Tumgik
chroniclesofyou · 3 years
Text
Kali ini saya mau share tulisan saya mengenai review buku dari penulis sastra favorit sepanjang masa, Pramoedya Ananta Toer. Yang sudah saya baca sejak 2016.
Buku Pramoedya Ananta Toer yang terkenal memang buku tetraloginya. Tetapi coba kalian baca Keluarga Gerilja. Merupakan buku lama dan langka yang isinya pun masih dengan ejaan lama. Merupakan buku sejarah yang disampaikan dengan cara yang berbeda. Seperti dengan bukunya yang lain, masih bernuansa nasionalisme. Namun yang menarik, dalam buku ini Pram tidak membiarkan pembaca untuk mengecap sedikit saja kebahagiaan dalam alur ceritanya. Dari awal hingga akhir, cerita yang disajikan bernuansa muram, menyakitkan, mencekam, dan bahkan tragis.
Kemuraman itu menimpa 1 keluarga yang sangat miskin yang bersetting di Jakarta pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1949 yaitu Amilah yang merupakan seorang janda tua yang depresi beserta 7 orang anaknya yaitu Saaman (Aman), Tjanimin (Mimin), Kartiman (Maman), Salamah (Amah), Fatimah (Imah), Salami (Mimi), dan Hasan. Di buku ini diceritakanlah kehidupan masing-masing anggota keluarga tersebut yang dijabarkan dari sudut pandang masing-masing dari mereka.
Keluarga gerilja merupakan buku sederhana dengan konflik yang luar biasa. Diceritakan dalam waktu 3 hari 3 malam dan itu membuat para pembaca akan ikut masuk pada kedalaman cerita dan ikut merasakan begitu kejamnya hidup pada zaman agresi militer Belanda. Semuanya dikorbankan demi kemerdekaan Indonesia. Bahkan membunuh ayah sendiri pun menjadi sah saja.
Saaman merupakan pemuda nasionalis dan sudah muak dengan perilaku ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan prinsipnya. Ayahnya sangat tidak nasionalis, gemar mabuk yang juga merupakan tentara KNIL yang memihak KNIL Belanda. Beserta adik-adiknya yang lain yaitu Mimin dan Maman, ia membunuh ayahnya sendiri yaitu Kopral Paidjan.
Amilah merupakan wanita simpanan di tangsi atau markas milliter yang mempunyai julukan “bunga tangsi selendang mayang”. Pada masa mudanya ia memilikki paras yang cantik sehingga para lelaki pun bertekuk letuk padanya, namun kini ia hanyalah wanita tua yang depresi akibat kekejaman revolusi. Aman yang dulu merupakan pegawai Kementrian Kemakmuran yang kini menjadi tukang becak tiba-tiba ditangkap oleh MP atau militer Belanda karena terbukti menjadi pimpinan gerilyawan yang membunuh puluhan antek Belanda termasuk ayahnya sendiri. Aman mengakui dosanya yang telah membunuh ayahnya sendiri dan mengaku akan menebus dosanya itu.
Amilah semakin depresi karena Aman anak kesayangannya yang menjadi tulang punggung keluarga tidak pulang-pulang. Kelakuan Amilah semakin menjadi-jadi. Setiap hari ia berteriak memanggil nama Aman anak kesayangannya, bersikap tempramen terhadap anak-anaknya yang lain, hingga meronta-ronta seperti binatang. Keadaan keluarganya pun semakin miskin dan sulit. Namun Mas Darsono, tunangan Salamah, bersedia menafkahi keluarga pejuang itu meskipun tidak mengubah keadaan sulit keluarga tersebut.
Sementara itu, Mimin dan maman yang merupakan tentara gerilya berada jauh dari keluarganya dan berada di Madiun. Mereka bertugas dalam misi menumpas pemberontakan komunis dan sampai akhirnya mereka berdua meninggal juga dalam sebuah peperangan.
