Tumgik
fairins · 3 years
Text
Kemarin sempet mimpi, tapi dinasehati via mimpi itu : "Jangan banyak menimbang, jangan ragu. Kesempatan ngga datang dua kali, jangan sampai menyesal".
Tumblr media
4 notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Mari jadi momentum muhasabah diri. Be well, self :)
0 notes
fairins · 4 years
Text
PadaNya muara semua do'a ...
0 notes
fairins · 4 years
Text
saya, si istri berpendidikan lebih tinggi. (terus kenapa?)
Tumblr media
Apa benar istri berpendidikan lebih tinggi membuat minder suami?
Saya ingat ketika papasan dengan seorang psikolog senior. Beliau pernah menulis soal status kontroversial tentang perempuan yang meraih gelar S3 sebelum menikah.
By default, kata beliau, para perempuan S3 ini juga secara sadar maupun tak sadar punya standar tertentu. Ini yang bikin sulit, kata beliau.
Dan, secara fakta, perempuan-perempuan S3 ini datang pada beliau. Menyesal karena proses pencarian suami menjadi lebih sulit. Ada semacam gap atau minder dari si lelaki.
Di hari yang sama, kemudian saya bertemu dengan calon suami. Kami memutuskan untuk menikah dua bulan kemudian. Saya, saat itu tengah menyelesaikan studi S2. Suami saya sedang sibuk berkiprah menjadi pekerja sosial, dengan titel S1.
Kemudian beberapa bulan kemudian saya meraih gelar master. Suami saya belum berkuliah lagi.
Kemudian saya berkeinginan ambil S3. Respon suami saya? Mendukung! Bahkan ia lebih senang saya S3 kemudian jadi dosen ketimbang tok jadi wirausaha.
Mengapa?
Sepanjang perjalanan rumah tangga kami, saya tidak pernah merasa titel pendidikan saya yang secara permukaan lebih tinggi — menjadi legitimasi kalau saya lebih wow ketimbang suami saya.
Suami saya juga sadar betul akan hal itu. Di matanya, mungkin saya pintar, tapi saya juga rapuh, dan memang saya menyediakan kerapuhan saya untuk ia lengkapi. Seperti ia rela berbagi kerapuhannya untuk saya lengkapi. Saling berbagi kerapuhan untuk diisi, justru akan saling menguatkan bukan?
Dalam konteks hubungan pertemanan, senior-junior, ataupun rumah tangga — saya lebih suka memperlakukan rekan saya sebagai rekan setara. Kendati ia tukang cilok sekalipun. Atau adik saya sendiri. Mindset yang saya selalu camkan pada diri: Mereka pasti punya apa yang saya tak punya, seperti saya punya apa yang mereka tidak punya.
Saya memang bergelar S2. Beliau S1, tapi beliau sangat familiar dengan realita masyarakat (saya kurang begitu terjun). Saya perasa. Ia taktis dan logis. Saya pintar bikin nasi goreng. Ia pintar bikin steak. Rank Mobile Legendnya sudah sampai Mytic. Saya mentok di Grandmaster (itu juga dijokiin suami). Hahaa.
Saya jadi ingat, ketika Ustman bin Affan menikahi Nailah binti al-Farafishah yang dikenal cerdas. Ustman tidak malu dan minder. Justru senang memiliki istri yang dapat memberikan sumbangsih terhadap cara pandangnya.
Hal ini membuat saya berpikir, bahwa benar bahwa perempuan berpotensi sebagai ‘fitnah’ (ujian) bagi laki-laki. Ya, adakalanya ‘fitnah’ tersebut bersumber dari perempuannya (pakaiannya, gerak-geriknya, aksinya).
Tapi bisa jadi, ‘fitnah’ tersebut ialah sempitnya perspektif laki-laki terhadap perempuan, sehingga mereka memandang dan memperlakukan perempuan secara salah.
