Tumgik
dayacipta · 7 years
Text
Yang Berusaha Tumbuh
Interpretasi bebas dari karya visual Dede Eri Supria, ‘Yang Berusaha Tumbuh’
(1)
Di antara kotak-kotak kamar kos tiga kali empat meter,
aku berangan-angan menumbuhkan pohon tomat
dan satu pot kangkung.
Karena konon katanya
menumbuhkan makananmu
dengan usaha berlumur pupuk kompos di kepal tangan
dan lutut celana jinsmu
lalu sedikit sekaan keringat pada keningmu,
akan membahagiakan Ibu Bumi.
(2)
Pada hari Minggu lalu kutunjukkan padamu
lukisan favoritku di sebuah galeri yang ramai.
Kita berdua mencoba khidmat
merenungkan renung si pelukis
yang berusaha menumbuhkan padi
di atas beton dan sobekan rumah kardus.
Karena mungkin Ibu Bumi bisa berkurang sedihnya
ketika manusia berusaha memahami
yang paling menyakitkan buat sang ibunda
adalah hewan-hewan yang mulai kehilangan rumah
dan banyak pohon diceraikan dari tanah.
(3)
Manusia selalu belajar bertumbuh,
menumbuhkan.
Dari Ibu Bumi semua berusaha tumbuh,
kangkung dalam pot
padi di atas beton.
(4)
Semoga semua sehat dan panjang umur.
Begitu doa ibunda padamu, yang berusaha tumbuh.
Depok, 13 Juni 2017
2 notes · View notes
dayacipta · 7 years
Text
Mawar di Dinding
Tentang Mawar yang dicintai Pangeran Kecil.
Ibu membuat taman kecil di bawah jendela kamarku,
ditumbuhkannya mawar putih, melati, dan dedaunan
yang merambat dan membuat rumah
mencapai atas jendela kamarku.
Ibu petikkan melati putih,
diletakkannya di kedua telapak tanganku
wangi melati, wangi ibuku
serupa dengan secangkir teh yang kuminum pagi itu.
Wangi pagi dari bawah jendela kamarku.
Mawar putih dan dedaunan temannya terus merambat,
membuat rumah, tanpa tersia-sia.
Seribu mawar putih di jendela dan kebun lain akan serupa cantik,
serupa wanginya.
Namun ibu menumbuhkan kebun untukku, jadilah ia punyaku, jadilah ia tidak lagi serupa dengan mawar, melati, dan dedaunan lainnya.
Depok, 25 April 2017
0 notes
dayacipta · 7 years
Text
Untuk Seorang Sahabat
Senang berbicara denganmu.
Aku bersyukur bisa bicara denganmu malam ini.
Terimakasih obrolannya,saat ini memang aku sedang pada titik terendah hidup.
Jangan bilang siapa-siapa, cuma kamu yang baru aku beritahu.
Terimakasih obrolannya. Senang berbicara denganmu.
*
Siapa sangka sesosok yang selalu kukagumi dari jauh tahu-tahu begitu saja jadi sahabatku. Dari ajakan berdiskusi tahu-tahu begitu saja kita berbicara tentang hal-hal yang begitu pribadi. Lama-lama kamu semakin tidak malu-malu untuk minta dipuji, tidak masalah toh aku memang selalu mengagumimu.
Sementara kamu tidak putus-putusnya menghargai keberadaanku, pemikiranku, dan pendapatku. Aku pun mempercayaimu tiada putusnya, mata kita seakan melihat dunia yang sama. Kamu mendorongku untuk melangkah lebih jauh, sementara aku selalu belajar berjalan darimu meski tidak bersamamu.
*
Berhenti ngomong, pertanyaanmu bodoh, kamu buat aku marah!
Maaf, sudah ya. Lebih baik kamu berhenti ngomong.
*
Pertama kalinya kamu tidak sepakat, tidak suka, bahkan marah. Pertama kalinya aku bahkan meragukan pikiranku sendiri. Katanya, aku tidak peduli dengan hak-hakku sendiri.
Maaf, aku tidak tahu apa yang terjadi denganku.
Seorang sahabat mestinya lebih tahu.
*
Tapi kepala bahkan bisa lebih keras dari batu. Berkali-kali sahabat berkata, ‘Dia punya maksud tidak baik kepadamu!’, hanya dijawab dalam hati ‘terimakasih sudah mau peduli’. Berkali-kali jatuh kepada dua lorong mata yang sama, kata-kata manis cerewet yang sama, yang membuatku berkali-kali pula mengabaikan peringatan yang sama. Aku meragukan pikiranmu, dan pikiranku sendiri barangkali dua lorong yang sedang ingin kulalui ini tidak semenakutkan yang kamu pikirkan.
Satu yang kuyakini benar  adalah yang kukatakan ketika lorong-lorong mulai menggemakan kemungkinan-kemungkinan aku bakal pecah kongsi denganmu jika aku terus menyusuri lorong-lorong gelap itu.
Tidak mungkin, lah!
Begitu menggema.
Serang, 23 Januari 2017. Untuk sahabat baikku.
1 note · View note
dayacipta · 7 years
Text
Aku Ingin Berlari Ke Arahmu
Rindu bisa jatuh pada suatu tempat yang pernah asing, pada suatu masa dimana kita tidak saling kenal-mengenal.
Ketika masa itu akhirnya tiba aku berlari memburu angin, di Senin pagi aku terbangun dengan lutut dan mata kaki membiru. 
