Tumgik
kimcallico · 6 months
Text
Lagi-Lagi Kamu
Saya sengaja membuat akun baru demi memenuhi janji pada diri sendiri. Bagi saya, lembar tentangmu telah usai tepat setelah kau berikan kabar bahwa kau akan berlabuh.
Segala doa dan harapan yang baik selalu saya rapalkan, untuk kebaikan diri saya pula. Bukan untukmu.
Jika kau tanyakan pada hati saya yang paling rapuh, kau kan temukan ukiran namamu yang terlalu dalam. Beberapa kali saya ingin kamu upayakan. Tapi nampaknya kamu terlalu rabun untuk sekedar melihat sebuah ketulusan. Hhhh.. Kan. Pada akhirnya saya tetap saja membahasmu di sini. Ck.
"Jika dia memang bisa untukku Sini, dekat dan dekatlah Dan jika dia memang bukan untukku Tolong, reda dan redalah"
0 notes
kimcallico · 1 year
Text
Pipit
Sejak kecil, aku memiliki kondisi fisik yang lemah dan sering sakit jika kelelahan. Antibody yang dimiliki tubuh ringkih ini bahkan tidak sama kuatnya dengan adik-adikku. Jadi segala kegiatan yang memangkas tenaga ekstra dan kegiatan fisik selalu aku hindari. Sejak sekolah, aku paling lemah di mata pelajaran olahraga. Pun saat tes CPNS, aku gagal di tahapan terakhir yaitu tes fisik (dimana aku harus berlari tanpa henti dengan ukuran jarak yang tidak terbatas). Aku berkali-kali mengatakan pada banyak orang bahwa aku berani jika harus beradu kapasitas otak, tapi untuk fisik aku lebih baik mengangkat bendera putih. Aku terlalu pasrah bahkan jika ada zombie menyerang, aku tidak mau berlari karena melelahkan. Hahaha..
Maka dari itu, SAMAPTA merupakan tahapan yang paling aku tidak suka selama proses rekrutmen PLN.
Awalnya aku merasa begitu sendirian saat SAMAPTA. Karena sejak awal, aku memang tidak memiliki teman atau rekan untuk berkeluh kesah. Semua orang memiliki kondisi fisik yang mantap. Tapi aku tidak akan menyerah, aku anti dengan pura-pura sakit dan lemah. On fire karena masih berada di usia sangat bersemangat. Akhirnya hari demi hari aku lalui dengan terseok-seok.
Hingga suatu hari, aku yang saat itu sedang berada dalam kondisi tidak bisa sholat, hanya bisa menunggu rekan-rekan yang lain dari tribun lapangan berlatih. Melihat ke arah lapangan hijau dan langit yang semakin menggelap. Sepertinya isi kepalaku sudah mulai berontak, kondisi psikisku tidak stabil seperti hari-hari sebelumnya. Atau yaa memang karena di tribun itu banyak penunggunya saja, entahlah.
Di sebelahku ada rekan sesama siswi (sebutan kami selama jenjang SAMAPTA), kami satu barak dan satu pleton. Sama-sama tidak sholat, kami hanya bisa mengobrol seadanya. Tapi entah bagaimana awalnya, kami tertawa karena kucing lewat dan menganggap itu sama dengan kambing. Tertawa yang benar-benar terbahak-bahak, sangat lama, dan sulit untuk dihentikan. Komandan yang melihat kami bahkan hanya geleng-geleng kepala. Beruntung tidak dianggap kerasukan. Karena setelah ku ingat-ingat kembali, sama sekali tidak ada yang lucu saat itu. Mungkin ini salah satu alasan mengapa orangtua kita melarang anak kecil untuk keluar rumah saat maghrib tiba. Hehe..
Saat proses lanjutan, yaitu Pengenalan Perusahaan di UPDL Bogor, kami diharuskan untuk menggunakan bus. Aku hanya tidur sepanjang perjalanan karena berani sumpah baterai sosialku sangat habis mengingat kondisi pasca-SAMAPTA yang mengharuskanku bersikap oke di depan ratusan orang. Hebatnya, dia mampu mendengar celotehan Rahmi – rekan satu bangku kami. Celotehan yang benar-benar sejak berangkat hingga tiba di Bogor. Kamu bisa bayangkan seberapa jauh Cimahi ke Bogor?