Beruntung suami saya, dan Ustman bin Affan — dapat lolos dari ‘fitnah’ perspektif terhadap perempuan. Semoga banyak lelaki di luaran sana yang dapat berpikiran holistik mengenai kiprah perempuan dalam bingkai keimanan, ya!***
Ilustrasi dari ballandus.wordpress.com
1K notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Dan yang tersulit adalah ... mengagumi diri sendiri.
Mengagumi dari Dekat
Tumblr media
Mengagumi dari jauh itu mudah. Betapa sering kita menjadi simpati kepada seseorang, lalu kemudian rasa simpati itu naik menjadi kekaguman terhadapnya, hanya karena kita memerhatikannya dari jauh: membaca tulisan-tulisannya di sosial media, mengetahui beritanya dari media massa, membaca buku-bukunya yang dibicarakan banyak orang, mendengar cerita tentangnya dari orang lain, atau apa saja. Separuh informasi tentang segala yang baik tentangnya entah bagaimana bisa mendongkrak simpati hingga meninggi, melejitkan kekaguman yang menyeruak dari dasar-dasar hati.
Mengagumi dari jauh itu mudah. Kita tidak perlu repot-repot menerima kekurangan seseorang, menoleransi kesalahannya, atau bahkan memaafkan segala tingkah yang dilakukannya, yang barangkali melukai kita. Mengapa? Tentu saja, karena kita tidak mengetahuinya. Tak sampai kepada kita tentang apa yang menjadi kekurangannya. Tak terjangkau oleh kita kabar tentang kesalahannya. Tak pula terjamah oleh pandangan kita tentang semua tingkah lakunya. Semua serba terbatas, dan dalam keterbatasan itu, mengagumi terasa tidak butuh banyak upaya.
Mengagumi dari jauh itu, kukatakan sekali lagi, mudah. Jauh lebih mudah dari pada harus mengagumi dari dekat. Sebab, kenyataan selalu menampakkan diri dari jarak terdekat dan bukan jarak terjauh. Seperti melihat gunung dari kejauhan, yang kita lihat hanyalah keindahan. Kita tak dapat melihat ranting patah yang mengotori jalannya, tanah terjal yang turun naik di sepanjangnya, atau bahkan bangkai-bangkai hewan yang tergeletak disana.
Mengagumi dari jauh itu mudah, yang sulit adalah mengagumi dari dekat. Betapa tidak, sebab segala sesuatu yang dilihat lebih dekat akan lebih menampakkan apa yang sebenarnya, yang mungkin sulit untuk kita terima.
Saat dilihat dari dekat, seseorang yang kita kagumi itu boleh jadi tak seperti apa yang kita ketahui sebelumnya: banyak benang kusut memenuhi isi kepalanya, matanya sering sembab tersebab tangisnya, dan boleh jadi, luka yang ia punya pun masih begitu merah dan menganga. Tidak hanya itu, dari dekat, barangkali kita pun harus menyaksikan sikap dinginnya, marahnya, egoisnya, keras kepalanya, dan semua deretan perilaku yang mungkin tak pernah kita harapkan untuk terlihat dari dirinya. Siapkah?
“Jadi, bagaimana jika aku tidak sebaik itu? Bagaimana jika aku pun bahkan seringkali merasa tak pantas untuk berbuat baik kepada orang lain tersebab keburukanku?” kemudian, pertanyaan paling jujur itu pun terlontar, mengalir begitu saja.
___
Picture: Pinterest
1K notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Dan berteman dengan diri sendiri lebih menyenangkan ... it won't hurts you or you won't hurt somebody out there right?
1 note · View note
fairins · 4 years
Text
Tapi akhirnya jadi introspeksi diri.
Jadi lebih berhati - hati dalam berkata, bersikap, atau berbuat.
Jadi lebih banyak belajar untuk menyampaikan suatu kebaikan harus dengan cara yang benar.
Jadi belajar tabayyun itu penting.
Jadi belajar ... kenal dan mengerti karakter orang lebih baik.
Harusnya.
