Tumgik
matbarim · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
The Lord of the Rings: The Two Towers (2002) dir. Peter Jackson
60K notes · View notes
matbarim · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sudah hampir 4 tahun lalu, inilah yang tersisa: kepingan potret dari pertunjukan Pintu Tertutup. Dialog adegan terakhir dari sana sesekali masih mengiang di kepala, “mari mulai lagi.” Apakah perlu?  
0 notes
matbarim · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Artefak dari pertunjukan terakhir sebelum jeda. Kendati judulnya adalah akhir, sekarang saya ingin memaknainya sebagai jeda sebelum mulai (lagi). Kebohongan, juga kejujuran--sebagaimana yang disampaikan pemain dalam pertunjukan itu, selalu ada. Bukan sebagai hitam dan putih, melainkan kesadaran untuk berani ambil resiko. 
Apa, sih?
0 notes
matbarim · 2 years
Quote
Jika bukan kau, lalu siapa lagi yang memberi api pada pertunjukan ini?
Nukilan dari puisi Jineman Ular Kambang (2006) karya Gunawan Maryanto ini sedang sering-seringnya digaungkan oleh teman-teman di Yogyakarta untuk merayakan 100 hari kepergian Cindhil. Terkesiap rasanya ketika mengingat cita-cita yang memanggil-manggil kembali meminta dilanjutkan. Kalau bukan aku, siapa lagi? Siapa lagi?  
0 notes
matbarim · 5 years
Text
Stagnan. Dekaden. Monoton. Jeda.
Diamlah.
0 notes
matbarim · 5 years
Quote
“Kita telah banyak membaca karya sastra, kisah yang memesona, mengharukan, bahkan yang memaksa kita bertindak dan berubah. Kita semua dibesarkan oleh cerita, oleh karya sastra yang memberi kita bahagia, kegirangan, pengalaman dan harapan. Melalui pilihan kata dan penyampaiannya yang khas mengenai berbagai kondisi kemanusiaan yang ada, cerita-cerita itu membentuk pemahaman dan wawasan kita.”
Riris K. Toha Sarumpaet (2010)
1 note · View note
matbarim · 5 years
Text
menggoreng kewajiban
menunda makan malam selama dua tahun telah membuat ayah hidup lagi di pojok dapur. ibu menangis ketika membuat sop, tanpa sadar menatap sudut dinding dekat jendela. hampir satu windu kami acuh. bulan depan pernikahan kakak akan penuh dengan makanan lezat, dibumbui air mata ibu dan tatapan ayah. adik sakit perut, mondar-mandir ke kamar mandi, membawa semua peradaban dari kaleng coca-cola. tetangga mengintip, yang dilihat hanya aku dan kegelisahan afrizal malna. tahun baru nanti mereka semua berjanji akan ke masjid, mendengarkan kisah-kisah di meja makan.
1 note · View note
matbarim · 5 years
Text
Sesajen
Kupersembahkan triliun detik
demi memajang selembar potret
yang kau gantung di kamar ibu
Bilamana tidak menjadi
suaka yang kau anggap ada,
menunda serapah sebagai doa,
mengubah tulang ikan asin jadi percaya,
dan membuat tempat sampah penuh;
Aku tidak akan tidur lagi
sampai kau betul-betul menari
21 April 2019
1 note · View note
matbarim · 6 years
Quote
Malas, maksudmu sungguh baik; terima kasih. Sekarang, izinkan saya bergerak dan bangkit.
Bismillahirrahmanirrahim.
1 note · View note
matbarim · 6 years
Text
Shalat Witir
Dengan menyebut namaMu: Allah - yang maha pengasih lagi maha penyayang. Aku shalat menghadap kiblat untuk menyembahMu dan dengan namaMu, yaa Allah.
