Tumgik
widhianaisna · 2 years
Text
semoga Allah selalu memberi kemudahan dan kesabaran
0 notes
widhianaisna · 2 years
Text
Jangan risau, ada Allah :'))
0 notes
widhianaisna · 4 years
Text
Sering sekali aku berbenak. Jika saja waktu bisa diatur ulang, aku akan memilih untuk berada di waktu itu saja. Saat usia sekolah dasar, menggandeng erat jari kelingking bapak saat menyeberang jalan raya, selalu berharap ibu pulang lebih awal saat aku demam, berebut remot tv dengan kakak, dan bermain sepeda dengan tetangga sejawat. Ah, indahnya. Namun kini aku sudah dewasa.
0 notes
widhianaisna · 4 years
Text
“Setiap mengalami masalah yang membuat kita merasa sulit bahkan untuk sekadar tersenyum, barangkali kita perlu mengingat: kita memang bukan diciptakan untuk bahagia. Kita dicipta untuk diuji. Adalah pilihan kita sendiri, mau menjalani ujian dengan perasaan menderita atau bahagia.”
—
1K notes · View notes
widhianaisna · 4 years
Text
Sabar, satu-satu. Syukur, sekaligus.
Taufik Aulia
742 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
Ada orang orang yg tidak memiliki banyak. Tapi mereka punya cinta dan kasih yg luas, dan itu cukup. Aku tidak butuh teman yg punya banyak, tapi tak tau bagaimana ia dibutuhkan.
18 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
Tumblr media
"Apa yang salah dengan impianku?" ia bertanya dalam hati. Hatinya kelu, seperti ada yang meremehkan impiannya. Tetapi ia hanya bisa tertunduk karena bingung, perasaannya lasak seperti ingin mendesersikan diri.
Impiannya diremehkan oleh orang yang tidak mengerti impiannya yang mendalam. "Kenapa setiap anak dinilai dari latar belakang orang tuanya? sedangkan aku hanya ingin mewujudkan impianku untuk orang tuaku tanpa perlu berkoar-koar dihadapan kalian semua" batinnya memberontak.
Ia adalah anak dari keluarga yang berekonomi cukup, tapi ia ingin membahagiakan orang tuanya dengan cara bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa harus meminta kepada orang tuanya tersebut, ia berpikir bahwa sudah cukup ia yang merepotkan orang tuanya. Kini saatnya ia sedikit demi sedikit bisa lebih mandiri dari hasil keringatnya sendiri.
Tetapi, perihal kecil telah sedikit melukainya. Kamu belum punya ekor yang harus dibiayai, lembar rupiahmu pasti lebih banyak, terlambat datang hakmu pun tidak masalah, bahkan jika kamu menghitung rupiah ibumu saja tidak akan selesai-selesai. Itu kata orang kepadanya.
Saat kutanyai, ia hanya bisa membalas ucapan itu lewat doa. Kunasihatilah ia, bahwa inilah waktu yang mustajab untuk berinstropeksi diri melalui lukamu, mungkin saja lidahmu beberapa waktu lalu tidak sengaja sudah melukai perasaan orang lain. Jadi, sudahlah dimaafkan saja. Lalu ia ber-ooo melalui raut wajahnya.
Banjarnegara, 4 Februari 2019
2 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
setuju!
netral
sejak akses membuka Tumblr diblokir, saya memilih tidak membuat blog baru. entahlah, saat itu, energi saya untuk menulis sedang terkuras. kedua, saya merasa bahwa mungkin itu cara Allah untuk membuat saya “rehat” dari menulis di sini agar bisa mengumpulkan energi dengan menulis di commonplace, hanya untuk diri sendiri. ketiga, saya berharap suatu saat pemblokiran Tumblr dibuka kembali. dan yang keempat, yang paling utama, saya masih bisa menulis serampangan di twitter.
sejujurnya, twitter bagi saya adalah rumah menulis yang paling nyaman. mungkin alasan utamanya adalah, saya lebih senang membaca daripada melihat gambar. dulu, saya tidak bisa baca komik sampai kelas 2 SMP karena memang tidak pernah. kedua, ini mirip di tumblr sih, hampir tidak pernah saya merasa “dihakimi” di twitter.