Kalau ternya nanti MPE imatur yang keluar, maybe jadinya introyeksi. Hahaha.
0 notes
fairins · 4 years
Text
Sometimes it hurts me more.
Ketika maksud baik ternyata ngga ter delivery dengan baik sehingga ditangkapnya salah.
Iya ... berbuat baik itu repot. Tapi repot lagi kalau ngga berbuat baik.
1 note · View note
fairins · 4 years
Text
Teman Sedih.
“Bukannya mau main - main atau kadang khilaf, tapi selama suka bisa dibagi, kenapa duka harus diumbar?“ 
Sebuah kalimat yang dikirimkan oleh salah seorang teman di grup main ; mengomentari status - status galau atau sedih yang mungkin ia temukan di timeline atau home media sosial miliknya. Ada bagian dari diri saya yang tidak bersepakat, tetapi di sisi yang lain juga setuju. Entahlah, mungkin bagi saya pribadi, tergantung case dan kondisi saat itu. 
Berkaca pada diri sendiri yang sejujurnya sering nyampah galau dan sedih di tumblr ini, saya sendiri juga masih belajar untuk memfilter tulisan - tulisan. Apalagi diri saya sendiri yang dominan memakai feeling membuat saya sedikit kesulitan untuk menulis opini dengan menyertakan berbagai macam sumber seperti influencer - influencer tumblr yang saya ikuti. 
Bagi saya, menulis menjadi media katarsis tersendiri. Utamanya ketika ‘sedih’ masih menjadi unfamiliar emotion. 
***
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat sedih karena suatu hal. Dan ternyata, kehadiran orang - orang sekitar membuat perasaan saya membaik lebih cepat. Kata - kata, “Maaf belum bisa nemenin” atau “Ayo ketemu”, ternyata mengajari saya bahwa ada hal - hal yang memang bisa diselesaikan dengan berbagi masalah melalui inner circle yang kita miliki. 
Memang, curhat banyak ke Allah swt menjadi kebutuhan tersendiri. Tetapi, sejak kejadian itu saya mengambil kesimpulan bahwa kehadiran orang - orang sekitar sangat membantu untuk sort things out karena ketika sedih, banjir emosi yang kita rasakan berpengaruh banyak ke fungsi kognisi. 
Semacam, ranah ikhtiar kita untuk mengembalikan fungsi kognisi dari banjir emosi adalah dengan berbagi ke orang dekat. Sembari diiringi do’a yang tak putus padaNya. Toh, kehadiran mereka bisa jadi jawaban dari do’a - do’a kita bukan? 
Bagi saya, orang - orang yang memilih untuk mengepost hal yang membuatnya sedih karena memang belum menemukan orang yang tepat untuk berbagi cerita. Atau sebenarnya malah kebalikan, orang - orang yang tidak pernah posting hal - hal sedih adalah mereka yang kadang bersembunyi dibalik emosi bahagia yang mereka bagi. 
Ah, manusia memang kompleks. It’s fascinating to know that everyhuman has different thought and behaviour about something, yet interesting. Hahaha, well yeah, ngga usah ngomongin kerumitan DNA kan untuk melihat bagaimana luar biasa Sang Pencipta? 
1 note · View note
fairins · 4 years
Text
Hari ini saya memiliki kesempatan sharing di adik - adik SMA, tentang cara belajar dan sukses menghadapi ujian. Lumayan, banyak ugha yang nanya dan banyak juga yang stay setelah acara untuk curhat. Ditengah rintik hujan yang tiba - tiba jadi badai wkwkwk saya menyadari bahwa belajar itu butuh kesabaran.
Malam ini saya juga keluar bersama dua orang sahabat, dan memang meniatkan untuk belajar salah satu subjek kedokteran. Dibanding mereka, saya termasuk yang lambat paham, even sudah dijelasin tetep ga mudeng hehehe. Saya belajar sabar ke diri sendiri, temen - temen saya mungkin belajar sabar juga waktu ngejelasin ke saya.