Allah maha besar. Allah maha besar; sungguh sempurna kebesaranNya. Segala puji adalah milikMu, yaa Allah; sungguh sempurna segala pujian untukMu. Maha suci Engkau, yaa Allah; baik di waktu pagi maupun petang. Kuhadapkan wajahku - hatiku - kepada Engkau; Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus juga menyerahkan diri, dan aku bukanlah bagian dari golongan orang-orang yang menyekutukanMu. Sesungguhnya sholatku; ibadahku; hidupku; matiku, hanya untuk Allah;Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukanNya, dan aku adalah bagian dari orang-orang muslim.
Dengan menyebut namaMu: Allah - yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji adalah milikMu, yaa Allah; sungguh sempurna segala pujian untukMu, Tuhan semesta alam. Allah - Engkau yang maha pengasih dan penyayang. Allah - Engkau yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah, ya Allah, kami memohon pertolongan. Tunjukanlah kami jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan jalan mereka yang Engkau murkai, bukan pula jalan mereka yang sesat.
Dengan menyebut namaMu; Allah - yang maha pengasih lagi maha penyayang. Dialah: Allah - yang maha esa; Allah - yang kepadaNya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.
Dengan menyebut namaMu; Allah - yang maha pengasih lagi maha penyayang. Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan mahklukNya; dari kejahatan malam jika telah gelap gulita; dari kejahatan perempuan-perempuan tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul; dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila mereka dengki.
Dengan menyebut namaMu; Allah - yang maha pengasih lagi maha penyayang. Aku berlidung kepada Tuhan yang memelihara dan menguasai manusia; raja manusia; sembahan manusia, dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi; yang membisikkan kejahatan ke dalam hati manusia, dari golongan jin dan manusia.
Allah maha besar. Maha suci Allah yang maha agung dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha agung dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha agung dan memujilah aku kepadaNya.
Allah mendengar pujian orang yang memujiNya. Yaa Allah, bagiMu segala puji dari seluruh langit dan bumi, dan apa yang Engkau kehendaki sesudah itu.
Allah maha besar. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya.
Allah maha besar. Yaa Allah, ampunilah dosaku, belas kasihilah aku, cukupkanlah kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rizki kepadaku, berilah aku petunjukMu, berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunanMu kepadaku.
Allah maha besar. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya. Maha suci Allah yang maha tinggi dan memujilah aku kepadaNya.
Allah maha besar. Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan, dan kebaikan, itu milik Allah. Salam sejahtera dan selamat bagimu, wahai nabi Muhammad. Demikian juga rahmat Allah dan berkahNya. Salam sejahtera dan selamat semoga tercurahkan juga untuk kami dan seluruh hamba Allah yang sholeh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. Yaa Allah, limpahkanlah rahmat kepada nabi Muhammad. Yaa Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga nabi Muhammad. Sebagaimana Engkau sudah memberi rahmat kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Yaa Allah, limpahkanlah berkah kepada nabi Muhammad dan keluarganya. Sebagaimana Engkau  sudah memberi berkah kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Bahwasanya, Engkaulah Tuhan yang sungguh terpuji dan sangat mulia di seluruh alam.
Semoga keselamatan, keberkahan, dan kasih sayang dari Allah, selalu menyertai kalian. Semoga keselamatan, keberkahan, dan kasih sayang dari Allah, selalu menyertai kalian.
0 notes
matbarim · 6 years
Text
Karena Ketika Sedang Marah Itu Bukanlah Dirimu Sendiri
Jarang sekali kau berbicara atas nama dirimu. Selama aku mengenalmu, mencoba memahamimu, kamu sering mengatakan bahwa yang kamu lakukan adalah untuk temantemanmu, atau untuk keluargamu, atau untuk ayahmu yang sudah tiada itu, atau juga untuk mereka yang kurang seberuntung dirimu, atau barangkali untuk kemanusiaan.
Ternyata, sudah terlalu banyak atau ketika sekarang aku mulai berbicara lagi denganmu. Aku tahu, meskipun kamu sekarang sedang berada dalam titik terendah di hidupmu - seperti yang tadi kamu katakan - aku tidak akan pernah menang jika sedang berbicara atau berdebat denganmu, sampai kapanpun itu.