saya tidak pernah serius-serius betul main instagram jadi tidak benar-benar tahu. tapi, berdasarkan yang saya baca, banyak yang menganggap bahwa instagram adalah media sosial yang paling toxic. pasalnya, di sana kita sering melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain. lebih sering, kita membandingkannya dengan dapur diri kita. mungkin, karena alasan itu pula, saya tidak merasa srek untuk rajin main instagram.
akan tetapi, mengingat banyak sekali teman saya yang berada di sana, saya terpikir untuk mulai menulis di instagram saja: menulis caption dan igstory. saya membuat survei kecil di twitter, apakah menulis di instagram oke atau tidak. salah satu sahabat saya, memberi balasan yang paling mewakili perasaan saya. “nggak masalah sama teman yang menulis di instagram. tapi nggak bisa melihat diri sendiri melakukannya.”
survei itu berakhir dengan 51% tidak dan 49% ya. tipis sekali bedanya. hipotesis saya bahwa menulis di instagram itu aneh tidak terbukti sama sekali.
hari ini, saya ngobrol tentang twitter, instagram, tumblr, dan facebook dengan adik saya. kami jadi tertawa-tawa sendiri karena stereotipe yang sering kita terima akan sebuah pelantar. “anak twitter receh dan kismin” “anak instagram julid” “anak facebook hoaks” “anak tumblr depresi” dan lain-lain. ini yang kami dengar dari orang-orang.
padahal, kalau saya pikir-pikir lagi, media sosial itu sama seperti kata. dia netral sampai kita menggunakannya untuk sesuatu. seperti bahwa kata “anjing” itu netral, tetapi menjadi kasar jika dikeluarkan sambil memaki. jangankan anjing, rengginang pun bisa menjadi kasar. “dasar rengginang!”
jadi, kalau kita merasa ada media sosial yang toxic, mungkin yang perlu ditata adalah dengan siapa kita berinteraksi di sana.
selalu ada tombol unfollow, mute, block, report. selalu ada cara untuk menjaga diri kita dari hal-hal yang menurut kita tidak bermanfaat. kita nggak harus selalu berteman di media sosial dengan teman yang kita miliki di dunia nyata. nggak selalu. pun sebaliknya.
eh, tunggu. kalau kamu unfollow/block seseorang, sebetulnya kamu tuh bukan sedang membenci dia, kamu sedang menyayangi dirimu sendiri. berlaku sebaliknya. kalau kamu di-unfollow/di-block seseorang, nggak berarti dia benci kamu. dia sedang sayang dirinya sendiri kok. meskipun yah, mungkin dalam satu dan lain hal, kamu memang toxic.
media sosial sudah menjadi bagian dari keseharian kita. maka, anggaplah media sosial sebagai sebuah kata yang netral sampai dipergunakan untuk sesuatu. tidak usah serius-serius amat, santai saja.
juga, anggaplah dirimu sendiri seperti sebuah kata yang netral. tentu, kamu ingin menjadi kata yang baik karena memiliki maksud yang baik, bukan? karena menyampaikan sesuatu itu dengan baik pula?
586 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
Tumblr media
SOAL HANDSHOCK
Saya memiliki teman yang sedang semangat-semangatnya memperbaiki diri. Kata orang proses tersebut diberi nama hijrah. Sebagai teman, saya mendoakan dan berharap bahwa konteks hijrah yang sedang dijalankannya itu tidak hanya mengikuti trend semata, ya, hanya merubah penampilan saja alias berubah lahiriyahnya, melainkan menghijrahkan batiniyahnya juga.
Suatu ketika, kebetulan saya mengikuti kegiatan bersama teman saya itu, dan juga temannya teman saya. Ah, sedikit membingungkan, sebut saja teman saya sebagai Mawar dan temannya Mawar yaitu Melati. Dalam kegiatan, Mawar terlihat anggun mengenakan gamis polos berpita, jilbab panjang menutup dada yang serasi dengan gamisnya, dan tidak lupa handshock yang menutupi lengan sampai pergelangan tangannya. Saya senang melihat penampilannya yang anggun nan cantik, begitu juga dengan Melati yang sedari awal kegiatan terlihat memandangi Mawar dari kepala hingga kaki. Tibalah waktu untuk istirahat, kami bertiga duduk menepi dari tempat kegiatan sembari memakan snack yang telah dibagikan panitia. Kami bercakap-cakap yang awalnya cukup berfaedah, hingga akhirnya terdengar celetukan-celetukan Melati yang menurut saya menguji perasaan Mawar. Seperti; "Mawar, gamismu terbuat dari kain wolfis ya? itu kan panas kalau dipakai, murah juga." Lalu; "Itu hanshockmu panjangnya sampai siku atau tidak? tapi kan punggung tanganmu tetap kelihatan, ya percuma juga kamu pakai handshock." Saya merasa tidak nyaman dengan ucapan Melati, saya rasa Mawar juga sama, namun Mawar hanya diam dan tersenyum.