Senin sore pertama kali kita bertemu, aku sudah terjatuh di kedua lorong matamu.
Ketika masa itu akhirnya tiba aku akan berlari kemana saja, asal tidak lagi ke arahmu.
Masa itu akhirnya tiba, kita tidak lagi saling kenal-mengenal. Akankah ada Rabu dimana aku bisa jatuh lagi di kedua lorong matamu sementara jari-jari kita adalah riak yang tidak henti merenungkan isyarat.
Aku hanya ingin berlari ke arahmu.
Depok, 18 Januari 2017
0 notes
dayacipta · 7 years
Text
For a man who always gazes over the room,
I have lost in the two long dark aisles:
Your eyes.
0 notes
dayacipta · 7 years
Text
Belajar Dari Masa Lalu Untuk Masa Kini
Kereta Krakatau yang saya naiki belum jauh meninggalkan stasiun keberangkatan, separuh perjalanan belum-belum, baru saja tiba perbatasan Banten dan Jakarta. Kereta lewat begitu saja di stasiun yang saya kenal, lha kok tahu-tahu saya menangis dan menyenderkan kepala ke jendela. Apa yang kurang cuma bintik-bintik hujan di jendela, lagu sedih mah sudah otomatis terputar di kepala.
Ada yang pernah jatuh sakit di stasiun itu.
Bukan.
Sepertinya jatuh, kemudian sakit. Kata yang pernah jatuh.
Bukan!
Jatuh cinta kemudian sakit hati!
Sebulan kemudian, kereta Krakatau yang saya naiki dari Kediri sebentar lagi sampai menuju stasiun kedatangan. Kereta sudah melewati stasiun yang saya kenal, dari jendela masih terlihat ada yang membereskan sisa-sisa patah hatinya.
Saya tidak lagi menangis. Tidak ada lagu-lagu sedih, cuma saya akan sulit berpuisi lagi begitu gumam saya.
-
Ujung timur pulau Jawa, checked. Saya beberapa kali melewati stasiun yang saya kenal dan sudah jarang melihat ia yang katanya jatuh dan sakit duduk menunggu di peron. Kalaupun ada, ia tidak lagi membereskan sisa-sisa patah hatinya. Hanya kereta yang ia tunggu, menuju pulang.
Dulu, ketika saya masih melihat ia tergugu-gugu memandangi hatinya yang patah-patah, ingin saya bawa kesedihannya ke timur Indonesia. Karena sepertinya ujung timur pulau Jawa belum cukup. Eh, tapi sakit bisa sembuh lebih lekas daripada yang kita kira-kira.
-
Tahu-tahu nasib membawa ke kota Manokwari, meski hanya 7 hari. Tidak dibawa serta kesedihan orang yang hatinya patah di peron Stasiun Kebayoran, karena memang rasa sedih sekarang sulit untuk diajak kemana-mana.
Atau tertinggal ketika saya mengepak alat mandi dan pakaian tidur di kota-kota yang dikunjungi barang satu malam saja. Entahlah, pun tidak lagi ada yang peduli.
-
Ujung timur Indonesia, checked. Sampai di Jakarta, saya tidak lagi melihat seseorang duduk tergugu memandangi hatinya yang patah-patah di Stasiun Kebayoran. Sampai saya melihatnya lagi di convenient store di sebuah kota, di waktu yang sudah sepi. Ia sedang membungkus rapat-rapat hatinya, biar tidak mudah jatuh kemudian patah dan susah diperbaiki.
Esok-esoknya di waktu pulang kerja ia sering saya lihat keluar masuk bioskop, menonton film Hollywood mainstream yang saya tahu benar dia tidak begitu suka. Bergandengan tangan dengan lelaki entah siapa, ia sudah benar-benar lupa dengan cerita Stasiun Kebayoran. Namun, nampaknya saya salah:
Asal kamu tahu, selama sebulan penuh setiap aku lewat Stasiun Kebayoran aku selalu menangis. Sakit hati
Penuh peringatan. Si lelaki menanggapi seadanya, selalu seperti itu lebih tertarik pada rambut panjangnya, segala tulang dan ototnya. Peringatan diabaikan, percakapan dibuat kembali menyenangkan.
-
Orang-orang datang dan pergi, kemarin mungkin hari terakhir saya lihat dia duduk menunggu kereta yang terlambat datang bersama si lelaki. Kemarin mungkin hari terakhir saya bisa mendengar percakapan yang dibuat menyenangkan di antara mereka. 
Sekilas saya lihat bungkusan yang dipangku sedari tadi olehnya. Ada hati terbungkus rapat-rapat, aman.
Syukurlah. Kali lain ketemu, saya sarankan ia untuk kembali berburu diskon tiket pertunjukan teater atau buku-buku sastra, dan menghindar film Hollywood mainstream yang sebetulnya tidak begitu disukainya.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Bahagia Itu Sederhana di Tapal Batas Indonesia
 Dermaga dekat Pelabuhan Roro Bengkalis
Beberapa minggu lalu, saya berkesempatan untuk berkunjung ke tempat yang tidak pernah masuk dalam imajinasi perjalanan saya: Pulau Sebatik, salah satu pulau terluar di Indonesia. Di Sebatik, ada dua negara berdaulat (termasuk mata uangnya) yakni Indonesia dan Malaysia. Jauh dari hiruk pikuk polusi dan kekumuhan kota yang memaklumkan ketidakwarasan, alam dan masyarakat tapal batas Indonesia ini memanjakan saya dengan kebahagiaan yang begitu sederhana.
