Tumgik
critcit · 2 months
Text
Sekarang (Mungkin Belum) Waktunya
"Kamu sadar gak kalau suaramu bergetar?" Tanya seorang psikolog setelah aku bercerita.
"Sadar," jawabku dengan suara bergetar.
"Itu bagus. Berarti kamu bisa menyadari kalau ada sinyal dari tubuhmu,' psikolog itu menanggapi. "Apalagi yang biasanya kamu sadari?"
"Suara bergetar, mata berkaca-kaca, napas gak beraturan dan berakhir banyak menghela napas supaya air mata gak keluar," jawabku sedikit nyengir mengakui kalau aku berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis.
.
Respons tubuh yang sama juga terjadi beberapa waktu lalu saat aku bercerita dan mengaku pada Bapak kalau sudah lebih dari setahun aku pergi ke psikiater dan minum obat, sempat berhenti, tapi karena kondisiku memburuk belakangan aku memutuskan untuk mencari psikiater di kota kelahiranku dan kembali minum obat. Aku juga mengaku kalau sudah sejak beberapa tahun lalu aku diam-diam mencari bantuan ke psikolog.
Sore itu kami sedang di kebun. Bapak sudah beres-beres dan siap pulang sebab jam tiga sore ada pertandingan Persib. Aku yang masih duduk dan tidak terlalu bersemangat pulang untuk nonton bola berkata, "Nanti dulu. Tadi belum jadi ngobrol". Tadi aku memang mau membuka obrolan dengan Bapak, tapi sebab ada tetangga datang membawa sertifikat tanah dan kami membicarakan soal luas tanah–obrolan penting, obrolan itu tertunda.
"Jadi kamu udah setahun lebih minum obat?" Tanya Bapak.
"Iya," jawabku, "Makanya aku tanya terus soal BPJS," sambil sedkit nyengir dan menahan tangis. Sebab statusku masih mahasiswa kemarin, BPJS-ku masih masuk dalam tanggungan dan tunjangan Bapak. Dulu Bapak tidak mempermasalahkan BPJS (karena kami sekeluarga jarang sakit–sungguh berkah) dan bahkan tidak sadar kalau status keanggotaan kami sekeluarga tidak aktif, hingga aku bertanya dan akhirnya ia urus ke bagian Kepegawaian di kantornya.
Aku bercerita kalau aku sangat takut untuk membuka kondisiku karena aku tidak ingin menjadi beban tambahan untuk keluarga. Aku menyadari peranku di keluarga sebagai anak yang dijadikan harapan sebab aku laki-laki dan aku tidak terlahir dengan disabilitas seperti Kakak. Aku tau aku bungsu, tapi peranku sulung. Orangtuaku sudah tua dan tidak lama lagi Bapak pensiun–bahkan harusnya sudah pensiun kalau bukan sebab "keajaiban" pada H-4 bulan pensiun bukannya turun SK pensiun tapi malah SK pelantikan yang membuatnya menambah masa kerja dua tahun. Orangtuaku sudah melalui terlalu banyak hal, sejak dari masa kecil, dewasa, menikah, punya anak, hingga kini. Aku merasa bersalah dan tidak seharusnya aku menjadi beban tambahan bagi mereka; anak yang (aku kira harus) jadi harapan mereka malah memiliki masalah mental: mixed anxiety and depressive disorder.
.
Salah satu tujuanku memilih melanjutkan studi S1 kembali di Yogyakarta setelah lulus D3 sebab aku familiar dengan fasilitas kesehatan mental di kota itu. Aku menjadikan pergi ke fasilitas kesehatan mental di kota itu dan memperbaiki diri sebagai side quest. Setelah menuntaskan main quest: menjadi sarjana, sayangnya aku gagal menuntaskan side quest itu. Aku kembali pulang ke rumah dengan hati yang hancur, perasaan bersalah yang amat dalam, ketakutan, dan depresi lain sebab kesalahan yang aku perbuat dalam prosesnya.
Setelah wisuda, aku kira akan mudah bagiku untuk mendapat pekerjaan. Namun, kenyataan tidak semudah itu. Aku bahkan tidak punya pengalaman dan bayangan wawancara kerja akan berjalan seperti apa. Aku banyak melamar pekerjaan, ditolak, tidak ada kabar, ikut proses selanjutnya hanya untuk berakhir ditolak lagi, berulang kali, sampai aku merasa muak dan merasa malu. Hal ini memperparah keadaanku.
Bulan Desember hingga Januari aku berulang kali mengalami penyakit yang biasanya tidak pernah aku derita. Gerd. Aku berulang kali merasa mual, pusing, dan dada terasa panas. Gejala maag yang biasanya hilang setelah aku minum obat maag ini tidak kunjung hilang sampai akhirnya aku ke dokter dan diberi omeprazole, obat untuk gerd. Belakangan aku sadar kalau itu semua kemungkinan adalah refleks dari semua stres yang aku rasakan.
Beberapa waktu lalu setelah aku bercerita soal kondisiku, aku menghabiskan dua hari bersama Bapak di Bandung. Di satu sore menjelang malam, kami pergi makan. Sesaat setelah selesai makan, aku berandai-andai, "Kapan ya makan kaya gini gantian aku yang bayar?". Aku mengucap itu pada Bapak dan ia membalas, "Nanti. Tenang aja. Sekarang mungkin emang belum waktunya". Kalimat itu mengingatkanku pada beberapa waktu lalu saat aku bercerita kalau aku stres belum dapat kerja. Bapak dengan entengnya berkata, "Gak usah buru-buru. Gak ada yang ngeburu-buru kan?"
Kupikir ada betulnya. Seandainya aku sudah dapat pekerjaan dan harus pergi lagi dari rumah saat ini, obrolan di antara kami ini tidak akan terjadi. Aku masih akan memendam perasaan ini dan merasa sendirian sepanjang waktu sebab aku tidak tau kalau aku sebetulnya punya tempat aman untuk bercerita. Hubungan kami masih akan tetap "berjarak" dan mungkin tidak pergi kemana-mana. Kedekatan, keterbukaan, dan kehangatan yang dalam waktu singkat bisa aku rasakan hanya karena mencoba berani membuka diri ini mungkin tidak akan terjadi.
.
Kembali ke sore itu.
"Kalau ada orang yang memang harus stres mikirin keluarga, harusnya Bapak yang stres, bukan kamu," ucap Bapak menenangkan setelah aku bersusah payah bercerita dan bahkan membuatnya tidak jadi menonton Persib sore itu.
Aku tidak pernah mengucap syukur sebab dilahirkan di keluarga ini, tapi sore itu aku mengucap syukur. Sore itu terasa begitu lamban. Kami duduk bersebelahan, bersender pada dinding saung sebab aku tidak berani bercerita sambil menatap mata Bapak. Sambil berulang kali mengatur napas, aku merasakan angin yang berembus pada kulitku dan aku memperhatikan daun-daun di kebun yang bergoyang. Sore yang amat sangat lamban.
Tumblr media
7 notes · View notes
critcit · 6 months
Text
On The Train Ride Home
If I can't get the things I want, just give me what I need
youtube
Tahun 2019 aku menemukan lagu On The Train Ride Home ini (beserta beberapa lagu sedih lainnya). Aku ingat waktu itu sekitar bulan Oktober-November; dan aku ingat memutar lagu ini berkali-kali di kereta Yogyakarta-Bandung dan sebaliknya pada bulan November. Mengapa? Tentu saja karena cinta dan patah hati.
Tahun 2021 akhir, di bulan November, aku kembali naik kereta dari Bandung ke Yogyakarta. Aku membawa empat bawaan: tas travel, tas gendong, tas selempang, dan kecemasan. Perjalanan itu dipenuhi perasaan cemas. Mungkin sebab aku tau aku memilih kembali meninggalkan rumah dan kembali melanjutkan studi. Berbeda dengan saat pertama kali berkuliah sebab lulus SMA dan kalau tidak kuliah mau apa? Pilihan kali ini aku buat setelah berulang kali berpikir dan berdiskusi dengan keluargaku.
Tahun 2021-2023 adalah periode hidupku sejauh ini yang paling banyak kulalui dengan naik kereta. Lagi-lagi tentu, Bandung-Yogyakarta dan sebaliknya. Wangi roti di stasiun, kursi di ruang tunggu yang selalu penuh, antrian di gerbong, semua jadi hal yang biasa.