Sepulang kegiatan, dan kebetulan saya berboncengan dengan Mawar, di jalan saya mencoba untuk menenangkan Mawar soal ucapan Melati tadi. Saya bercerita kepada mawar bahwa saya pun dulu sama sepertinya. Ketika ucapan dan tatapan orang lain yang tidak mengerti proses hijrah yang sedang saya bangun, seolah-olah menggoyahkan hati saya. Saya salut dengan sikap Mawar yang hanya menjawab ucapan Melati dengan senyum sabarnya, karena sesungguhnya ada yang lebih berat dari terjangan lisan manusia, yaitu keistiqomahan. "Lihat lengan saya, dulu saya rajin memakai handsock agar pergelangan tangan tidak terlihat oleh yang bukan muhrim. Tapi sekarang? saya jarang menutupinya, itu karena benteng keistiqomahan saya runtuh. Sempat saya dengar ucapan orang dibelakang menanyakan kenapa saya jarang memakai handshock lagi. Saya hanya bisa menjawab bahwa istiqomah itu butuh perjuangan, Allah bisa dengan mudah membolak-balikan hati seseorang. Meski belum sampai menutup punggung tangan, tapi kita sudah dan sedang berusaha, tidak seperti orang yang mencela kita diluar sana. Tetap semangat berhijrah ya, Mawar, semoga kamu bisa istiqomah" ucapku diakhiri dengan senyuman.
Banjarnegara, 18 Januari 2019
2 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
Pagi adalah koentji. Senin adalah koentji. Bangun kesiangan di Senin pagi berarti kamu kehilangan koentji.
— Taufik Aulia
465 notes · View notes
widhianaisna · 5 years
Text
Tumblr media
Setiap apa yang kita lakukan pasti didasari oleh niat, sadar atau tidak sadar. Niat datang dari hati, lalu dikirim ke otak dan ragalah yang menjalankannya. Tapi apakah kalian tahu, bahwa setiap niat baik bisa saja tidak terbaca oleh orang lain?
Orang tua saya adalah orang yang sangat sederhana, tidak takut tertinggal zaman. Ibu saya belum memakai ponsel canggih seperti ibu-ibu hits di era milenial ini. Ibu berpikir, ia hanya seorang lansia tidak apa jika tidak memakai smartphone seperti ibu-ibu lainnya. Tapi di sisi lain, saya sebagai anak juga memiliki keinginan yang didasari dari asumsi jika kelak saya sudah tidak satu rumah dengan ibu. Bukankah akan lebih mudah berkomunikasi jika ibu memakai smartphone? Maka saya membeli sebuah smartphone kedua yang saya beli dari uang sendiri. Jika kalian menebak smartphone itu untuk ibu, maka jawabanya adalah salah. Smartphone itu untuk saya pakai sendiri, dan smartphone lama yang pertama kali saya beli menggunakan uang sendirilah yang saya berikan untuk ibu.
Apakah kalian berpikir bahwa itu perbuatan yang "nakalan"? Jika iya, saya akan balas pemikiran kalian dengan senyum paling manis yang saya miliki. Kalian sudah terdistrak pada bagian smartphone baru yang dipakai saya, dan smartphone lama yang saya berikan ke ibu. Coba lihat lagi niat apa yang ada di dalam hati saya, kenapa saya berikan smartphone saya ke ibu.
Dan itulah yang dinamakan niat yang tidak sampai pada hati orang lain. Niat yang hanya diri sendiri yang tahu :)
2 notes · View notes
widhianaisna · 6 years
Text
Hai tumblr!
pasca pemblokiranmu di Indonesia, halaman rumahku terasa sepi, hanya beberapa saja yang terlihat antusias kembali bersenda gurau bersamamu di halaman rumahku :)
3 notes · View notes
widhianaisna · 6 years
Text
Ada yang begitu kutunggu, ialah waktu, yang mampu menjawab kegelisahanku.