Cerita tentang kesederhanaan juga saya temukan di Pulau Bengkalis, yang dapat dijangkau dengan perjalanan darat yang menegangkan sekitar 4 jam ditabah 55 menit perjalanan laut dari kota Pekanbaru. Juga dari kawan-kawan saya yang sama-sama ‘terlempar’ di perbatasan Nusantara; didapat cerita tentang perempuan-perempuan pengangkat air di Nusa Tenggara Timur dan buaya-buaya yang tidur siang di jalan menuju Senaning, Kalimantan Barat.
Ringgit di Tapal Batas
“Ibu-ibu di sini, rajin Mbak bikin kerajinan tangan daur ulang, makanan khas. Tapi nggak ada pasarnya,” kata salah seorang ibu di Desa Sei Pancang, desa di Pulau Sebatik. Ibu yang juga mempunyai peran sebagai sekretaris desa ini juga bercerita tentang pasar yang juga memakai ringgit sebagai alat tukarnya dan sebagian warga yang mengadu nasib di negara sebelah.
Jajanan anak-anak dan minuman ringan yang kami beli di warung tepi jalan (dan tepi jurang) hampir semua adalah produk Malaysia. “Untung disini nggak pernah sampai kekeringan yang mengharuskan kita impor air dari Malaysia,” seloroh bapak penduduk di Pulau Sebatik sambil tertawa. Saya ikut tertawa, sedikit pikiran terlintas betapa dekat dan akrab orang-orang Indonesia ini dengan berbagai hal dari negeri jiran tersebut.
Tapi rasanya begitu jauh dan asing dengan ibukota. Meskipun pusat kadang dikenal masyarakat dari berbagai dana bantuan. Sebatik tetap dengan kesederhanaannya yang hidup di dalam rumah-rumah panggung berdinding dan berlantai kayu. Saya hanya menyusuri jalan utama besar yang membelah pulau ini, tetapi katanya masih ada penduduk yang tinggal di wilayah yang susah diakses jaringan listrik dan sinyal telekomunikasi.
Tentang keterasingan dari pusat ini, ada cerita menarik dari kawan saya yang berkunjung ke Senaning. Butuh waktu 36 jam untuk sampai di wilayah tersebut dari pusat kabupaten, dengan kondisi jalan offroad. Jika memakai ojek sepeda motor, ongkosnya paling murah 500 ribu rupiah. Babi hutan, anjing liar tidur siang di tengah jalan yang mereka lalui. Kalau beruntung, bisa bertemu dengan buaya. Ketika kawan saya tersebut tiba di Senaning, ia sempat disapa dan diajak mengobrol oleh seorang penduduk tentang apa yang kawan saya lakukan di daerah terpencil itu.
Menurut pemandu wilayah yang mendampingi pekerjaan kawan saya di Senaning, seorang penduduk itu ternyata adalah intel tentara. Teman saya diajak makan siang di tempat yang jauh dari para intel tersebut, karena katanya jika kedatangan orang dari luar daerah akan dijadikan kesempatan untuk bercerita panjang lebar mengenai kondisi di perbatasan. “Melihat orang pusat seperti melihat harapan yang besar,” kata kawan saya meneruskan perkataan si pemandu wilayah. Sayangnya, kawan saya diburu waktu untuk segera menyelesaikan pekerjaannya, sehingga tidak sempat untuk mendengarkan ‘harapan-harapan’ tersebut.
Di malam hari ketika menuju pelabuhan untuk meninggalkan Pulau Sebatik dan bermalam di Pulau Nunukan, mobil yang kami tumpangi melewati sisi kiri hutan dan ladang, dan jauh di sisi kanan terlihat laut dengan garis pesisir yang gemerlap. “Itu Malaysia,” kata supir yang membawa kami. Cahaya yang gemerlap itu begitu kontras dengan jalan gelap yang kami lewati.
Perempuan-Perempuan Pengangkat Air
Lain lagi cerita kawan yang ‘terdampar’ di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Tentang pesona alam, tidak perlu dibantah lagi, langit Nusa Tenggara begitu biru ditambah padang-padang yang begitu luas. Tetapi, kontur daerah yang kering membuat penduduk harus mencari dan mengangkat air untuk kebutuhan sehari-hari dari tempat yang jauh. Para pahlawan pengangkat air ini adalah: perempuan.
Perempuan-perempuan yang kawan saya temui di pelosok Nusa Tenggara Timur, menurut tradisi setempat mempunyai to-do list yang cukup banyak untuk dikerjakan sehari-hari. Di waktu pagi, para perempuan ini wajib untuk mengangkut air untuk kebutuhan rumah tangga, dengan dua bejana di tangan kanan dan kiri, dan satu bejana di atas kepala. Perempuan-perempuan di Nusa Tenggara Timur sejak kecil sudah dibiasakan untuk mengangkut air, selain keterampilan lain yang diwajibkan oleh tradisi: menenun.
Masyarakat di sana berladang untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Istri-istri dari kepala keluarga ini juga mempunyai peran penting dalam berladang, terutama ketika menanam bibit – dipercaya tradisi bahwa hasil tanaman perempuan akan jauh lebih rapi dari laki-laki. Pemasukan keluarga juga disokong dari hasil tenunan perempuan-perempuan tersebut. Laki-laki, sebagaimana dalam struktur keluarga yang patriark berperan sebagai tulang punggung di keluarga. Namun sepertinya di Nusa Tenggara Timur, ‘tulang punggung’ juga sudah seharusnya disematkan pada perempuan.