Tumblr media
Tahun 2023 akhir ini aku menaiki kereta lagi dari Yogyakarta menuju Bandung. Dengan bawaan yang juga sama: tas travel, tas gendong, tas selempang, dan kecemasan. Kuliahku kali ini sudah usai juga; selanjutnya apa? Apakah pilihanku di tahun 2021 adalah pilihan yang benar dan itu akan membuat hidupku ke depan jadi lebih baik atau ini cuma menambah kecemasan buatku kemudian dan secara praktis aku cuma membuang waktu dan menunda-nunda hidupku?
(Aku mungkin akan cemas dan memikirkan ini di perjalan pulang kemarin kalau bukan sebab pikiranku dipenuhi oleh kesedihan lain)
Aku masih ingin percaya kalau pilihan yang kubuat adalah yang terbaik. Ke manapun hidupku setelah ini, doaku semoga itu yang terbaik—
If I can't get the things I want, just give me what I need
2 notes · View notes
critcit · 11 months
Text
"Melepaskan seseorang mungkin juga adalah bagian dari menyayangi seseorang itu"
Mungkin memang begitu. I wish you love, really.
Aku bahagia untukmu sekarang dan aku bahagia untuk apa yang terjadi pada hubunganmu sekarang. Aku diam-diam memperhatikan bagaimana kamu pelan-pelan belajar mencintai dan dicintai. Aku ingin tetap jadi bagian dari hidupmu, jadi teman yang bisa mendengarkan cerita-cerita itu secara langsung—tapi mungkin sulit ya? Begini pun tidak apa. Begini pun cukup.
Aku bahagia untukmu dan aku akan selalu mengharapkan dan mendoakan kebahagiaan untukmu.
Perihal Melepaskan Merelakan Seseorang
:februari, bulan untuk jatuh hati/patah hati; bulan untuk berhati-hati
So, what was I to you?
Was there any chance for you and I to be us?
Di pertemuan terakhir kita, aku sengaja tidak bertanya pertanyaan yang seharusnya kutanyakan. Ada dua sebab mengapa aku tidak bertanya hal itu:
Sebab saat itu sudah berlalu. Kita sudah melalui jalan yang berbeda. Sudah tak seharusnya aku memikirkanmu lagi.
Aku mengira jawabanmu untukku pada waktu dulu sudah final.
Lucunya, setelah itu, aku mendapat pengakuan dari orang lain kalau sebetulnya kamu dulu sempat mau memberi kesempatan untukku. Lebih lucu lagi sebab waktu itu kita berbincang seolah semua itu sudah berlalu dan kita sudah meninggalkan semuanya di belakang. Namun, belakangan pertanyaan itu muncul lagi. Pertanyaan paling utama tentu: apa jadinya aku hari ini kalau keadaan waktu itu berbeda untuk kita?
--mengingat masa lalu dan mempertanyakan "what if" untuk setiap keadaan; kebiasaan lama memang susah untuk hilangnya ya?
Semuanya terasa menyedihkan ya, terutama fakta bahwa kini kita seolah menjadi asing bagi satu sama lain. Kita tak lagi sedekat dulu. Kita sudah jarang mengobrol, apalagi sekadar bertukar kabar atau sapa. Terkadang bahkan ada hari-hari di mana aku melamun dan memikirkan apa kesibukanmu saat ini.
"Pertanyaan paling utama tentu: apa jadinya aku hari ini kalau keadaan waktu itu berbeda untuk kita?" Mengingatkanku pada episode pertama First Love. Aku ingat adegannya: Yae mengendarai taksi, sementara di pinggir jalan Harumichi sedang berjalan ke arah yang berlawanan. Yae kemudian bermonolog dengan kalimat yang kurang-lebih sama.
Aku kehilangan minat pada hal-hal yang padahal dulu sempat kita bagi. Aku tak lagi suka mendongak pada langit malam dan mencari posisi bulan atau bintang. Kau tau bagaimana katanya pelaut dulu bisa tidak tersesat padahal belum ada GPS seperti sekarang? Mereka menggunakan ilmu navigasi untuk menentukan arah dengan mengamati benda langit, terutama bintang. Kehilangan navigasi di tengah laut lepas tentu merupakan mimpi buruk dan pilihan terbaik jelas: berlabuh.
Phil Stutz, seorang psikiater, dalam dokumenter Stutz bilang kalau ada tiga aspek yang mesti diingat dari realitas: pain, uncertainty, and constant work. Semua kesedihan/rasa sakit yang kurasakan, semua ketidakpastian yang kuhadapi, pada akhirnya tetap butuh usaha yang konstan agar aku tidak tenggelam dan kehilangan arah. Fakta bahwa aku masih menulis soal perasaanku ini sekarang adalah bagian dari usaha konstan tersebut.
Perasaanku untukmu itu nyata dan aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta. Semuanya terjadi begitu saja. Namun, mengucap hati-hati setelah berbincang soal alasan penolakanmu untukku dulu, atau pelukan pertama dari seseorang di stasiun saat aku mengatarnya pergi, semuanya mengisyaratkan perpisahan. Aku tau kita sudah memilih jalan yang berbeda. Melepaskan seseorang mungkin juga adalah bagian dari menyayangi seseorang itu.
Maaf, waktu dulu aku terlalu ragu bahkan untuk sekadar mengetuk pintu hatimu.
Sampai jumpa.
Doa baik untukmu selalu.
Hidup belakangan sedang tidak baik-baik saja dan aku sedang mempertanyakan banyak hal, salah satunya soal perasaanku ini.
10 notes · View notes
critcit · 11 months
Text
Hati-hati, misalnya.
Selain bulan Februari—seperti yang kamu tulis di sini (postingan yang baru saja kau putuskan tidak perlu lagi dipost secara private)—nyatanya, bulan-bulan lain, bahkan mungkin sepanjang tahun—dalam artian lain: setiap saat—adalah waktunya untuk jatuh hati/patah hati, dan setiap saat itu pula kamu mesti berhati-hati.
Januari, misalnya.
Seorang musisi ternyata menulis lagu tentang tempat tinggal seseorang dan tempat tinggalmu. Malam setelah kamu mengetahui fakta itu, kamu tidak bisa tidur lalu menulis puisi pada pukul tiga pagi untuk seseorang itu.
Tumblr media
Februari, misalnya.
Setelah memendam perasaan, menunggu waktu, dan mengumpulkan keberanian, kau akhirnya mengungkapkan perasaanmu pada seseorang. "Kamu mau aku beri jawabannya sekarang?" Tanya seseorang itu. Kau mengangguk dan dia menjawab, "Aku enggak menyukaimu juga," seraya berbalik badan lalu kau pulang kehujanan dengan mata yang basah.
Seseorang salah paham pada ucapanmu dan mengartikan ucapanmu semaunya. Percakapan itu mengakhiri segalanya terutama karena seseorang itu sudah muak padamu. Padahal kamu sedang berusaha memperbaiki hubungan dengannya, tapi apa daya.
Seseorang bolos kuliah dan mengajakmu untuk pergi dengannya ke pameran lukisan di Tirtodipuran, berdua. Itu pertama kalinya kalian menghabiskan waktu. Sewaktu kamu menerobos lampu merah di detik akhir lampu itu berkedip dari hijau-kuning-merah, seseorang itu menepuk pundakmu sambil tertawa. Kalian kemudian makan mi ayam sebelum pulang.
Tumblr media
Maret, misalnya.
Suatu siang, seseorang mengakui sesuatu padamu. Sesuatu yang sangat menyakitkan buatmu hingga membuatmu remuk dan hancur sampai-sampai kamu membuat-buat alasan supaya kamu tidak perlu mendengarkan lanjutan pengakuannya padamu. Kamu kemudian menghabiskan sore itu dengan melamun dengan helaan napas yang tanpa henti-hentinya kamu atur sekuat tenaga.
April, misalnya.
Mei, misalnya.
Kamu transit ke Bandung saat pulang ke rumah untuk sementara waktu. Pagi itu sampai sore kamu pergi ke sebuah universitas untuk menemui dan menemani seseorang mendaftar ulang. Sempat terbesit dalam hatimu kalau kamu ingin seseorang itu kuliah di Jogja juga denganmu, tapi suatu waktu kamu pernah juga berharap sebaliknya. Apa yang terjadi mungkin memang yang terbaik untuk kalian.
Juni, misalnya.
Hampir empat tahun tidak bertemu diringkas dengan pertemuan yang kurang dari empat jam dan diakhiri dengan foto berdua untuk pertama kalinya dan pelukan pertama dari seseorang untukmu di Lempuyangan saat kau mengantarnya pulang.
