Tumgik
jurnalklandestin · 5 years
Text
Terlewat Lupa
Jurnal ini mulai usang (lagi). Aku tak menuliskan apa-apa. Bahkan aku pun sempat lupa jika aku memiliki jurnal ini. Aku terbaring dan menekuk kaki kananku. Menghadap langit-langit. Tanpa perjalanan malam aku terasa hampa. Tak tahu harus berbuat apa mengisi kekosongan ini. Asrama sepi. Semua menjalankan tugas masing-masing. Terdengar suara tikus mengorek tempat sampah. Tak heran jika di sini tikus cukup subur. Ukuran hampir mirip dengan kucing. Jika berpapasan dengan sesorang, tikus itu berhenti sejenak dan menoleh. Tidak kabur.
Daripada hampa mengadah langit-langit kamar. Aku iseng jalan-jalan malam. Entah kemana, yang penting lekas keluar dari kekosongan ini.
Jaket bomberku tertembus udara malam. Dingin. Gelap. Sepi. Ternyata seperti ini dunia malam yang sebenarnya. Bukan konotasi. Terus berjalan. Terus berjalan. Perhatianku tertuju pada sebuah gang. Dari kejauhan terlihat cahaya biru yang berkedip. Tak lain lagi pasti mobil polisi yang sedang berpatroli. Ting...! Terdengar suara botol kaca yang berbenturan. Mudah sekali tertebak. Pasti di sini ada yang minum. Miras.
Terus berjalan. Terus berjalan. Aku berhenti di tepi trotoar. Istirahat sejenak. Srek... Srek... Terdengar suara dari belakang. Seperti ada yang sedang mengorek-ngorek tumpukan sampah plastik. Meong...! Wah, ada kemajuan. Bukan tikus asrama, tapi kucing jalanan. Kucing walaupun lusuh, tapi tetap saja imut. "Meong...!" Ia memutari kakiku. "Lapar?" Tanyaku padanya. "Meong...!" Suaranya semakin keras. Beriringan dengan suara tawa bayi. Aku menoleh ke belakang. Di balik gerbang ada bayi berusia dua tahun yang sedang berdiri. Wajahnya sumringah.
"Meong...!" Kucing jalanan tadi mengitari kakiku dan berulang kali mengeong. "Adek kenapa di sini?" Tanyaku. Bayi itu menatapku dan tertawa khas bayi. Sontak aku terkejut. Melihat banner disela-sela jeruji gerbang. "Dijual. Hub 08123xxxxxx". Tanpa pikir panjang aku melanjutkan berjalan lagi. Kucing tadi tidak mengikutiku. Tak sedikit pun aku menoleh ke belakang.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Gugur
Sehari sebelumnya kami telah mendengar kabar yang tidak kami harapkan dan akhirnya kami mendapat "kiriman istimewa". Meninggal dengan rasa hormat. Lima peti mati telah sampai di markas saat pagi buta. Sebagian besar dari kami beranggapan tidak terjadi apa-apa. Beberapa teman dekat dari masing-masing pemilik peti mati itu mematung dengan tatapan kosong. Menatap loker penyimpanan senjata milik kawannya yang bersebelahan. Menatap kasur tingkat yang kosong dan rapi, pemilik sudah tidak lama memakainya sejak berangkat ke tempat untuk bertugas.
"Siapa saja?" Tanyaku kepada Mbak Rena. "Tak ada yang kamu kenal." Ucapnya sambil menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan rangkaian sandi. Aku memahaminya dan membaca lima nama. Empat nama tidak aku kenal. Dan satu nama sempat aku dengar. Ia bernama Aison. Aku pernah melihat kalung terjuntai di lehernya ketika berpapasan dengannya saat makan siang. Terngiang suara Aison saat itu, "Hai. Mari makan bersama." Kala itu ia duduk di sebelahku. Yang aku alami hanya serpihan kenangan. Teman dekatnya, teman seperjuangannya pasti merasa kehilangan yang mendalam.
"Mbak, mereka mau di bawa kemana setelah ini?" Tanyaku. "Itu urusan kantor lah." Jawab Mbak Rena. "Apa aku sekalian gugur aja ya, di misi selanjutnya? Penasaran. Dari awal identitas asli kami telah lenyap. Seolah emang dari awal kami sudah ditiadakan." Ucapku. "Emang gitu ya, isi pikiran sniper. Udah gak takut mati, malah nantang buat mati." Ucap Mbak Rena.
Aku meninggalkan pemandangan duka itu. Berjalan menuju tmpat penyimpanan senjata. Esok aku menjadi induk semang lagi, maksudku melatih junior. Ruangan gelap. Tepat di balik loker B, aku mendengar suara isak tangis. Aku menyalakan lampu. Tangisan itu semakin keras. "Aison... Aison Putri. Kenapa harus kamu?" Suara terdengar sedih dan terbata-bata, tersendat air mata. Ini sahabatnya Aison, pikirku. Kalung berukir nama Helena tergenggam ditangan perempuan yang menangis itu. Di sebelahnya ada syal dan topi. Aku duduk di sampingnya. "Sahabatnya Aison, ya?" Tanyaku. Ia justru menangis lebih keras. Aku mengusap pundaknya. Jangan ucapkan nama "Aison" lagi, ucapku dalam hati. "Harusnya aku yang berangkat ke tempat itu, tapi Aison terus kukuh untuk berangkat." Ucap perempuan itu. "Semua sudah digariskan. Kuatkan hatimu." Ucapku sambil mengelus pundaknya. Aku meninggalkan perempuan itu. Ia butuh waktu untuk sendiri meluapkan perasaannya. Ia butuh ruang bersama Aison, walau sebenarnya hanya tersisa kenangan.
Aku memeriksa peralatan untuk besok. Memoles senapan lagi. Senapan untuk berlatih dan bertugas adalah senapan yang berbeda. Keganasan yang berbeda, meski tipe dan barangnya seutuhnya sama. Banyak hal yang terjadi. Banyak kenangan setiap detiknya. Waktu benar-benar cepat berlalu. Apakah lima junior yang aku latih ini akan menggantikan lima jasad yang gugur tadi malam? Mati satu tumbuh seribu. Akan tetapi, tidak mudah mencetak orang-orang seperti mereka.
Aku bertanya-tanya, tersisa berapa orang yang bertugas sebagai penembak runduk? Apakah situasi ini bertambah genting? Instingku mengatakan, esok aku akan dipanggil ketua mengenai kejadian ini, berunding langkah apa yang akan diambil, dan tentunya perihal perkembangan lima junior yang aku latih. Aku benar-benar berkeringat darah, bukan? Sepenuhnya kelelahan akan hal ini. Tapi disaat satu peluru dari senapanku yang menembus kepala target, membuatku sedikit lega dari situasi yang berat ini.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Mati
Malam ini markas sepi. Tersisa aku dan Mbak Rena. Mbak Rena datang dengan teko berisi seduhan kopi. Ia akan menuangkan kopi ke dalam gelas di depanku. Aku menolaknya. "Kamu aneh, Rose. Bisa tidak tidur dua hari tanpa kopi. Pakai heroin, ya?" Sindir Mbak Rena. "Didikan ayah, Mbak. Dari kecil tidur tiga jam perhari, itu maksimal. Kalau minimal, bisa saja tidak tidur." Jelasku. Mbak Rena mengangguk sambil menuangkan kopi ke dalam gelasnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia terbiasa lembur hingga larut malam. Biasanya sampai pukul sebelas atau dua belas malam.
"Mbak, algojo itu kejam, ya? Apa kelak mereka akan diadili oleh Tuhan?" Tanyaku penasaran. "Hahaha... Siapa yang tahu kalau mereka membunuh, pistol siapa yang memiliki satu peluru untuk eksekusi, gak ada yang tahu. Toh mereka hanya menjalankan tugasnya." Ucap Mbak Rena. Aku tersenyum lebar lalu berkata, "Se-cupu itu, kah? Yang sudah lama bergelut dengan senapan, pasti tahu posisi peluru disenapannya."