Petani Jahe Merah di Pulau Bengkalis
Setelah melewati hari-hari di sepotong Kalimantan, takdir melemparkan saya ke perbatasan yang lain; Kepulauan Riau. Pulau Bengkalis, memang tidak sesepi Pulau Sebatik tetapi untuk mencapainya dari Pekanbaru butuh waktu empat jam perjalanan darat dan 55 menit perjalanan laut. Jangan bayangkan jalanannya semulus jalan-jalan di Jakarta. Jalan dengan aspal seadanya dengan kiri-kanan hutan sawit yang gelap adalah jalan yang harus kami tempuh. Kemudian dari pelabuhan, naik kapal feri sekitar 55 menit. Kapal terakhir berangkat pukul 11 malam.
Tetapi, kelelahan itu terbayar dengan indahnya kebun-kebun nanas, buah naga, hutan karet dan tentu saja sawit, yang ada di pulau ini. Rumah kayu warna-warninya mengingatkan saya akan Sebatik, meskipun di Bengkalis jarak antara lantai rumah dengan tanah tidak begitu tinggi. Di antara kebun-kebun dan rumah warna-warni saya bertemu dengan petani jahe merah yang menurut ceritanya, baru saja merintis usaha pertanian sekaligus pupuk kompos.
“Terkadang suka minder dengan ide-ide orang kota,” kata si petani jahe merah. Padahal, bapak muda ini pernah mempunyai cita-cita untuk membuat semacam peta khusus yang memuat potensi usaha desa, yang bisa diperbaharui dan diakses secara online. Impiannya bermula dari masalah yang sering ia temui dalam mendistribusikan jahe dan pupuknya, yakni pasar. Lingkup pasar terbatas di pulau tersebut, karena potensi-potensi kreatif di sana tidak banyak diketahui orang. Sayang idenya tidak bersambut, terantuk masalah dana.
Petani jahe merah ini meskipun masih menggunakan metode produksi yang sederhana, juga turut melibatkan beberapa penduduk setempat untuk mengelola bisnisnya. Dari menanam bibit jahe di poly bag sampai membangun tempat untuk peternakan kambing, yang kotorannya adalah bahan produksi utama pupuk komposnya.
Belajar Berbahagia
Bahagia itu sederhana, kalimat tersebut sering saya temukan di pelbagai media sosial yang banyak digunakan kelas menengah kota untuk menyampaikan rasa syukurnya pada hal-hal yang kecil. Namun, saya baru betul-betul memahami bahagia yang sederhana ketika sejenak melihat sisi kehidupan di tapal batas Indonesia. Impian-impian yang sederhana yakni hidup cukup dengan usaha sendiri, ada di rumah-rumah panggung kayu di tengah ladang dan hutan. Atau dari kerja keras perempuan-perempuan pengangkat air sekaligus penenun kain cantik di ujung timur Nusantara.
Tetapi, melihat fakta bahwa penduduk perbatasan menyimpan harapan yang besar dari kedatangan orang-orang dari pusat, kehidupan sederhana penduduk perbatasan seharusnya layak menjadi perhatian. Banyak impian, semangat dan potensi yang tumbuh dan hidup di sana, namun belum mendapat porsi empati yang cukup dari siapa yang kita sebut dengan negara.
Di Nunukan, pulau yang paling dekat dengan Sebatik pada malam terakhir sebelum saya bertolak kembali ke Jakarta. Beberapa nelayan sedang menarik jala di dermaga, ditumpahkanlah hasilnya: ikan-ikan kecil, udang, dan beberapa bayi gurita. Semua dimasukkan ke dalam ember, kecuali bayi gurita yang dilemparkan kembali ke laut.
“Kenapa guritanya dibuang lagi, Pak?,”
Di pulau ini jarang orang mengonsumsi gurita, jawab salah satu nelayan sambil melemparkan jalanya lagi ke laut. Kawan saya berkata kepada nelayan itu (sementara saya membayangkan gurita mentah yang enak di restoran sushi) di Jakarta harga bayi gurita bisa mencapai 400 ribu rupiah.
Nelayan itu tertawa, ”Itulah, Bu. Beda orang di sini dengan orang Jakarta”.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana melihat bayi gurita empat ratus ribu rupiah kembali berenang di air yang gelap.
     ����j
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Takdir
Takdir dapat menggerakkan kaki-kaki manusia ke tempat yang tidak pernah ia duga sebelumnya, pada waktu yang tidak disangka. Melalui satu perjalanan dengan gembira. Bisa jadi si manusia mengutuki pelbagai arus kehidupannya yang terlalu sederhana, rutinitas yang memenjarakan, tapi dengan bertumpuk pikiran dan rasa lelah yang menyulitkan, ikat mengikat. Mengurungnya di dunia yang bagaikan kamar gelap, yang membuatnya sesak, pengap.
Ternyata jika takdir yang menggerakkan, kaki-kaki ini sanggup untuk berjalan begitu jauh. Ia kira hidup di tanah airnya begitu sarat dengan kesusahan, fakta yang harus diterima pada kekumuhan yang terhampar di sela-sela gedung-gedung yang gemerlapan, dan reklame yang menyimbolkan capaian kekayaan. Atau klakson-klakson yang memekik, sementara miskin dan papa menjulurkan tangannya yang kotor di jalanan yang menyita waktu dan kewarasan.