Kamu kembali ke Jogja untuk sementara waktu. Di antara waktu itu, kamu bertemu dengan seseorang dan kalian berencana untuk pergi ke sebuah pameran. Lucunya, saat kalian sampai ke galeri ternyata galeri tutup karena kalian pergi terlalu sore. Dengan isengnya, di tengah kebingungan kalian, kamu mengusulkan untuk pergi ke pantai. Seseorang itu mengangguk. Sore ke malam itu kemudian kalian habiskan dengan jalan kaki menyusuri pantai, melihat matahari terbenam, bermain air, dan rebahan di pasir.
Juli, misalnya.
Kau terbangun pada sepertiga tiga malam sehabis memimpikan seseorang dan saat itu kamu memutuskan untuk jatuh cinta padanya. Cukup aneh, tapi pada waktu itu kamu mengira kalau itu merupakan isyarat kosmik dan kamu menerimanya.
Agustus, misalnya.
September, misalnya.
Pertama 2018, kemudian 2022. Kamu sesak napas dan sulit tidur sebab merasa cemas setiap malam oleh dua orang yang berbeda. Berbeda pula dari 2018, pada 2022 kamu mencari bantuan profesional dan harus menghadapi kenyataan kalau kamu "butuh obat" dan masih harus meminum obat sampai kini.
Oktober, misalnya.
Malam itu kamu memutuskan untuk tinggal lebih lama di sekretariat. Kamu tidak pernah mengira kalau tinggal dan berdiam diri di sana akan menjadi banyak kenangan. Salah satunya sewaktu seseorang sangat ingin melihat bintang, tapi langit mendung. Beberapa waktu kemudian kamu melihat langit dan bilang kalau langit sudah tidak mendung. Kalian lalu menatap langit malam dan menunjuk-nunjuk bintang bersama.
November, misalnya.
Kamu pergi kencan pertama kalinya setelah berhubungan jarak jauh untuk beberapa waktu. Kalian pergi piknik, duduk-duduk di atas rumput, dan makan bekal yang seseorang itu buatkan khusus untukmu.
Desember, misalnya.
Seseorang jatuh hati padamu, tapi kamu tidak bisa membalas perasaannya. Kamu tersanjung pada keberaniannya dan kamu berterimakasih pada perasaannya untukmu. Kamu memberi bunga dan beberapa bait puisi sebagai ungkapan terimakasihmu. Sialnya, gestur yang kau berikan menimbulkan salah paham dan kamu pun ditimpa kemalangan setelahnya.
—cukup.
mumbled mumbling
1 note · View note
critcit · 11 months
Text
Bertepatan saat aku menulis ini, seorang teman datang ke Jogja dengan tergesa setelah patah hati di ibukota. Besoknya kami bertemu dan aku mendengar semua keluhkesahnya. Setelah memenuhi keinginannya untuk membeli cheese tea di sebuah mall, di parkiran sebelum kami pergi, aku berdiri menghadapnya. Dia sudah memakai helm dan siap berangkat, tapi aku berkata, "Aku mau bilang sesuatu".
Sebetulnya apa yang aku sampaikan padanya secara esensi kurang-lebih tidak jauh berbeda dari apa-apa yang koleganya sampaikan, tapi kemudian dia terlihat terharu dan berkata, "Emang beda rasanya kalau temen sendiri yang bilang begitu". Dia mengucapkan terima kasih lalu kami pergi.
Di tengah antrian keluar parkir mall yang panjang, aku bercerita kalau aku sedang mengingat Good Will Hunting semalam dan aku berusaha mengulang apa yang Sean lakukan pada Will dengan berulang kali bilang, "It's not your fault" karena itu salah adegan powerful di film itu. Di luar dugaan, ternyata Good Will Hunting adalah film favoritnya.
Temanku pulang ke rumahnya untuk sementara waktu. Aku tidak tau patah hatinya apakah sudah reda atau belum. Aku juga tidak tau berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk sembuh. Namun, sampai saat itu datang aku akan terus mengucap, "It's not your fault" padanya setiap kali itu dibutuhkan.
youtube
Miss Misery
Aku pergi ke psikolog hari selasa kemarin dan psikolog itu bilang, "Kamu sedang mengalami quarter life crisis (QLC)".
Aku pergi sebab seminggu belakangan, di antara waktu aku menulis puisi ini, jam tidurku sedang berantakan dan aku melihat hidupku acak-acakan. Jam tidurku terbalik, kerja gak betul, skripsi gak jalan, banyak menangis, sakit--dan lainnya dan lainnya.
Aku tidak bercerita terlalu banyak, tapi waktu sebentar itu pun cukup. Mungkin, di satu sisi ucapan psikolog itu seperti menegasikan apa-apa yang aku lalui dan kadang bisa aku bicarakan berlarut-larut dan bolak-balik ketika konsultasi. Tapi aku menerima ucapan itu dengan perasaan, "Iya, aku memang sedang melewati krisis. Cukup begitu. Tidak perlu penjelasan lebih dalam dan tidak perlu digali-gali. Itu cukup; menjadi alasan untuk terus berjalan dan menjalani hari".
Psikolog itu bilang kalau ada tiga langkah yang bisa kulakukan:
1. Tentukan tujuan.
2. Pilih dan jalani tujuan itu dengan mantab.
3. Kembangkan diri dan/atau adaptasi diri dalam mencapai tujuan itu.
Masalahnya, kan QLC itu krisis sebab tidak tau mesti menentukan tujuan/melakukan apa ya? *tertawa getir*
Aku kemudian meminta tolong untuk dibantu membuat keputusan soal sesuatu. Psikolog itu kemudian malah menyanggah dengan bilang, "Kamu perlu cari bantuan dari orang lain--" aku membatin kan ini yang sedang saya lakukan, mbak???
Sepulang dari sesi konsultasi itu aku mengingat ucapan itu dan teringat film Good Will Hunting (1997). Terutama adegan saat Chuckie (Ben Affleck) berbicara kepada sahabatnya, Will (Matt Damon), "Look, you're my best friend, so don't took it the wrong way. But, in 20 years if you're still living here, coming over my house to watch The Patriots game, still working construction, I'll fucking kill you. ... Because tomorrow I'm gonna wake up and I'll be 50 and I'll still be doing this shit. That's alright. That's fine. You're sitting in a winning lottery ticket. ... I'd do fucking anything to have that. ... It'd be an insult if you're still here in 20 years. Hanging around is a fucking waste of your time".
Ternyata maksudnya aku perlu mencari bantuan dari orang dekat yang bisa kuajak berdiskusi dan memantapkan pilihanku. "Bagaimanapun, psikolog cuma bisa mengarahkan, tidak bisa memutuskan," ucap psikolog itu.
youtube
Aku teringat adegan itu sebab di film tersebut, Will merupakan tokoh yang genius, tapi punya masalah dengan sikapnya. Seorang profesor yang menemukannya kemudian mencoba menolongnya dengan mengarahkan dia ke banyak psikolog/psikiater--yang semuanya berakhir dengan gagal (mereka menyerah). Hingga akhirnya dia bertemu karakter psikolog, Sean yang diperankan oleh Robin Williams.
Sesi konsultasi itu kemudian berjalan lancar dan mereka menjadi akrab. Tapi, biarpun Will telah menjalani banyak sesi konsultasi dan mulai terbuka soal dirinya, banyak orang (terutama dari comment section di youtube) yang bilang kalau yang mengubah Will tetap ucapan dari sahabatnya, Chuckie, dan bukan sebab bantuan Sean secara langsung.
Film itu berkesan buatku, apalagi mengetahui kalau Matt Damon dan Ben Affleck menulis cerita itu dan berkeliling Hollywood agar ceritanya bisa diproduksi jadi film. Mereka pun akhirnya memerankan peran utama di film itu. Terlebih ketika aku menyadari kalau Casey Affleck (adik Ben Affleck) ikut menjadi bagian dari cast (aku tau dan suka film-film indie-festival yang diperankan oleh Cassey Affleck).
Beberapa waktu belakangan aku berefleksi dan seolah sampai pada kesimpulan kalau aku mencoba mengambil jalan pintas dengan pergi ke psikolog. Di antara ingar-bingar kesadaran akan kesehatan mental, aku lupa kalau bantuan paling pertama harusnya datang dari orang terdekat dan bukan dari psikolog. Bukan menegasikan peran para profesional praktisi kesehatan mental, tapi mau sebagus dan sebanyak apapun profesional yang kutemui kalau bukan aku yang mulai berubah dan mencoba terbuka dengan orang terdekat, sepertinya tidak akan banyak perubahan berarti yang akan kualami. Sebab nyatanya banyak dari hal-perihal yang kubawa ke profesional itu melibatkan orang-orang terdekatku.
Aku jadi teringat seorang psikolog sampai pernah bilang, "Kayanya masalahnya ada di kamu," waktu aku berbicara soal relasiku dengan orang lain. Entah itu salah ucap atau jujur atau apapun, tapi aku tertawa mengingat itu dan ya, betul, kalau bukan aku yang mencoba berubah bagaimana bisa?
