Tumgik
winayunita · 2 years
Text
Tak Nyenyak
Dulu kukira bahwa keberkahan itu selalu berkaitan dengan hidup nyaman dan ketenangan. Pagi-pagi bangun dengan rasa aman, bisa melakukan olahraga dan aktivitas tanpa cemas, lalu menjalani hari-hari dengan bahagia, pulang bahagia, dan semua-semua berlalu dengan bahagia.
Nyatanya, dalam berkah itu ada masa-masa yang sama sekali tak pernah kita bayangkan. Masalah begitu berat, urusan begitu pelik, makan tak nikmat, tidur tak nyenyak. Kita akhirnya tertekan oleh keadaan, hampir-hampir kita ingin menangis karena semua terasa berat, hampir-hampir kita ingin menyerah karena kita merasa semua di luar titik yang kita mampu.
Di masa-masa itu, barangkali kita menyadari sekali lagi bahwa keberkahan itu bermakna bertambahnya kebaikan. Barangkali ilmumu bertambah karena kamu semakin sering bertemu dengan penyakit yang dulu belum pernah kau tangani. Barangkali keyakinanmu padaNya meneguh karena di sisi kritis itu setelah ikhtiar yang maksimal hanya tawakkal yang bisa kau upayakan seraya berdoa dan berdzikir banyak-banyak.
Semoga dalam keadaan apapun, kita tetap bisa memegang teguh kalimatNya, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Semoga saat masa sulit, kita tetap teringat firmanNya, tiadalah Dia menguji seseorang kecuali sebatas kemampuannya.
110 notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Kalau nanti hidup terasa menyakitkan...
jangan lari, ya..
Karena ritme hidup selalu begitu. Teratur antara suka dan duka, tawa dan air mata, jatuh dan bangkit.
Lari dan menghindar bukanlah solusi. Cobalah untuk berani menghadapinya.
Semoga dari sana kita dapat banyak pelajaran. Semoga dari sana kita dibentuk menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Dari hal-hal menyakitkan, Allah sedang memberikan kita hikmah kehidupan. Allah sedang memberikan kita pemahaman dan pelajaran. Pun, kesedihan dan keadaan yang menyakitkan itu bagian fitrah kehidupan. Dia pasti akan datang. Sebagaimana pun kita menolak. Sebagaimana pun kita berusaha. Dia tetap akan datang menjadi pemanis kehidupan.
Di suatu hari, di kemudian waktu. Giliran kebahagiaan yang mengisi ruang hidup. Ia akan datang, menggantikan semua gundah. Percayalah. Hanya saja kadang kita butuh proses yang sedikit lebih lama.
166 notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Manusia itu...
Saat melihat kebaikan di diri seseorang, begitu mudah jatuh hati dan memuja berlebihan.
Pun,
Saat melihat keburukan di diri seseorang, begitu mudah menghujat dan mencaci.
Hati manusia begitu mudah berubah, penilaiannya samar hanya pada apa yang jelas terlihat.
Maka, kejarlah penilaian Allah di atas segala penilaian. Karena Allah, tak pernah salah dalam menilai.
91 notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Warna Benci dan Cinta
Di akhir zaman seperti ini
Banyak keburukan menyerupai kebaikan
Nekat menyerupai keberanian
Pengecut menyerupai kehati-hatian
Frustasi menyerupai kepasrahan
Kikir menyerupai hemat, dan
Benci menyerupai cinta
- Aya Azzahra -
0 notes
winayunita · 3 years
Text
Tanaman yang tumbuh tanpa cahaya memang begitu. Cepat bertunas tapi R-A-P-U-H.
Sabar-sabarlah bertumbuh bersama hangat dan teriknya mentari, karena ia menguatkan baru kemudian menumbuhkan.
0 notes
winayunita · 3 years
Text
Kualitas "Karena" Menunjukkan kualitas "Kita"
Seorang perempuan, dengan bayi merah dalam gendongan. Menyusuri jalan dibawah terik di siang, dan dingin yang menggigit di malam. Bersama sang suami, sampailah mereka pada sebuah gurun tak berpenghuni, sepi. Kemudian tanpa sepatah kata, suami tercinta meninggalkan istri dan bayi merahnya. Sang istri terus bertanya, mau ke manakah suaminya? Sebab apakah ia tega meninggalkannya bersama bayi yang baru saja ia lahirkan? Bayi yang selama ini mereka nantikan kehadirannya. Kenapa? Dan mengapa? Ia terus bertanya, tapi suaminya membisu, diam.