Ternyata jika takdir menggerakkan, kakinya terhantar pada tempat dimana matanya bisa begitu bahagia dan terhibur. Seluas yang dilihatnya hanyalah titik-titik pulau hijau di tengah birunya Laut Sulawesi.
Takdir pula yang menggerakkan kakinya pulang kembali ke rumah, sambil sesekali berjanji pada diri sendiri entah bisa atau tidak ditepati. Berjanji untuk kembali kepada bentang alam yang dihamparkan Tuhan, di tanah airnya yang ternyata dapat membuat jiwanya bebas berlari sederas kijang.
Bengkalis, 16 November 2015.
1 note · View note
dayacipta · 9 years
Text
Pemandangan
Lihat, indah sekali pemandangannya aku bergumam padamu menunjuk gumpalan putih yang melayang di atas hamparan biru, zamrud khatulistiwa betul adanya hijau bak permata pulau-pulau kecil terserak di antara laut dan awan.
Di perjalanan pulang kita sama-sama mengagumi lampu-lampu yang berkilauan pada hari yang sudah tidak menjanjikan apa-apa. 
Lalu kita tidak lagi mengatakan apa-apa selain cerita yang tidak ada habisnya.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Beri Aku Tempat
(1) Beri aku tempat. Di antara nanas-nanas yang masih hijau di pohonnya, berjalan jauh sedikit kutemukan himpunan pepohonan karet dan kelapa sawit. Beri aku tempat, di satu rumah berdinding papan warna-warni, dengan pot-pot bunga yang diletakkan memenuhi beranda. Semak bougenville memenuhi pagar bambu sederhana. (2) Beri aku tempat untuk kembali, mungkin entah kapan aku akan sampai berlayar lagi. Beri aku tempat pada waktu-waktu panjang untuk saling berdiam diri, aku ingin kembali, sampai kepada pelukmu lagi, mengisyaratkan segala yang sengaja disimpan, yang tidak diucapkan. (3) Beri aku tempat, meski aku belum bisa berjanji untuk kembali. 18 Desember 2015. Sepulang perjalanan panjang dari Bengkalis, Riau.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Selepas Isya' Di Dermaga
(1)
Selepas isya’ di sebuah dermaga, beberapa penangkap ikan menarik jalanya, menumpahkan isinya, aku ikut mengintip ingin tahu seberapa yang didapatnya, ternyata cuma sedikit.
Mereka pisahkan tangkapan yang cuma cukup memenuhi segenggaman tangan mereka yang kekar dan legam. Ada udang, ikan-ikan kecil dan anak-anak gurita semua diambil untuk kembali dijadikan umpan kecuali si anak-anak gurita dilemparkan lagi begitu saja ke air yang gelap.
“Bapak, kalau di Jakarta bayi gurita sekilo bisa empat ratus ribu” sambil kubayangkan nikmatnya daging gurita mentah di restoran-restoran Jepang. Empat ratus ribu rupiah menghilang kembali di air yang gelap, penduduk di pulau ini katanya tidak berminat untuk menyantap.
Jala turun kembali, di tarik kembali. Dapatnya sedikit lagi. Empat ratus ribu rupiah dilemparkan lagi. Kemudian aku teringat cerita pejabat desa siang tadi, “Sebulan pendapatan nelayan dan petani disini rata-rata mencapai tujuh ratus ribu rupiah”, diucapkan tanpa kata hanya.
(2)
Kutemukan bahagia yang hidup di rumah-rumah panggung, di antara kebun, ladang, dan dermaga pelabuhan.
Kakiku meninggalkan dermaga dan berharap Nunukan kembali memanggilku dengan sukacitanya.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Aku Sebetulnya Ingin Ketemu Kau
Aku sebetulnya ingin ketemu kau. Tapi tiap ketemu yang banyak kau lihat layar ponselmu. Kau sampaikan pada banyak orang, kau ada di suatu tempat bersamaku. Aku mengobrol dengan mangkuk bakso, gelas es jeruk, dan kertas menu yang sudah lusuh. Eh. Kata-kata yang keluar darimu begitu hangat. Manis. Tertulis di bawah foto bersamaku hari itu yang kau bagikan di jejaring sosialmu. Kita bertemu lagi di lain waktu. Ketika cuma aku yang tertangkap dengan inderamu, tanpa seisi dunia mesti tahu. Meski, Dunia saat ini sedang mengetahui kau sedang menangisi perpisahan kita yang begitu tiba-tiba. Lewat lagu pop, dengan syair yang sesuai dengan suasana putus cinta ini. Adakah suatu tempat dimana aku bisa mencintaimu bersama dengan udara saja?
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Menggambar Pelangi
Saya adalah perempuan yang bahagia. Setiap hari saya bangun tepat pukul 5 pagi. Bersembahyang, kemudian mandi dan meditasi. Saya bercermin, berbedak tipis-tipis dan memoleskan lipstik, tapi tidak pernah menggambar alis. Saya rapikan rambut saya yang panjang bergelombang.
Jam 6.30 saya sudah di pasar pagi. Membeli brokoli, jamur, dan buah stroberi. Serta beberapa sayur dan buah lainnya untuk dikonsumsi hari ini. Pacar saya juga suka buah dan sayur. Dia masih di apartemen saya pagi ini, menjadi alasan mengapa saya berbedak dan berlipstik untuk menyiapkan sarapan pagi.