Aman sebagai tokoh utama dalam novel ini pun berujung tragis. Aman dijatuhi hukuman mati oleh Belanda. Meskipun Direktur penjara akhirnya berpihak pada Aman dan memberikan grasi kepada Aman, juga menawarkan jaminan agar hidup keluarganya sejahtera, namun Aman tetap berprinsip dan tidak menerima kebaikan dari penjajah bangsanya sendiri. Dia tetap berjuang sampai akhir hayatnya untuk mempertahankan harga dirinya dan berprinsip pada apa yang menurutnya benar. Ia pun berakhir mati dalam tembakan di kayu sula.
“Kalau aku mati, adalah sudah nasibku. Biarlah aku mati muda. Aku baru berumur dua puluh empat tahun. Dan tahun depan aku dua puluh lima. Tapi mengapa aku takut mati? Seperempat abad kurang sedikit aku telah hidup di dunia ini. Biarlah rupa-rupanya sudah takdir Tuhan. Namun, yakinlah aku: Segala dosa yang sudah kujalankan itu adalah dosa seperorangan yang akan menguntungkan perjuangan. Aku sendiri tidak tahu betapa besar-kecilnya keuntungan itu, namun sudah kuhancurkan hampir-hampir satu seksi serdadu. Jiwa ragaku telah kugadaikan pada perjuangan” - Saaman
#pramoedyaanantatoer #keluargagerilja #novelsastra
0 notes
chroniclesofyou · 3 years
Text
"Kenapa sih malah diem aja?"
"Kenapa sih masih bisa ketawa-tawa?"
"Kenapa sih santuy pisan?"
"Kenapa sih gak nangis?"
"Kenapa sih gak dilawan? Kalo aku jadi kamu, aku udah teriak di depan mukanya"
Lagi refleksi, dan udah sering banget denger kalimat itu dari orang-orang. Aku yang ngalamin, mereka yang gemes sendiri. Awalnya aku pikir, yaudah emang aku punya watak sesantuy itu. Sampai disadarkan oleh salah satu sahabat.
"Apa yang menyebabkan kamu seperti ini karna kamu pernah mengalami yang lebih sakit kan?"
"Mungkin ada banyak luka pengasuhan masa lalu yang kamu punya dan sampai saat ini belum selesai, itu sebabnya kamu susah nangis".
"Kamu harus bisa mengakui luka yang kamu rasain selama ini. Setidaknya ada orang yang kamu percaya dan beraniin diri buat melisankan emosi-emosi negatif yang ada dalam diri kamu...... Udah gak usah nangis".
"Aku gak nangis, Nay, serius😅"
Dan gak sadar mata aku berkaca-kaca.
Suka sedih iya kan? kalo ada seseorang yang paham banget kita padahal memulai cerita pun belum.
"Terlalu sering memendam"
Mungkin, membuat aku jadi tumpul rasa, sulit menangis.
Luka pengasuhan. Luka masa kecil, luka-luka yang selama ini ada dalam proses pendewasaan membuat kepekaan rasaku menjadi korban, semua emosi yang muncul sudah aku logiskan.
"Tak ada yg bisa dilepas tanpa digenggam lebih dulu"
Gak usah denial. Luka-luka yang selama ini kamu usahakan untuk pergi, yang kamu usahakan untuk dilupakan, yang kamu lempar, kamu kubur dalam-dalam, nyatanya 20 tahun masih bersemayam.
#lukapengasuhan
0 notes
chroniclesofyou · 3 years
Text
Cinta kadang memang begitu adanya.
Cinta kadang memang tak harus memiliki, cukup untuk dinikmati dari kejauhan saja.
Kita tumbuh dengan harapan bahwa cinta akan berakhir dengan bahagia selamanya.
Tapi tak semua kisah bisa begitu.
Saat kamu patah hati, orang akan bertanya
"Sudah berapa lama kalian bersama?"
Seolah sakit hati bisa ditentukan oleh berapa lama pasangan sudah bersama.
Kupikir, cinta tak berbalas sama saja dengan cinta yang lain.
Bisa menghancurkan, bisa mendebarkan.
Aku ingin kamu mengingat bahwa,
Apa yang kamu lakukan adalah mencintai tanpa pamrih.
Kamu mencintai karena memang mencintai, tak ada maksud lain di balik itu.
Suatu hari nanti, kamu akan menemukan orang yang mencintaimu dengan cara yang sama.