Sesampainya di Bogor, kami semua batuk. Dia menawarkanku obat batuk Nelco Special yang ternyata sangat ampuh (walau akhirnya aku batuk lagi karena siklus tertular-sembuh-tertular lagi dari rekan yang lain). Kami belajar untuk ujian bersama, makan bersama, tidur di kelas bersama. Aku begitu bahagia menemukan sosok yang literally satu frekuensi denganku, bahkan isi kepala kami bisa jadi sama juga. Di saat aku berharap bisa bersama dia sedikit lebih lama, aku dikejutkan kabar bahwa aku harus pindah ke UPDL Semarang untuk melanjutkan tahapan berikutnya – Pembidangan.
Fitriana Verinska alias Pipit. Sampai detik ini, kami masih sangat menjaga komunikasi, bahkan jauh lebih dekat dibanding sebelumnya. Ini sejujurnya pertama kalinya aku bisa menjaga hubungan baik dengan teman yang berawal dari stranger, dan jaraknya melintasi pulau (aku di Sumatera dia di Kalimantan). Saling berkirim kado, berkirim makanan, bercerita tak kenal waktu, break-down kondisi mental, curhatan dan celotehan, hingga berbagi kondisi mental-health-disorder yang sama.
Bahkan jika ditelisik dan ditarik benang lurus, kami dekat hanya karena momen “tertawa melihat kucing saat maghrib di Pusdikpom”.
Mungkin memang inilah cara Allah mempertemukan kami dan menjadikan kami teman yang sangat dekat walau berjarak cukup jauh. Salah satu anugerah yang benar-benar aku syukuri. Allah seperti menjawab doaku saat awal masuk rekrutmen, sebagai seorang introvert dengan mental yang kurang oke, Allah mengirimkanku sosok Pipit sebagai balancing. It would be so fun kalau kami bertemu sejak sekolah.
So, Pipit, thank you so much for being there for me. I trully appreciate you. I wish nothing but the best for you and your life. I love you to the moon and back! Forever young~
0 notes
kimcallico · 1 year
Text
Beauty in a Dream
Tadi malam, aku mendapatkan mimpi yang sangat indah. Aku merekamnya dengan sangat apik dan detail, bahkan saat terbangun aku segera menyambar ponsel pintarku untuk sekedar mengetikkan alur mimpi walau dengan mata yang masih setengah hati bertemu dengan cahaya.
Awalnya seperti biasa, mimpiku dimulai dengan suasana yang tidak familiar, ruang kosong dengan suara gemerisik angin. Lalu tiba-tiba secara acak aku terlempar ke tempat dimana mimpi ini akan ku lalui.
Tempat tersebut ada project-site salah satu temanku saat kuliah. Sebuah project pembangunan jalan, dengan langit yang teduh sebagai penambah suasana syahdu. Di sana kami bertiga (aku, dia, dan salah satu teman kerjaku di sini - yang ke depannya akan berubah lagi tokohnya). Kami memutuskan untuk berkeliling, melihat-lihat pemandangan yang ada di sana.
Jalanan yang kami lalui semacam bukit, ada turunan dan tanjakan. Sisi kanan kami adalah batuan solid seperti goa, dan sebelah kiri kami adalah pepohonan yang rindang. Berjalan di tengahnya serasa berada di pegunungan Swiss, hanya saja manusia yang berlalu-lalang adalah asli Indonesia (sepertinya).
Tibalah kami di tanjakan yang saaangat tinggi. Aku sampai terengah-engah dan harus berlari agar tidak tergelincir. Satu kali saja kami tergelincir, maka kami akan mengulang ancang-ancang kembali. Dan kau tahu? Sesampainya di atas, aku bertemu dengan pemandangan yang luar biasa indah. Jujur saja aku begitu takjub sampai berteriak di dalam mimpi itu "masyaAllah indah sekali!" Di hadapanku adalah jalanan menurun, dan di ujungnya langsung menuju pantai yang sangaaat luas. Dengan pasir putih-pink, sangat lembut dengan butiran yang halus. Ombaknya rendah, airnya hangat menyentuh jemari kaki. Kelilingnya adalah pegunungan menjulang, hijau-biru warnanya. Benar-benar terasa seperti berada di pulau antah berantah yang begitu indah.
Langit adalah hal yang paling ku ingat dan ku kagumi. Warnanya campuran antara ungu, biru, oranye. Ku tebak saat itu adalah petang, karena angin berdesir dengan begitu menyejukkan, dan cahaya yang tampak sangat nyaman dipandang mata. Ini bukanlah hal yang bisa ku deskripsikan dengan kata-kata, pun dapat ku lukiskan ke dalam gambar.