Tiga tahun lalu. Saya mengenalnya di sebuah acara seminar suatu bedah buku di kampus. Buku sastrawan gaek yang digemari anak muda karena puisi-puisi cintanya yang indah. Dia yang kini adalah pacar saya, adalah seorang wartawan. Baru saja menulis satu novel dan masuk rak best seller. Karyanya banyak dipuji, sebuah roman berlatarbelakang sejarah. Mungkin Leila Chudori versi lelaki. Saya juga baca novelnya dan sangat terkesan.
Sastrawan gaek ini katanya teman satu ‘gengnya’. Kebetulan, dia yang waktu itu belum jadi pacar saya hari itu sedang ada jadwal mengajar di kampus. “Ya, sekalian mampir-mampir kesini lah”.
Dijabatnya tangan saya, yang ketika itu duduk di sampingnya. Singkatnya kami berkenalan. Saya yang hanya wartawan kelas kampus tentu senang punya kenalan yang lebih senior.
Ganteng, pula.
Perkenalan itu dilanjuti dengan obrolan-obrolan tentang buku dan peristiwa-peristiwa aktual (karena dia wartaw wartawan, dan saya juga) di warung tenda yang menjual susu kedelai. Susu kedelai hangat untuk saya, pakai es untuknya.
Di antara gelas susu kedelai itu berlompatan cerita tentang babi-babi diktator George Orwell, padang prairie tanpa batas medan petualangan Winnetou dan Old Shattterhand, dan alasanku untuk tidak mau ngobrol di kafe seberang sana karena asap pekat rokok rasanya seperti menyumbat paru-paruku. “Bagaimana kalau kamu tinggal di Jambi sana, Rina, asap sedikit saja kau sudah mengeluh”.
Untuk apa menjebak diri pada udara yang menyesakkan di coffee shop seberang sana? Saya lebih suka udara bebas, gumam saya sambil menggambar aneka pelangi di buku catatan lusuh yang sering saya bawa-bawa.
“Udara bebas mah di gunung Rina, di padang rumput? Apa yang kau gambar itu?”
“Pelangi. Katanya jika merasa ingin bahagia, gambarlah pelangi. Jika sedang merasa perlu untuk mengatur ide-ide, gambarlah pola geometris. Jika merasa bosan gambarlah garis-garis. Untung yang saya gambar sekarang bukan garis-garis kan?”
“Tapi kau juga tidak perlu menggambar pelangi saat ini, Rina. Karena saya bersamamu”.
Udara malam di sekitar tenda warung susu tiba-tiba menyumbat paru-paru saya. Secepat pukulan Old Shatterhand pada musuhnya di padang prairie, saya mengangkat wajah dan menangkap sepasang mata yang sedang menatap.
Di depan saya, ada orang yang sedang jatuh cinta.
Tidak ada yang berubah sejak dia memergoki menggambar pelangi-pelangi itu. Kami tetap bicara pada jarak yang sama, ngobrol di tempat yang sama, minuman yang dipesan masih sama. Hanya tidak ada lagi gambar-gambar pelangi, bukan apa-apa hanya karena saya malas dia, yang tiba-tiba menjadi pacar saya mengomentari gambar-gambar itu.
“Kamu mau jadi pacar saya, Rin?” “Terserah” “Jadi kamu mau, Rin? Umur kita berjarak sepuluh tahun, kamu nggak masalah?” “Saya bilang kan terserah. Jadi apapun nggak jadi masalah buat saya.”
Hening di antara kami, yang terdengar bising knalpot dan orang-orang komuter berlalu lalang menuju rumah atau tempat kos. Pertama kalinya setelah berkali-kali pertemuan dia antar saya pulang berjalan kaki menuju apartemen saya. Ketika hampir sampai di gerbang gedung itu, saya buka suara.
“Tapi. Abang betul belum berkeluarga kan?” Dia tertawa, “Kalau sudah?” “Tidak jadi terserah. Saya pasti menjawab tidak”. “Belum”. “Baiklah. Pulanglah sana”. Jatuh cinta orang dewasa sering merepotkan. Saya harus menutup pintu rapat-rapat.
Tapi ternyata saya tidak perlu menaruh banyak curiga kepadanya. Meski saling mengaku pacar, tidak begitu banyak yang berubah. Di akhir pekan kami menghabiskan waktu sehari bersama di luar kota, di lembah yang seperti padang prairie, di pantai, dimanapun “untuk Rina yang suka udara bebas”.
Saya pun merasa tidak perlu menggambar pelangi lagi, karena jatuh cinta rasanya begitu membebaskan. Di suatu akhir pekan yang lain kita makan tom yam yang saya masak, di apartemen saya. Dia cukup saya percaya untuk masuk ke dalam ruang pribadi saya.
Mangkuk tom yam sudah kosong, kami sudah separuh jalan menghabiskan eskrim, tiba-tiba dia mendekati saya dan mendaratkan bibirnya yang dingin ke bibir saya. Tiba-tiba udara sekitar menjadi sesak, di kepala saya terbayang ceritanya kemarin dulu tentang sastrawan yang memperkosa seorang mahasiswi.
Semakin sesak ketika tangannya kuat-kuat mencengkeram tangan dan melucuti pakaian saya. Terlalu sesak untuk dapat melawan.
Waktu terasa lama sekali sampai terdengar suaranya berbisik. “Saya mencintaimu, Rina. Mengapa kamu menangis?”.