Aku jadi paham kenapa seorang psikolog pernah kekeh bilang kalau kebingunganku berakar dari orang terdekatku. Sebab banyak dari kebingunganku saat ini melibatkan mereka, tapi aku tidak mendiskusikan itu dengan mereka; bahkan sekadar berbagi pun tidak. Sementara, aku terlalu fokus pada orang lain yang tidak ada andilnya dalam kebingunganku.
Kalau aku memang harus membuat keputusan, aku kira yang perlu aku lakukan dan jadikan prioritas sekarang adalah memperbaiki dan menjalin kedekatan dan keterbukaan dengan orang-orang terdekatku terlebih dahulu dibanding dengan orang lain. Mumpung masih bisa; mumpung mereka masih ada; sambil berharap pelan-pelan aku dapat menemukan jawaban atas kebingungan-kebingunganku.
Terakhir, mari tutup tulisan ini dengan adegan pamungkas dari Good Will Hunting.
youtube
6 notes · View notes
critcit · 11 months
Text
Miss Misery
Aku pergi ke psikolog hari selasa kemarin dan psikolog itu bilang, "Kamu sedang mengalami quarter life crisis (QLC)".
Aku pergi sebab seminggu belakangan, di antara waktu aku menulis puisi ini, jam tidurku sedang berantakan dan aku melihat hidupku acak-acakan. Jam tidurku terbalik, kerja gak betul, skripsi gak jalan, banyak menangis, sakit--dan lainnya dan lainnya.
Aku tidak bercerita terlalu banyak, tapi waktu sebentar itu pun cukup. Mungkin, di satu sisi ucapan psikolog itu seperti menegasikan apa-apa yang aku lalui dan kadang bisa aku bicarakan berlarut-larut dan bolak-balik ketika konsultasi. Tapi aku menerima ucapan itu dengan perasaan, "Iya, aku memang sedang melewati krisis. Cukup begitu. Tidak perlu penjelasan lebih dalam dan tidak perlu digali-gali. Itu cukup; menjadi alasan untuk terus berjalan dan menjalani hari".
Psikolog itu bilang kalau ada tiga langkah yang bisa kulakukan:
1. Tentukan tujuan.
2. Pilih dan jalani tujuan itu dengan mantab.
3. Kembangkan diri dan/atau adaptasi diri dalam mencapai tujuan itu.
Masalahnya, kan QLC itu krisis sebab tidak tau mesti menentukan tujuan/melakukan apa ya? *tertawa getir*
Aku kemudian meminta tolong untuk dibantu membuat keputusan soal sesuatu. Psikolog itu kemudian malah menyanggah dengan bilang, "Kamu perlu cari bantuan dari orang lain--" aku membatin kan ini yang sedang saya lakukan, mbak???
Sepulang dari sesi konsultasi itu aku mengingat ucapan itu dan teringat film Good Will Hunting (1997). Terutama adegan saat Chuckie (Ben Affleck) berbicara kepada sahabatnya, Will (Matt Damon), "Look, you're my best friend, so don't took it the wrong way. But, in 20 years if you're still living here, coming over my house to watch The Patriots game, still working construction, I'll fucking kill you. ... Because tomorrow I'm gonna wake up and I'll be 50 and I'll still be doing this shit. That's alright. That's fine. You're sitting in a winning lottery ticket. ... I'd do fucking anything to have that. ... It'd be an insult if you're still here in 20 years. Hanging around is a fucking waste of your time".
Ternyata maksudnya aku perlu mencari bantuan dari orang dekat yang bisa kuajak berdiskusi dan memantapkan pilihanku. "Bagaimanapun, psikolog cuma bisa mengarahkan, tidak bisa memutuskan," ucap psikolog itu.
youtube
Aku teringat adegan itu sebab di film tersebut, Will merupakan tokoh yang genius, tapi punya masalah dengan sikapnya. Seorang profesor yang menemukannya kemudian mencoba menolongnya dengan mengarahkan dia ke banyak psikolog/psikiater--yang semuanya berakhir dengan gagal (mereka menyerah). Hingga akhirnya dia bertemu karakter psikolog, Sean yang diperankan oleh Robin Williams.
Sesi konsultasi itu kemudian berjalan lancar dan mereka menjadi akrab. Tapi, biarpun Will telah menjalani banyak sesi konsultasi dan mulai terbuka soal dirinya, banyak orang (terutama dari comment section di youtube) yang bilang kalau yang mengubah Will tetap ucapan dari sahabatnya, Chuckie, dan bukan sebab bantuan Sean secara langsung.
Film itu berkesan buatku, apalagi mengetahui kalau Matt Damon dan Ben Affleck menulis cerita itu dan berkeliling Hollywood agar ceritanya bisa diproduksi jadi film. Mereka pun akhirnya memerankan peran utama di film itu. Terlebih ketika aku menyadari kalau Casey Affleck (adik Ben Affleck) ikut menjadi bagian dari cast (aku tau dan suka film-film indie-festival yang diperankan oleh Cassey Affleck).
Beberapa waktu belakangan aku berefleksi dan seolah sampai pada kesimpulan kalau aku mencoba mengambil jalan pintas dengan pergi ke psikolog. Di antara ingar-bingar kesadaran akan kesehatan mental, aku lupa kalau bantuan paling pertama harusnya datang dari orang terdekat dan bukan dari psikolog. Bukan menegasikan peran para profesional praktisi kesehatan mental, tapi mau sebagus dan sebanyak apapun profesional yang kutemui kalau bukan aku yang mulai berubah dan mencoba terbuka dengan orang terdekat, sepertinya tidak akan banyak perubahan berarti yang akan kualami. Sebab nyatanya banyak dari hal-perihal yang kubawa ke profesional itu melibatkan orang-orang terdekatku.
Aku jadi teringat seorang psikolog sampai pernah bilang, "Kayanya masalahnya ada di kamu," waktu aku berbicara soal relasiku dengan orang lain. Entah itu salah ucap atau jujur atau apapun, tapi aku tertawa mengingat itu dan ya, betul, kalau bukan aku yang mencoba berubah bagaimana bisa?
Aku jadi paham kenapa seorang psikolog pernah kekeh bilang kalau kebingunganku berakar dari orang terdekatku. Sebab banyak dari kebingunganku saat ini melibatkan mereka, tapi aku tidak mendiskusikan itu dengan mereka; bahkan sekadar berbagi pun tidak. Sementara, aku terlalu fokus pada orang lain yang tidak ada andilnya dalam kebingunganku.
Kalau aku memang harus membuat keputusan, aku kira yang perlu aku lakukan dan jadikan prioritas sekarang adalah memperbaiki dan menjalin kedekatan dan keterbukaan dengan orang-orang terdekatku terlebih dahulu dibanding dengan orang lain. Mumpung masih bisa; mumpung mereka masih ada; sambil berharap pelan-pelan aku dapat menemukan jawaban atas kebingungan-kebingunganku.
Terakhir, mari tutup tulisan ini dengan adegan pamungkas dari Good Will Hunting.
youtube
6 notes · View notes
critcit · 11 months
Text
Breakdown jam tiga pagi; hasilnya puisi
Tumblr media
5 notes · View notes
critcit · 1 year
Text
Perihal Melepaskan Merelakan Seseorang
:februari, bulan untuk jatuh hati/patah hati; bulan untuk berhati-hati
So, what was I to you?
Was there any chance for you and I to be us?
Di pertemuan terakhir kita, aku sengaja tidak bertanya pertanyaan yang seharusnya kutanyakan. Ada dua sebab mengapa aku tidak bertanya hal itu:
Sebab saat itu sudah berlalu. Kita sudah melalui jalan yang berbeda. Sudah tak seharusnya aku memikirkanmu lagi.
Aku mengira jawabanmu untukku pada waktu dulu sudah final.
Lucunya, setelah itu, aku mendapat pengakuan dari orang lain kalau sebetulnya kamu dulu sempat mau memberi kesempatan untukku. Lebih lucu lagi sebab waktu itu kita berbincang seolah semua itu sudah berlalu dan kita sudah meninggalkan semuanya di belakang. Namun, belakangan pertanyaan itu muncul lagi. Pertanyaan paling utama tentu: apa jadinya aku hari ini kalau keadaan waktu itu berbeda untuk kita?
--mengingat masa lalu dan mempertanyakan "what if" untuk setiap keadaan; kebiasaan lama memang susah untuk hilangnya ya?
