualnya sebagai budak dengan harga amat murah.
Keempat; dia mengalami sexual abuse (kekerasan seksual) dari orang yang amat dihormatinya. Nyonya rumah yang muda dan cantik itu mengurungnya di ruangan tertutup, menggodanya, dan menarik bajunya hingga robek. Lalu ketika Sang Tuan pulang, wanita bertipudaya itu balik memfitnahnya.
Kelima; dia mengalami sexual harrasment (perundungan seksual); ketika dengan niat balas dendam atas pergunjingan para wanita bangsawan padanya, oknum istri pejabat yang menggodanya itu menghimpun sebuah perjamuan, memaksa sang bujang tampil dengan pesonanya di tengah mereka. Para wanita yang mengiris jari itu, memintanya melakukan ‘sesuatu’ yang dijawabnya, “Duhai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada melakukan apa yang mereka ajakkan padaku.”
Keenam; kriminalisasi. Dia harus hidup dalam penjara bukan karena kesalahannya. Dari sebuah kehidupan bangsawan yang megah dan mewah dia dijerembabkan ke dalam sel yang sempit dan jorok. Dia menjalaninya dengan tetap berdakwah pada kawan sejerujinya.
Ketujuh; pengkhianatan. Kawan yang dinubu’atkannya akan bebas dan menjadi penuang minuman raja, telah dipesan agar menyebut tentang dirinya di hadapan sang penguasa demi tegaknya keadilan. Tapi kawan itu lupa. Bertahun-tahun lamanya.
Jikapun sampai di sini saja; bukankah cukup alasan baginya untuk merasa bahwa hidupnya hancur, untuk menyimpan dendam, untuk merasa dunia ini kejam, untuk menyalahkan berbagai pihak dan hal, serta untuk melakukan sesuatu yang keji namun selalu ada pembenarannya?
Sepahit apapun hidup kita, segetir apapun pengalaman diri, separah apapun lika-liku yang kita lalui; Yusuf adalah hujjah Allah agar kita tetap gagah menghadapi hidup ini. Semua insan hidup dalam berbagai bentuk ujian. Barangkali bentuknya tak serupa. Pun pula kadarnya berbeda. Tapi hakikatnya tetap sama.
Terkahir, setiap kita adalah jiwa yang bebas. Sepahit apapun masa lalu, kita berhak memilih akan menjadi apa di masa yang akan datang.
Wallahu'alam bishshowab.
Sumber : kajian ust Salim & kesotoyan pribadi.
11 notes · View notes