Ada banyak orang di sekelilingku. Tua, muda, besar, kecil, lelaki, permepuan. Tapi mereka bersuara dalam desibel yang rendah, tidak bising sama sekali. Hingga malam tiba, suasana langit yang ku kagumi berubah menjadi 10x lipat lebih menakjubkan.
Kau tahu suasana di puncak Mahameru kala malam saat diabadikan di dalam video? Galaksi bimasakti terlihat dengan taburan bintang yang berkilau. Biru tua, ungu, serabut putih. Luar biasa mahakarya Tuhan pencipta semesta alam.
Di dalam mimpi itu aku mengambil beberapa foto dan video untuk ku simpan sebagai kenangan. Walau pada akhirnya aku menyadari secara penuh bahwa ini semua hanya mimpi. Saat aku berpikir demikian, tiba-tiba ada anak anjing kecil berwarna putih yang berlarian ke sana ke mari mengejar bola. Orang-orang di sekitarku yang melihatnya turut tertawa, terlalu menggemaskan. Mereka juga mengajakku berdansa di bawah langit malam. Serasa berada di dalam negeri dongeng.
Sejujurnya aku memiliki kemampuan untuk bisa mengatur mimpiku sendiri (iya, awalnya aku mengira semua orang bisa melakukan hal ini). Seringkali aku mengganti latar dan alur mimpi sesuka hati. Namun di mimpi kali ini, aku benar-benar terbawa dan merasa tidak perlu campur tangan untuk membuatnya sesuai keinginanku. Mimpi ini terlalu indah untuk diutak-atik, terlalu damai untuk diubah-ubah, dan terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Sampai detik ini aku masih bisa merasakan hangatnya debur ombak yang menyentuh jemari kakiku, serta lembutnya pasir yang terlihat seperti bubuk gula halus.
Tapi, ada satu hal yang mengganjal di dalam hati.
Saat aku dan temanku bertemu, dia mengatakan padaku suatu hal semacam "Nanti kamu aku jemput ya, kita ke sana bersama-sama". Di dalam mimpi aku hanya menjawab "Jauh loh, apa tidak merepotkanmu?". Lalu kami sepakat untuk pergi bersama.
Dan sampai saat ini aku tidak tahu, kemana yang kami maksud.
0 notes
kimcallico · 1 year
Text
Harapan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan manusia lain sepanjang hidupnya. Saling menolong, saling melengkapi, namun tidak serta merta menjadikan kita dapat saling bergantung satu sama lain. Karena meletakkan harapan pada manusia sama saja seperti meneteskan air di atas daun talas; kita tidak tahu kapan akan jatuh tertiup angin.
Ini bukan pertama kalinya aku merasa hanya Allah satu-satunya tempatku bersandar. Hidup ini tidak semulus cerita di novel drama picisan. Berharap akan bantuan manusia hanyalah sia-sia. Toh sejak awal kita memang telah diperintahkan untuk ikhtiar dan tawakkal, yang artinya setelah kita berusaha semampu yang kita bisa maka hanya kepada Allah kita menggantungkan akhirnya.
Belajar dari pengalaman, manusia hanya terlalu banyak memberikan harapan palsu. Berkata bahwa segalanya sudah sesuai jalur, lalu ditinggalkan begitu saja ketika tidak sesuai harapan awal. Omong kosong kekuasaan, masa bodoh jalur dalam. Manusia selalu memiliki tujuan masing-masing, dan kebahagiaan orang lain tidak pernah menjadi tanggung jawab individu yang membantu.
Lelah, sungguh. Aku sadar betul bahwa Allah tidak tidur. Namun segala rasa yang semakin menyesakkan ini membuatku hampir putus asa. Hanya karena tamparan bahwa segala hal telah digariskan dan rezeki kita tidak akan tertukarlah yang membuatku tetap bertahan. Mulai jengah dengan kalimat “kau seharusnya bersyukur berada di posisi ini“. Duhai, aku senantiasa mensyukuri segala nikmat yang ku terima, pun tidak pernah sekalipun mencerca rezeki yang ku dapatkan. Apakah harapan ditempatkan di tempat yang lebih baik itu dapat dikatakan sebagai mencela takdir? Hhh.. tidak habis pikir.