1 note · View note
widhianaisna · 6 years
Text
ALVIN SAYANG NENEK
Tumblr media
Tiiiiiiiin.
Klakson mobil yang melintas di jalan raya depan sekolah Alvin membuyarkan lamunan orang-orang. Termasuk Alvin. Tidak disangka, saat itu hati kecilnya akan terluka.
Braaaak!
Nenek yang saat itu membuntuti Alvin dengan maksud ingin mengantar Alvin berangkat ke sekolah, kini terkapar di tengah jalan dengan luka yang mengeluarkan darah dari kepalanya.
"Neneeeeeeeeek!" Teriak panjang Alvin spontan keluar dari bibir kecilnya, ketika ia menengok ke belakang dan mendapati neneknya terserempet mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil yang menyerempet nenek Alvin menabrak trotoar, namun Alvin tidak memerdulikannya. Dengan kaki gemetar Alvin berlari ke arah neneknya.
"Neneeeeeek! Bangun! Maafkan Alvin neeeek, bangun!" Alvin terus berteriak hingga orang-orang berdatangan untuk menolong neneknya agar segera dibawa ke rumah sakit. Anak laki-laki kelas 4 SD tersebut tak hentinya menangis dan menyimpan sesal yang amat dalam. Pasalnya, sebelum berangkat ke sekolah Alvin menolak untuk diantar neneknya karena nenek Alvin jalannya sudah melambat sehingga sering membuat Alvin terlambat masuk ke sekolah. Alvin berjalan cepat dan meninggalkan neneknya yang berjalan dengan berpegangan tongkat, hingga akhirnya nenek alvin terserempet mobil ketika sedang menyeberang jalan raya.
Alvin tinggal bersama nenek dan pamannya. Orang tua Alvin sudah meninggal saat Alvin kelas 1 SD, sehingga Alvin dirawat oleh sang nenek. Paman Alvin yang masih bujang membiayai kebutuhan sehari-hari Alvin dan nenek Alvin dengan penghasilannya yang tidak banyak.
***
Setelah beberapa minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya nenek Alvin diperbolehkan pulang. Paman sedikit lega, karena pengendara mobil yang menyerempet nenek Alvin mau bertanggung jawab untuk membiayai seluruh biaya perawatan sampai sembuh. Namun, nenek Alvin semakin pikun. Selain karena musibah kecelakaan yang menimpa nenek Alvin sehingga nenek Alvin terkena gagar otak ringan, nenek Alvin juga sudah semakin tua.
Setelah kejadian itu, Alvin tidak pernah absen merawat neneknya. Meski sering kali nenek Alvin lupa siapa Alvin. Alvin selalu menangis di setiap akhir shalatnya, ia rindu dengan neneknya yang dulu, yang sering mengantarnya ke sekolah.
Setelah beberapa hari nenek Alvin ada di rumah, nenek alvin selalu bertingkah aneh, itu karena faktor kepikunannya. Saat bangun tidur nenek Alvin pernah berteriak histeris karena ia merasa ada di tempat asing. Paman yang selalu menenangkannya dengan lembut dan sabar, terkadang tetangga ada yang datang membantu paman menenangkan nenek Alvin. Pernah terjadi sesuatu yang menyakitkan Alvin, Alvin yang sedang menyuapi bubur ke mulut nenek Alvin tiba-tiba raut wajahnya berubah seperti orang marah. Alvin dipukuli dengan tongkat nenek dan mengusir Alvin karena menganggap Alvin anak nakal yang mengganggu cucunya. Padahal Alvin adalah cucu yang sesungguhnya.
Suatu pagi nenek Alvin bangun dadi tidurnya sebelum azan shubuh berkumandang. Ia melakukan aktivitas seperti sedia kala walaupun harus berjalan dengan bantuan tongkatnya. Alvin dan paman terkaget karena seolah-olah kesehatan nenek pulih seperti sebelum terkena musibah kecelakaan beberapa bulan lalu. Nenek pergi ke surau dan masih ingat dengan tetangga-tetangganya. Saat sarapan, nenek pun terlihat bahagia sekali dengan Alvin, hal itu ditunjukkan dengan sikap nenek yang baik kepada Alvin.