"Apakah ini perintah Allah?" Sang istri mengganti tanyanya
"Ya" kemudian sang suami, pergi, berusaha menegarkan hati. Meskipun berat, tapi ini adalah konsekuensi dari menghamba. Ini bukan hal yang mudah untuk mereka bertiga.
Apakah kisah ini tidak asing? Ya. Betul, kalian benar. Ini adalah kisah tentang Ibrahim yang meninggalkan Hajar dan Ismail bayi di tengah gurun tak berpenghuni.
Apa pendapatmu tentang Ibrahim? Dan apa yang akan kau lakukan jika suatu saat berada dalam situasi yang mungkin hampir sama dengan yang dialami Siti Hajar?
Jika saja sejarah hanya berhenti pada kisah tentang bagaimana Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail bayi. Bisa jadi kita akan berpikir, Ibrahim adalah suami yang tidak bertanggung jawab. Menelantarkan istri dan anaknya di tengah gurun gersang yang tak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi menjadi berbeda, saat kita tau alasan yang melatarbelakangi tindakan Ibrahim.
Selain meneladani bagaimana kuatnya aqidah Siti Hajar. Aku jadi menyadari satu hal, ternyata kita nggak bisa menilai baik dan buruk tindakan yang dilakukan orang lain, sampai kita tau apa alasan yang melatarbelakangi setiap tindakannya.
Jika apa yang kita lakukan terlihat baik dimata manusia, apakah nilainya masih sama saat alasannya bukanlah kebaikan? Alasan itu dibuat bukan hanya untuk membuat orang lain "maklum" atas tindakan kita, agar terlihat benar, atau agar tidak terlihat terlalu salah.
Alasan kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menunjukkan kualitas kita sebagai manusia.
3 notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Sudut Pandang Orang Ketiga
Dia tidak suka menerka-nerka. Maka jelaskanlah padanya dengan terang.
Dia benci menduga-duga. Karena dia khawatir, dugaannya tidak lebih menyakitkan dari nyatanya.
Dia tidak ingin menjadi matahari, yang 'meredupkan' kemilau bulan dan bintang. Padahal mereka hanya bersua di malam hari, itu pun jika langit tidak menghadirkan mendung. Sedih sekali, jika dia harus menjadi matahari itu, kan.
Jika tidak ingin memberi terang, jangan berikan celah bagi orang lain untuk membangun prasangka. Bangunan prasangka yang terlalu tinggi, jika runtuh yang terluka bukan hanya dia. Tapi kamu juga. Jika kamu terluka, bukankah aku pun begitu?
Mencoba menjadi Dia, Kamu, dan Aku. Iya, tidak mudah memang. Mencoba menjadi orang lain, menerka rasa, memahami sudut pandang, dan membangun empati. Karena ini tidak mudah, bukankah kita (read: aku) jadi belajar untuk tidak mudah menilai orang lain dengan bekal sudut pandang yang sempit?
Sangkaan kita terhadap orang lain, seringkali menunjukkan nilai diri. Jadi hati-hati menyangka hati.
1 note · View note
winayunita · 3 years
Text
MEMILIH RASA; Pilihlah yang Menentramkan Jiwa
Sore tadi tetiba di hubungi teman kerja, dia masih seusia denganku. Namanya Devy. Dia minta untuk ditemani ke rumah salah seorang 'teman' kerja kami juga. Agak sungkan sebenarnya menyebut beliau teman, karena beliau dulu guru kami saat Sekolah Menengah Pertama. Ibu Surati namanya.
Kami melajukan motor dengan kecepatan maksimal 40 km/ jam. Jalanan lengang. Tapi angin masih berisik menggoyang padi yang menunggu hari, sampai tiba masanya untuk dipanen.
