Tumgik
ismailnurhidayat · 7 years
Photo
Tumblr media
Owa Jawa. Hewan paling beradab. Hewan monogami yang hanya kawin sekali seumur hidup dengan satu pasangan. Karenanya spesies ini punya peluang punah lebih besar dari spesies lain. Jika salah satu induk betina atau jantan dibunuh untuk diambil anaknya, pasangan yang ditinggalkan tak akan kawin lagi, menyendiri dan berhenti bereproduksi sampai mati. Sampai batas-batas tertentu Owa Jawa lebih manusia daripada manusia itu sendiri. #JuruBicaraWorldTour
2 notes · View notes
ismailnurhidayat · 8 years
Text
Merdeka
Kita dan merdeka tak pernah mesra Terlalu banyak lubang dan cacat Tanah dan rumah tak bergerak Tapi jiwa, ia menyelam dalam Kening yang tersengat matahari Ia reda dengan peluh Tapi otak ingin mengeluh padamu Atas hal-hal buruk yang terdengar dari ucapmu Jiwa selalu ingin disemai bahagia Bagaimana mungkin keadaan pilu seperti itu disebut merdeka?
2 notes · View notes
ismailnurhidayat · 8 years
Text
Gus Mus
Saya pernah mengira tulisan satir bisa terdengar keren bagi siapapun. Ternyata tidak selalu. Kuncinya bukan pada subyek tapi obyek. Sebuah pesan, entah lewat tulisan atau media apapun, akan menjadi keren jika tersampaikan tanpa menyakiti. Tanpa menyinggung. 
Saya yakin, Gus Mus adalah role model bagi banyak orang dalam soal itu.
Terimakasih Gus, telah banyak ajari orang bodoh seperti saya ini.
3 notes · View notes
ismailnurhidayat · 8 years
Text
Tan Malaka yang Menjadi Tabu di Atas Tabu
Segala yang berbau PKI (Partai Komunis Indonesia) bukan hanya tabu tapi secara resmi memang terlarang dan dilarang oleh negara. Bedanya: PKI yang ditabukan pun mengharamkan Tan Malaka. PKI tak menyukai Tan Malaka. Dalam sikap resmi PKI, Tan Malaka adalah pengkhianat, Trotskyist, bahkan disebut sebagai antek imperialisme. Di hari-hari sekitar kudeta 1948 di Madiun, Musso yang baru pulang dari Moskow mencaci maki Soekarno-Hatta sebagai antek Jepang penjual Romusha. Tapi Musso merasa tak cukup hanya memaki Soekarno-Hatta, dia masih merasa perlu untuk menyeret Tan Malaka dan menyerangnya dengan keras, bahkan kasar. Orang-orang PKI yang selamat dari pembantaian 1965 beberapa di antaranya masih merawat pertentangan dengan Tan Malaka. Dalam bab terakhir bukunya mengenai kudeta Madiun 1948, Harry Poeze melakukan survei terhadap tulisan-tulisan mengenai kudeta Madiun yang ditulis pasca 1965. Dalam survei itu Poeze menemukan beberapa tulisan orang PKI yang masih membawa-bawa Tan Malaka, selain Soekarno-Hatta tentu saja, dalam analisisnya mengenai kudeta di Madiun itu. Peristiwa 1925-1926, saat Tan Malaka menolak rencana perlawanan bersenjata PKI terhadap pemerintah kolonial, menjadi dendam yang menahun. Bagi Tan Malaka sendiri, peristiwa 1926 itu jadi erupsi yang meledakkan perpisahannya dengan PKI, juga Moskow. Dan sejak itu Tan Malaka mulai mendapat sebutan Trotskyist, cap tidak enak yang biasa disematkan di jidat orang-orang yang tak setia dengan garis resmi politik Soviet. Jika PKI menjadi tabu karena secara resmi memang dilarang oleh negara, Tan Malaka tak pernah benar-benar menjadi sosok terlarang. Negara bahkan mengakuinya secara resmi sebagai pahlawan nasional pada 1963. Presiden Soekarno sendiri yang menandatangani beleid pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Dan beleid itu tidak pernah dicabut. Jadi, status kepahlawanan nasional Tan Malaka itu clear, jelas, tanpa keraguan.