Mbak Rena menghela nafas panjang. Ketika bernafas, bahunya terlihat terangkat ke atas. Aku melanjutkan pembicaraanku, "Entah sniper atau algojo, sepertinya tidak punya hati. Berapa banyak nyawa yang kami hilangkan." Mbak Rena menuangkan kopi ke dalam gelasnya lagi. "Siapa suruh membangkang? Sudah ada aturan malah dilanggar. Sudah menjadi kewajiban negara untuk meluruskan warganya. Benar ya benar. Salah ya salah." Ucap Mbak Rena dengan tegas.
"Bagaimana dengan manusiawi dan ampunan?" Tanyaku sedikit menyindir ucapan Mbak Rena. Mbak Rena meletakkan gelas kopinya lalu berjalan ke arahku. Ia mengangkat kerah bajuku. Tubuhku terangkat. Kakiku tak lagi menyentuh lantai. Mbak Rena menatapku lekat-lekat. "Kau menjadi seperti ini, ya? Kami telah mendidikmu dengan benar! Apa yang kau ragukan dari kami?" Nada bicara Mbak Rena mulai meninggi.
Sial. Apa yang dipikirkan Mbak Rena atas ucapanku? Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Ia melepaskan cengkramannya dari kerah bajuku. Leherku sedikit kaku. Terlebih aku syok atas sikap Mbak Rena.
"Kau hanya alat. Alat tidak boleh memperalat. Kondisi di perbatasan sangat kritis. Terlebih lagi kemunculan Hermes yang pernah membocorkan informasi lalu ia pergi begitu saja. Kapanpun bisa perang." Jelas Mbak Rena dengan raut muka sedih bercampur amarah. "Bahagialah dengan senapanmu." Ucap Mbak Rena.
Saat aku memegang senapan, dua hal yang aku rasakan membuat target mati atau justru aku yang mati. Tak menutup kemungkinan saat aku membidik, mungkin saja di belakangku ada sniper yang mengarahkan senapannya padaku. Mungkin saja.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Mendengar Bukan Melihat
Larut malam, aku dan Koko berangkat menuju mercusuar. Mercusuar yang pernah menjadi tempatku untuk nenembak saat tugas sebelumnya. Koko adalah seniorku, ia berusia 42 tahun. Ia sudah berkeluarga, jadi ia tidak mendapat guyonan "menikah dengan senapan". Tiba di atas mercusuar kami merakit senapan laras panjang. Malam ini akan ada dua perahu yang masuk ke perairan membawa senjata api ilegal. Polisi laut telah bersiaga. Kami berdua mengamankan pengepungan ini.
"Selamat berjuang, Nak." Kata Koko. Aku bingung, bukankah kami sama-sama berjuang? Harusnya ia mengucapkan, mari berjuang. Aku melihat koko mengenakan topinya dan menariknya sedikit ke bawah dahi. Menutupi kedua matanya. Lalu ia tertidur. "Pak, bersiap." Ucapku sambil memegang senapan. "Kamu bisa mengatasinya. Tenang." Ucap Koko sambil tangan bersedekap dengan mata masih terpejam.
Aku melihat sebuah kapal datang. Tepat dari arah jam dua belas. Aku mulai berkonsentrasi. "Ko, cuman satu kapal." Ucapku pelan. "Arah jam dua, lima ratus meter dari perahu yang kau lihat." Ucap Koko. Aku tidak menggubris omongannya dan tetap berkonsentrasi pada satu-satunya kapal yang aku lihat. Tiba-tiba Koko menggeser senapanku ke arah jam dua. "Kamu yang jam dua. Aku yang jam dua belas." Ucap Koko dengan santai. Aku tertegun. Tidak mungkin ia melihat dengan mata terpejam. Apa ia mendengar? Mustahil juga, kapal sangat jauh dan suara ombak bergemuruh. Aku menyimpan pertanyaanku sampai misi ini selesai.
Senapan kami menuju penjuru masing-masing. Aku tepat membidik pada jarum jam pukul dua. Perlahan-lahan kapal mulai terlihat. Berlayar dengan tenang. "Polisi yang berpatroli sudah mendekat." Ucap Koko. Aku terheran lagi. Dari mana ia bisa melihat kapal yang berpatroli sementara matanya mengarah kepada lubang kecil di senapan.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Sedih
Disela kesibukanku aku merenung sambil meraba permukaan sampul jurnal ini. Awalnya deretan lembaran kosong. Hari demi hari mulai tertulis, terabadikan. Aku merasa bersalah karena tidak sempat menggoreskan setitik tinta.
Tinta atau darah. Jika aku tidak menggoreskan tinta maka aku bertarung dengan tetesan darah. Darah beradu dengan mesiu. Ditambah lagi tekanan mental dan tetesan keringat. Ditambah lagi dengan lima bibit kecil sebagai penerus penembak runduk yang menjadi tanggung jawabku.
Terkadang orang seperti kami juga merasakan kesedihan, namun kami tak punya air mata. Menembak segelintir orang yang "salah". Menarik pelatuk tanpa sedikit ada keraguan. Kejam, tak ada perikemanusiaan, Tuhan aja pengampun, biarin sasaran tobat dulu, tidak kasihan dengan keluarganya. Kata-kata seperti itu terkadang menggema di dalam kepala kami. Namun keyakinan kami tidak goyah. Dan kami tahu, tanggung jawab kami besar. Beberapa diantara kami, terlihat tersenyum usai menarik pelatuk. Terlihat beringas dan kejam. Tapi sebenarnya itu adalah senyum kesedihan yang tersamarkan.
Guyonan kami, "Berapa headshots, Bro?", "Dewa kematian, ya? Baru nembak udah ketawa lepas.", "Nembak apa maraton? Baju keringat semua. Lemah.". Kurang lebih seperti itu ketika kami para penembak runduk bertemu usai tugas dari tempat masing-masing.
Sedih, mungkin sampai risih, jika senior mendapat guyonan seperti ini, "Kawin sama laras panjang aja, hidup cuman belai senapan." Guyonan bagi senior yang membujang hingga usia diakhir kepala tiga.
Kesedihanku adalah aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan kesedihan. Bisa jadi jalan hidup yang aku pilih telah mematikan hatiku untuk merasakan kesedihan. Setiap bangun dari tidur aku merasa seperti mayat hidup yang menurut kepada tuannya. Patuh dan tidak sensitif terhadap hal-hal yang menyentuh hati. Ketika mendengar kabar duka tentang kepergian teman, aku hanya menunduk dan berdoa. Ketika menembak sasaran pun, rasanya seperti menggoreskan ujung pena pada kertas. Sangat ringan.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Anak Asuh
Surat tugas. Simulasi. Evaluasi. Tiga hal itu selalu berputar setiap hari. Dua hari dalam satu minggu, aku melakukan ekspedisi bersama laras panjang. Setiap pagi dan malam aku menjadi "babysitter", melatih lima anak untuk menjadi sniper. Melakukan evaluasi setiap saat. Terkadang ada rapat dan diskusi mendadak. Tidur? Ya, aku masih mendapatkan jam untuk tidur. Pukul dua pagi sampai pukul lima pagi. Hanya tiga jam.
Dibuat sibuk dengan aktivitas seperti ini. Aku jarang bahkan tidak sempat menggoreskan tinta untuk menulis jurnal ini dipenghujung malam. Paling tidak aku bisa merangkum kejadian seminggu lalu.
Lima anak; Chimera, Zirbad, Sena, Jasmine dan Amerta. Pertama melakukan simulasi dengan mereka di tengah hutan. Pukul delapan malam. Masing-masing memegang laras panjang. Simulasinya cukup mudah, mereka cukup membuat pakaian lawan menjadi sedikit sobek. Entah itu kain pakaian di lengan dan bahu atau celana. Masing-masing mereka berlima tidak bekerja dalam tim. Setiap orang boleh menembak(membuat baju lawan menjadi sobek) siapapun sasarannya. Dan yang paling akhir bertahan, ia adalah pemenangnya. Kalaupun membuat goresan luka sedikit saja, ia dinyatakan kalah. Bagi yang sudah tertembak, ia harus berteriak "I'm out." Agar temannya mengetahui kalau ia sudah tertembak. Dari awal aku ingin menanamkan kehati-hatian dan keakuratan pada mereka. Seorang sniper tidak boleh lengah sedetik dan setitik pun.