"Gimana nih, udah mau nyampe. Jadi nggak yah Win" Suara Devy yang duduk diboncengan belakang terdengar gelisah.
"Udah nyampe depan rumah, jadiin aja yah" kataku meyakinkan.
"Aku nggak enak, takut ganggu" temanku ini memang rasa 'nggak enakannya' lumayan tinggi. Akhirnya aku yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam,
"Assalamualaikum" Tidak lama, langsung terdengar jawaban dari penghuni rumah. Kami segera berputar membelakangi pintu, menunggu tuan rumah mempersilakan masuk. Aku memperhatikan Devy, belum berubah. Masih gelisah.
Menunggu tuan rumah menyambut, Devy memberi wejangan, "Wina, kalau ada anaknya Bu Surati yang paling kecil, kita nanti jangan SKSD yah. Soalnya nanti dia jadi cranky. Nanti nggak enak sama Bu Surati"
"Loh kenapa" aku penasaran
"Anaknya yang paling kecil takut kalo sama orang asing, sama saudara, kalo jarang ketemu juga takut"
"Oooo, oke" kataku
Bu Surati membukakan pintu, mempersilakan kami masuk. Kami mendiskusikan beberapa hal. Bukan kami sih, lebih tepatnya mereka wkwk. Aku ke mana? Jadi pendengar saja. Karena yang sedang dibahas bukan wilayah ku untuk ikut berkomentar. Di tengah obrolan, muncul makhluk mungil nan menggemaskan. Barangkali, adek ini yg tadi udah di wanti-wanti sama Devy agar kami tidak SKSD. Kami tersenyum melihat kehadirannya. Syakila namanya, usianya belum genap dua tahun. Tampak berbeda dari dugaanku. Aku mengira dia akan memasang ekspresi waspada melihat kami. Ternyata tidak, dia seperti mengajak berkomunikasi dengan tawa renyah sambil menjawab pertanyaan ibunya. Jadilah ku abaikan wejangan Devy sebelumnya. Adeknya komunikatif sekali, tampaknya mood nya sedang bagus. Setiap tanyaku dijawab dengan celotehan yang 'ramah' sorot matanya berbinar.
Pukul 5 sore lewat beberapa menit, akhirnya kami pamit untuk pulang.
"Bu, katanya Syakila liat orang asing takut. Kok sama kita kayaknya welcome" Devy melontarkan tanya
"Iya mbak, biasanya takut. Tapi kalo sama anak kecil enggak, malah seneng" Sahut Bu Surati. Aku dan Devy saling berpandangan, ngakak.
Membahagiakan seorang perempuan itu ternyata sederhana sekali yah. Cukup katakan, bahwa dia terlihat lebih muda dari usianya. Kalau pun terlihat biasa, sejatinya ada rasa bungah, percayalah. Meskipun untuk kasus kali ini, kami menyimpulkan secara sepihak. Karena kami tidak menyempatkan diri bertanya pada Syakila, begitukah realitanya?
Tidak apa-apa bukan? Kami memilih kesimpulan yang demikian. Memilih pilihan yang 'menentramkan jiwa' wkwkwk.
Sebelum benar-benar pulang, kami berdadah ria dengan Syakila, 'teman' baru kami. Ia membalas dengan lambaian tangan, masih dengan senyum manisnya, dan ditutup dengan kiss bye.
1 note · View note
winayunita · 3 years
Text
"Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan singkat, padat, dan jelas"
Petunjuk teknis yang sering kita baca sebelum mengerjakan soal ulangan atau ujian. Semua jawaban tertulis karena adanya tanya, dan semua tanya seperti menuntut kita untuk segera menjawabnya. Lalu bagaimana petunjuk teknis, tanya-jawab persoalan hidup dan kehidupan?
Bagiku, tidak semua jawaban harus berawal dari tanya (iya kan?). Kadang ia harus dimulai sebagai bentuk kepedulian. Bentuk kasih sayang, untuk meyakinkan, bahwa ia bebas tumbuh tanpa khawatir kekurangan air, tapi tetap hangat di musim hujan.