Sedih? Iya sih pasti, kaya yang ngerasa ngga bisa apa - apa. Butuh nyatet banyak, butuh latihan lebih banyak, dan butuh kesabaran lebih besar. "Pelan - pelan, ngga usah keburu" batin saya tiap kesulitan memahami beberapa subjek khusus. Tetapi, rasa seneng ketika on track (walau susah) ngga bisa diganti dengan hal lain.
Iya, salah dua hal yang ngga enak kalau jauh adalah jauh dari Allah dan jauh dari ilmu.
Yok semangat belajar terus yok!
1 note · View note
fairins · 4 years
Text
Tumblr media
Pengangguran.
Beberapa waktu yang lalu saya diprotes rang - orang yang melihat hasil rekapan anggota organisasi profesi ketika membaca pekerjaan saya yang terisi ; pengangguran. Nyebelin katanya. "Mana ada profesi dokter, pekerjaan pengangguran?".
Saya tertawa saja mendengarnya. Bagi saya yang masih luntang - luntung dan belum punya penghasilan tetap, cukup mendefinisikan sebuah ketiadaan pekerjaan. Walaupun, setiap hari sebenarnya lumayan ada saja kegiatan, mulai dari magang, menjadi jaga ganti, rapat, main atau nge tutor psikiatri adek - adek yang UKMPPD.
Lucunya, salah satu pasien di psikiatri pernah menceramahi saya tentang menjadi pengangguran. Ceritanya, ia diantar oleh ibunya setelah sekian lama putus berobat.
"Mas kerjanya apa?"
"Saya pengangguran profesional"
"Pengangguran profesional? Seperti apa itu mas?"
"Pengangguran yang masih punya manfaat buat sekitar dok. Saya menganggur tapi saya itu aktivitas nya banyak buat anak - anak jalanan sekitar rumah ....... blablabla"
Okelah, taraf kepercayaan saya ke pasien tersebut sejujurnya tidak dapat dipercaya. Namun, tidak ada salahnya ketika omongan beliau benar dan kita jadi refleksi. Bahwa, menjadi pengangguran pun seharusnya tidak merugikan. Seharusnya dengan title pengangguran yang memiliki makna punya waktu luang lebih, kita harusnya bisa berbuat kebaikan lebih banyak. Dan ... menjadi pengangguran sepertinya jadi labelling saya yang efektif untuk menjadikan setiap waktu yang saya punya dimanfaatkan sebaik - baiknya.
Entah dengan profesi & keilmuan ; melayani masyarakat, atau bertemu dengan keluarga dan teman; mendengarkan permasalahan mereka.
Semua adalah sarana kebaikan.
Jadi, jangan takut berlabel pengangguran! Wkwk
2 notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Bukan tentang sia - sianya peluh yang keluar di jalan ini, tetapi lebih kepada kehati - hatian agar tetap ada di jalan perjuangan di masa mendatang.
0 notes
fairins · 4 years
Text
Ambang Sadar
Hari itu aku bermalam di kamar seorang teman –yang tak bersedia disebutkan namanya, sudah barang tentu makin malam makin absurd pula topik pembicaraan kami. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kami sudah di pertengahan nostalgia saat ia melahirkan. Aku yang belom pernah mengalami proses hamil apalagi bersalin, seru-seru-saja mendengarkan.
Sudah dikondisikan agar siapapun yang menemani temanku saat melahirkan agar selalu memandunya berzikir sepanjang masa kontraksi sampai setelah melahirkan. Singkat cerita, begitu proses bersalin selesai dan bayi mungil itu didekatkan ke dada temanku untuk IMD (inisiasi menyusui dini), dia otomatis berdzikir “Alhamdulillah” tanpa perlu diingatkan, penuh haru, penuh syukur sepenuh hati.
Setelah diizinkan kembali ke rumah, ayah dari temanku ini bertanya “Dek kemaren kenapa kamu nangis?”