Keep reading
162 notes · View notes
ismailnurhidayat · 8 years
Text
Pertalian yang Rumit dengan Gongso Ayam [cerpen]
Sejak mukim di kampung Mulo aku tahu tidak ada gongso ayam yang lebih nikmat dari bikinan Bu Nuriyah. Kuahnya kental kecokelatan, suwiran daging ayam yang empuk dan kubis setengah layu tercebur di dalamnya. Sungguh perpaduan yang membuat lidah tiada mampu berhenti menyantapnya hingga genangan kuah terakhir.
Hal itu diakui oleh semua temanku yang pernah menyantapnya. Salah satu temanku yang paling suka gongso ayam Bu Nuriyah adalah Avin. Hampir setiap hari ia menyantap gongso ayam Bu Nuriyah. Sehabis maghrib Avin biasa datang ke warung Bu Nuriyah. Memesan gongso ayam untuk dimakan di tempat atau dibungkus. Tetapi kondisi itu berubah sejak beberapa minggu lalu.
Hari itu sudah tiga minggu Avin tidak makan gongso ayam Bu Nuriyah. Baginya sudah tidak ada lagi celah untuk menikmati gongso ayam Bu Nuriyah. Ia memboikot gongso ayam Bu Nuriyah lantaran perlakuan Pak Indra, suami Bu Nuriyah kepadanya. Avin merasa sakit hati setelah beberapa kali disindir Pak Indra. Ketika ia makan malam di warung lain dan pada hari berikutnya makan malam di warung Bu Nuriyah, Pak Indra selalu menyindir. “Oh, sekarang sudah doyan gongso ayamku lagi, Mas? Kemarin ke warung depan kan?” ucapnya ketus.
Hal itu membuat Avin muram, walaupun tidak serta merta membuatnya meninggalkan kebiasaan makan Gongso Ayam Bu Nuriyah di mula. Awalnya ia sekadar tak mau datang ke warung, tetapi tetap membeli gongso ayam Bu Nuriyah lewat titipan teman. Hasratnya makan gongso ayam membuatnya rela makan sembunyi-sembunyi.
Kos Avin berjarak 30 meter dari warung Bu Nuriyah. Berbatas jalan tetapi tidak berhadap-hadapan. Sedikit menyerong. Di depan kos Avin ada bangku kecil tepat di pojok kiri serambi. Bangku itu berhimpit dengan sekat bambu tempat menjalarnya bunga kantil. Di tempat itulah Avin selalu menunggu Jali, Mukti, Manan, Anto, atau aku yang melintas di depannya beberapa saat sehabis maghrib. Kontrakan kami berlima memang sebaris dengan kosan Avin. Tatkala kami lewat ia akan berdiri menyegat dan titip dibelikan gongso ayam.
Walaupun hanya berjarak 30 meter, Bu Nuriyah dan suaminya tak akan tahu, lantaran pandangan mereka tertutup sekat bambu itu. Avin bisa leluasa titip gongso ayam tiap harinya tanpa ketahuan. Avin mencintai gongso ayam Bu Nuriyah dalam diam. Ulah Avin memang rumit. Tapi aku maklum. Memang akan sulit bagi siapapun untuk meninggalkan gongso ayam Bu Nuriyah begitu saja jika sudah kecanduan.
Gerilya Avin tak berlangsung lama. Pak Indra dan Bu Nuriyah mulai mencium perjokian Gongso Ayam itu. Suatu waktu kami hampir ketahuan.