Sebenarnya aku yakin, kau tidak akan mempermasalahkan bagaimana struktur kalimatku saat berbicara. Manusia itu dinamis, begitu juga mulut dan bahasa. Setiap orang berhak mengatakan apa yang mereka mau katakan. Meskipun barangkali, ada beberapa kadar yang menjadi ukuran apa yang dikatakannya itu. Sekali lagi, barangkali, kau adalah salah satu orang yang percaya bahwa manusia selalu berbicara bahkan ketika mereka diam. Sayangnya, ada yang berbeda dengan diammu.
Kamu diam begitu lama. Tiba-tiba bicara begitu banyak. Tanpa jeda. Ada amarah dalam kata-katamu. Ada kecewa dalam suaramu. Ada takut dalam tatapan matamu ketika sedang bicara meluap-luap tadi.
Tidak apa. Bicaralah. Barangkali kau memang sedang ingin didengar. Tak apa. Luapkanlah. Jika sudah habis, coba ingat baik-baik; kamu tidak seperti itu, bukan? Lupakanlah kata dinamis yang sering kamu sebutkan itu. Tuhanmu, Tuhan kita, menyukai orang-orang yang tetap berada di jalannya, bukan?
1 note · View note
matbarim · 6 years
Text
The Mountain and The Squirrel
by Ralph Waldo Emerson
The mountain and the squirrel   Had a quarrel;   And the former called the latter ‘Little Prig.’ Bun replied,   ‘You are doubtless very big;           But all sorts of things and weather   Must be taken in together,   To make up a year   And a sphere.   And I think it no disgrace   To occupy my place.   If I’m not so large as you,   You are not so small as I,   And not half so spry.   I’ll not deny you make   A very pretty squirrel track;   Talents differ; all is well and wisely put;   If I cannot carry forests on my back,   Neither can you crack a nut.’
1 note · View note
matbarim · 6 years
Text
Barangkali Paradoks
Seorang nyonya merangkak-rangkak tiap hari,
“Anakku hilang saat bermain peran. Haruskah aku ikut berperan, dan pergi mencarinya?”
Sementara itu, gelap makin semaput meramu siluet Tugu Tani yang menciut
0 notes
matbarim · 6 years
Text
Aku bermain maka aku ada.
-- Naon Congsky
1 note · View note
matbarim · 7 years
Text
Ingin yang baik adalah ingin yang selesai.
Tumblr media
0 notes
matbarim · 7 years
Text
Adalah Kita Sampai ke Suka
Ini hanyalah cerita biasa. Tentang balon yang ditahan ketika ingin terbang untuk menatap persada dari jauh. Ia tertahan di bumi yang berputar dalam kebulatan tanpa akhir. Mendengarkan orang-orang meronta-ronta memaknai makna, “Bukan cuma itu. Masih ada lagi kakakku yang ingin tahu siapa kamu. Belum lagi pamanku. Katanya, di sana tidak ada apa-apa, lebih baik di sini memetik rumput meski hanya sejumput.”
Tidak sedikit pohon-pohon di bumi hampir mati, oksigennya mulai megap-megap. Mereka mencari ruang untuk diisi dalam-dalam sehingga orang-orang bisa menghirup tanpa lagi mencari selang. Semua tau mereka risau, tetapi mereka tetap bersahaja asal tiada lagi yang terbang. Semua yang genap akan menjadi ganjil ketika salah satu hilang.
Keterasingan, barangkali, sudah menjadi libido yang selalu meminta kembalian. Semua tahu bahwa semua ini serupa; selokan masih terus kering meskipun hujan; akar pohon beringin masih menghujam ke dalam tanah meskipun gersang; semen masih memainkan perannya sebagai perekat meski banyak fondasi bangunan yang gagal dan dibuat berulang-ulang. Sementara semua itu berlangsung, deru knalpot meringgis merdu meminta jatah udara yang direbut suara.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang sangat biasa. Tentang kain yang dibentangkan di bawah meja untuk orang-orang yang sudah bosan bicara di atas meja. Tidak perlu lagi mereka mengukur seberapa samanya kaki kursi untuk diduduki. Berdiri tegap bukan lagi keharusan yang bisa dibeli. Sekarang ruang tidur sudah menjadi urusan tanah untuk menghitung ikhlas laba si bapak penjual kantong plastik. Biarkan sore kencan dengan tiang bendera yang belum selesai dibangun itu. Kita masih bisa mencari pengganti suaranya, di setiap rebusan jagung ibu di rumah.  