Semuanya terasa menyedihkan ya, terutama fakta bahwa kini kita seolah menjadi asing bagi satu sama lain. Kita tak lagi sedekat dulu. Kita sudah jarang mengobrol, apalagi sekadar bertukar kabar atau sapa. Terkadang bahkan ada hari-hari di mana aku melamun dan memikirkan apa kesibukanmu saat ini.
"Pertanyaan paling utama tentu: apa jadinya aku hari ini kalau keadaan waktu itu berbeda untuk kita?" Mengingatkanku pada episode pertama First Love. Aku ingat adegannya: Yae mengendarai taksi, sementara di pinggir jalan Harumichi sedang berjalan ke arah yang berlawanan. Yae kemudian bermonolog dengan kalimat yang kurang-lebih sama.
Aku kehilangan minat pada hal-hal yang padahal dulu sempat kita bagi. Aku tak lagi suka mendongak pada langit malam dan mencari posisi bulan atau bintang. Kau tau bagaimana katanya pelaut dulu bisa tidak tersesat padahal belum ada GPS seperti sekarang? Mereka menggunakan ilmu navigasi untuk menentukan arah dengan mengamati benda langit, terutama bintang. Kehilangan navigasi di tengah laut lepas tentu merupakan mimpi buruk dan pilihan terbaik jelas: berlabuh.
Phil Stutz, seorang psikiater, dalam dokumenter Stutz bilang kalau ada tiga aspek yang mesti diingat dari realitas: pain, uncertainty, and constant work. Semua kesedihan/rasa sakit yang kurasakan, semua ketidakpastian yang kuhadapi, pada akhirnya tetap butuh usaha yang konstan agar aku tidak tenggelam dan kehilangan arah. Fakta bahwa aku masih menulis soal perasaanku ini sekarang adalah bagian dari usaha konstan tersebut.
Perasaanku untukmu itu nyata dan aku tidak pernah berencana untuk jatuh cinta. Semuanya terjadi begitu saja. Namun, mengucap hati-hati setelah berbincang soal alasan penolakanmu untukku dulu, atau pelukan pertama dari seseorang di stasiun saat aku mengatarnya pergi, semuanya mengisyaratkan perpisahan. Aku tau kita sudah memilih jalan yang berbeda. Melepaskan seseorang mungkin juga adalah bagian dari menyayangi seseorang itu.
Maaf, waktu dulu aku terlalu ragu bahkan untuk sekadar mengetuk pintu hatimu.
Sampai jumpa.
Doa baik untukmu selalu.
Hidup belakangan sedang tidak baik-baik saja dan aku sedang mempertanyakan banyak hal, salah satunya soal perasaanku ini.
10 notes · View notes
critcit · 1 year
Text
"Shit, here we go again."
"I hate pity partying, actually..."
Tumblr media
"Then stop making the invitation letter--especially the one for yourself."
"I don't think if that is possible. It must be impossible not to attend one. It is..."
Tumblr media
"You are impossible."
Tumblr media
"Well, that is me. An arrogant impossible fool."
"Shit, here we go again."
6 notes · View notes
critcit · 1 year
Text
(Bukan) Cemas-cemas Gemas
youtube
Namanya juga hidup, gak ada yang tau. Niatnya pensiun, eh malah mutasi ke instansi lebih tinggi dan nambah usia pensiun dua tahun.
Aku mengatakan itu pada bapakku di kebun waktu aku mengambil fotonya selagi memanggul cangkul dan memakai caping lebar dengan sepatu boots di bawah guyuran hujan sehabis dia membuat jalan saluran air supaya tanaman tidak terendam. Aku mengusulkan itu jadi caption status whatsapp-nya dengan foto yang kuambil, tapi dia menolaknya dan mengunggah foto itu menggunakan caption lain.
Hidup memang tidak ada yang tau dan tidak ada yang tau kepastian apa yang akan terjadi dalam hidup--bukankah itu mengerikan?
Beberapa waktu belakangan aku benar-benar melalui naik dan turun berkali-kali. Hal yang hari kemarin membuatku bersemangat dan punya harapan, di hari ini bisa tiba-tiba bisa membuatku murung dan tidak karuan, sementara besok harinya aku akan menjalani hidup yang biasa saja tanpa terlalu berharap juga tanpa terlalu bersemangat; hanya menjalani apa-apa yang bisa kulakukan.
Dunia yang ideal cuma ada dalam khayal, teori, atau, paling tidak pendekatan yang tentu saja tidak mempertimbangkan segala faktor.
Beberapa hari lalu dosen pembimbing skripsiku kaget sebab aku memperhitungkan desainku sampai cukup detail bahkan memintaku mengirimkan referensi bacaanku untuknya. Dia bilang, "Praktikal saja, mas. Itu hal bagus, tapi kamu masih S1. Kalau S2 atau S3 baru perlu semuanya diperhitungkan, jangan sampai terbalik".
Aku menerima ucapan itu sebagai saran untuk tidak terlalu muluk-muluk dan berusaha mencari sesuatu yang ideal; untuk tidak terjebak dalam pikiranku sendiri; untuk tidak berusaha mengontrol hal-hal yang memang sulit aku kontrol. Sebab pada akhirnya, setelah aku menghitung ini-itu, selalu ada saja faktor entah apa yang membuat desainku tidak sesuai.
Dosenku yang sedang mengerjakan penelitian untuk studi S3-nya pun sempat bilang, "Saya sendiri ragu. Meskipun pada akhirnya misal saya bisa memberikan rekomendasi dan kesimpulan kalau memasang SPKLU di daerah sini dengan mempertimbangkan distribusi jaringan, beban, dan segala macamnya, bisa jadi pihak PLN menolak sebab alasan-alasan lain di luar faktor teknis".
Berusaha mengontrol hal-hal yang tidak bisa aku kontrol dan berusaha untuk membuat banyak hal menjadi sempurna aku akui jadi salah satu penyebab kecemasanku. Aku selalu khawatir menjadi tidak sempurna, tidak bisa memberikan yang terbaik, dan segala hal buruk lainnya. Belakangan aku sadari kalau itu membuatku menutup mata pada hal-hal baik yang ada di dalam diriku.
Sekitar pekan ketiga Desember lalu sewaktu aku menyadari aku tidak lolos short course energi terbarukan yang diadakan oleh AAI, aku sempat murung, padahal aku sangat berharap bisa diterima. Pada akhirnya aku terbiasa dengan penolakan dan ketidaksuksesan, tapi saat itu kekasihku berkata, "Aku tau kita selalu cerita soal hal-hal begini dan berakhir dengan 'yaudah mau gimana lagi?', tapi justru hal itu yang bikin aku suka sama kamu. Kamu mau mengusahakan sesuatu itu meskipun dipenuhi banyak ketakutan dan kecemasan".
Aku mensyukuri itu dan aku mengakui kalau itu adalah hal baik yang ada dalam diriku. Pada akhirnya aku ternyata cukup persisten dan tetap mau berusaha mencapai keinginanku.
Hanya saja, aku menyadari kalau pada beberapa titik aku tidak tau kapan mesti menyerah, atau kadang malah menyerah terlebih dahulu sebab dipenuhi kecemasan.
Kedua hal itu mengganggu, tapi kadang hal kedua yang paling mengganggu. Dalam kondisi tertentu, aku merasa tidak ada gunanya membangun kedekatan dengan orang lain sebab pada akhirnya yang kumiliki hanya diriku sendiri; orang-orang akan pergi dari hidupku saat waktunya tiba.
Kadangkala hal pertama juga yang justru menggangguku. Aku kadang tidak tau kapan mesti menyerah. Misalnya saja kejadian dengan orang-orang yang pernah dekat denganku. Entah kutukan atau bukan, tapi aku selalu berusaha melihat hal baik pada setiap orang dan selalu punya pembenaran untuk menjaga hubungan hingga suatu waktu kejadian besar terjadi seolah memberi pertanda aku harus berhenti--tapi aku tetap diam-diam ingin membangun hubungan lagi dengan orang lain itu.
Menyebalkan rasanya hidup dengan ketidakpastian dan menjalani hidup hanya untuk menemui kekecewaan yang aku tau pada akhirnya akan kutemukan. Aku takut menghadapi dan menemui realita yang tidak sesuai bayanganku.
Tumblr media
Namun, pada akhirnya selalu begitu. Namanya juga hidup, tidak ada yang tau. Apa yang bisa kulakukan cuma menjalaninya sebisaku. Soal apa yang akan terjadi nanti, biarkan jadi pikiran nanti. Aku sudah tidak kaget dengan kekecewaan, tapi aku tetap takut kalau harus menghadapi kekecewaan lain lagi.