“Mas, ini gongso ayam yang dibungkus buat siapa ya?” Kata Bu Nuriyah. Sontak kami menjadi gelagap. Tak mungkin kami mengaku gongso ayam itu pesanan Avin. Kami pun berkilah sebisanya. Melihat kami kebingungan menjawab, Bu Nuriyah maklum. “Untuk temannya ya?” Kata Bu Nuriyah pungkas. Hari berikutnya ia tak pernah lagi bertanya soal itu.
Sebenarnya Bu Nuriyah juga tak mau kehilangan pelanggan lantaran perkataan suaminya yang komikal tetapi kadang ugal-ugalan itu. Semenjak tahu Avin tak lagi datang ke warung, Pak Indra pun tak lagi menyindir para pelanggan lainnya yang kadang suka pindah tempat makan. Lantas di hari-hari berikutnya tiap kami memesan gongso ayam untuk dibungkus, Bu Nuriyah senantiasa melayani tanpa bertanya lagi untuk siapa.
Avin tahu aksinya sudah tercium Bu Nuriyah dan suaminya. Tetapi ia tak mampu hilangkan hasrat makan gongso ayam. Sampai pada suatu sore aku berbincang dengannya di serambi kosnya. “Kau ini seharusnya kalau mau boikot jangan tanggung-tanggung. Masa iya masih mau melanggan gongso ayam dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini?” Kataku dengan nada bercanda. Ia tak menjawab, sekadar mengangkat bahu dan menarik kedua alisnya ke atas sambil menatapku. Walaupun tampak acuh, kata-kataku sepertinya begitu diresapinya. Avin menaikkan gengsi. Ia sudah tak mau lagi titip gongso ayam Bu Nuriyah selama tiga minggu.
Selama tiga minggu itu Avin mengganjal perut laparnya di malam hari dengan berbagai makanan dari warung-warung lain. Ia juga mulai punya kebiasaan baru: memasak mie instan. Sesuatu yang jarang ia lakukan selama ini. Kalau sedang ingin makan gongso ayam, Avin akan makan di warung Mbak Jum. Warungnya terletak tepat di depan warung Bu Nuriyah. Kalau sudah begini perang urat syaraf pun niscaya terjadi.
Keluar dari pintu kos ia akan berjalan lurus. Pandangan mantap ke depan. Ketika melintas di depan warung Bu Nuriyah, ia tak akan menoleh ke samping. Sesampainya di warung Mbak Jum Avin akan duduk di bangku paling belakang. Dengan separuh lantang ia akan berteriak sambil mengangkat telunjuk, “Mbak, gongso ayam satu!” Avin seperti ingin menunjukkan tidak ada hegemoni satu warung makan atas warung makan lain yang mampu mengekang selera makannya.
Jika aku menemaninya, aku akan menunggunya mulai mengajak mengobrol. Sudah hampir pasti ia akan mengomentari gongso ayam yang ia santap. Mulailah muncul fragmen-fragmen yang merujuk gongso ayam Bu Nuriyah di perkataannya. “Bang, kalau kecap dan minyaknya agak diperbanyak pasti gongso ayam ini lebih enak,” katanya. Ia juga pernah berkata, “Bang, kalau menurutmu kubisnya enaknya dimasak setengah layu atau sampai lembek begini?” Pembandingan seperti itu kadang membuat perutku geli.
Sekali waktu, ia juga pernah menginterupsi ketika aku memesan menu gongso ayam di warung Mbak Jum ketika kami makan malam bersama. “Mbak, gongso ayam satu, ya…” kataku. 
“Eh, kalau mau makan gongso ayam di depan saja, tempat Bu Nuriyah. Tahu begini aku tak mengajakmu makan di sini. Aku sendiri saja,” kata Avin sambil menabrakkan sikunya ke bahuku.