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang sungguh biasa. Aku berlari-lari berkeliling di dapur mencari kaldu dalam genangan cucian-cucian piring. Wadah di halaman belakang rumah tetangga aku ambil dan menuangkannya di situ untukmu, yang selalu minta melulu. Belum ada ibu saat itu, belanjaannya tertinggal di kios sebelah tiang listrik. Dan ayah tidak pernah marah, tanaman-tanaman hias di depan rumah membutuhkan asupan, katanya. Dia tahu kita tidak pernah meminta, dan selalu kita diberi.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang terlalu biasa. Orang-orang ramai yang sedang menata baju di luar rumah. Menerjemahkan apa yang belum rapi dari pakaian teman-temannya. Sementara itu, gerbang sudah dibuka dan mereka masuk dengan membawa sampan. Bapak di depan gerbang, kemudian, memukul tiang listrik untuk menemukan di mana dirinya. Jalanan tidak pernah selesai dibangun, kata-kata tidak berpikir. Kolam ikan makin bergemuruh arusnya, mencari-cari pakan untuk ikan yang sembunyi.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang begitu biasa. Perkenalan antara bibir-bibir yang kian dipoles. Memandangi satu persatu sebagai sebuah pembelian. Tidak ada makna terucap di situ. Hanya kata-kata untuk mengenal bagaimana perangai diri ketika berhadapan dengan masing-masing. Semoga kamu tidak menjual rupa pada pupuran bedak, apalagi gelungan rambut.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang biasa-biasa saja. Tentang kehilangan sepi di jalan sebelum berangkat. Tidak ada satupun mahkluk yang hendak membantu mencari. Terlalu ramai hari ini. Mereka takut tertabrak. Jalanan terlalu panjang untuk disusuri. Lebih baik coba tafsirkan halus di antara wajah keras mereka.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang selalu biasa. Merayakan manusia sebagai sarana suka duka. Semua tahu manusia belum selesai dengan dirinya (atau mungkin tidak akan selesai?). Menyalahkan bukan lagi perihal harus. Beberapa orang barangkali memang belum tahu, bahwa Bisma mati meninggalkan duka. Ia sudah selesai, sedangkan kita belum.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang memang biasa. Tentang dia yang merasakan berperan sebagai cenayang. Menafsirkan orang-orang yang hanya riuh di dalam hatinya. Tidak ada doa akan mustajab tanpa keinginan untuk menjadi lebih layak. Untuk menatapnya saja sudah tidak kuat. Bah!
Tumblr media
Ini hanyalah cerita yang biasa sekali. Api sedang menafsirkan dirinya di antara keramaian. Bingung rasanya, hangat yang diberikan ternyata begitu panas. Dunia semakin nyaman untuk dilupakan. Gelap makin meranggas memupuki kepala yang tidak lagi mengenal sujud. Masih ada orang di situ, katanya. Lebih baik kita turun ke lembah untuk mencari masjid.
Tumblr media
Ini hanyalah cerita tentang hal-hal biasa, anggaplah sebagai bentuk perayaan sederhana.
Jakarta, 2 Oktober 2017
0 notes
matbarim · 7 years
Text
Polan dan Fulan
Cerita pendek ini saya tulis selama sepuluh hari, ketika mengikuti program “Aku Gelisah Maka Aku Mengubah” yang diadakan akun @30haribercerita di instagram. Bukan cerita pendek yang asu. Apalagi layak cetak. Tetapi, dalam cerita ini, setidaknya, masih terdapat keinginan untuk berbagi...