Satu-satunya harapan yang ku langitkan akhir-akhir ini selain surga adalah mendapatkan SK Mutasi ke Jakarta secepatnya. Sesegera mungkin, dan dalam periode yang tepat. Aku sungguh tidak peduli akan kata manusia, toh ini semua hak sebagai pegawai yang diterima dengan cara yang baik. Tidak ada aturan yang dilanggar dan memiliki alasan yang dapat disetujui.
Duhai pemilik takdir dan jiwa manusia. Ku serahkan segalanya kepadamu yang Maha Kuasa.
1 note · View note
kimcallico · 1 year
Text
Kambuh
Pagi ini aku kambuh. Tiba-tiba terasa terhantam sesuatu yang sangat besar di kepala, lalu deg-degan, takut, cemas, gemetar, sampai tangan menjadi sangat dingin. Karena semakin lama semakin berat, aku segera meluncur ke musholla. Niat awalnya ingin menenangkan diri. Tapi setelah sholat, air mata malah terjun bebas seperti kran air yang menggunakan pipa rucika.
Aku sangat tidak menyukai kondisi ini. Rasanya seperti dipaksa untuk menikmati ketidaknyamanan prosesnya; sesak. Karena setiap kali terjadi, rasanya seperti berada di dalam bubble tak kasat mata. Dimana hanya ada aku dan pikiranku yang berlarian secara liar di dalamnya. Tidak bisa melakukan apapun, bahkan sekedar mengetik chat. Bicara pun tergagap karena sudah kewalahan mengatur napas yang tiba-tiba saja berat.
It takes 15-20 minutes I guess. Or less, sometimes. Yang jelas, semakin lama semakin memuakkan. Rasanya seperti bertarung dengan diri sendiri. Isi kepala tumpang tindih, dan bising semakin nyaring. Lalu setelah mereda, hal pertama yang aku sadari adalah rasa syukurku atas oksigen yang begitu kaya. Karena sungguh, sesak yang mendera kurang lebih sama seperti mencari udara di bawah air.
Aku kelelahan tanpa tahu apa dan mengapa.
0 notes
kimcallico · 1 year
Text
Rumah dan Pulang
“Jalan yang jauh, jangan lupa pulang” kata Yura Yunita di salah satu lagunya.
Aku pernah membaca di salah satu cuitan seseorang, bahwa menjadi seorang manusia artinya menjadi pengelana. Karena hidup sejatinya adalah tentang perpindahan. Berpindah tempat, berpindah jarak, berpindah waktu, berpindah emosi, berpindah fisik, apapun bentuk perpindahannya.
Sebagai seorang anak perempuan yang terbiasa hidup “sendiri” di kota orang sejak usia remaja, aku merasa bahwa rumah bukanlah sebatas kata yang sederhana.  Mungkin jika dijabarkan dengan rinci, perlu puluhan lembar untuk sekedar mendefinisikan arti dari “pulang”. Karena bagiku, pulang selalu identik dengan rumah. Dan kata “rumah” tidak terikat pada bangunan, melainkan pada sosok. Singkatnya, rumah adalah tempat untukku kembali; entah untuk sementara lalu beranjak pergi lagi, maupun selamanya disinggahi.
Setelah lulus SMA, aku merasa begitu semangat untuk mencoba peruntungan di kota orang. Mengais segala hal yang bisa ku kumpulkan, baik pelajaran akademik hingga pelajaran hidup. Merantau membentukku menjadi pribadi yang jauh berbeda dibanding saat masih sekolah. Pendewasaan diri memang diasah, bukan didapatkan secara mudah. Bertemu dengan banyak sekali manusia dengan latar belakang, watak, kondisi psikis, dan isi kepala yang berbeda adalah sebuah anugerah. Semakin menyadari bahwa manusia memang tidak mungkin sempurna, dan kekurangan diri adalah hal yang membuat tiap individu menjadi unik dan menarik.
4 tahun berada jauh dari keluarga membuatku terlalu percaya diri, merasa bahwa diri ini sudah cukup mumpuni untuk selamanya berkelana sendirian. Puluhan tahun lagi sepertinya aku masih sanggup, pikirku kala itu. Tanpa menyadari bahwa usia semakin bertambah, pun dengan usia orang tua serta teman dan saudara yang berada di Jakarta.