Malam itu, saat simulasi, mendung dan gelap. Aku menunggu mereka berlatih. Aku menutup mata dan mendengar suara gesekan rerumputan, ada yang merayap di tanah dari arah utara. Ada suara lembut dari pelatuk laras panjang. Suara yang mewakili perasaan yang yakin dan bersemangat. Aku tak tahu suara itu mampu mengantarkan peluru tepat sasaran atau tidak. Aku hanya mendengarkan saja. Menikmati suara, membuatku nyaman, seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur.
45 menit berlalu. Aku mendengar ada delapan kali tembakan. Entah dari siapa. Kalau ada delapan kali tembakan berarti diantara mereka ada yang meleset ketika menembak. Tersisa berapa aku juga tak tahu.
Ada suara nafas yang tersengal menghampiriku. "Apa aku yang pertama kali tertembak?" Ucap Zirbad. "Tak tahu, baru kamu yang ke sini. Entah jika ada temanmu yang tertembak tapi masih berjalan atau mengendap ke sini." Ucapku. Aku melihat baju dibagian lengan kiri Zirbad sobek karena peluru laras panjang.
Setelah Zirbad, datang Chimera dan Jasmine. Tersisa dua, Amerta dan Sena. Terjadi duel yang menarik di sana.
Setelah itu, Sena datang menuju tempat kami berkumpul. "Apa kah aku menang? Dua jam aku menunggu tak berkutik. Aku pikir sudah habis." Ucap Sena menatap kami. Aku mengucap sebuah nama, "Amerta." Raut muka Sena seketika berubah. Terlihat ia mengerutkan dahinya. Sena berdiri dan melihat sekeliling. Aku, Zirbad, Chimera, dan Jasmin duduk bersandar di pohon. "Pssshh..." Aku mendengar suara peluru yang melesat, mengenai baju Sena. "Aku kalah ya?" Ucap Sena sambil meraba bajunya, di perut sebelah kiri, ia menemukan permukaan bajunya yang sobek.
Berapa menit kemudian Amerta datang ke tempat kami berkumpul. "Kamu kurang bersabar, Sena. Aku belum berteriak out. Aku melihatmu berjalan dan sangat mudah menembakmu." Ucap Amerta.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Mercusuar
Surat tugasku telah turun lagi. Aku dalam perjalanan menuju pesisir. Malam hari, tepatnya dini hari, aku pastikan telah tiba di mercusuar. Lampu mercusuar sengaja dipadamkan. Agar aku bisa berkonsentrasi dan yang lebih penting dalam gelap keberadaanku tidak diketahui. Penyergapannya ada di laut, tiga kilo meter dari mercusuar. Tugasku hanya melindungi pasukan, antisipasi jika target memberontak dan menodongkan senjata. Sebelnya, amggota kami berhasil mengendus komplotan penyelundup narkotika di kapal pesiar. Dikabarkan, dari kapal pesiar narkotika akan di oper ke kapal nelayan, perdagangan gelap.
Pukul satu malam. Sesuai instruksi, anggota kami berhasil menyusup selama tiga hari dan malam ini berhasil mengambil alih kapal persiar. Beriringan dengan perahu patroli laut yang mengepung kapal pesiar. Dari mercusuar aku melihat perahu nelayan mulai berhamburan menjauh. Aku arahkan bidikanku ke pintu utama kapal pesiar. Siaga. Saking berkonsentrasinya, aku tidak berfikir untuk menelan air ludahku sendiri. Mengatur nafas.
Jemariku mulai mendekat ke pelatuk senapan SPR-2. Dua orang berbadan kekar, lengkap dengan senapan serbu ditangan mereka. Mereka memegang senapan jenis STEYR. Semuanya harus hidup. Semuanya. Termasuk target dan anggota kami. Komandan menginginkan terget tetap hidup. Agar mudah untuk melacak komplotan lain yang masih berkeliaran.
Saraf otakku mulai berunding. Menentukan target mana dulu yang harus aku lumpuhkan. Pada tubuh bagian mana. Apa mereka memakai rompi anti peluru dibalik pakaian mereka. Aku mengarahkan bidikanku tepat ke target yang ada di baris depan. Sasaranku adalah lengan kanannya. Agar ia tidak dapat menarik pelatuk senapan miliknya. Peluru melesat mengenai sasaran. Senapan miliknya jatuh tergeletak. Satu lagi, temannya terlihat panik sembari menodongkan senapan serbu. Sasaran empuk. Aku mengarahkan bidikanku ke lengan kanannya, sama seperti aku menembak rekannya tadi. Belum sempat pelatuk berbunyi klik, ia sudah terlebih dahulu berlutut dan meletakkan senjata.
Tinggal pembersihan. Aku mengamati sekeliling. Memastikan tidak ada pengganggu, tidak ada serangan lagi. Situasi sudah aman. Aku mengemasi SPR-2 milikku. Dan bergegas turun dari mercusuar. Sniper diperintahkan tidak boleh asal membunuh. Situasi genting seperti apapun usahakan hanya melumpuhkan. Kalaupun memang harus membunuh itu hanya dimedan perang. Benar-benar perang.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Persimpangan
Aku keluar dari pertapaan. Dua hari aku mengasingkan diri dan memantapkan pilihan. Tidak mungkin jika aku berkhianat. Nanti tidak ada kubu yang memihakku. Nanti dengan mudah Hermes mengambil alih hidupku. Pilihan yang aku ambil amat sangat memberatkanku. Aku pasti kelelahan selama dua tahun ke depan. Tertatih.
Mengapa Hermes mengincarku. Informasi apa yang ia butuhkan dariku. Apa ia menginginkan aku menjadi budaknya? Lalu aku dibuang ketika keinginannya terpenuhi. Atau ia memiliki tujuan lain dan menginginkanku hidup-hidup?
Hermes teman ayahku. Ia yang mengakuinya. Ketua hanya menghela nafas ketika mendengar nama Hermes. Informasi apa yang Hermes bocorkan dimasa pengabdiannya dan apa alasan ia berkhianat. Kepalaku dipenuhi ketidaktahuan. Benang yang rumit. Dan aku minim informasi mengenai dia.
Mencetak lima sniper dalam satu tahun bukanlah hal yang mudah. Terlebih aku tidak berbakat menjadi seorang guru. Dalam benakku aku benar-benar akan kesusahan. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku paham, ketua tidak membeberkan semua informasi kepada anak buahnya. Ketika anak buahnya ingin tahu hal yang lebih. Pasti sudah dicap membelot. Tidak patuh. Karena pada dasarnya kami harus patuh. Karena kami tidak lebih dari "alat".
Ketua membiarkan pintu ruangannya terbuka. Seolah mempersilahkanku untuk masuk. Menyambutku dengan senyuman ramah. Sangat ramah. Ia menutup pintu lalu mempersilahkanku duduk. "Bagaimana keputusanmu, Rose?" Ia bertanya langsung ke inti permasalahan. Membuatku sedikit bahagia karena ia tidak mengulur waktu. "Aku mengambil keduanya, pelatih sniper dan penyandi." Ucapku dengan yakin. "Egomu telah membunuhmu, Rose." Ucap ketua sambil menyeringai. Ekspresinya membuatku tidak nyaman. "Kau akan tertatih dan kesakitan. Kau tahu, kan? Jalan yang kau pilih seperti apa." Ucap ketua. Aku tidak menanggapi perkataannya. Keputusan yang aku ambil sudah bulat.
"Ini, kau harus menjadikannya sniper sama seperti kemampuanmu." Kata ketua sambil meletakkan lima amplop putih berukuran besar ke atas meja. Aku mengambilnya dan permisi. "Temui mereka kapan pun kamu mau. Kamu ajak dalam misi milikmu tak mengapa. Lima anak itu tanggung jawabmu. Kesalahan mereka, juga kesalahanmu." Ucap ketua.
Aku menuju mess. Ingin membedah lima amplop ini secepatnya. Tidak kulihat Iris dan Mbak Rena. Mungkin mereka sedang bertugas. Mungkin. Atau ada keperluan lain. Lima amplop masing-masing di dalamnya ada dua lembar kertas. Semacam biodata dan ringkasan hidup mereka.