Aku tahu puasa gongso ayam Bu Nuriyah Avin tak akan berlangsung lama lagi. Ia sudah menunjukkan gelagat. Benar saja, setelah satu bulan ia tak menyantap gongso ayam Bu Nuriyah, ia mengirim pesan singkat padaku. Ia meminta aku membelikannya gongso ayam Bu Nuriyah sehabis maghrib. Avin tak membolehkan aku memberitahu yang lain. Akhirnya aku pergi ke warung Bu Nuriyah sendirian.
Waktu itu Bu Nuriyah sedang memasak di ruang belakang. Pak Indra yang menyambutku. “Pak, gongso ayam dua ya! Satu dimakan di sini satu lagi dibungkus. Yang makan sini ngga pedas. Yang dibungkus pedas ya, Pak?” kataku.
“Lho Mas. Tumben dibungkus,” kata Pak Indra. Aku baru sadar, sudah sebulan aku tak pesan gongso ayam bungkus. Ia sepertinya curiga gongso ayam yang aku beli untuk Avin. Aku diam saja. Pikiranku jadi tidak fokus. Gongso ayam yang kusantap jadi berasa hambar. Segera aku pulang dan menyerahkan gongso ayam pada Avin.
Ia mulai menyantapnya. Tiga sendok dimakan, gongso ayam meledakkan mulutnya. Ia kesetanan. Pedas dimulut begitu hebatnya, sampai Avin harus berdiri mondar-mandir sambil meniup-niup udara dari mulutnya. Lalu ia berlari menuju wastafel di dapur kosan. Ia kumur berkali-kali. Setelah pedas di mulut sedikit mereda ia kembali. Ia tak menghabiskan gongso ayam itu. Beberapa jam setelahnya ia beroleh mulas di perut.
Keesokannya ia duduk di serambi kos. Ia menyandarkan bahu di sekat bambu. Tiba-tiba Pak Indra melintas di depannya. Ia mengacungkan jempol ke arah Avin sambil berujar keras. “Bagaimana Mas, gongso ayamnya semalam enak?” katanya. Avin kaget. Ia tak berkata apa-apa, sekadar menyeringai ke arah Pak Indra. Sejak saat itu, Avin tahu hidupnya tak akan pernah lagi sama.
0 notes
ismailnurhidayat · 8 years
Text
Quote Badass
Beberapa hari lalu adik saya menelepon, dengan bantuan orang tua tentunya. Ia berusia 8 tahun. Lalu ia bilang, “Hanya ada dua pilihan. Kau pulang atau aku sedih.” Saya masih menyelidiki darimana ia dapat kutipan itu.
0 notes
ismailnurhidayat · 9 years
Text
Daya :)
Kapal-Kapal yang Berlayar di Hari Kamis
Tumblr media
1 Oktober 2015, Aksi Kamisan di Bandung terlambat dimulai. Semua properti baru terpasang menjelang jam 17.30 sore. Akibatnya, Kamisan yang bersamaan dengan peringatan 50 tahun Gestok pun baru usai jam 18.30.
Hari sudah gelap ketika Wanggi Hoed, aktor pantomim sekaligus salah satu tulang punggung Aksi Kamisan di Bandung, mulai berdiri mengangkat poster.
Daya melihat-lihat poster yang terpasang di tanah. Ada wajah Wiji Tukul, juga Munir. Dilihatnya melihat Wanggi yang sedang memegang poster bergambar kancil, sebagai tribute untuk pejuang yang tewas di Lumajang, Pak Salim Kancil.
Ia sempat menyanyikan bagian lagu yang diajarkan neneknya, lagu tentang kancil yang mencuri ketimun milik Pak Tani. Wanggi tertawa kecil mendengarnya.
Saya bilang: “Nak, ini Kancil yang berteman dengan petani.”
Tak lama kemudian ia mulai terlihat bosan. Sebab biasanya tak lama usai adzan maghrib kami sudah pulang. Selain itu, kami juga sudah di lokasi sejak jam 16.45. Cukup lama baginya berada di udara terbuka hingga langit benar-benar gelap.