#toallbeautifulgirlsoutthere ❤
0 notes
chroniclesofyou · 3 years
Text
Ini adalah harapan yang menjadi rasa syukur
Juga dunia yang lebih luas dan apa adanya
Dimana kamu dikritik dengan sejujur-jujurnya
Dan dipuji setulus tulusnya
Dimana kamu temukan kekurangan dengan sepayah-payahnya
Dan kebaikan sebaik-baik orang baik
Terimakasih telah memberi makna..
Dan berbahagialah,
Sebahagia saat kita saling sapa untuk yang pertama kali
Bandung, 23 Januari 2021
2 notes · View notes
chroniclesofyou · 3 years
Text
Menginginkanmu lebih dari sekedar ingin
Membutuhkanmu lebih dari sekedar butuh
Ingin melihatmu lebih dari sekedar melihat
Ingin memelukmu lebih dari sekedar peluk
Dan perasaan ini begitu benar lebih dari sekedar benar, merasakan lebih dari sekedar rasa
Bandung, 1 Januari 2021 ; 02.00
1 note · View note
chroniclesofyou · 3 years
Text
Ada 1 orang paling open minded selama aku hidup 25 tahun ini.
Aku gak pernah malu menceritakan banyak hal.
Sikapnya penuh toleransi, selalu bisa bikin aku jadi diri sendiri.
Mensupport dan mengapresiasi apapun yang aku lakukan, yang gak pernah aku dapat dari siapapun.
Precious one 💖
Bandung, 30 September 2020 ; 15.17
1 note · View note
chroniclesofyou · 4 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
DOSA-DOSA SOEHARTO DAN ORDE BARU MENURUT PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pram berkisah betapa menderitanya ia saat buku-bukunya dibakar oleh rezim orde baru.
JAKARTA, Indonesia—Soeharto dan Pramoedya Ananta Toer datang dari generasi yang sama. Keduanya juga sama-sama pernah mengabdi pada militer. Soeharto menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia sejak 5 Oktober 1945 setelah tamat dari Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.
Sedangkan Pram - sapaan Pramoedya- hanya sempat mengikuti kelompok militer di Pulau Jawa. Ia pernah ditugaskan di Jakarta tapi akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan menulis saja. Pram kemudian bergabung dengan Lekra, kelompok penulis sayap kiri.
Setelah itu, keduanya menjalani takdirnya masing-masing. Soeharto berhasil meniti karir menjadi anggota militer. Kelak ia berhasil menduduki posisi nomor satu di TNI.
Sedangkan Pram akhirnya menjadi seorang penulis yang menginspirasi banyak orang lewat novelnya yang berjudul Bumi Manusia, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Begitu pula dengan karyanya yang lain. Nama Pram bahkan dikenal hingga ke luar negeri.
Meski demikian, seumur hidup, keduanya ditakdirkan untuk selalu berhadap-hadapan. Seoharto menjadi penguasa dan Pram menjadi kritikusnya. Kritikus paling tajam. Pram akhirnya dipenjara dan melakukan kerja paksa di Pulau Buru saat Soeharto berkuasa.
Di sela-sela kritik umumnya, Pram selalu dipancing untuk berkomentar tentang Soeharto. Ia pun mengungkapkan pendapatnya tentang penguasa orde baru itu.
Kritikannya itu muncul ketika ditanya soal Soeharto dan Orde Baru. Jawaban Pram selalu keras.
Seperti saat membalas Goenawan Muhamad soal permintaan maaf negara pada orang-orang yang ditahan seperti Pram. Pram pun menjawab Goenawan.
Dalam jawaban itu tergambar bagaimana Pram menilai bahwa Soeharto telah menyengsarakan hidupnya. Mulai dari penjara, pelarangan buku, sampai teror bahkan setelah dia dibebaskan oleh pemerintah orde baru.
“Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang.”
"Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan.”
“Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk).”
“Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.”
“Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berhutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.”
Di artikel lainnya di Indoprogress yang ditulis Linda Christanty juga dituturkan Pram yang menyamakan Soeharto dengan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
"Nasution (Jenderal Abdul Haris Nasution yang dianugerahi bintang lima di masa Soeharto) telah membunuh teman saya, membuat teman saya mati. Waktu itu kami sedang mempertahankan Bekasi, tepatnya di daerah Lemah Abang. Nasution dan Soeharto itu sama saja, sama-sama KNIL,” tuturnya.