Sekian hari sebelum kematian bersilaturahmi pada teman sekamar di asramanya itu, si Polan selalu berkunjung ke rumah pamannya, Awanama. Polan tidak membawa apapun; bingkisan kado; parsel buah-buahan; atau rantang rendang santan, tidak ia bawa. Tidak. Ia datang tidak seperti keponakan kebanyakan, yang datang ke rumah Paman untuk meminta bantuan. Polan, datang ke rumah Awanama cukup berbekal keinginan.
Dalam beberapa pertemuan di rumah Awanama, tidak banyak yang dibincangkan. Polan datang mengetuk pintu, Awanama membukakan dan mereka bersalaman. Lalu, sebelum Awanama masuk lagi ke ruangannya, Polan meminta izin ke halaman belakang untuk memberi pakan ayam atau ikan. Awanama tidak pernah melarang, yang tidak dilarang pun tidak butuh alasan.
Begitu selalu. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali.
Menjelang malam, Polan izin pulang. Ketukan pintu sekali lagi membuat Awanama keluar ruangan, untuk mengantar keponakannnya sampai gerbang. Mereka berpisah, melanjutkan kehidupan malamnya masing-masing.
Setibanya Polan di asrama, teman sekamarnya belum pulang. Ia membaca buku untuk mengisi waktu. Beberapa kali Polan mendengarkan radio hingga bosan menemaninya, dan tertidur.
Polan bangun pagi mendapati teman sekamarnya masih tidur. Buku, bon, pulpen, penggaris, lem, rautan, pensil, penghapus, spidol, berarakan di meja belajar temannya itu. Ia tidak terlalu peduli.
Soalnya memang begitu, selalu. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali.
Sementara hari-hari berganti biasanya, tiba di mana Polan berkunjung lagi ke rumah Awanama. Setibanya di sana, pintu rumahnya terbuka dan terlihat Awanama dari kejauhan sedang memberi pakan pada ayam. Tumben sekali.
Ia masuk tanpa mengetuk pintu dahulu. Setelah bersalaman, tanpa diperintah Awanama memberikan pakan ayam kepada Polan. Polan tidak membantah. Pamannya sudah terlalu purba untuk disanggah.
Setelah beberapa saat, Awanama pergi meninggalkan Polan seorang diri. Polan tidak bertanya. Dalam hatinya, lahir semacam keinginan untuk berbincang, tetapi Polan menahan. Dibiarkan Pamannya pergi meninggalkan halaman belakang.
Polan tidak mendengar suara ayunan pintu tertutup. Ia tidak acuh. Mungkin, pamannya hendak membuat teh. Pikirannya masih seputar teman sekamarnya yang masih terlelap. Apa sebaiknya, suatu saat nanti, ia ajak temannya itu datang ke sini. Sekadar mengisi waktu, barangkali. Atau, berkenalan dan mengakrabkan diri pada Awanama kalau mau. Tetapi sebaiknya, izin dulu kepada tuan rumah. Polan paham, pamannya termasuk manusia yang enggan berinteraksi dengan orang baru, sejak kepindahan anaknya ke rumah sakit jiwa.
Segera ia lenyapkan pikiran mengenai sepupunya. Polan selalu tidak tega mengingat kisah mengenai anak pamannya tersebut. Demikian pula mengenai pamannya, yang ia tahu, Awanama akan menjual seluruh ayamnya, dan kemudian membeli lagi ayam-ayam baru. Tidak sekali pamannya melakukan hal itu, entah apa penyebabnya.
Di antara pikirannya yang kemana-mana, Polan dipanggil pamannya ke teras. Yang memanggil membawa dua cangkir teh. Setelah Polan mencuci tangan, ia duduk di dekat pamannya memandangi ayam-ayam.
Sebelum Polan meminta izin akan mengajak temannya, Awanama lebih dulu bercerita soal ayam-ayam itu. Dengan pelan-pelan sekali. Sejak kapan ia memilikinya, atau kenapa ia begitu suka memandanginya.
Hari menjelang malam. Polan masih mendengarkan cerita dari Awanama. Setelah panjang bercerita, Pamannya mengatakan bahwa dulu ayam-ayam itu adalah binatang peliharaan anaknya.