Zirbad, Chimera, Sena, Jasmine, dan Amerta. Mari kita telaah satu persatu. Zirbad, Chimera, dan Sena adalah seorang laki-laki. Aku tertawa kecil ketika membaca nama Chimera. Ia juniorku, dulu waktu berlatih, seharusnya ia melemparkan granat, tetapi justru melemparkan bom asap. Chimera kalau diplesetkan menjadi chimney yang artinya cerobong asap. Zirbad, ia tegas dan keras kepala, saklek. Chimera, laki-laki yang terkadang mengutamakan perasaan, seperti perempuan. Sena, ia menganut paham satu rasa sama rata, semua harus diperlakukan "sama". Ia harus mengenal keadilan yang sesungguhnya, pikirku. Jasmine dan Amerta. Dua perempuan ini cenderung kompetitif dan sportif. Nilai ujian teori mereka sama persis. Menarik kalau diadu dalam praktik. Lima anggota baru. Apa aku benar menjadi seorang guru, maksudku pelatih, atau aku hanya "pengasuh" mereka.
"Wih, kembar lima. Selamat jadi ibu." Celetuk Iris. Ia memakai seragam lengkap dengan atributnya. Ia meletakkan berkas yang ia bawa ke atas mejanya. Disusul belakangnya ada Mbak Rena yang membawa map cokelat berisi surat perintah kerja. "Ada yang siap berdarah nih. Selamat berjuang." Ucap Mbak Rena. Aku merapikan amplop yang terjajar di meja.
"Nih, surat tugasmu. Mau didampingi sama anak yang mana?" Tanya Mbak Rena sambil memberikan map kepadaku. "Seminggu uji coba dulu, Mbak. Simulasi di kandang." Jawabku. "Kamu pindah posisi selama dua tahun ke depan. Gak perlu investigasi di lapangan. Cukup sniper dan penyandi." Ucap Mbak Rena. Dua tahun tidak melancong lagi. Tidak ekspedisi lagi. Kameraku terancam akan berdebu.
Aku meninggalkan mess, bergegas ke gudang senjata, mengecek lokerku. Senjata laras panjang, pistol, pisau, rompi anti peluru, lengkap semua.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Negosiasi
"Fotonya mana?" Tanya Mbak Rena sambil membaca kertas laporanku. "Ini, Mbak." Ucapku sambil menyerahkan kartu memori. "Sindikat ya? Jaringannya pasti banyak. Tutup lubang gali lubang. Gak satu atau dua kali nih. Harus terus sisir Denpasar." Jelas Mbak Rena. "Bener, Mbak. Di olshop juga banyak pengiriman jus jamur dari Denpasar. Home made." Jelasku. "Sip, sip. Paling tidak sudah tertangkap satu ini. Tinggal menelusuri anak buahnya. Walaupun sudah tertangkap, tapi jaringannya juga masih banyak." Kata Mbak Rena. "Mbak, btw nih, ya.. Aku jadi melatih di kandang?" Tanyaku lirih. "Wah, itu gatau aku. Tanya komandan coba. Surat tugasmu belum ada yang turun lagi." Kata Mbak Rena sambil merapikan kertas yang ia baca.
Aku meninggalkan ruangan dengan perasaan tak menentu. Ke kantor? Menemui ketua? Atau kembali ke mess? Perasaanku mulai bergejolak. Aku ingin menjelajah. Mendengar suara letupan senapan. Melihat asap mesiu yang indah dari ujung senapan. Mengirimkan sandi saat situasi mencekam. Langkah kakiku tak menentu. Seolah aku pasrah menuju ruangan ketua. Aku ketuk pintu tanpa mengucap permisi. Tiga kali aku mengetuk pintu. "Masuk." Suara lantang terdengar dari dalam ruangan. "Ada apa, Rose?" Ketua bertanya padaku dengan tersenyum. Aku tahu wajahnya menyembunyikan hal-hal yang membuatnya resah tentang berbagai hal. "Apa aku akan diam di kandang? Melatih?" Tanyaku tanpa bertele-tele langsung ke akar permasalahan. "Hahaha... Rumor itu dengan cepat ke telingamu. Dari siapa kau mendengar berita ini?" Tanya ketua. "Atroma, kakakku sendiri. Kemudian Hermes, teman ayahku." Jelasku dengan nada datar. "Wah, Hermes turun tangan juga." Kata ketua. Aku dipersilahkan duduk. Kemudian kami berbincang.
Hermes, memang benar teman ayahku. Tapi ia berkhianat. Meninggalkan medan perang. Membocorkan informasi. Dan tidak pernah kembali sampai sekarang. Kalau rumor tentangku sampai bocor ke telinga Hermes. Berarti banyak mata-mata Hermes yang mengorek informasi kami. "Lima puluh persen informasi ada di kamu. Sebagian besar penyandian. Mengamankanmu di kandang agar semua informasi tetap utuh. Biar informan lain yang mengembara. Lagi pula kami kekurangan sniper untuk dua tahun ke depan. Kamu sekalian melatih." Jelas ketua. Gigiku semakin rapat. Saling menekan. Egoku atau naluriku, entah yang mana, mendorongku untuk berucap meluapkan perasaanku yang haus akan alam liar. "Atau kau ambil keduanya, pencari informasi dan melatih sniper? Biar kau melihat keringat darahmu sendiri." Kata ketua. Itu artinya aku sangat kelelahan jika menjalani keduanya. "Resikomu, bahkan resiko terbesar bagi kami, kalau kau keluar kau akan di incar oleh Hermes, kau dipaksa membocorkan informasi atau kau jadi santapan pistolnya. Mudahnya seperti itu." Jelas ketua. "Pikirkan terlebih dahulu selama dua hari. Melatih di kandang atau tetap di alam liar dengan catatan kau harus mencetak lima sniper sepertimu dan tidak bertemu dengan Hermes. Hanya dirimu sendiri yang melindungimu jika bertemu dengan Hermes." Kata ketua.
Dua lubang yang berbeda. Satu lubang cukup dalam tapi penuh makanan dan aman. Satu lubang lagi dangkal dan luas namun sama sekali tidak aman. Aku kembali ke asrama, mengemas barang-barangku. Aku akan pergi lagi. Menenangkan pikiran dan menemukan jawaban. "Berangkat bertapa? Mencari jawaban atau memantabkan jawaban?" Tanya Iris. Dia tahu kalau aku tidak ingin melatih di kandang. Aku hanya tersenyum dan memeluknya. "Dua hari lagi, aku akan kembali." Kataku dengan tersenyum.
Jawa Barat, 15.07. Curug, air terjun, mata air. Aku akan menenangkan pikiranku di sini selama dua hari. Laki-laki melompat dari tebing setinggi tiga meter dan cipratan airnya membasahi sebagian pakaianku. Gelang hitam di tangan kanannya terlihat licin dan berkilau. "Senior!" Teriakku. " Rose. Gimana? Jadi melatih di kandang?" Tanya Nico, seniorku. Ia bertanya padaku sambil menyeringai. Ia keluar dari air dan mengambil pakaiannya. Aku mencuci muka dengan air yang mengalir. Melihat air terjun sudah cukup segar. Tidak perlu bermain air, tidak perlu membasahi tubuhku. Anak-anak kecil berenang, melompat, dan saling tertawa mengguyur temannya dengan air. Mereka tersenyum padaku dengan gigi yang bergetar, jelas terlihat menggigil. Namun sangat seru dan menyenangkan.
"Gimana? Melatih atau mengembara?" Kata Nico sambil menggigit sepotong roti. "Mengembara." Jawabku. Nico hanya mengangguk dan meneruskan mengunyah roti. Pandangannya ke depan tanpa berkedip. "Hermes itu sifatnya bagaimana?" Tanyaku. "Aku tak tahu. Hanya mendengar namanya saja." Ucap Nico. "Gimana? Sudah melamar?" Tanyaku, mengganti topik. "Urus saja urusanmu, ikan kecil yang sok besar!" Ucap Nico sambil mengenakan tas dan bergegas pergi. Tenang. Tenang. Urus urusanku sendiri. Tenang. Memang seperti itu seniorku. Kami sering berpapasan selayaknya kereta api. Berpapasan dari arah yang berlawanan. Seperti angin. Tidak, tidak. Lebih tepatnya seperti sambaran kilat. Sangat cepat.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Sampai Jumpa, Bali!