Entah mendapatkan ide dari mana, tiba-tiba ia memunguti guguran daun-daun yang berserakan di depan Gedung Sate. Pertama dipungutnya daun berukuran paling besar. Setelah itu ia pungut daun-daun kecil yang lantas ditaruhnya di daun yang paling besar.
“Bapak, ini kapal. Penumpangnya banyak, loh. Ayo kita berlayar,” katanya.
Ia menggerak-gerakkan daun itu seakan kapal yang sedang berlayar, meliuk-liuk seakan diterpa angin dan gelombang.
“Kok kapalnya goyang-goyang?” tanya saya.
Ia bilang: “Kita berlayar di Sungai Cikapundung, kan banyak yang jualan. Jadi harus belok-belok supaya nggak nabrak.”
Setelah bosan, ia menyerahkan daun-daun itu kepadaku dan berkata: “Sekarang bapak yang cerita-cerita.”
“Cerita apa, ya?” tanyaku.
Daya terdiam sebentar. Tak lama kemudian ia bertanya: “Daun-daun ini dari mana, ya, bapak?”
Lalu saya bercerita dengan sekenanya: perihal angin dan daun-daun, juga pohon-pohon yang meranggas.
—————————-
Foto karya Arif Danun, fotografer Pikiran Rakyat. Dijepret secara candid ketika Aksi Kamisan, 1 Oktober 2015.
19 notes · View notes
ismailnurhidayat · 9 years
Photo
Tumblr media
Meme dan kliping kepala berita yang ditempel di gambar memang seharusnya tidak boleh mudah dipercaya. Begitu halnya gambar poster ini. Anda tidak harus mempercayainya. Oleh karena itu saya sarankan membaca beberapa berita soal bencana asap yang telah menahun. Salah satu yang bisa jadi rujukan adalah The Geotimes. Media ini menerbitkan tulisan majalah edisi lawasnya di portal online. Beberapa yang diterbitkan adalah soal bagaimana korporasi dan pemerintah yang kapital berselaras menggiatkan pengelolaan lahan kelapa sawit. Bencana asap hanyalah efek wajar dari perilaku eksploitatif terhadap hutan.
Beberapa bisa di baca di sini:
Bencana Asap dan Balada Negeri Sawit http://geotimes.co.id/bencana-asap-dan-balada-negeri-sawit-1/ Bara di Lahan Sawit (1) http://geotimes.co.id/bara-di-lahan-sawit-1/ Bara di Lahan Sawit (2) http://geotimes.co.id/bara-di-lahan-sawit-2/
Selamat malam.
0 notes
ismailnurhidayat · 9 years
Text
Menyoal Takdir
Saya menjumpai quote yang di-reblog seorang teman mengenai takdir. Saya kemudian terdorong menulis soal takdir dari sisi yang saya tahu.
Semua yang ada di Lauhil Mahfuz adalah akibat dari sebab, yaitu sebab yang manusia lakukan. Karena Allah Maha Mengetahui yang ghaib, jadi Dia mengetahui akhir dari sebab-sebab yang dilakukan manusia dan Allah menghendaki hal itu terjadi pada manusia. Ia mengetahui masa depan manusia dan menghendakinya.
Walaupun Allah mampu dengan mudah merubah takdir manusia, bukan berarti Allah yang menetapkan semua hal nasib manusia -lalu manusia tinggal menjalani takdir sesuka dirinya karena semua sudah digariskan. Tapi manusia sendirilah yang menentukan sendiri akhir nasibnya, dengan sebab-sebab yang ia lakukan.
Maka, yang dapat manusia lakukan adalah: melakukan segala tindakan dengan baik agar berakhir dengan baik dan berdoa agar Allah memberikan/ merubah takdir menjadi baik.