Pada waktu seperti ini aku hanya bisa berdoa semoga aku selalu kuat untuk terus melanjutkan hidup, melakukan yang terbaik, dan diberi kekuatan untuk menghadapi masa depan.
Tumblr media
14 Jan 23, dalam perjalanan dari Yogyakarta menggunakan kereta api Lodaya, gerbong ekonomi premium 2, kursi 20D, menuju Bandung. Ditulis dengan pikiran yang kalut dan cemas.
Aku mencemaskanmu.
4 notes · View notes
critcit · 1 year
Text
Nostalgia dan Klise
Tumblr media
Foto pertama dari klise negatif yang dicuci. Pada foto tersebut, aku mempotret kekasihku dari belakang. Hasil fotonya memiliki lightleak yang membuat foto itu seperti visualisasi potongan ingatanku.
Malam ini (8/11/22) aku datang untuk ketiga kalinya dalam rentang seminggu terakhir ke Bersoreria, salah satu tempat cuci film di daerah Prawirotaman. Aku datang pukul 20.18, parkir, masuk, kemudian menyapa seorang lelaki umur 40-an akhir yang walaupun jenggotnya panjang dan beberapa helai rambutnya mulai putih masih memancarkan aura anak muda.
"Mau ambil atau cuci film, mas?" Tanyanya.
"Enggak, mas. Ini, saya mau memastikan film yang kemarin saya cuci," sambil mengeluarkan gulungan klise film negatif.
Sabtu kemarin (5/11/22), aku dan kekasihku habis mengikuti workshop merangkai bunga. Di sana kami menghabiskan sisa exposure dari film yang sudah hampir setahun bersarang di kamera analog tipe rangefinder-ku, Ricoh 500GX. Selesai workshop berangkatlah kami ke Bersoreria untuk mencuci film itu.
"Jadinya besok ya, mas," kata seorang perempuan berhijab umur 20-an yang jaga di meja kasir, "Nanti kalau file digitalnya udah dikirim lewat drive, berarti klisenya udah bisa diambil," lanjutnya. Pulanglah kami dengan perasaan penuh debar, mengantisipasi hasil jepretan kami akan seperti apa.
Minggu siang (6/11/22), masuklah email dan link menuju drive tempat hasil scan klise film negatif yang kami cuci. Rasanya seperti nostalgia karena film itu mulai masuk kamera di kencan pertama kami setelah beberapa bulan terpisahkan oleh jarak. Ada juga beberapa foto pada waktu tertentu yang menunjukkan rambut gondrongku waktu itu.
Namun, ketika kulihat-lihat foto yang ada di drive rasanya ada yang kurang. Ternyata beberapa foto terakhir yang kami ambil di acara workshop itu tidak ada. Kebingungan, sore itu aku pergi ke Bersoreria untuk mengambil klise dan menanyakan jumlah fotonya.
"Sudah bener kok, mas," kata kasir itu.
"Mungkin itu karena underexposure, mas. Makanya gak bisa di-scan," sambut lelaki itu.
Penjelasan yang masuk akal pikirku, sebab aku baru sadar ISO film itu 200 dan bukan 400 setelah film dikeluarkan dari kamera yang aku setting untuk ISO 400. Langit sore itu sudah gelap, maka aku putuskan menerima penjelasan itu dan melaju pulang sambil berharap tidak kehujanan.
Aku kemudian sampai kos sekitar pukul lima sore dengan kabar baik dan buruk. Kabar baiknya adalah aku tidak kehujanan. Tepat saat hujan tiba-tiba deras dan angin bertiup kencang, tepat pula aku parkir di garasi. Kabar buruknya adalah setelah kuhitung dan urutkan klise filmnya, ternyata klise foto terakhir hilang.
Film yang kupakai adalah Kodak Color Plus ISO 200 36 Exposure, artinya nomor terakhir yang ada di gulungan klise harusnya 36, tapi di sana cuma sampai 31. Berangkat dari keraguan dan kebingungan itu, malam ini aku berangkat lagi ke Bersoreria.
"Oh iya, saya lupa jelasin lebih lanjut kemarin. Jadi karena gak bisa di-scan itu, saya potong. Salah saya, mas, harusnya klise yang terakhir tetap saya masukkan. Saya masih ingat, klise terakhir itu kosong soalnya. Maaf tapi mas, kayanya udah saya buang. Nanti saya coba cari, mudah-mudahan ada," lelaki itu menjelaskan, "Jadi pelajaran juga buat saya, mas. Saya gak kepikiran bakal ada masalah kaya gini. Ke depannya kalau ada yang kosong gitu juga, paling enggak saya ikutkan di gulungan klisenya".
Baiklah... Mau bagaimana lagi?
Setelah itu, aku sempat mau langsung pulang, tapi entah dari mana, aku rasanya ingin mengobrol dulu dengan lelaki ini. Basa-basilah aku bilang kalau mulai main analog karena baca Majalah Hai edisi khusus yang membahas hype kamera analog. Setelah ngubek-ngubek gudang dan ketemu kamera pocket milik bapakku, cobalah main analog dan keterusan sampai 2018 beli kamera rangefinder dengan pinjam uang teman dulu.
"Sambil duduk aja kali ya, mas?" Aku bilang ke lelaki itu. Lalu terlibatlah kami dalam pembicaraan seru soal bisnis kamera analog. Dia bilang harga mahal sekarang itu karena ada "mafia" yang pegang stok barang banyak. Sengaja dibikin langka supaya harga melambung, barulah barang dikeluarkan.
"Persis kaya kasus minyak goreng kemarinlah, mas," katanya.
Di saat itu, aku bersyukur sempat menggeluti jurnalisme jadi tipis-tipis punya kemampuan bertanya dan menjaga obrolan tetap berjalan. Pelan-pelan aku bertanya soal proses cuci film, stok barang, bisnis Bersoreria dan lainnya.
"Kalau lagi gak ada bos sih, pas saya cuci film boleh kalau mau liat prosesnya, mas," tawarnya, "Soalnya kalau pas ada, saya bisa dimarahin," ucapnya sambil nyengir. Aku tentu diam-diam berharap kesempatan bakal datang dan bisa melihat proses cuci film suatu saat nanti.
Dia juga cerita soal kelakuan-kelakuan lucu konsumen yang baru pakai analog. Suatu waktu ada dua perempuan dari Jakarta lagi wisata ke Jogja. Perempuan yang satu cakepnya luar biasa, tapi yang satu biasa aja katanya. Mereka jalan bareng, jepret foto bareng, cuci film bareng juga. Sewaktu hasilnya sudah jadi, perempuan yang cakepnya biasa ini protes, "Jangan mentang-mentang saya jelek, tapi temen saya cakep jadi hasil temen saya dibikin lebih cakep dong, mas," protes perempuan itu.
"Ya, saya diam aja, mas. Mau jelasin apa lagi coba? Permasalahannya bukan karena perempuan yang satu lebih cakep, tapi emang kameranya yang satu lebih cakep. Kan mau gak mau hasilnya tentu beda, ya?" terangnya, "Ya sudah saya ketawa aja sehabis kejadian itu. Kan kesalahan bukan di saya, tapi di kebodohan dia yang gak ngerti alat. Biasa saya dimaki-maki kaya gitu sama orang yang baru main analog dan ngeyel harusnya hasilnya bagus. Gak saya masukin hati yang kaya gitu, mas. Repot entar".
Aku bertanya beberapa hal pribadi juga. Ternyata lelaki itu asli Semarang dan sempat kuliah fotografi di IKJ walaupun gak selesai. Sudah hampir 30 tahun dia bekerja di bisnis fotografi, terutama analog. Baru sekitar awal 2021 dia pindah ke Jogja setelah ditawari mengurus cabang Bersoreria di Jogja.
"Suntuk saya di Jakarta, mas," ucapnya, "Apalagi setelah istri saya gak ada. Jadi ya, mlipir dulu lah ke jogja biar dapet suasana baru. Anak saya juga kuliah di UNY ikut mbahnya kok".
"Ini berarti masnya tinggal di toko ini?"
"Iya, di situ," menunjuk kamar kecil di samping ruang gelap tempat cuci film.
"Sendiri, mas?"
"Iya. Mbak kasir yang itu kan part-time, jadi kalau udah jam enam sore dia pulang," ucapnya. Menarik menurutku part-time di Bersoreria, kalau ada bukaan lagi aku akan coba daftar juga sepertinya. "Wah, tapi saingannya anak-anak Fotografi ISI, mas. Tapi ya keputusan di bos, bukan di saya kalau soal part-time," katanya.
Diam-diam aku menyadari kalau kemungkinan lelaki ini cuma lelaki biasa yang kebetulan sedang mengalami mid-life crisis. Tinggal sendiri, suntuk dengan suasana yang itu-itu saja, dan istri yang dicintainya sudah tidak ada lagi.