Esok subuh, tempat peternakan sapi dan juga tentunya tumpukan olahan magic mushroom akan disergap. Ada ruangan kecil di dalam peternakan itu. Di sudut bangunan. Bilik kecil dengan anyaman bambu. Kameraku tak sengaja mengabadikan sesuatu di dalam sana. Tumpukan botol berisi jus jamur. Sekilas terlihat mirip dengan tuak. Entah bagaimana rasanya, aku tak ingin mencicipinya.
Pesanku telah diterima komandan. Dan kali ini, ditempat ini, tugasku telah usai. Wah cepat sekali. Ya, aku hanya sedang beruntung. Kalau lagi apes ya apes. Pernah satu bulan mencari bandar narkotika sukit ditemukan. Kelas kakap. Kurang dari satu minggu aku di Denpasar. Ingin main sebentar ke pantai. Ah, tidak mungkin bisa. Aku sudah menerima tiket pesawat jadwal keberangkatan sore ini.
Aku mengemasi barang-barangku. Mengembalikan tiga buah novel milik Ine. Satu bungkus roti yang masih utuh dan separuh toples berisi selai kacang aku berikan kepada Ine. Ine terlihat sedih karena aku akan pergi. Baru beberapa hari, Ine akrab denganku, aku dianggap seperti kakak kandungnya sendiri. Derita anak semata wayang. Kesepian.
"Ine, kalau sudah besar mau jadi apa?" Tanyaku. "Perawat." Jawab Ine dengan semangat. "Kenapa?" Tanyaku. "Berhati lembut. Kalem." Sahut Ine. "Kok enggak dokter?" Tanyaku. "Perawat aja, biar bisa ambil hati dokter." Celetuk Ine dengan sedikit tersipu malu. Uhuk. Aku tersedak air liurku sendiri. Sejauh itu kah pemikiran anak zaman sekarang? Menggelitik mendengarnya. "Kakak, sebelum ke bandara kita selfi, yuk." Ucap Ine sambil mengambil smartphone miliknya di meja. Aku langsung memeluk Ine. "Bagi kakak, pelukan lebih berharga daripada jepretan foto. Belajar yang tekun, ya. Terima kasih sudah menganggap kakak sebagai kakak kandung." Aku berbisik pelan kepada Ine. Aku menghindari sesi foto ajakan Ine. Sebisa mungkin wajah ini jangan diabadikan dimanapun. Aku berpamitan dengan Pak Surya dan Ine.
Di depan sudah ada mobil hitam yang akan mengantarku ke bandara. Mobil hitam dengan plat hitam. Aku masuk ke dalam mobil itu. Melambaikan tangan kepada Ine dan Pak Surya. Sampai jumpa di lain waktu. Aku melihat ada baret biru di atas dashboard bagian depan. Hmm... Utusan dari brigade mobil rupanya. "Namanya siapa, Mbak?" Ucap bapak itu. "Dian, Pak." Ucapku singkat. "Nama asli apa palsu, Mbak? Hahaha..." Ucap bapak itu seraya tertawa keras. Aku hanya menyeringai. Semoga ingat, semoga ingat. Namaku di Bali adalah Dian. Bukan lagi rahasia jika orang dengan pekerjaan seperti ini berganti-ganti nama.
Lalu lintas cukup ramai namun masih kondusif. Hiburanku selama diperjalanan adalah memejamkan mata. Ya, memejamkan mata. Mengingat setiap enkripsi pesan-pesan. Menyusun pola untuk sandi baru. Itu hiburan. Karena aku tak tahu apa yang harus aku lakukan selama empat puluh menit menuju bandara. "Kenapa, Mbak? Meditasi?" Tanya bapak itu. Aku tersenyum tidak menjawab. "Lah, cuman senyum. Udah mau sampai, drop off di sini ya." Kata bapak itu. "Terima kasih, Pak. Sampai jumpa di lain kesempatan." Ucapku sambil turun dari mobil. "Hati-hati, Mbak. Selamat siang." Ucap bapak itu sambil hormat kepadaku. Salam yang klasik. Tak berjabat tangan, hormat pun jadi. Aku hanya mengangguk kepada bapak itu, bapak yang tidak aku tanya siapa namanya.
Satu jam lagi pesawat akan tiba. Semoga tidak delay. Aku akan ke Jakarta, membuat laporan, berdiskusi, aku lebih suka menyebutnya diskusi, bukan rapat. Cuaca sangat mendukung, kemungkinan penerbangan lancar, tidak delay. Lagi-lagi kopi menggodaku. Hatiku mulai goyah. Beli, tidak, beli, tidak. Aku membeli jus dan roti saja. Semoga kenyang sehingga tidak tergoda oleh kopi.
Pukul 17.00. Pesawat sudah mengudara. Perjalanan menempuh waktu selama satu jam empat puluh menit. Aku menutup mata bukan karena takut, tapi karena menyusun huruf demi huruf untuk enkripsi. Sesekali melihat gumpalan awan dari kaca jendela. Terang benderang dan sebentar lagi petang. Pesawat menuju ke barat. Seolah mengantar matahari pulang ke peraduan.
Landing, 17.40. Petang datang. Transisi langit yang indah. Aku sudah sampai Jakarta. Selanjutnya mencari halte transjakarta terdekat. Aku harus segera menulis laporan dan menemui staf analis. Membicarakan hal ini, bandar magic mushroom, lebih lanjut. Di Bali masih sangat mudah menemukan magic mushroom. Dan punya jaringan. Bahkan ada jual beli melalui online shop. Kenapa tidak lewat deep web aja, sedikit lebih susah dilacak daripada di online shop. Sedikit lebih susah, bukan berarti tidak bisa. Dan kami akan terus mengendus. Menelusuri satu per satu.
Aku sampai di sebuah pemberhentian transjakarta yang terdekat dari bandara. Hanya sepuluh menit aku menunggu transjakarta datang. Aku mengambil tasku dan masuk ke dalam transjakarta. Selanjutnya aku akan menuju komplek dan menulis laporan di sana.
Sesampainya di komplek aku memindah memori foto ke dalam laptop. Dan baru tersadar kalau tasku tertukar. Tas berisi kamera dan pakaianku lenyap. Panik. Ini tas siapa? Kok packing dan penempatannya sama sepertiku? Alat mandi di sini. Pakaian di sini. Kertas dan pena di sini. Sama persis penempatannya. "Kenapa, Rose? Bikin ulah lagi kau?" Tanya Iris. "Tasku tertukar. Tapi lihat deh. Susunan barangnya seperti ini. Seperti cara kita berkemas sebelum pergi jauh." Ucapku. "Iya, sih. Mirip kayak kita pack barangnya. Cowok tuh, coba kamu tanya ke komplek anak cowok." Sahut Iris. "Rose, kok kamu tenang. Memorinya? Kameramu?" Tanya Iris. "Memori, hp, yang penting-penting ada di saku." Ucapku.
"Yang terpenting adalah menulis laporan dulu. Urusan tas belakangan aja." Ucapku sambil menyalakan laptop. "Hei! Bukan perkara itu. Emang yang punya gak cariin tasnya? Kameramu juga masak hilang biarin gitu?" Kata Iris dengan lantang. Ia juga menutup laptopku. "Iya, iya. Aku ke pemberhentian transjakarta deket bandara sekarang juga. Tertukar di situ tasku." Kataku dengan lesu.
Sementara itu...
"Tertukar. Ada kamera DSLR, barang kali ada fotonya." Kata seorang laki-laki yang tasnya tertukar. "Tapi tidak ada memorinya." Gumam laki-laki itu dengan kecewa. Sama sepertiku, laki-laki itu kembali menuju pemberhentian transjakarta di dekat bandara, tempat dimana tas kami tetukar.