Entah sudah berapa kali aku menyesali keputusanku untuk bersedia "ditempatkan di mana saja”. Kondisi beberapa teman yang hampir mengakhiri hidup, tak mampu ku rengkuh karena jarak. Musibah yang datang silih berganti menimpa Ayah dan Ibu di rumah tak bisa ku handle karena waktu.
Hingga pada akhirnya COVID 19 menjadi ujian yang sangat terasa menyiksa. Sebagai seorang sulung, secara natural aku memiliki intuisi yang lebih tajam jika menyangkut analisis kondisi keluarga. Terlebih Ketika Ayah dan Ibu divonis terkena COVID 19 dengan kondisi hanya berdua di rumah karena ketiga anaknya di tanah rantau. Keadaan semakin sulit dicerna akal sehat saat obat-obatan, vitamin, makanan, toiletteries, dan masker menjadi langka dari peredaran. Aku bahkan sempat meminta WFH full karena sama sekali tidak bisa fokus bekerja, yang ku syukuri disetujui oleh atasanku yang memang cukup perhatian pada kondisi kala itu.
Saat aku rasa ujian ini mereda, aku dikejutkan dengan keadaan di kantor tempatku bekerja. Sebuah kesalahpahaman besar terjadi, hingga aku tersudut tanpa bukti, semua hanya berdasarkan sudut pandang yang merasa tersakiti. Aku sama sekali tidak diberikan ruang dan kesempatan untuk sekedar meluruskan. Jari-jari tertunjuk padaku, karena aku adalah sasaran empuk sebagai anak baru. Aku sangat memahami isi kepala mereka, yang tentu saja memilih untuk berada di pihak dengan jabatan dan kuasa, walaupun di belakang tetap saling menjatuhkan pula. Munafik.
Psikisku menjadi sangat terganggu, bahkan sempat dirujuk ke psikiater karena kehidupanku menjadi terpengaruh. Tidak bisa tidur satu minggu, pola makan, kemampuan berbicara di depan umum, kecemasan tanpa sebab, kesedihan dan penyesalan, emosi yang fluktuatif, aaaahh.. Aku seperti bukan diriku saja. Padahal biasanya aku sangat menutup mata dan telinga pada pandangan orang lain yang tidak mengenaliku.
Keadaanku yang semakin gawat ini membuat Ibu pada akhirnya memutuskan untuk menemaniku di tanah rantau selama satu bulan. Serta Ayah yang selalu meneleponku setiap hari hanya untuk memonitoring apakah aku makan di hari itu. Kondisi psikisku menjadi sangat membaik berkat kehadiran orangtuaku, progress yang luar biasa.
Aku tidak pernah sama sekali menunjukkan sisi rapuhku pada Ayah dan Ibu, selama ini mereka menilaiku sebagai anak tangguh dan cuek. Jadi kondisiku yang sangat buruk ini jelas membuat orangtuaku sangat terkejut, bahkan terlalu terkejut sampai menawarkanku umroh untuk menenangkan diri. Hahahaha.. Sungguh ironi, aku malu pada diri sendiri.
Resign adalah salah satu hal yang terbersit di dalam kepalaku. Aku lelah, kecewa, dan marah. Ayahku secara mandiri menanyakan proses mutasi kepada kenalannya di korporasi tempatku bekerja. Kemungkinan besar ingin memindahkanku kembali ke Jakarta. Ayah bahkan tidak peduli dengan rumah yang telah ku beli, jual saja sesuai dengan harga beli, memutuskan dengan sangat yakin untuk tidak akan lagi kembali ke Lampung setelah mutasiku disetujui.
Satu hal yang pada akhirnya aku sadari. Aku terlalu jumawa akan kemandirian yang ku pikir telah berada pada level yang berbeda. Pada akhirnya aku hanyalah seorang anak perempuan dari orangtua yang ku sebut sebagai Ayah dan Ibu. Sejauh apapun aku melangkah, kemanapun aku berkelana, sebabak belur apapun kondisiku terhantam kerasnya dunia, pada akhirnya aku akan menemukan diriku dalam bentuk yang utuh ketika kembali pulang.
Semoga kabar baik segera ku dapatkan. Setulus memaafkan. Berharap jalan yang lapang.
“ Kembali pulang tuk menenangi
Banyaknya luka yang berantakan
Peluk hangat sikap tuk sembuhkan
Kembali pulang bersama terang
Menghiasi diri merayakan
Genggaman tangan yang masih ada“
3 notes · View notes