Tumben sekali, begitu hati Polan berujar. Jarang Awanama menceritakan soal anaknya. Suasana  sungguh sangat hangat saat itu. Ingin rasanya Polan bertanya mengapa saat ini sepupunya berada di rumah sakit jiwa. Tetapi keinginan itu ia urungkan. Hari sudah larut, dan  sebaiknya ia pulang. Apalah arti informasi jika itu menyinggung pamannya. Belum lagi teman sekamarnya menunggu di asrama.
Setelah meminta izin untuk pergi, pamannya mengantar Polan ke depan gerbang. Dengan segenap permisi, Polan pulang. Dalam perjalanan, Ia baru sadar belum meminta izin kepada Awanama hendak mengajak teman sekamarnya ikut berkunjung ke rumahnya.
Sesampainya di asrama, Polan segera ke kamarnya. Ia dapati ada yang berbeda di ruangan itu. Barang-barang milik temannya tidak ada. Kasurnya terlipat rapi. Tidak ia dapati satupun barang yang bukan miliknya, atau pesan mengenai entah kemana perginya barang-barang tersebut.
Temannya pindah, disarankan kepala asrama. Begitu informasi yang Polan dapatkan. Hanya segitu, tidak lebih. Pikirannya langsung terbang kemana-mana. Mengantarkan ia duduk di pinggir dipannya dalam lamunan panjang.
Manusia memang dikutuk menjadi mahkluk yang paling kesepian. Tuhan tidak menciptakan satu spesies pun yang serupa dengan manusia. Terdapat jenis binatang dan tumbuhan dengan taksonomi berbeda-beda, yang mengantarkan mereka saling bersimbiosis satu sama lain. Tetapi manusia tidak, mereka cuma sendiri di semesta ini.
Kepada siapa lagi akan dibagi kamarnya ini. Polan mulai khawatir, ia paling tidak tahan dengan kesendirian. Dirinya tidak ingin menjadi Qarun yang tamak, mengumpulkan harta hingga tenggelam bersama kekayaannya. Ia tidak ingin memiliki ruangan ini seorang diri dan terlena di dalamnya.
Tetiba ia teringat pada pamannya. Setiap hari selalu berbagi dengan ayam-ayam dan ikan-ikan. Tentu pamannya berbeda dengan peliharaannya, dan ketidaksamaan itu berhasil membunuh kesepian yang menakutkan. Perbedaan dalam kebersamaan yang sedikit menakutkan bagi Polan, dan mengantarkannya untuk istirahat dengan lelap, hari itu.
Pagi itu, Polan beraktivitas seperti anak asrama lainnya. Ia pergi ke koridor untuk membaca buku, setelah mandi. Warga asrama yang lain juga demikian, ada yg merenung, bercanda dengan petugas, atau berlari-lari. Semuanya beraktivitas dengan keinginannya masing-masing.
Setelah bosan, Polan beranjak dan pergi berkunjung ke rumah pamannya. Setibanya di sana, Pamannya sedang duduk di ruang tamu. Tanpa diperintah, Polan masuk dan duduk di sebelah pamannya. Dengan mengalir, Awanama melanjutkan cerita tentang sepupunya Polan.
Beberapa hari yang lalu, pihak rumah sakit jiwa menghubungi Awanama, meminta izin hendak memindahkan anaknya ke ruangan yang lain, dengan rekan sekamar yang juga lain. Kata mereka, anaknya belum siap menjalani proses penyembuhan dan akan menghambat penyembuhan teman sekamarnya.
Rumah sakit jiwa memang laksana sekolah untuk orang-orang yang sakit jiwa. Layaknya orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu ketika bersekolah. Awanama berharap, jiwa anaknya sembuh di rumah sakit jiwa.
Sejak anaknya enggan berinteraksi dengan orang lain, Awanama khawatir. Ditambah lagi, anaknya sering senyum-senyum sendiri ketika membersamai ayam-ayam dan ikan-ikannya. Beberapa kali Awanama mengingatkan jangan seperti itu, tetapi tidak digubris. Puncak kekhawatiran Awanama sampai ketika ayam-ayamnya disembelih anaknya tanpa sebab. Dengan berat hati, Awanama menyekolahkan anaknya di rumah sakit jiwa.