-Hal ini saya simpulkan dari berbagai ceramah, buku, dan artikel yang saya baca soal takdir atau memuat soal takdir di dalamnya. Memori yang kurang baik membuat saya tidak begitu mampu mencuplik semua dalil soal ini. Tetapi sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengkrosceknya, ada banyak ayat-ayat Qur’an mengenai takdir. Di akhir tulisan juga ada beberapa penjelasan ayat.-
Sebagai salah satu penjelasan, saya cantumkan link video Zakir Naik:
https://www.youtube.com/watch?v=acKVEvgCXz8
Berkenaan dengan ini, ada dua golongan (dianggap menyimpang oleh kalangan ahlussunnah) yang punya pandangan soal takdir:
1. Qadariyyah
Kaum Qadariyyah meyakini Allah tidak tahu apa-apa tentang berbagai hal yang akan terjadi pada manusia.
Imam Syafi’i menyatakan: al-Qodariyyah (para pengingkar taqdir) yang disebut oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sebagai Majusi-nya umat ini adalah orang-orang yang menyatakan bahwa Allah tidak mengetahui kemaksiatan sampai terjadinya kemaksiatan (sebelum terjadi kemaksiatan, Allah belum tahu).
(Manaaqib asy-Syafi’i karya al-Baihaqy (1/413)).
Pendapat ini bertentangan dengan firman Allah. Saya cantumkan dua contoh:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.”
(Al-An’am: 125)
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.“
(Yaasiin: 82)
2. Jabariyyah
Kaum Jabariyyah meyakini semua yang dilakukan makhluk, baik atau buruk, adalah kehendak Allah. Manusia hanya sebagai wayang. Pendek kata, maksiat dan taat sama saja karena ini kehendak Allah.
Pendapat ini bertentangan dengan firman Allah. Saya cantumkan dua contoh:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah….“
(An-Nisa’: 64)
Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul).”
(An-Nahl: 36)
Kiranya, penjelasan sederhana di atas cukup untuk mendudukkan perkara bagaimana Allah menetapkan/ menghendaki takdir dan bagaimana manusia menjalani takdirnya. Kurang lebihnya seperti itu yang saya pelajari, jika ada kesalahan mohon dikoreksi.
Wallahu A’lam Bish-shawab
10 notes · View notes
ismailnurhidayat · 9 years
Text
LGBT
Perilaku homoseksual hukumnya sudah jelas haram. Tetapi persoalan ini tak selesai hanya dengan memvonis. Perlu pembenahan. Sayangnya banyak orang hanya mandeg pada vonis. Seakan LGBT tak perlu disentuh dan harus dijauhi. Padahal orientasi seksual pelaku baru akan terkena dosa jika diikuti perbuatan.
my thought on LGBT issue >> http://www.ismailhidayat.com/2015/07/jalan-keluar-persoalan-lgbt.html
0 notes
ismailnurhidayat · 9 years
Text
Juni yang ke-23
Dear teman lama,
Telah 23 kali aku menjumpai bulan ini. Sejak dalam timang ibu, hingga sekarang dewasa dan suka lelah, cemas, juga kecewa karena mulai memikirkan uang simpanan yang raib sekejap mata.
Tidak banyak duplikasi sepertimu. Seperti halnya ibuku atau bapakku, kau, barangkali hanya ada beberapa. Bocah yang lebih suka bergumul dengan bekatul ketimbang bermain bola di sawah yang cuma semenit berjalan dari rumah.
Mungkin ada hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada menelisik kenapa Zizou mampu menyihir 10 pemain untuk bermain bagus di lapangan bola, seperti meracik obat untuk kesembuhan banyak orang misalnya. Atau membuat teknologi pembangkit listrik mandiri di desa, apapun selain hal-hal remeh seperti sepakbola yang membuat kita berjarak bak dunia dan kehidupan abadi.
Pertemanan seperti halnya bola yang disepak. Ia ada di berbagai dimensi, bergulir di banyak tempat. Lintasan ordenya tak berbatas. Seperti halnya ikatan kita, begitu juga dengan yang lain, pertemanan memang seharusnya didudukkan secara luas dan egaliter.