- Pagi ini sepulang saya dari pasar, dia mencengkeram tangan saya lagi dan berbisik, “Saya mencintaimu, Rina”.
Saya juga mencintainya. Meski sudah berkali-kali pacar saya menciumi dan mencumbui saya seperti ini, yang pertama di hadapan mangkuk tom yam kosong itu saya tetap diperkosa.
Saya hingga hari ini masih terjebak di gambar-gambar pelangi yang terlihat semakin muram.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Menjadi Aku
Aku ingin menjadi angin, yang menyelusup ke serat-serat kain kemejamu, ke setiap inci kulitmu, meniup helai-helai rambutmu. Angin yang datang bersijingkat, kau sambut dengan syukur atau pun bibir yang tetap tertutup rapat, bukan yang tetiba saja membuat kemeja gembung tak karuan, meniup debu ke helai rambut, kulit, dan bibirmu – bersekongkol dengan terik matahari.
Aku ingin menjadi matahari, ada di kamarmu pukul setengah enam pagi, menyentuh kelopak matamu, keningmu, pipimu dengan jemari yang bersih, hangat dan lentik. Memeluk punggungmu lebih hangat daripada selimut yang serasi dengan sprei tempat tidurmu. Membuat dirimu terbangun, dan kulihat seberkas cahayaku di wajahmu.
Aku ingin menjadi wajahmu, kau lihat aku setiap kali bercermin. Tersenyum sepembawa hatimu yang berbahagia, ingin berbahagia atau harus memasang senyum yang bahagia, Tapi hanya ada aku dan kau ketika kau bercermin, dan kurasai air matamu menumpahi aku.
 Aku ingin menjadi aku, yang begitu ingin mencintaimu.
 Anyer, 3 Agustus 2015.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Empat Puluh Tujuh
Sahabat saya ada empat puluh tujuh orang. Setidaknya itu yang saya sebutkan di bagian ucapan terimakasih skripsi saya. Ada yang dekat, ada yang jauh. Ada yang pernah dekat kemudian jauh. Ada yang selalu dekat. Ada yang terkadang jauh, terkadang dekat. Ada yang tidak dekat-dekat amat.
Mungkin saya norak dengan menyebutkan empat puluh tujuh nama orang sebagai sahabat saya. Mungkin saya terkesan hanya mengaku-mengaku punya sahabat banyak, dan dekat dengan orang-orang yang terlihat keren. Mungkin dengan menyebut-menyebut mereka sebagai sahabat saya, saya ikut terlihat keren dan asyik untuk diajak bergaul. Mungkin saya sekadar terbawa tren untuk mengucapkan terimakasih ke banyak orang di skripsi saya.
Mungkin saya hanya ingin mengucapkan terimakasih ke orang-orang yang saya ingat selain keluarga.
Empat puluh tujuh nama yang pernah, sedang, dan terus mendedikasikan waktu dan ruangnya untuk saya. Ada yang berpuluh jam tidak tidur karena saya paksa mengerjakan tugas organisasi kampus, ada yang tiga kali waktu makan dihabiskan bersama saya, ada yang kamarnya diinapi dua malam dan menyediakan tempat tidurnya yang nyaman untuk saya tiduri sendiri.
Empat puluh tujuh nama yang telah banyak memberi.
Kiriman-kiriman quotes atau rekomendasi lagu penyemangat tidak pernah kurang. Kiriman saran, semangkuk indomie, atau sebungkus kopi. Dibawakan pula kado dan kue ulangtahun dadakan dengan lilin yang dipinjam dari pelayan kafe. Datang pula tausiyah-tausiyah penenang hati, bermacam diskusi, dan segala obrolan tiada henti.
Ada satu nama yang banyak menerima. Yang datang ketika sedih. Yang datang ketika butuh teman makan, tidur, atau bepergian. Yang datang ketika mentok dalam mengerjakan tugas kuliah. Yang datang ketika bingung memilih pakaian, bingung memilih bahan makanan, atau memilih respon kepada gebetan.
Namanya Daya. Yang sedang bingung akan menuliskan terimakasih dimana lagi untuk empat puluh tujuh orang sahabat selain di lembar pendahuluan skripsi.
Kecuali di lembar-lembar doa yang tidak pernah habis untuk ditulisi.
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Perempuan yang Pulang Malam Hari
Setiap akhir pekan, Ajeng pulang ke rumah. Dari Senin hingga Jumat, Ajeng menjalani rutinitas kuliah di kampus pinggir kota Jakarta. Jaraknya tiga jam dari rumah orangtua Ajeng kalau pakai kendaraan pribadi. Lima jam jika terpaksa menggunakan kendaraan umum.
Ajeng lebih sering menempuh perjalanan lima jam, begitupun mlam ini. Satu klai angkot, satu kali bis, satu angkot lagi dan bapak ibunya akan menjemput dengan kijang putih di depan tukang martabak yang buka sampai larut malam. Rumahnya masih delapan kilo lagi.
Sudah pukul setengah dua belas malam saat Ajeng turun bis dan menyetop angkot berwarna silver. Angkot di kota ini unik, lampunya kelap kelip warna-warni ditambah supirnya menyetel dentuman musik dangdut miks disko, mengingatkan akan kelab malam murah di sekitar pabrik atau pelabuhan.
Angkot yang Ajeng sering naiki tidak terlalu penuh. Hanya ada dua ibu-ibu berkerudung yang bawaannya menyiratkan habis pulang kampung, dua bapak pegawai pabrik, dan mas-mas memakai kaus bergaris. 