Pukul 19.50 kami bertemu. "Mas, tasnya tertukar, ya?" Tanyaku pada seorang laki-laki yang sedang duduk. "Iya. Ini punyamu?" Ia bertanya padaku. "Iya." Jawabku. Kami mengembalikan masing-masing tas. "Cek dulu, Mas. Kelengkapan barang-barangnya." Ucapku. "Aman. Lengkap. Terima kasih." Ujar laki-laki itu. "Salam kenal, saya Rudi." Ucapnya. "Saya Dian." Ucapku. Ada yang aneh dengan laki-laki ini. Sepatunya berlumpur, tubuhnya bau mesiu. Spontan aku bertanya, "Habis dari perbatasan, Mas?" Tanyaku. "He?" Rudi bingung dengan pertanyaanku. "Sepatu berlumpur, bau mesiu, tangan kekar karena pegang laras panjang, angkat beban, dari Timor Leste, ya?" Ucapku secara runtut. "Kamu siapa?" Ia kaget dan bertanya padaku. "Dian." Jawabku singkat. "Nama palsu. Kamu siapa?" Ia mulai menggertak. "Aku yang bertanya seharusnya, Mas sebenarnya siapa? Masih pakai nama samaran Rudi?" Aku bertanya pelan. "Okey, buat aku percaya kalau kamu memang sama sepertiku." Pinta Rudi. "Dewa Ruci, Taman Siswa, Taman Menteng." Ucapku. "Kita dari aliansi yang sama." Ucapnya. "Bela Negara." Ucap kami dengam kompak. "Rose. Teman-temanku manggilku, Rose." Ucapku mematahkan nama samaranku tadi. "Eagle. Namaku Eagle." Ucap laki-laki itu. Kita sama-sama tau, Rose bukanlah nama asliku, begitu juga dengan Eagle.
"Sebagai apa kamu?" Tanya Eagle. "Penyandi. Enkripsi. Kamu sniper, kan?" Tanyaku. "Iya. Benar. Terlebih tebakanmu juga benar kalau aku dari perbatasan Timor Leste." Jelasnya. "Aku harus ke kompleks, menulis laporan." Ucapku. "Dimana?" Tanya Eagle. "Kompleks, kan aku sudah bilang tadi." Ucapku. "Rose, apa kita akan bertemu lagi?" Tanya Eagle. "Semoga dan aku harap iya. Mari sama-sama berusaha." Kataku sambil masuk ke dalam transjakarta. Rudi, maksudku Eagle, ia melambaikan tangan padaku dan berjalan menuju jembatan layang.
Beberapa detik kemudian aku tersadar. Apa yang aku katakan barusan? Harapan apa? Kenapa aku bahagia? Kenapa otot-otot pipiku seolah saling menarik. Apa pipiku merona? Pantulan wajahku di kaca tidak terlihat jelas. Ada apa denganku?
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Liburan? Oh, Ternyata Bukan
"Kak, hp-nya kok butut. Jadul. Gak punya smartphone?" Tanya Ine. Gadis enam belas tahun yang berwajah kalem dan polos. Ekspresinya membuatku gemas, ingin mengacak-ngacak rambutnya. Hanya ingin. Tidak benar aku lakukan, tentu karena segan. "Ada dua. Hp butut ini yang selalu kakak bawa ketika liburan. Hp smartphone, kakak tinggal di Jakarta. Hp smartphone untuk keperluan kerja. Kalau hp butut ini untuk menghubungi keluarga aja. Biar bisa liburan dengan tenang, tidak memikirkan pekerjaan." Jelasku. Mulut Ine membentuk huruf O, seraya mengangguk, tanpa terdengar suara.
Kami berdua bergegas ke minimarket. Membeli kebutuhan sehari-hari dan beberapa camilan. Tak lupa kebutuhan primerku, roti dan selai kacang. "Banyak sekali." Kata Ine dengan mata terbelalak melihat keranjang belanjaku. Empat bungkus roti tawar, dua kotak susu bubuk, dan dua toples selai. "Ini makanan pokok dan camilan." Ucapku dengan tersenyum lebar. Ya, aku membutuhkan banyak energi untuk berfikir.
Apa yang aku fikirkan? Suspect, ya, tersangka. Alasanku memotret sapi untuk mengoleksi foto adalah menelusuri peternakan sapi yang memproduksi magic mushroom, termasuk salah satu narkoba. Pelancong? Turis? Itu hanya pembungkusnya saja. Kemarin, seorang bapak yang membajak sawah bersamaku, memberi tahu kalau tiga ratus meter dari sawahnya ada peternakan sapi. Ada sepuluh ekor sapi di sana. Naluriku penasaran dengan tempat itu. Setelah dari minimarket, aku akan ke sana. Setelah mengantar Ine pulang. Dan mengambil kamera.
10.47. Hari ini Denpasar cerah. Cerah yang bersahabat, tidak membuat keringat bercucuran. Aku berjalan ke arah timur. Melewati persawahan. Menyapa petani yang sedang beristirahat, duduk di pematang sawah. Mengabadikan senyuman dan keramahan mereka. Terus berjalan, terus berjalan. Aku mencium aroma kotoran sapi. Menandakan bahwa sudah dekat dengan sesuatu yang kucari.
"Cari apa, Nak?" Tanya seorang laki-laki yang turun dari sepeda motornya. Ia membawa satu karung penuh berisi rumput. Ada tali dari karet ban mengikat karung di motornya, agar tidak jatuh. "Ini peternakan sapi, Pak? Mau lihat gimana cara merawat sapi." Ucapku dengan intonasi seperti bocah polos. "Dari mana, Nak? Liburan?" Tanya bapak itu, sambil melepas ikatan tali karet ban yang melilit karung. "Jakarta, Pak. Iya, liburan." Jelasku. "Wah, Jakarta. Gedung tinggi semua, tidak bisa memelihara sapi di sana. Hahaha..." Ucal bapak itu dengan tertawa.
Pak Sukma namanya, pemilik peternakan sapi. Cukup luas. Ya, karena sepuluh ekor sapi tidak lah kecil. Aku memotret sapi-sapi yang bertanduk. Unik saja pikirku. Aku bukan pecinta sapi. Ya, karena pekerjaan, sebisa mungkin aku harus menikmatinya. Se-natural mungkin. Satu ekor sapi memiliki satu kandang. Masing-masing rersekat dengan tembok kurang lebih setinggi satu meter. Ada yang satu kandang berisi dua ekor sapi. Romantisnya. Romantis dari sisi sapi. Beberapa sapi menatapku, pandangamnha mengikuti langkahku. Mungkin yang ia pikirkan, siapa aku, kenapa aku di sini. Bahasa per-sapi-an dari telepati pikiran.
Beberapa kotoran sapi terlihat menumpuk di tepi kandang. Melekat dengam tembok. Bercak-bercak putih sedikit terlihat. Cikal bakal magic mushroom. Mari eksplorasi lebih dalam. Botol kaca tergeletak di bawah kursi kayu yang panjang di belakang peternakan. "Wah, belakang sini sungai, Pak." Ucapku. "Iya, Nak. Sungai untuk pengairan sawah." Jelas Pak Sukma. "Kalau mau turun ke sana lewat mana, Pak? Airnya jernih, bagus buat foto." Ucapku dengan tersenyum lebar. Mendandakan bahwa bahagia. "Lewat pematang sawah sebelah dulu, baru bisa turun ke situ." Jelas Pak Sukma, tangannya menunjuk mengisyaratkan untuk lewat sebelah sana.
Ikatan tali sepatuku terlepas. Aku meletakkan kameraku di kursi kayu lalu mulai mengikat tali sepatu. Sambil menunduk, mengikat tali sepatu, aku mencium aroma menyengat dari botol kaca yang tergeletak di bawah kursi. Botol ini pasti pernah digunakan untuk menyimpan jus magic mushroom. Dirasa sudah cukup, aku pamit meninggalkan peternakan milik Pak Sukma.
Pukul 20.17, Ine masih belajar di kamarnya. Aku mengetuk pintu kamar Ine. "Ine, punya novel? Aku butuh bahan bacaan." Pintaku kepada Ine. "Ada, Kak." Kata Ine sambil menyodorkan tiga buah buku. Aku meminjam semuanya. Menimbang mana yang aku suka lalu membacanya. Cukup satu kali saja aku mengusik Ine yang sedang bercengkrama dengan rumus-rumus di kamarnya.
Aku menutup pintu kamarku dan membaca sampul belakang novel. Romansa. Romansa. Romansa. Semua tentang percintaan. Ini yang digemari anak zaman sekarang? Anak seumuran Ine. Aku meletakkan semua novel di meja. Batal membaca.