Tanpa terasa ternyata sudah pukul 21.15.
"Oh udah lewat jam sembilan, mas. Tutup jam sembilan kan ya, siapa tau masnya mau istirahat," ucapku sambil pamit.
Sambil berdiri aku berkata, "Oh iya, sorry, mas. Nama mas siapa ya?"
"Nama saya Yono," ucapnya sambil menyodorkan tangan berkenalan. "Saya Rizal, mas," balas saya kemudian menjabat tangannya.
"Saya pamit dulu ya, mas."
"Iya, maaf ya mas klisenya malah kebuang. Nanti kalau ketemu saya kasih tau," ucapnya lagi.
"Gapapa, mas. Santai," kataku sembari keluar dari toko.
3 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
We’ll be fine
We’ll be fine the sun will rise
We’ll be fine
We’ll be fine the sun will rise
Regardless of we’ll become (We’ll be fine)
Just pretend that wasn’t a lie (We’ll be fine the sun will rise)
Regardless of we’ll become (We’ll be fine)
Just pretend that wasn’t a lie (We’ll be fine the sun will rise)
youtube
I really hope that we'll be fine--I'll be fine.
Aku tiba-tiba menangis setelah mendengar lagu ini. Sedih, kesal, dan banyak hal dalam pikiranku saling bersautan. Betapa menyebalkannya tidak dapat memproses emosi dan perasaan diri sendiri lalu menangis entah karena apa.
2 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
Aku ingin membuat tulisan panjang soal perasaan-perasaanku belakangan, tapi rasanya terlalu banyak dan penuh sampai-sampai aku tak tau bagaimana cara menuliskannya. Beberapa di antaranya adalah hal baik, beberapa kecemasan, tapi dipenuhi harapan.
Aku mensyukuri banyak hal yang terjadi belakangan. Salah satu doaku belakangan adalah, "Kalau bersyukur memang memperbanyak nikmat yang Kau beri, berikan aku kemampuan untuk mensyukuri banyak hal dan menerima lebih banyak kenikmatan".
Aku hanya ingin mendengarkan lagu ini sambil memeluk erat orang yang kusayangi.
3 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
Menggulung Kaset Rusak
"Diagnosis dysthymia diberikan kalau dalam kurun waktu minimal dua tahun kamu merasa low terus dan susah buat merasa bahagia," psikiater itu menjelaskan kenapa diagnosis awalku yang diduga dysthymia berubah menjadi mixed anxiety and depressive disorder. Sementara ia menjelaslan, pikiranku mencari-cari kapan terakhir kali aku merasa sangat bahagia.
"Selain itu, dysthymia itu susah merasa sedih. Jadi kondisinya di tengah-tengah antara low banget sama normal atau ngerasa biasa aja. Kamu masih merasa sedih kan kalau denger kabar buruk atau sejenisnya?" Tanyanya. Aku mengangguk dan lagi-lagi pikiranku menjelajah kapan dan kejadian terakhir apa yang paling membuatku sedih.
Kalau diingat, dalam kurun waktu 2020 (bahkan mungkin 2018 atau 2017) sampai 2022 ini banyak kejadian yang cukup berdampak buatku dan aku tak pernah punya cukup waktu untuk membiarkan diriku memproses semuanya. Untuk sekadar bercerita pun, aku kadang bingung mesti bercerita kepada siapa. Akhirnya aku membiarkan semuanya tertumpuk, terlupakan, dan memenuhi halaman belakang ingatanku. Sialnya, tentu, setiap kali ada kejadian yang memaksaku mengunjungi halaman belakang ingatanku, semua kejadian itu terlihat: menggunung, semakin besar, dan membuat kewalahan.
Di sesi-sesi terakhir dengan psikolog di Prambanan, aku sampai pada kesimpulan, "Ternyata aku memang banyak memendam emosi ya," dan psikolog itu mengiyakan.
"Bercerita itu juga bagian dari terapi. Mungkin akan melelahkan dan akan sulit lagi buatmu mengulang cerita ini ke psikolog baru nantinya, tapi ini bagian dari usaha menuju kesembuhan," kurang-lebih begitu ucapnya waktu ia mengabari akan berhenti praktik.
Jumat kemarin, aku menemui psikolog baru di Demangan lewat rekomendasi psikiaterku. Psikolog ini praktik di puskesmas--dan yang membedakan adalah sesi konsultasinya yang lebih singkat: 30 menit (sebab pasien yang lebih banyak), dibanding sebelumnya yang bisa sampai 2 jam. Pertemuan awal kemarin berjalan cukup lancar. Aku mengulang sebagian ceritaku dan bebannya berkurang; ceritaku lebih lancar.
"Jadi, kira-kira penyebab awal kondisimu ini apa?" Tanya psikolog itu.
Aku menghela napas dan bergumam, "Udah berapa kali ya saya cerita soal ini," lalu dilanjut menceritakan hal yang itu-itu lagi. Tentu aku baru menceritakan poin besar dan belum sampai beberapa detail karena waktu konsultasinya yang singkat, tapi selain itu, aku masih belum yakin dengan psikolog baru ini--kecenderungan yang selalu aku miliki dengan orang baru, apalagi kalau soal hal-hal personal.
"Saya kasih tugas, ya. Coba journaling. Catat setiap emosi, waktunya, apa dan siapa penyebabnya, dan bagaimana itu mempengaruhimu. Menulis apa yang kamu rasakan itu membangun awareness dan itu juga bagian dari terapi," ucap psikolog itu di akhir sesi pertama kemarin, "Kita ketemu dua minggu lagi".
Tugas journaling itu tentu belum aku lakukan sebab aku merasa perlu punya buku khusus (yang belum kubeli) dan belakangan aku sedang menghadapi banyak hal. Dosis obatku bertambah, tapi dengan obat atau tanpa obat rasanya sama saja. Aku menyimpulkan kalau obat memang membantuku, tapi kalau pada dasarnya pikiranku tidak tenang ya bagaimana lagi?
Bercerita, terutama lewat tulisan, bagiku memang bisa jadi outlet untuk perasaanku, tapi beberapa tahun belakangan aku kehilangan kemampuan dan kemauan untuk menulis itu sendiri, apalagi membagikan perasaanku (memang indikasi depresi ya?). Menuliskan semua ini di sini pun tidak mudah. Aku dipenuhi keraguan dan ketakutan yang entah apa.
Aku jadi ingat di sekitar paruh kedua tahun 2020 aku menemukan kepercayaan pada beberapa orang dan seperti kaset rusak, aku mulai menceritakan hal yang itu-itu lagi pada orang-orang yang berbeda. Hal seperti itu terjadi beberapa kali sebelum dan sesudah 2020 dan perasaanku tetap sama: aku takut ceritaku yang berulang itu membosankan. Aku takut orang-orang lelah dengan ceritaku.
Aku ingat pernah menulis di catatan: "Pada usia berapa kita menjadi kaset rusak?" Setelah melihat sebuah twit dari seseorang yang kukenal. Eventually, kita semua akan menjadi kaset rusak bukan? Sebab itu juga orang-orang tua gemar menceritakan masa mudanya, para pekerja senang bercerita tentang pencapaiannya di masa kuliah, para senior senang menceritakan dan membandingkan perjuangannya menghadapi perploncoan kepada para juniornya, mahasiswa baru senang menceritakan betapa menyenangkan masa remaja mereka, remaja yang mulai tertekan dengan pilihan masa depan mulai menceritakan masa kecil mereka yang isinya cuma bermain dan tak perlu mencemaskan masa depan. Kemudian, seperti umumnya kaset yang rusak, kadang yang dibutuhkan memang cuma pulpen untuk menggulung ulang kaset tersebut--mudah-mudahan memang semudah itu, ya.
5 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
Satu Langkah Lain Menuju Kesembuhan
Dua minggu ke belakang aku susah tidur. Bukan sekadar susah tidur karena masih terlalu banyak tenaga dan tidak banyak kegiatan atau karena mata masih sibuk menatap layar hp, tapi susah tidur yang lain. Susah tidur dua minggu belakangan agak berbeda dengan yang sempat kualami di paruh kedua 2018.
Dua minggu belakangan aku sudah bersiap tidur dan mulai memejamkan mata lalu pikiranku yang seharusnya mulai kosong dan tubuh yang mulai tenang malah kesana-kemari: mencari kesalahan, penyesalan, merasa tidak pantas dan lainnya. Setelah itu aku terbangun, menangis, dan tidak bisa tidur. Sementara di tahun 2018, aku bersiap tidur, menutup mata, dan saat sudah setengah lelap napasku terasa sesak. Selanjutnya aku terbangun, susah payah mengatur napas dan mencari udara. Namun, akibatnya keduanya sama: aku sulit tidur dan hidupku terganggu. Oya, setelah kupikir, mungkin penyebabnya keduanya pun adalah hal yang mirip?