Di perempatan selanjutnya dua ibu-ibu itu turun dan satu perempuan dengan kaus biru pas badan, celana putih ketat, bibir yang dipoles lipstik merah, rambut yang Ajeng yakin pasti baru dikeriting dan badan yang sangat harum, naik ke angkot.
Mbak kaus biru ini menenteng tas kecil Louis Vuitton super palsu yang mungkin isinya beberapa lembar uang dan ponsel. Muka dan penampilannya tidak menyiratkan apa-apa bagi Ajeng. Tapi Ajeng sepertinya lupa ini sudah hampir tengah malam. Dua bapak-bapak dan mas-mas kaus bergaris membuka percakapan kepada mbak kaus biru.
Seperti beruntun. 
“Malam amat keluarnya, neng”
“Turun dimana? Siapa yang jemput?”
“Kerja malam-malam gini, neng”
Sambil tertawa-tawa. Si mbak baju biru menjawab seadanya dengan cukup ramah.
“Turun dekat lapangan depan. Iyah ada yang jemput”.
“Kiri, mang”, kata Ajeng. Sudah sampai dekat tukang martabak yang mangkal depan lapangan. Mbak berbaju biru ikut turun di tempat yang sama.
Ibu Ajeng baru saja membeli martabak. Si mbak baju biru memesan martabak telor, dobel telor bebek. Ibu dan Ajeng masuk kijang putih yang disopiri Bapak, pulang.
“Itu cewek malam-malam keluar menor, pak”, kata ibu Ajeng kepada Bapak.
“Mungkin kerja yang lain kali, Bu,” kata Bapak.
Ajeng diam saja di bangku belakang. Lipstik yang biasa Ajeng pakai ke kampus sama merah dengan yang dipakai mbak kaus biru tadi, kalau saja sebelum pulang tidak cepat-cepat ia hapus takut kena marah ibu. Rambut yang ditutupi kerudung sama hitam dan keritingnya dengan rambut si mbak.
Kita mungkin sama-sama dikira pelacur, mbak kalau lipstik merahku tidak kuhapus dan rambut keritingku digerai. Lalu kita pulang larut malam begini.
Salah lipstik merah atau mata laki-laki?
0 notes
dayacipta · 9 years
Text
Dua Kebaikan
Jika jodoh berwujud pasangan hidup, katanya, ia merupakan cerminan dari diri kita. Yang cocok; sehati, sepikiran dan sejalan.
Kalau betul jodoh ditetapkan berupa sosok, yang kubayangkan adalah ia yang dapat melengkapi kurangku. Seperti aku yang sering tersesat jika bepergian, menginginkan jodoh yang derajat kecerobohannya lebih minim daripada aku.
Atau aku yang merasa ilmu agamanya kurang, menginginkan jodoh yang berilmu lebih baik. Aku yang sulit mengambil keputusan membutuhkan jodoh yang tegas dan berpendirian. Ingin ini, ingin itu.
Jika saja jodoh berupa sosok. Yang kubayangkan adalah segala hal bagus dari para laki-laki yang kukenal baik, kudapat lengkap dalam satu paket seorangjodoh. Ingin yang pintar seperti ayah. Tidak peduli dengan keburukan orang lain, dia adik laki-lakiku. Pendengar dan pemberi dukungan yang baik seperti Delly. Sholeh, rajin mengaji, dan murah hati seperti Amar. Pekerja keras, berambisi tinggi seperti Alldo. Atau yang siap membelaku seperti Rido.
Seperti ayah, adik, dan sahabat-sahabatku.
Jika saja jodoh berupa sosok. Tentu saja, berupa manusia dengan segala kekurangannya. Paket lengkap yang kubayangkan pasti rentan akan cacat dan alpa. Bisa jadi si jodoh suka berpenampilan seadanya, kemeja yang tidak cocok dengan warna kulit atau motif yang membuat badan terlihat tidak pas. Atau memakai jaket yang jarang dicuci, tidak menangkupkan sendok setelah makan atau meninggalkan butir nasi pada sambal di piringnya.
Lebih lagi, si jodoh barangkali seorang pemarah, hal-hal lucu bisa jadi serius. Atau keras kepala. Atau tidak romantis.
Seperti ayah, adik dan sahabat-sahabatku mereka juga mempunyai daftar cacat dan alpa.
Sosok manusia lain, bernama jodoh ketika aku bayangkan seharusnya semakin membuat aku tidak mengerti apa yang aku inginkan, apa yang aku butuhkan. Bagaimana aku bisa menggantungkan harap agar tertutup segala kekuranganku, pada kehadiran orang lain yaitu sang jodoh?
Mengutip Cak Nun, yang diingatkan oleh Delly dengan baik hati kepadaku, jodoh bukanlah bersifat material. Ia ditakdirkan bukan berupa sosok. Kebaikan kita, yang akan menghantarkan kepada kebaikan lainnya. Itulah jodoh.
Jodoh adalah rahasia Allah. Bisa jadi apa yang tidak kamu sukai, itu baik bagimu. Barangkali, apa yang kamu sukai justru membawa keburukan bagimu.
Allahummaghfirli....
Semoga Allah menghantarkan kebaikanku yang belum seberapa kepada kebaikan lainnya. Dua kebaikan yang akan meningkatkan kecintaan kepada-Nya.
0 notes