"Alvin, nenek boleh ya mengantar Alvin ke sekolah? Kali ini saja, ya?" Alvin terkejut dan memandangi paman. Paman mengangguk tanda boleh. Lalu Alvin menjawab pertanyaan neneknya "Boleh, nek. Boleh sekali" Alvin senang bukan kepalang pagi itu. Nenek memang tidak mengantar Alvin berangkat ke sekolah sendirian, disamping nenek juga ada paman yang menemani nenek. Nenek dan paman mengantar Alvin hingga gerbang sekolah, Alvin melambaikan tangan ke arah nenek yang ada di gerbang sekolah.
***
Teng teng teng.
Setelah mengikuti pelajaran matematika selama 3 jam pelajaran, akhirnya bel istirahat berbunyi. Alvin menutup buku dan berlari keluar kelas bersama teman-temannya. Berniat menuju kantin sekolah, ternyata paman sudah menunggu Alvin di ruang guru dengan mata sembab. Alvin bingung kenapa ia dijemput sepagi ini, dan kenapa paman terlihat seperti orang yang baru menangis. Paman memeluk tubuh Alvin sambil tertunduk dalam. Paman mengabarkan bahwa nenek telah meninggal baru saja, tadi pagi adalah kado terindah nenek untuk Alvin. Ya, nenek mengantar Alvin ke sekolah untuk terakhir kalinya.
***
Semenjak kepergian nenek untuk selama-lamanya, Alvin selalu menyimpan foto dirinya bersama sang nenek. Foto tersebut sangat berharga baginya. Ia pandangi fotonya yang sedang mencium pipi nenek, setiap pergi tidur.
Isna Widhiana
Banjarnegara, 1 Maret 2018
0 notes
widhianaisna · 6 years
Text
WANITA BERKERUDUNG TIDAK BISA MENJADI ATLET BELA DIRI? SIAPA BILANG?
Brek! Brek!
Brek! Brek!
Priittt
Bunyi peluit yang melengking ditiup oleh pelatih, sebagai tanda agar aku dan teman-teman segera berganti posisi dan langsung menendang pecing dengan kaki kiri.
Brek! Brek!
Tendanganku semakin melambat dan powerpun semakin berkurang.
"Ayo Dhiana, tambah powernya!!!" pelatih meneriakiku.
Aku yang merasa diteriaki, sedikit memicingkan mata melihat ekspresi wajah sang pelatih. Lalu aku berusaha mengamunisi power pada tendangan sabit kaki kiriku lagi.
Priittt.
Pelatih meniup peluit kembali, tanda boleh berhenti. Tendanganku terhenti dengan napas yang terengah-engah, keringat menetes dari ujung rambut yang tidak kuikat sama sekali. Rambutku panjang sebahu. Bisa dibayangkan, betapa risinya orang yang melihat seorang atlet pencak silat berlatih dengan rambut yang diurai. Mungkin sudah mirip rambut mak lampir yang kusut karena seminggu tidak disisir.
Kala itu aku masih duduk di bangku SMP. Berawal dari mengikuti ekskul olah raga pencak silat di sekolah hingga akhirnya mengikuti latihan di luar sekolah, bertemu dengan teman-teman sekolah lain dan dilatih oleh pelatih-pelatih senior dari sekolah lain pula, merajut benang kekeluargaan yang sangat berkesan di bawah ikatan Tapak Suci Banjarnegara.
Kembali ke topik. Pada saat SMP aku memang belum memutuskan untuk berkerudung, namun aku juga tidak cukup percaya diri untuk mengikat rambutku ke belakang menjadi satu. Aku merasa tidak percaya diri karena bentuk wajahku yang bulat. Aku mengikat rambutku hanya ketika bersekolah saja, karena sudah tuntutan dari sekolah supaya siswa putri mengikat rambutnya menjadi dua. Jadi, ketika aku berlatih pencak silat kuputuskan untuk tidak mengikat rambutku. Pernah sesekali mengikat rambut ke belakang menjadi satu, namun ditertawai beberapa teman karena wajahku yang bulat seperti bakso.