Pukul 20.32. Aku menuliskan pesan kepada atasan. "Pin. 5. 2." Sent! Sembari menunggu balasan, aku mengoleskan selai ke roti tawar.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Bali Berawan
"Bangun, sudah pagi." Kata Ine sambil menggedor pintu kamar. Sontak aku membuka mata dan melihat handphone, 04.03 pagi. "Sebentar." Sahutku. "Kakak ga sembahyang? Subuhnya mau habis." Tanya Ine. Mata yang setengah terkantuk terbelalak lagi. 04.03 itu waktu menunjukkan di rumahku, kalau aku di Bali berarti sekarang pukul 05.03. Aku tersadar dan berlari menuju kamar mandi. Mengabaikan Ine yang berdiri di depan kamarku.
05.27. Bali terlihat berawan, matahari sama sekali tidak menyapa. "Ini, Kak, tehnya." Kata Ine sambil membawa nampan berisi segelas teh menuju gardu di depan rumah. "Terima kasih. Ine mau pergi ke pura?" Tanyaku sambil membuka tutup gelas. "Iya, Kak. Mau sembahyang." Sahut Ine. "Ine, nama lengkapmu siapa? Inneke?" Tanyaku penasaran. "Caroline, banyak yang mengira namaku Inneke." Kata Ine dengan tersenyum lebar. "Berangkat dulu, ya, Kak." Kata Ine. "Oh, ya. Hati-hati di jalan." Ucapku sambil tersenyum.
Caroline, biasa dipanggil Ine, seorang gadis yang sangat ramah dan sopan. Selama di Bali, tepatnya Denpasar, aku menginap di salah satu rumah penduduk setempat. Rumah milik Pak Surya. Lima tahun silam, istrinya meninggal. Ine adalah anak semata wayang. Hanya mereka berdua yang menempati rumah ini. Pak Surya bercerita padaku, ketika akhir pekan, saudaranya sering berkunjung hal itu membuat hati Pak Surya bahagia. Melihat anak kecil, kemenakannya berlarian di rumah.
"Mari masuk, sarapan." Kata Pak Surya. "Iya, Pak." Ucapku sambil turun dari gardu dan membawa gelas kosong, yang semula berisi teh. Belum sampai di ruang makan, aroma masakannya sudah tercium, menggugah selera. "Wah, masak sendiri, Pak?" Tanyaku. "Iya. Hobi saya sama mendiang istri adalah memasak. Ini masakan andalan kami." Kata Pak Surya. Aku mengambil buah yang ada di meja lalu mengupasnya. "Loh, gak makan nasi? Itu enak loh, babi guling, coba dulu." Kata Pak Surya sambil mengambil nasi. "Terima kasih, Pak. Saya sudah terbiasa makan buah sama roti." Ucapku. "Duh, maaf, kamu tidak makan daging babi, ya?" Tanya Pak Surya. "Tidak, Pak." Kataku sambil tersenyum. "Wah, gimana, ya? Perkakas kami, rata-rata sering dipakai untuk memasak daging babi tiap minggu. Masa setiap hari makan buah sama roti aja?" Tanya Pak Surya dengan sedikit kebingungan. "Tidak apa-apa, Pak. Saya di rumah, setiap hari makan roti, jadi sudah terbiasa." Jelasku.
09.16. Bali masih di selimuti awan. Tidak ada angin yang berhembus. Tidak ada rintik hujan. "Liburan ke Bali kok sendirian?" Tanya Pak Surya. "Iya, Pak, refreshing, capek di kantor." Jelasku sambil membersihkan lensa kamera. "Kerja di mana?" Tanya Pak Surya. "Kantornya ada di Jakarta, Pak. Eebagai editor, kadang juga nulis artikel wisata." Jelasku. "Wah, mantab. Terus kamu ke sini jadinya seperti kerja, kan mengulik tentang wisata." Kata Pak Surya. "Beda, Pak. Saya niatkan full liburan, menikmati Bali." Kataku dengan sedikit tertawa. "Saya mau keliling dulu, Pak. Mau cari pemandangan." Kataku sambil beranjak dari kursi. "Oh, ya, silahkan. Kalau jalan ke timur banyak persawahan sama peternakan, atau mau jelajah pakai google maps juga bisa. Hahaha..." Kata Pak Surya dengan tertawa lalu tersenyum lebar, hingga guratan di mata dan pipinya jelas terlihat.
Mendung belum beranjak. Gumpalan awan diam termenung menyelimuti langit. Aku berjalan ke timur. Pemandangan yang asri dan membuat jiwa tenang. Hamparan sawah yang luas. Oh, ya, aku penasaran dengan peternakannya. Semoga ada peternakan sapi di sekitar sini. Karena aku ingin mengabadikan foto sapi yang bertanduk. Kalau jodoh memang tak kemana, di persawahan ada dua ekor sapi, seorang petani membajak sawah dengan sapi. Aku menghampirinya. Berjalan di pematang sawah dengan hati-hati agar tidak tergelincir.
Aku mengarahkan lensaku pada dua ekor sapi itu dan mengabadikan pemandangan itu. Seseorang yang membajak sawah melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya dan mempercepat langkahku. "Pagi, Pak. Boleh ikut membajak sawah?" Tanyaku dengan tersenyum. "Boleh, mari." Ucap Bapak itu. Aku melepas sepatu dan meletakkan kameraku di pematang sawah. Membajak sawah itu susah-susah gampang. Aku belum akrab dengan sapi ini. Tidak mau maju, tidak mau belok. Kesabaranku sedang di uji. Aku berusaha menjinakkannya dengan mengelus punggung dan pipinya. Seolah kami sedang berkenalan. "Biasa megang sapi, Nak?" Tanya Bapak itu. "Kuda, Pak. Sebelum menggangi kuda, saya harus berkenalan dulu dengan kudanya. Mungkin saya harus berkenalan dulu dengan sapi ini, biar sapinya nurut." Ucapku. "Wih, mantap, belajar bahasa per-sapi-an, Nak." Kata Bapak itu dengan bercanda.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Berangkat
"Wah, liburanmu usai?" Tanya kakakku. "Ya, aku harus bergegas." Jawabku sambil mengemas barang-barang ke dalam ransel. "Apa kau shift kerja dengan seniormu?" Tanya kakakku penasaran. "Tidak. Ia pulang untuk menemui seorang perempuan." Jelasku. "Hahaha. Sungguh ironis, yah, kalian ini." Kakakku tertawa keras.
Lagi dan lagi, pernikahan menjadi momok bagi orang-orang seperti kami. Kalau dipikir-pikir ya memang bemar, rata-rata menyentuh kepala tiga baru menikah. Entah karena ambisius untuk bekerja sehingga memang menunda pernikahan atau ingin menikah tapi waktu dan situasi sama sekali tidak mendukung. Aku tidak terlalu memikirkan itu. Yang aku pikirkan adalah apa yang aku hadapi sekarang, melakukan kewajiban dan tanggung jawabku. Bukan perkara susah tidaknya mencari kekasih. Namun, kekasih mana yang ikhlas menerima latar belakang seperti kami, memahami pekerjaan kami.
"Kamu pergi ke mana?" Tanya kakakku. "Eh, maaf, lupa. Bukan ranahku untuk mengetahui itu." Ucap kakakku. "Aku tak tahu kapan mengunjungi rumah ini lagi. Terima kasih. Sampai jumpa dilain kesempatan, Kak." Ucapku sambil memeluk erat kakakku. "Hati-hati. Jangan buat kecewa ayah ibu, jangan kecewakan keluarga ini." Kata kakakku sambil tersenyum. Hari ini aku akan menggunakan transportasi bus, kereta api, dan pesawat. Perjalanan yang cukup lama.
Bus cukup lengang, hanya sedikit penumpang. Aku akan turun di halte dekat stasiun. Kemudian berjalan kaki sejauh delapan ratus meter menuju stasiun. Waktu yang tepat. Lima belas menit sebelum jam keberangkatan aku sudah sampai di stasiun. Cuaca yang cerah mendukung semangatku. Aku mencium aroma kopi. Harum, seolah melambai agar aku menghampirinya. Ah, tidak, tidak. Aku tidak akan mencicipimu lagi.