Ngomong-ngomong soal hujan. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa ia seringkali turun terlalu pagi. Seperti hari ini, dan pagi-pagi sebelum hari ini. Membuatku memilih melangkah atau nanti. Karena aku tak tau, ia akan mereda atau semakin.
Tampaknya aku memang belum belajar dengan baik. Bahwa tidak semua tanya, harus segera ada jawabnya. Ada kalanya nanti atau bahkan tidak sama sekali.
Bertanya pun ada batasnya...
Tidak semua rasa ingin tau dan penasaran harus disembuhkan dengan tanya yang menuntut jawaban (pertanyaan tentang kapan? dan siapa? misalnya wkwk). Malu bertanya sesat di jalan. Bagaimana dengan salah bertanya?
Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, "Masih saja manusia saling menanyakan (siapa yang menciptakan ini dan ini) sampai mengatakan: Allah yang menciptakan segala sesuatu, lalu siapa yg menciptakan Allah?" (HR. Bukhari).
"Tidak ada mudharatnya (rugi) kalian tidak mengetahui sesuatu yang tidak ada mudharatnya kalau kalian tidak ketahui" (Umar bin Khattab).
1 note · View note
winayunita · 3 years
Text
"Wanita boleh jadi bersedih saat patah, namun menjadi begitu tegar saat iman melekat di dada."
Adalah Hajar istrinya Ibrahim yang bersedih ketika hendak ditinggal berdua dengan putranya Ismail, lalu berubah menjadi begitu tegar ketika terlontar tanya "apakah ini perintah Allah wahai suamiku?" "Kalau begitu baiklah."
Adalah Asiyah bin Muzahim, istri Fir'aun yang bersedih dengan keburukan yang dilakukan suaminya. Tak tanggung-tanggung, membunuh bayi, bahkan mengaku Tuhan dilakukan suaminya. Namun menjadi begitu 'kokoh' keimananya dengan berislam, sekalipun harus disiksa.
Adalah Fatimah bin Rasulullah saw. yang mengeluhkan kondisi rumah tangganya, karena lelah mengerjakan kesibukan rumah tangga dan tak ada yang membantu, lalu meminta pada Ayahnya agar memberinya seorang pembantu. Namun, berubah menjadi begitu 'taat' ketika Rasulullah memberitahukan kemuliaan seorang istri yang menggiling sendiri tepung untuk suaminya mampu meleburkan dosa, dan meninggikan derajatnya."
Mereka adalah contoh tauladan dari banyaknya kisah tentang 'wanita' yang layak jadi panutan.
Apa persamaannya? Mereka juga pernah merasa lelah, mengeluh, sakit, dll. Namun ketika ada Allah yang memerintahkannya, mereka taat, tak membantah sedikitpun, tak ada keraguan setitik-pun.
Maka, bersyukurlah tercipta menjadi seorang wanita. Karena di dalamnya ada surga, baik untuk anak-anakmu ataupun bagi kedua orang tuamu. Meski kamu sadar, beratnya menjaga aurat agar tak terlihat oleh yang lain.
Bersyukurlah jika dicipta menjadi wanita, karena pahala melimpah mengiring setiap rasa sakit mengandung, melahirkan, serta merawat buah hati tercinta. Meski tau akan begitu sulit, kehilangan jam tidur bahkan berupaya menahan rasa sakit.
Wanita itu mulia. Tidak dicipta tuk direndah, atau dianggap lemah. Di atas iman, jalan surga diperolehnya.
2K notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Bagi sebagian orang, menulis adalah self healing.
Bentuk 'protes' atas rasa tidak nyaman di dalam hati, bentuk ketidaksepakatan tentang nilai-nilai yang tumbuh di sekitar, atau sekadar curahan hati kepada sesuatu dan mungkin juga seseorang :)
Bukan, bukan tidak berani menyampaikan secara lisan. Hanya saja itu hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan memang. Tidak pantas untuk disampaikan barangkali, atau bahkan tidak boleh disampaikan.
Tapi, rasa tidak nyamannya, rasa kecewa, tidak sepakat atau kekaguman pada sesuatu atau mungkin seseorang, itulah yang harus disalurkan. Harus dituangkan dalam tulisan, bukan lisan.
dan nyatanya itu menyembuhkan, bagi sebagian orang. Bagiku mempublikasikan tulisan sama dengan mempublikasikan isi hati, atau isi kepala kita.