Suatu hari ada beberapa teman yang mungkin sudah sangat risi ketika melihatku berlatih dengan ending rambut yang lebih mirip mak lampir ketimbang artis iklan shampo di tv, ia menyarankanku untuk memakai kerudung saja. Saat itu aku juga masih ragu, hingga akhirnya aku harus mengikuti latihan bersama di cabang Tapak Suci lain. Atlet-atlet putri Tapak Suci di cabang lain ternyata mengenakan kerudung semua, akhirnya aku memutuskan untuk berkerudung ketika berlatih. Lama-kelamaan akupun berpikir, bahwa Tapak Suci ini adalah perguruan pencak silat yang berinduk dari Muhammadiyah yang merupakan suatu organisasi islam, otomatis malu dong jika anggota Tapak Suci tapi tidak berkerudung. Dengan prinsip yang salah, kuputuskan untuk berkerudung ketika berlatih dan bertanding saja. Padahal prinsip yang seharusnya ditanamkan di dalam diri adalah harus berkerudung karena rambut wanita adalah aurat.
Salah prinsip tersebut berlanjut hingga aku lulus SMP dan memasuki SMA. Pada saat SMA lambat laun aku mulai malu dengan orang-orang yang mengenaliku, karena terkadang bertemu dengan orang yang kukenal ketika sedang berlatih di luar ruangan misalnya ketika berlatih di alun-alun kota. Aku mulai malu dengan keseharianku yang tanpa kerudung sedangkan aku sudah mulai terbiasa berlatih pencak silat menggunakan kerudung. Akhirnya kuputuskan saja untuk berkerudung disetiap kegiatanku dengan prinsip rambut adalah aurat wanita dan Allah jelas-jelas memerintahkan umatNya untuk menutup aurat.
Sejak saat itu aku bisa menyangkal diriku sendiri bahwa ternyata wanita berkerudung tidak pernah terhalang untuk berolah raga, dan itu kubuktikan dengan diriku sendiri yang ternyata nyaman-nyaman saja berlatih dan bertanding pencak silat di gelanggang hijau muda dengan mengenakan kerudung. Justru sering kulihat pada saat pertandingan pencak silat, terdapat atlet putri yang rambutnya terjambak oleh lawan tandingnya. Mungkin beberapa orang berpikir bahwa kok bisa altlet-atlet pencak silat berkerudung itu tidak risi dan panas? Jawabanya ya kalian lihat saja pada atlet-atlet tersebut, buktinya mereka nyaman-nyaman saja. Yang jelas mereka nyaman berkerudung karena sudah terbiasa dan mereka bisa terbiasa karena dibiasakan. Jadi, kalian bisa kok tetap berolah raga bela diri dengan tetap mentaati perintah Allah.
Salam olah raga!
Isna Widhiana
Banjarnegara, 27 Februari 2018
0 notes
widhianaisna · 6 years
Text
Setengah Matang, Banyak Mentahnya
Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, yang lahir 24 tahun silam, lebih tapi sedikit, sungguh. Aku anak bontot, dan kalian tau apa yang menjadi kekhasannya? Ya, betul, manja.
Sejak kecil, kurasa aku cukup manja. Bahkan bukan hanya aku yang merasakannya, tapi semua keluarga dan orang-orang yang bisa membaca sikapku ketika dihadapan orang tua. Namun, yang aku herankan, ketika sedang tidak dihadapan orang tua kenapa seoalah-olah aku bisa menyelesaikan semuanya dengan sendiri, dan aku berani. Maka, kuputuskan bahwa aku setengah manja setengah berani.
Dari penjelasan dua paragraf di atas, pasti tertangkap dong apa topik yang diangkat pada tulisan ini? Betul, manja.
4 tahun yang lalu, aku masuk kuliah di universitas swasta di sebuah kota kecil bernama Purwokerto. Jangan dulu berpikir bahwa aku belum wisuda, jahat benar kalian. Aku sudah diwisuda pada bulan Maret 2017 lalu.
Di awal, saat status mahasiswa sudah melekat didiriku, sifat kemanjaanku diuji dengan survive indekos. Aku diantar langsung oleh bapak dan ibu yang menyangking tas jinjing berisi beberapa pakaian. Pelepasanpun dihiasi dengan mata berkaca. Pengalaman pertamaku untuk tinggal terpisah dengan orang tua.