Permusuhan Pram pada kesewenangan Soeharto di era orde baru semakin jelas saat Kees Snoek yang diutus oleh kementerian pendidikan dan ilmu pengetahuan Belanda mewawancarainya.
Wawancara itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu berjudul Saya Ingin Lihat Ini Berakhir.
Saat ditanya Snoek tentang karya-karyanya, Pram berbicara lebih bebas tentang kekesalannya saat naskah-naskahnya diburu oleh orde baru.
Ia bercerita bahwa ia sebisa mungkin menyelamatkan karya-karyanya. Terutama karyanya yang ia hasilkan saat ditahan di Pulau Buru oleh rezim Soeharto.
“Hampir semua yang saya tulis di Pulau Buru harus saya alihkan kepada pihak yang lain kecuali catatan-catatan buku harian saya. Semua disita,” katanya.
Beruntung Pram sempat membuat 4 salinan, salah satu salinannya diselamatkan oleh Gereja Katolik. Ia berhasil mengelabui Soeharto. “Orde baru berpikir bahwa masalah selesai ketika naskah asli itu disita. Tentu saja itu keliru." Pram melawan.
Puncaknya Pram dengan terang menyatakan kebenciaannya terhadap orde baru, tepatnya saat ditanya pemikiran politiknya. “Saya merasa di titik dasar kehinaan di Indonesia pada masa orde baru.”
Penghinaan itu melekat pada Pram seumur hidupnya. Bahkan saat Soeharto sudah lengser pun, Pram masih skeptis bahwa pemerintah sudah terbebas dari cengkeraman orde baru.
Dalam sebuah artikel berjudul Soeharto Tidak Mungkin Diadili di Jawa Pos, Senin, 12 April 1999, Pram blak-blakan soal nasibnya di orde baru. Pram mengungkapnya saat ceramah di depan mahasiswa dan pers Amerika serta pemerhati sastra dan politik di kampus George Washington University (GWU).
Menurut Pram, Soeharto adalah penjahat dunia dan layak dituntut. Itu berdasarkan pengalaman pribadinya yang ditahan sepuluh tahun di Pulau Buru, disiksa, dianiaya tanpa proses pengadilan atau hukum.
"Berdasarkan pengalaman saya sendiri, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan. Setiap orang di mana pun di seluruh dunia berhak menuntut Soeharto."
Di wawancara itu, Pram juga mengungkap fitnah orde baru padanya, bahwa ia adalah orang Partai Komunis Indonesia.
''Yang mengangkat saya menjadi PKI itu kan Orba, yang kemudian dikembangkan oleh pers Orba. Saya ini PKI nomor berapa? Hanya Orba saja yang bikin-bikin itu, yang lalu dikembangkan pers Orba. Saya justru pernah menanyakan, saya ini komunis nomor berapa sih? Kan komunis semua mempunyai tanda keanggotaan. Tidak ada yang pernah bisa menjawab,” kata Pram.
Setelah bertahun-tahun ‘berseteru’ karena ideologi dan keyakinan tentang Indonesia, Pram dan Soeharto akhirnya dijemput ajal. Pram menghembuskan nafas terakhir pada 30 April 2006 di umur 81 tahun. Sedangkan Soeharto wafat pada 27 Janiari 2008 di usia 86 tahun.
Hingga ajal menjemput pun, Pram tak pernah memperoleh permintaan maaf dari Soeharto atas penderitaan yang ia jalani di tahanan Pulau Buru. Sementara itu, Soeharto tetap dikenang dan bahkan dijuluki sebagai bapak pembangunan, bukan bapak kejahatan manusia seperti yang diangankan oleh Pram.
Tapi perjuangannya untuk meminta orde baru dan pemerintah selanjutnya tak pernah padam. Hingga akhir umurnya, ia tetap menyindir penguasa. Paling tidak hanya untuk memenuhi perkataannya sendiri, bahwa “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” —Rappler.com
© Febriana Firdaus, @febrofirdaus
5 notes · View notes