Sebelum klik share, pilah dan pilih dulu mana tulisan yang kita ijinkan untuk diselami orang lain sepertinya jadi sangat penting.
0 notes
winayunita · 3 years
Text
Apa yang kau pelajari dari sebuah kegagalan?
"Introspeksi diri"
"Berusaha lebih keras"
"Mencari strategi lebih baik"
"Membuat perencanaan lebih matang"
Lalu apa lagi?
Kegagalan mengajari kita banyak hal, dan yang kau sebutkan itu tidak ada yang salah. Apa yang kita pelajari dari hidup, tidak harus sama.
Tapi saya kira, menganggap semua orang yang 'gagal' adalah gagal, terasa tidak adil :). Pernah nggak, membayangkan betapa kerasnya usaha seseorang untuk mencapai sesuatu. Kemudian hasilnya jauh dari harapan.
"Kecewa? " Pasti
"Sedih?" Iya
"Beberapa jadi putus asa?" Mungkin.
Manusiawi sekali, jika kita bersedih atau bahkan hampir putus asa. Tidak apa-apa, luapkanlah. Tapi setelah itu, jangan lupa untuk memberikan apresiasi kepada diri kita yang telah berusaha dengan baik. Bukankah kau lebih paham? Bahwa wilayah hasil bukan kuasa manusia. Orientasi pada hasil jangan sampai membuat kita lupa untuk memberikan apresiasi pada setiap proses dan usaha tak mudah yang kita lalui.
"Kamu sudah cukup baik dalam berusaha, tidak mengapa. Jika kau mau, kita akan coba lagi"
"Usaha itu bisa mengkhianati hasil kok"
Saat kamu gagal, bukan berarti kamu tidak berusaha maksimal. Ingin berusaha lebih keras setelahnya sungguh baik, tapi hal itu jangan membuatmu mengecilkan segala upaya yang sebelumnya kau tempuh, yang sebelumnya orang lain telah upayakan.
Jangan takut gagal. Karena, setiap pencapaian tidak bisa ditinggi-rendahkan. Tapi setiap ikhtiar selalu memiliki harga.
2 notes · View notes
winayunita · 3 years
Text
Jangan sengaja mematahkan tunas. Jika diwaktu yg sama kau ingin melihat mekarnya bunga. Bukankah tidak mudah untuk menumbuhkannya di musim kemarau.
0 notes
winayunita · 3 years
Text
Sore ini, angin ribut sekali
Apakah ia cemburu pada hujan yg bertemu dedaunan?
Tidak. Ternyata bukan. Angin hanya ingin memberi tahu, bahwa ia juga hadir untuk menyampaikan restu, meskipun terkadang ia akan merindu.
1 note · View note
winayunita · 3 years
Text
Deru kendaraan bermotor saling bersahutan, debu-debu yang menyatu dengan asap knalpot semakin mesra mengudara, celotehan renyah orang-orang yang beraktivitas di akhir pekan menambah meriahnya suasana jalanan. Disempurnakan dengan para pedagang kaki lima yang sejak pagi bagaikan gula berkerumun semut.
Jalanan dan segala 'kemewahannya' adalah sahabat karibku di hari libur kuliah. Aku yang sedang membantu Ibu berjualan bubur ayam di seberang Halte, sudah terbiasa melihat orang-orang yang lalu lalang, datang dan pergi di jalanan. Saling menyapa, melempar senyum, kemudian pergi dengan atau tanpa ucapan terima kasih.
Sudah 3 jam atau mungkin baginya ini baru 3 jam. Seorang gadis dengan sorot mata meneduhkan duduk di halte sejak pukul 7 pagi dan sekarang sudah pukul 10 lewat 18 menit. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Damai sekali, tidak tampak raut gusar atau bosan. Ia tampak menikmati perannya sebagai "Gadis Manis Penunggu Halte", begitu aku menyebutnya.