“Hah, nangis gimana?” Tanya temanku kebingungan, karena seingatnya, saat IMD suasana hatinya penuh syukur, bahagia tiada tara, mengucap hamdalah berkali-kali.
Ayahnya memperlihatkan video yang dimaksud. Benar saja, alih-alih terdengar tahmid, justru hanya terdengar suara huhuhu seperti menangis, tapi dengan suara yang sangat lemah dan irama konstan hu-hu-hu.
Temanku yakin betul dia mengucap hamdalah dengan jelas berkali-kali, tapi tidak demikian di video. Ohya, dia melahirkan normal, tak ada adegan bius-biusan, jadi semestinya dia cukup sadar –oh mungkin juga tidak, saking lelahnya, aku tak tahu.
Aku merinding.
Beginikah gambaran ketika tiba waktu berpulang?
Merasa mulut sudah mengucap syahadat, tapi hanya ceracau yang didengar orang-orang sekitar yang sibuk mentalqin kita?
Merasa cukup sadar, padahal tak punya daya mengontrol tubuh sendiri?
Ya Allah, tuntunlah lisan kami.
172 notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Growing up is a lonely process.
0 notes
fairins · 4 years
Text
Tumblr media
84 notes · View notes
fairins · 4 years
Photo
H-87 terseok - seok hati ini, semoga disampaikan, semoga dipertemukan dengan bulan yang penuh cinta dariNya. Aamiin.
Tumblr media
Dan beliau meminta kami semua menutup mata, aku -pun menurutinya. “Pejamkan mata kalian dan rasakan sesuatu yang tiba - tiba muncul pada diri kalian.”
Rindu.
Mataku tiba - tiba memanas begitu ku sadari perasaan yang muncul itu. Kutahan isakan tangisku bersamaan dengan suara berat beliau yang berkata, “Buka mata kalian, anak muda. Merasakan ‘rasa’ tidak perlu lama - lama. Mencicipi ‘rasa’ hanya perlu waktu sekejap”
“Apa yang kau rasakan?”
“Khawatir …” kata seseorang di ujung ruangan.
“Khawatir saya tak lebih baik ketika bertemu dengannya, guru” lanjutnya.
“Lalu, kau? Wanita biasanya memiliki perasaan lebih halus. Apa yang kau rasakan?”
Aku terdiam karena mengetahui siapa yang dimaksud oleh gurunda kami.
“Saya?”
“Ya, kamu”
“Rindu, saya sudah tidak sabar untuk bertemu dan melepas rindu saya, guru. Saya sudah teramat lelah terpisah oleh waktu, jiwa saya sudah teramat kosong”
Guru itu tersenyum, “Kenapa kau mengkhawatirkannya?” tunjuk laki - laki paruh baya itu pada seseorang di ujung ruangan tadi.
“Kenapa kau merindukannya?” ganti, beliau memandangiku lalu tersenyum sebelum berkata :
“Karena kalian mencintainya …”
“Khawatir. Rindu. Adalah tanda cinta, memastikan ia datang tanpa kecewa ketika bertemu dengan kalian. Tetapi … cinta adalah perasaan cenderung yang lebih layak kalian sambut dengan gembira, bahagia. Karena begitulah ia teramu sebelum diteteskan pada masing - masing hati”
Seseorang yang ada di tengah ruangan mengangkat tangan bertanya, “Lalu bagaimana dengan kami yang belum merasakan cinta?”
Beliau menoleh ke arah sumber suara, “Maka, kenali ia lebih dalam jika ingin merasakan cinta. Diamlah sejenak barang semenit-dua menit, perhatikan, pelajari dirinya secara mendalam. Dan kau akan jatuh cinta, anakku”
Kami semua diam.
H-23 Ramadhan.
Sudahkah mengenalnya?
Sudahkah mencintainya?
Karena cinta -pun butuh persiapan.
9 notes · View notes
fairins · 4 years
Text
Kind of exhausted of everything.
Just don't know what happen to me. I know there's a thought that I suppress to unconscious state. Still struggling to make it comes to conscious one.
0 notes