Setelah pertama mengalami hal tersebut di tahun 2018, tentu aku mencari bantuan. Apalagi karena waktu itu aku sampai telat bangun dan mesti inhal praktikum karena jam tidurku kacau. Namun, aku tidak datang ke orang yang tepat. Dokter umum yang kutemui di klinik universitas malah memberi kesan masalah susah tidurku tidak serius dan setelahnya aku malah diceramahi soal time management.
Di antara waktu 2018 hingga 2021, susah tidur, pikiran yang penuh, penyesalan, atau perasan tidak pantas dan lainnya itu muncul berulang kali dengan interval yang tidak tentu. Di antara waktu itu pun aku mencoba mencari bantuan. Setelah tau dokter umum mungkin tidak bisa membantu, aku mencari bantuan ke psikolog. Namun, biaya yang mahal dan ketersediaan psikolog yang tidak banyak benar-benar menjadi penghalang.
Akhir tahun 2021 perasaan seperti itu menggangguku lagi dan penyebabnya kurasa kurang-lebih masih mirip dengan apa yang kualami di 2018 dan dua minggu ke belakang. Ini kali keduaku menetap di jogja (setelah pulang dan mengira tidak akan kembali menetap di jogja) dan aku sudah bertekad akan mencari bantuan di jogja. Seorang teman waktu itu memberi rekomendasi, "Kata temanku yang pergi ke psikolog, psikolog di RSUD Prambanan bagus".
Tanpa pikir panjang (tanpa tau cara daftar--apakah perlu buat janji dulu atau lainnya--dan tanpa tau nama psikolognya), aku memutuskan pergi ke sana. Sesampainya di ruang tunggu, sambil menunggu nomor antrian pendaftaran, aku mencari tau nama psikolognya. Anehnya, nama yang kutemui terasa familiar. Setelah sedikit google search, cari akun ig, dan melihat foto profilnya, aku tau kenapa.
Nomor antrianku disebut, aku mendaftar, kemudian mencari ruang psikolog. Setelah ketemu, aku masuk dan disapa oleh perempuan dengan kemeja batik, umur 30-an, dan berambut bob.
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" Tanyanya setelah berkenalan singkat.
Aku bercerita soal keluhanku, apa yang sedang dan pernah kualami serta harapanku dari sesi konseling ke depannya.
"Oya, ada asesmen yang mesti diisi. Saya bagi nomor saya, nanti tolong dichat lewat whatsapp ya supaya saya bisa bagi link form asesmennya," ucap psikolog itu di akhir sesi satu jam itu.
"Sebentar, mbak," ucapku sambil mengeluarkan hp dan membuka whatsapp. "Ini nomornya mbak bukan?"
"Kita pernah kenal sebelumnya?" Tanyanya heran.
"Kita dulu sekelas di kelas bahasa isyarat," jawabku.
"Pantesan," katanya, lalu bercanda, "Kalau kamu ganti psikolog aja gimana? Saya malu soalnya kamu kenal saya di kelas bahasa isyarat". Lalu kami tertawa.
Konseling itu terus berlanjut sampai 12 kali di akhir bulan Juli. Sayangnya, itu adalah sesi konseling terakhir karena psikolog itu harus berhenti praktik. "Tuntutan pekerjaan," katanya waktu dia menjelaskan dia akan dipindah ke Dinas Kepegawaian Sleman. Setelah itu aku belum pernah konseling lagi.
Tibalah kejadian dua minggu ke belakang. Aku tau aku butuh bantuan dan aku memutuskan untuk menghubungi psikolog tadi lagi. Dia menyarankan aku untuk pergi ke psikiater. Sebelumnya dia sudah pernah menyarankan, tapi aku percaya masalahku tidak akan hilang begitu saja dengan obat dari psikiater. Alih-alih bergantung pada obat, aku lebih memilih untuk (belajar) membuka diri, bercerita, didengarkan, dan dipandu oleh psikolog untuk menghadapi permasalahanku.
Akhirnya Rabu kemarin aku mencoba ke psikiater. Sebab aku pakai BPJS, pergilah aku ke Faskes Tingkat Pertama (FTP) untuk minta rujukan ke psikiater di Faskes Rujukan Tingkat Lanjut (FRTL). Dokter umum di FTP ini ternyata berbeda dengan dokter umum yang kutemui di klinik universitas. Dia menanyakan permasalahanku dan mencoba menggalinya. Akhirnya aku diberi rujukan dengan diagnosis F34.1 (Dysthymia). Besoknya aku pergi ke psikiater di FTRL. Di sana aku diberi diagnosis F41.2 (Mixed anxiety and depressive disorder) dan diberi dua obat untuk seminggu. Setelah seminggu aku disuruh datang kembali untuk kontrol.
Melihat diagnosis yang diberikan aku jadi teringat hasil asesmen psikologis di pertemuan pertama dengan psikolog itu. Dugaan awal psikolog itu adalah kemungkinan aku mengalami gangguan kecemasan, tapi hasil asesmennya (ada dua, asesmen kecemasan dan depresi) menyatakan kalau aku tidak mengalami gangguan kecemasan, melainkan mengalami depresi.
Ini hari pertamaku mengonsumsi obat psikiatri. Tanpa atau dengan obat, rasanya sama saja. Tapi ya, namanya juga hari pertama.
Aku sudah terbiasa dengan hal-hal kesehatan mental seperti ini, terutama obat. Aku berulang kali diceritakan atau malah menemani orang yang mesti mengonsumsi obat psikiatri. Aku tidak menyangka pada akhirnya akan sampai di titik ini dan mengonsumsi obat psikiatri juga karena kukira permasalahanku tidak akan membuatku sampai perlu obat. Terdengar seperti kegagalan, ya? Tapi, alih-alih menganggap ini kekalahan, aku akan menganggap ini pencapaian: satu langkah lain menuju kesembuhan.
Tumblr media
6 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
"Yang berhak untuk menilai dirimu itu orang lain," kata psikolog waktu itu. Aku lupa kalimat lengkapnya sebab sesi konsultasi hari itu tidak kurekam. Namun, kalimat itu benar, terutama untuk orang yang cenderung sering overthinking dan merendahkan kemampuan sendiri sepertiku. Di lain kesempatan juga dia pernah mengingatkan untuk selalu "cek lagi realitanya".
"Buktinya temanmu yang kamu ceritakan minta bantuanmu untuk mendesain (elektronik); kamu aktif ini-itu, bahkan ikut bootcamp startup dengan timmu. itu hal yang gak akan saya mampu dalam kapasitas saya; bahkan dosenmu nawarin penelitian dan percaya dengan kemampuanmu," lanjutnya waktu itu.
Soal yang terakhir, aku bersyukur ada dosen yang mau menjadi "sponsor" penelitian tugas akhirku karena dengan begitu aku bisa meminimalisir mengeluarkan uang. Dosen ini juga masih terus menawariku untuk menjadi asisten praktikum setiap semester--yang kalau dihitung, ini sudah kali kelima. Hanya saja ada hal yang bikin aku sering ngomel (diam-diam). Dosen ini sudah tua dan sering berputar-putar kalau berbicara, akibatnya dia susah saat diajak diskusi.
Namun, biarpun kadang menyebalkan, dosen satu ini percaya padaku dan kemampuanku. Beberapa hari lalu setelah menanyakan progres tugas akhirku, dia bilang, "Cepat diselesaikan, mas. Kalau bisa nanti lanjutin lagi (studinya). S2 kemungkinan dua tahun, setelah itu kalau mau kembali ke sini dan menggantikan saya, saya akan sangat senang. Saya beberapa tahun lagi pensiun dan harus ada penggantinya".
Tentu aku menanggapi itu dengan cengengesan dan bilang, "Iya, pak. Doakan yang terbaik saja".
Mengajar dan melakukan penelitian terdengar menyenangkan, tapi saat ini aku tidak seyakin itu bisa melakukannya. Bahkan untuk hal-hal lain sekalipun aku masih sering meragukan diriku dan tidak percaya dengan kemampuanku. Tapi melegakan mengetahui ada orang yang percaya padaku, meskipun aku ragu.
2 notes · View notes
critcit · 2 years
Text
At first you hate the devil, but you said, "how bad he actually is?" Then you get to know the devil. You befriend the devil. Finally, you become the devil itself.
youtube
2 notes · View notes