Lonceng berbunyi, mengisyaratkan kereta akan tiba. Terlihat beberapa pelancong akan menaiki kereta ini. Membawa tas gunung yang menjulang tinggi. Memakai kaos dan sepatu outdoor. "Hmm... Kental dengan jiwa muda." Gumamku. Suara roda besi semakin mendekat. Suara yang membuatku semakin tertantang. Pukul 9.10 aku masuk ke dalam kereta, kereta yang akan mengantarku ke Sidoarjo.
Sawah, ladang, pepohonan, sungai, cerobong asap pabrik. Berulang kali aku melihat pemandangan itu. Masih asri. Sepuluh atau lima belas tahun lagi, apakah akan tergantikan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi? Tiada yang tahu. Yang menarik perhatianku adalah para petani. Laki-laki mencangkul, perempuan mengantarkan makanan. Romantis, bukan? Mungkin pandangan orang-orang di kota besar seperti ini, "Apa bisa mereka bahagia dengan hidup pas-pasan?" Hal itu menggelitik akalku. Menurutku petani yang hidup di desa, setiap hari terkena lumpur, lusuh, mereka itu lebih makmur dan kaya. Ia mampu menghasilkan makanan sendiri, orang di kota hanya membeli. Hidup mereka juga tentram. Nampaknya sederhana, tapi jiwanya kaya. Bukan dari materi, bukan dari kemewahan. Mereka kaya akan cinta dan menikmatinya. Nah, setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menikmati hidup.
Kembali pada laki-laki yang sedang mencangkul di sawah dan perempuan yang sedang memgantarkan makanan tadi. Mereka romantis, bukan hanya membual kata romantis. Menurutku, mereka melakukan hal-hal sepele yang mampu meluluhkan hati. Perempuan duduk di gubuk di tengah sawah, menunggu laki-laki selesai mencangkul menghampirinya. Bahagia itu sederhana. Belum sempat aku menyaksikan aksi romantis mereka, pemandangan itu tidak dapat aku lihat dari jendela kereta. Terlihat semakin jauh, semakin kecil, dan tak tampak lagi. Dalam bayangku, mereka bercengkrama, melepas lelah, tersenyum satu sama lain sambil menyantap makanan. Kejadian yang aku lihat membuatku tertunduk dan tersenyum bahagia. Aku turut berbahagia meski hanya sebagai penonton.
Tak terasa, aku sudah sampai di Stasiun Waru, Sidoarjo. Cuaca cukup terik, membuat keringatku bercucuran. Aku memesan ojek untuk mengantarku ke Bandara Juanda. Dua jam sebelum keberangkatan, aku sampai di bandara. Dua jam aku habiskan untuk membaca buku dan meneguk tiga botol air mineral dingin. Pesawat dengan kode penerbangan QG 9696 akan mengantarku dari Sidoarjo menuju Denpasar, Bali. Semoga aku tidak membuat kesalahan di sana.
Hai, Bali! Perkenalkan, aku ikan kecil, ingin mengenalmu lebih dalam.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Mari Tidur, Americano.
Kopi adalah musuh terbesar. Tidak, tidak. Hanya saja bukan kawan baik untukku. Secangkir Latte mampu membuatku terjaga 24 jam tanpa tidur. Bagaimana dengan Americano? Dua hari terjaga? Atau tiga hari? Tanpa kopi saja aku mampu terjaga semalam hingga subuh. Lalu hanya tidur selama dua jam saat pagi. Bacalah buku, kau akan tertidur. Itu pesan dari mendiang ibuku. Sampai larut aku membaca 125 halaman tidak juga terkantuk. Semua selongsong peluru pun sudah penuh terisi mesiu. Ah, kopi membuatku benar-benar rajin. Aku menutup mata dan jelas terasa otakku terus bekerja. Apa yang mampu membuatku lelah hingga tertidur? Oh, ya, aku teringat. Kenapa tidak membuat kunci enkripsi yang baru? Aku bersemangat untuk mengambil kertas dan pena. Membuat pola huruf demi huruf, angka demi angka. Hingga menemukan susunan yang tepat. Aku mulai menguap dan mata sudah berair. Kepalaku semakin berat hingga pipiku menyentuh meja. Ya, aku tidur di sini saja. Bersama tumpukan kertas. Selamat malam. Mari tidur, Americano.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Hai, Senior!
Malam hari perutku terasa lapar. Aku mengambil jaket dan bergegas pergi mencari warung yang masih buka. Setelah sejauh enam ratus meter aku berjalan, aku menemukan warung kecil yang masih buka. "Nasi goreng satu minumnya teh panas, Pak." Ucapku sambil mengacungkan jari telunjuk sebagai isyarat. Pukul sepuluh malam, jalan sudah sangat sepi. Sesekali terlihat mobil dan truk muatan barang yang melintas. Kemudian pesananku datang. Asap yang mengepul dari nasi goreng membawa aroma yang menggoda. Belum separuh piring aku menyantap makananku, ada laki-laki tinggi masuk ke warung. "Mi kuah satu sama teh panas satu." Ucapnya dengan ramah. Aku tidak melihat wajahnya. Aku hanya sepintas melirik tubuhnya. Ia duduk tepat di sampingku. "Hai, junior, ikan kecil." Ucapnya sambil melepas topinya. Aku melihat wajahnya. Ia seniorku. Kita jarang bertemu. Bisa dihitung dengan jari, hanya satu atau dua kali bertemu. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Long time no see." Ucapku untuk memulai percakapan. "Kau tinggal dekat sini?" Ia bertanya padaku. "Senior pasti sudah tahu aku tinggal dimana." Ucapku dengan yakin. Kami berdua tertawa pelan. "Bagaimana? Aman?" Ia bertanya padaku sambil mengaduk mi kuah pesanannya. "Terkendali." Jawabku singkat. Kami berdua saling kenal meski jarang berjumpa. Saling tahu meski tak pernah bersua. "Bagaimana? Kapan senior akan melamarnya?" Tanyaku, to the poin. Ia bertanya balik kepadaku, "Loh, bukannya kamu dulu?" Aku tertawa kecil. Guyonan seperti ini sangat lumrah bagi orang seperti kami yang setiap hari hanya menimbang mesiu dan menarik pelatuk. "Perjalanan masih panjang, menjaga dan memastikan hati itu tidak mudah. Yang sejati akan bertahan sampai akhir. Will be a long journey." Ucapku. "Halah, ikan kecil sok bijak." Celotehnya sambil menggelengkan kepala. "Duluan, ya, Senior. Kunjungi dia yang selalu menantimu di tengah kesibukannya." Ucapku sembari berdiri dari kursi. "Semua orang, termasuk kita, juga butuh tempat untuk pulang." Ucapku mengakhiri percakapan singkat ini.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Pusing. Tubuhku mulai sempoyongan ketika turun dari bus. Aku membuka pintu rumah dengan badan terhuyung. "Mabok kopi? Gak usah sok keren minum kopi segala. Udah tau tubuh lemah." Kata kakakku sambil membuka pintu dari dalam ruang tamu. Aku merebahkan tubuhku di atas sofa. "Habis berapa gelas tadi?" Tanya kakaku sambil membaca koran. "Satu, gelas yang besar." Ucapku sambil memijat kepala. Kakaku hanya tertawa kecil. Nampak jelas ia meremehkanku. "Sakau karena kopi. Cepat menimbang mesiu lagi. Mungkin itu bisa jadi penawar." Kata kakakku dengan wajah sedikit kesal.
0 notes
jurnalklandestin · 5 years
Text
Menjelang sore, aku memenuhi janjiku untuk bertemu dengan sepupuku di sebuah kafe. Ia seumuran denganku, hanya berbeda beberapa bulan saja. Kami saling berbincang meski sejatinya kami tidak begitu akrab. Latar belakang pendidikan kami berbeda sehingga membuatku kebingungan mencari topik pembicaraan agar kami terus bercakap. Aku mengaduk kopi hitam panas lalu meneguknya perlahan. "Jadi kapan menikah?" Ia tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu. Akalku seperti terpecut. Dan seketika aku tersedak. Berulang kali aku mendapat pertanyaan seperti itu. Tak terhitung. Aku tersenyum dan menjawabnya, "Di waktu yang tepat." Ia tidak menanggapi ucapanku. Ia mengangguk dan meneruskan menyantap kue miliknya.
0 notes