Dengan tiba-tiba sekali, Polan beranjak. Ia bosan, pergi ke pekarangan dan kemudian memberi pakan ayam-ayam.
Pamannya hanya tersenyum, pasrah.
***
1.
Ayahku adalah seorang yang tidak terlalu memedulikan keberadaan, itulah kenapa aku diberi nama Fulan.
Ceritakan padaku apa sebab utama aku berada di sini. Aku akan menuai, apapun yang berada di kebun. Siapapun boleh memberitahuku; akan kudengar; kusimak; dan kupahami baik-baik. Semua itu kemudian, akan menjadi alasan untuk berlaku adil; mengetahui apakah orang lain atau aku yang berperilaku sesuai.
Kakekku pernah mengatakan, dalam beberapa hal, kita mesti adil meskipun hanya dalam pikiran*. Apapun caranya, apapun yg menghambatnya, kita mesti adil.
Aku tidak tahu sebabnya kenapa aku berada di sini. Lingkungan orang-orang yang melakukan apapun berdasarkan kehendak mereka sendiri. Ada yg suka berlari, tertawa-tawa sendiri, atau teman sekamarku yang membaca buku tanpa pernah selesai. Ada juga mereka yang berseragam, bertindak seolah paling benar dengan mengurusku dan orang-orang di sini.
Meskipun keadilan hanya milik Tuhan semata, tidak adil rasanya jika aku menganggap mereka, atau mungkin teman sekamarku, memiliki jiwa yang sakit. Sebagai manusia, dengan segala pilihannya, mereka terlalu baik. Mereka selalu menemaniku, mengajakku berbincang, meski kadang entah arahnya ke mana. Teman sekamarku juga, ia selalu memandangiku dengan teduh setiap sebelum pergi ke luar kamar.
Sayangnya aku, bersama segala pikiran yang tak pernah habis, tidak pernah maumembalas kebaikan-kebaikan itu. Bahkan kebaikan teman sekamarku sendiri. Dan untungnya tidak ada yang tidak sadar. Aku dipindahkan ke tempat yang baru, bersama orang-orang baru, sebagai bentuk penyadaran untuk diriku sendiri.
Tapi... Tapi... Tapi... Rasa muak mulai menjangkit sel-sel di kepalaku.
Ayah tidak pernah memberitahu kenapa aku ada di sini, teman sekamarku apalagi. Beritahu aku, siapapun boleh; akan kudengar; kusimak; kupahami baik-baik. Apakah memang hanya Tuhan yg memiliki keadilan? Apa orang-orang di sekitarku sudah mencoba berperilaku adil sejak dalam pikiran? Apa salah jika aku mencoba berperilaku adil sejak dalam pikiran?
2.
Fulan, kebetulan sekali kamu bertanya. Kakek juga, memang mau bercerita. Jangan banyak menyela, tolong dengarkan dulu.
Di dalam kehidupan, ada sebagian perihal tanpa perlu ditanya dari mana. Ada yang dengan sengaja diada-ada. Tidak perlu dicari tahu, kenapa ada. Jika saja tetangga tidak mencoba mencari alasan kenapa kita membagi-bagikan opor ayam waktu itu, tidak  menutup kemungkinan, kamu masih bersama ayahmu, hari ini.
Kita wajib menjaga kerukunan satu sama lain. Kalau kamu bertanya kenapa kamu ada di situ, jangan langsung bertanya pada ayahmu, atau teman sekamarmu yang dulu. Tengok dulu hatimu. Apapun yang ada di dalamnya, akan memberikan pembenaran kenapa kamu tidak lagi di rumah, hari ini.
Sekarang zaman makin maju, sudah tidak bisa lagi kita menyembunyikan di sela-sela baju.
3.