Kita adalah pejalan yang akrab dengan perjumpaan, juga perpisahan. Mengait banyak teman, meninggalkan dan ditinggalkan, hingga sendiri berjumpa mati, lalu menjadi mayit.
Akan tiba masa ketika kita saling susah dihubungi. Barangkali sekarang. Lalu kita berteman dengan satu, dua, hingga selaksa yang lain. Teman yang juga istimewa dan seharusnya diistimewakan. Teman yang tidak boleh diperlakukan selewat pandang.
Sampai di sini pada hakikatnya kita tidak saling kehilangan, tidak juga saling merampas. Kita sekadar berjalan di kehidupan masing-masing.
Semarang, 24 Juni 2014
7 notes · View notes
ismailnurhidayat · 9 years
Quote
Para penulis yang hebat selalu lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca ketimbang menulis.
Zen RS
1 note · View note
ismailnurhidayat · 9 years
Text
Act! Act! Act!
Ada kalanya pemikiran yang diungkapkan lewat tulisan perlu diikuti tindakan. Meskipun menulis juga sudah bisa dikatakan sebuah tindakan, tetapi pada titik tertentu semangat pada tulisan akan menjadi angin lalu tanpa diikuti laku fisik.
Kita bisa menunjukkan kepedulian atas terjadinya bencana alam dengan menyebar tagar #prayforblablabla. Tetapi tagar itu hanya akan menyebar info bencana, bukan memberi bantuan, sampai akhirnya ada beberapa orang yang meresponnya dengan mengirim bantuan atau setidaknya (benar-benar) berdoa.
Kita boleh mengutuk laku keji orang tua angkat kepada anak angkatnya di kota nun jauh. Tetapi jika kita diam saja melihat nasib anak-anak kecil di sekitar kita yang kurang beruntung dalam banyak aspek, saya tidak tahu, apakah kita lebih baik?
Tulisan adalah pengingat diri. Menulis utamanya adalah membuat ingatan yang asalnya ada di kepala lalu dituliskan. Sebelum dibaca siapa-siapa, tulisan terlintas dulu di kepala penulisnya.
Sebelum digunakan untuk menasehati yang lain, tulisan menasehati penulisnya dulu. Sebelum dibaca siapa-siapa tulisan ini lebih dulu menasehati saya, bukan yang lain.
Semarang, 17 Juni 2015
0 notes
ismailnurhidayat · 9 years
Link
Terkait perbedaan awal Ramadan yang kerap menimbulkan polemik, orang mudah bekata: Perbedaan adalah rahmat. Nikmat sekali mendengar pernyataan itu, saking enaknya tidakkah kalimat itu terasa meninabobokan?
Faktanya, dengan mempelajari sejarah umat manusia di muka bumi ini, perbedaan mula-mula...
20 notes · View notes
ismailnurhidayat · 9 years
Quote
Bangsa ini tidak mungkin bisa memulihkan sense of belonging (kebersamaannya sebagai bangsa) kalau persoalan pelanggaran HAM berat tidak bisa diselesaikan.
Todung Mulya Lubis
0 notes
ismailnurhidayat · 9 years
Quote
Saya dulu tidak tahu siapa kakek saya, karena kakek saya tidak pernah menulis apapun tentang dirinya, atau tentang keluarganya. Nanti saya tidak mau cucu saya tidak tahu tentang saya. Semua yang diucapkan berlalu bersama angin, semua yang ditulis abadi.
Irwan Bajang
2 notes · View notes
ismailnurhidayat · 9 years
Quote
Tidak semua orang berada dalam keberadaban ketika berdiskusi. Sebagian malah hanya bisa mencaci maki yang tidak sependapat tanpa mau tuntas berdiskusi.
9/6/2015
0 notes