Setiap minggu yang kunanti hanya akhir pekan dimana aku bisa pulang kerumah, sampai rumah malah bikin ulah, badanku sering tiba-tiba demam ketika akan kembali ke kota rantau, lalu diam-diam menangis, payah. Jika tiba-tiba ditelfon bapak atau ibu, sebelum mengangkat panggilan, mataku sudah berkaca-kaca terlebih dahulu, lalu hidungpun mampet, dan ketika ditanya "kamu kenapa?" selalu kujawab dengan alasan sedang pilek. Sesekali menangis tengkurap diatas kasur disebuah kamar kos. Sesekali juga menangis bersama dengan sahabat karibku yang kebetulan masuk universitas yang sama namun berbeda jurusan. Sampai saat ini kami berdua geli ketika mengingat kejadian itu.
Lambat laun, mulai memasuki semester 2, aku mulai betah dengan hidup di kota rantau. Mulai sibuk di kegiatan perkuliahan dan sedikit kegiatan kampus. Lalu sering melewatkan akhir pekan untuk tidak pulang ke rumah. Sibuk dengan perkumpulan teman-teman di kota rantau, dan meninggalkan tangisan-tangisan menggelikan karena sebuah kemanjaan.
Semester mudapun mulai kutinggalkan. Lalu memasuki semester setengah tua alias sedikit tidak muda. Di fase itulah aku mulai berpikir bagaimana memenej hidup, dari uang dan sebagainya. Di awal status mahasiswaku, aku terlalu mementingkan laporan keuangan kepada ibuku, padahal ibu tidak memintanya. Tapi, sejak lepas dari semester muda aku lebih berpikir untuk bagaimana agar dengan jatah uang mingguanku, aku bisa memenuhi kebutuhan dan menabung tanpa melebihi kapasitas jatah uang yang kuterima, kecuali urusan mendesak. Alhasil, aku bisa melewati itu.
Sejak merantau, aku lebih bisa mengurus hidupku sendiri. Makan, belanja, memenuhi kebutuhan, menabung, mencuci, bersosial, semua kuhadapi dan kupikirkan sendiri. Hingga masa skripsi telah usai, aku mulai mencari-cari pekerjaan di kota rantau, semua itu bertujuan salah satunya karena ingin hidup mandiri. Namun, takdir berkata lain. Sampai masa kontrak kosku habis, aku belum diterima kerja dimana-mana. Ingin rasanya memperpanjang kontrak, namun uang dari mana? Minta orang tua? Aku tidak tega, sementara mereka lebih menginginkanku untuk kembali ke rumah dan bekerja di kota kelahiran.
Sekarang, aku sudah kembali ke kota kelahiran, dan bekerja disini. Dengan gaji pas-pasan dan hidup dengan biaya orang tua. Dalam hati, kuterus memotivasi diri, yang penting Rahmatan lil 'aalamiin. Loh, kok jadi sedih? Bukan itu maksudku.
Sedari 5 bulan yang lalu, aku mulai hidup bergantung dengan orang tuaku lagi. Bedanya, sekarang aku sudah berpenghasilan, ya walaupun hanya bisa untuk beli lipstik dan bedak. Apa-apa diurus oleh orang tuaku, seperti kembali ke masa sekolah. Fase ini mencuatkan pertanyaan besar dalam benakku, <b>apakah semua orang yang kembali ke kota asal dan bekerja disana juga merasakan hal ini? seolah-olah kemandirian yang kita pelajari hilang karena hidup bergantung lagi dengan orang tua?</b>
Pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan sebuah kesedihan tersensidiri untukku, dimana sejak dulu yang kuinginkan hidup dengan tidak memberatkan orang tua lagi, meskipun mereka tidak merasa diberatkan. Ya, jawaban yang terbaik untuk menjawab itu semua adalah <i>setidaknya aku bisa memenuhi permintaan mereka untuk tetap tinggal di rumah sebelum nantinya aku menjadi milik orang lain.</i>
Dan kurasa aku seperti orang yang sudah mulai mematangkan diri untuk hidup mandiri, namun berhenti pematangannya dan menjadi setengah manja kembali. Iya, setengah matang, tapi banyak mentahnya.
<b>Banjarnegara, 23 Desember 2017</b>
2 notes · View notes
widhianaisna · 6 years
Text
Rindu juga dengan perkumpulan orang-orang yang menjadi solid karena sebuah kepentingan. Biarpun terbungkus oleh kepentingan, tapi mereka tetap asyik untuk dikenang. Setelahnya, akan terlihat pertemanan itu akan tetap terjaga atau tidak jika tanpa dilandasi sebuah kepentingan.
—Isna Widhiana
1 note · View note