Sekarang sudah pukul 11 lewat, jualan ibukku sudah hampir habis. Terdorong rasa penasaran, akhirnya aku beranjak menuju halte menghampiri gadis yang sedari pagi sibuk membolak-balik bukunya, dan hanya sesekali melirik arloji biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kiri atau menengok ke arah datangnya bus.
"Teh, lagi ngapain di sini" Tanpa permisi, keluar juga pertanyaan pertamaku. Pertanyaan konyol. Memang mau apa lagi kalau seseorang berjam-jam duduk di halte.
"Sekarang sedang membaca" Ramah ia menjawab. Jawaban yang tidak terduga.
"Tapi juga sedang nunggu bis dateng, hehe" lanjutnya sambil terkekeh. Aku ikut tertawa, meskipun sedikit.
"Teteh nunggu bis apa, dari tadi sudah beberapa bis yg lewat tapi kok nggak naik juga?" Tanyaku penasaran.
"Iya nih, masih nunggu bis yg ramah sama kantong mahasiswa" ia menarik nafas kemudian melanjutkan "Tapi juga nyaman, kondekturnya ramah, supirnya taat rambu-rambu lalu lintas, dan yg paling penting sesuai tujuan saya mau ke mana"
"Oooo jaman sekarang susah teh nyari yg begitu, bisa-bisa teteh nunggu sampe sore dan itu pun belum tentu dapet"
"Nggak papa kok, kata temen-temenku aku orangnya sabar" ia menimpali dengan sedikit bercanda namun terselip sebuah sikap optimis.
"Kalau sampai malam bisnya belum dateng juga?" Tanyaku lagi
Belum sempat pertanyaanku dijawab, ibu sudah memanggil. Memintaku untuk kembali, membantunya beres-beres gerobak bubur ayam yang telah ludes dibeli oleh sebagian besar anak rantau di kota kembang, Bandung.
Selesai beres-beres, kutengok lagi ke seberang. Kosong.
"Sudah naik bis rupanya" aku membatin.
Menunggu itu bagian dari sebuah kisah hidup, bukan sekadar batu loncatan untuk menempuh kehidupan yang baru. Bukan pula seperti spasi yang kosong tanpa isi.
1 note · View note
winayunita · 3 years
Text
Untuk diriku yang hari ini sibuk mengkhawatirkan nanti.
Di masa nanti justru sibuk meratapi kini, sambil menyesali masa yg lalu.
Tenang. Semua akan baik-baik saja. Hujan deras tak akan lupa untuk mereda. Pun malam, ia tau kapan harus pergi berganti pagi.
"Untuk setiap hal yg menjadi kendali Tuhan, jangan khawatir. Memangnya kamu menghamba kepada siapa?"
Percayalah
0 notes
winayunita · 3 years
Text
Hey, kamu...
Pernah tidak? Setelah seharian beraktivitas di luar rumah, tiba-tiba ada pesan dari seseorang yang mencintaimu dan mengatakan,
"aku menunggumu" (pake emot love)
Apa kiranya yang kau rasakan. Senang? Girang? Ingin segera pulang? Atau apa?
Saya jadi teringat dengan ucapan Leo Tolstoy,
"Tuhan tau, tapi menunggu"
Ya, Tuhan tahu tapi menunggu. Tuhan tau betapa dirimu terluka, sakit, dan putus asa tersebab berharap kepada seseorang.
Tuhan tau siapa atau apa yang mengisi ruang istimewa dalam hatimu.
Tuhan tau bahwa terkadang kamu kecewa bahkan mungkin 'marah' dengan takdir yang hadir.
Tapi...
Tuhan selalu menunggu, apakah harap kita selalu digantungkan kepada-Nya atau malah kepada manusia yang sering kali membuat kita bertemu kecewa. Menunggu apakah niat-niat tercela kita berubah menjadi mulia. Menunggu apakah kita menghadirkan Allah dalam setiap sedih dan bahagai yg terasa. dan Tuhan masih menunggu apakah 'marah' kita kepada-Nya akan tergantikan dengan ucapan syukur,
"Alhamdulillah, dulu Allah menakdirkan demikian dan demikian. Sungguh Allah maha baik, sungguh Allah maha baik".
"Tuhan tau, tapi menunggu" maka bergegaslah.
1 note · View note