Kami sungguh sangat berterimakasih pada ayahmu yang mengantarkan rantang-rantang berisikan opor, pada sepersekian pekan sebelum kamu pindah, Fulan. Hidangan itu benar-benar menggugah selera. Aroma bawang goreng dan santan yang menyeruak, cukup menggelitik hidung dengan halus, menahan lisan untuk bergunjing dan menyebar gosip.  
Tidak cukup sampai pada aroma itu saja, kuah kental yang memandikan potongan-potongan daging ayam menggoda kaliuntuk dicicip sedikit-sedikit. Diseruput dengan khidmat. Wah!
Belum lagi daging-daging ayam kampung yang berbeda dengan daging ayam yang biasa kami beli di pasar induk. Meskipun tidak tahu di mana letak perbedaannya, kami yakin daging salah satu alasan kenapa opor ayam pemberiann ayahmu, tidak ada yang mengalahkannya.
Tetapi, Fulan, kami jadi bertanya-tanya; untuk merayakan apa ayahmu membagikan opor pada kami selama sepekan itu. Tetapi, opor itu memang enak sekali. Dan ketika tiba di mana opor yang dibagikan itu habis, kami jadi bertanya-tanya lagi; kemana kukuruyuk ayam-ayam kesayanganmu? Ah, tetapi, opor itu sungguh mantap.
Ayahmu memang baik. Tanpa absen ia membagikan opor-opor itu, setiap harinya pada pekan itu. Kamu kemana, Fulan?  
Tetapi opor itu memang sungguh mantap dan enak sekali. bah. Lebih dari tiga minggu kami tidak pernah berhenti menggunjingkannya.    
Terima kasih, ayah Fulan.
4.
Barangkali kau mesti tahu bagaimana mulanya semua ini bermula, Anakku...
Waktu itu, setelah bertemu dengan pamanmu yang bercerita tentang anaknya, ayah jadi tahu apa yang harus ayah lakukan padamu dan binatang-binatang yang kamu sembelih itu. Tetapi sungguh sayang, ternyata kehendak ayah belum sekehendak dengan Yang Punya Segala Kehendak.
Tetangga-tetangga kita menggunjingkan dirimu. Keberadaanmu. Ayah tidak kuat mendengarnya. Sungguh. Tidak jarang tiap sepertiga malam setelah kamu pindah, ayah menangis tersedu mengadu pada yang Maha Mendengar.
Memohon agar kau lekas sembuh. Sepupumu juga sembuh. Atau paling tidak, kalian berdua sudah bisa ke rumah ini lagi. Memberi pakan ayam-ayam yang belum lama ayah beli.
Sekali lagi, sayang sungguh sayang, doa ayah belum sampai mengetuk langit ketujuh. Pemilik singgasana di atas sana masih memilah apa doa ayah layak untuk dijabah. Hari itu, lagi-lagi hanya sepupumu sendiri yang datang ke rumah. Dan lebih parahnya, kamu dipindahkan. Tidak lagi sekamar dengan si Polan.
Petugas di tempat tinggalmu sekarang mengatakan, kesembuhanmu akan memakan jangka waktu yang lebih lama. Tidak ada perkembangan signifikan sedikitpun. Kamu mesti ditangani lebih intensif. Duh, gusti...  
Memang pada akhirnya, hanya pada Dia yang benar-benar punya kuasa atas segala maha, kita bisa pasrah
5.
Ternyata masih saja ada ketidakterbukaan di zaman yang katanya globalisasi ini. Dan lebih parahnya lagi, masih saja ada kebenaran yang tidak disampaikan dengan gamblang. Benarkah kita sudah siap menerima keanekaragaman, dengan masing-masing kebenarannya? Kalau memang sudah, aku meminta kepada siapapun, pulangkan semua orang di rumah sakit jiwa. Termasuk aku! Kembalikan aku ke rumahku. Jangan biarkan aku terperangkap di keadaan ini. Zaman yang menuntutmu untuk menyembunyikan kebenaran adalah zaman edan. Orang yang tidak bisa menerima keberagaman lebih gila daripada orang gila.  
0 notes