Tumgik
#sabtuuntukberlabuh
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh - Yang Tidak Direncanakan Tapi Kerap Dipertanyakan
Dua hari yg lalu tepatnya malam Jumat legi aku bermimpi didatangi oleh Mbahpo (kakek dari Ibu) yg sudah meninggal. Mimpinya terasa sangat nyata, beliau seperti tidur di sebelahku bahkan nafasnya terdengar mengorok persis dengan nafasnya ketika masih hidup dulu. Dalam mimpi itu aku hendak bangun dan menyalakan lampu kamar agar aku bisa melihat beliau, tapi beliau memegang tanganku dan melarang untuk menyalakan lampu, begini katanya "ojok diurupno nduk, kowe pancet gak ketok, mripatmu gak iso ndelok" (Jangan dihidupkan (lampunya) nak, kamu tetap tidak tampak, matamu tidak bisa melihat). Akhirnya aku menuruti apa kata beliau, kemudian aku duduk di atas tempat tidur tapi tetap tidak bisa melihatnya, hanya suaranya saja yg bisa aku ingat saat itu. Beliau bertanya "Wes gak popo yo nduk? Ojok suwe-suwe yo mandek e" (Sudah tidak apa-apa nak? Jangan lama-lama ya berhentinya). Aku lupa menjawab apa yg jelas setelah itu beliau berkata lagi begini "Atos-atos nduk, mripat, pikiran lan ati. Mbahkung wes seneng. (Hati-hati nak. Mata, pikiran dan hati. Mbahkung sudah bahagia (Mbahkung : kakek dari ayah). Lalu beliau menghembuskan nafas panjang, seketika aku terbangun. Menyempatkan untuk membacakan Al-Fatihah sebentar. Mimpi ini seperti tidak menyadarkan bahwa beliau sudah tiada sejak 4-5 tahun yg lalu karena jiwanya seakan-akan masih melekat dalam diri ini, petuah-petuahnya, omelan-omelannya hingga kesabaran dan kebaikan-kebaikannya. Dikunjungi lewat mimpi begini saja sudah sangat lega terutama oleh orang-orang yg sudah meninggal.
When your eyes can't see, take my eyes from me. When you're lost and losing faith. I will be your saving grace (🎶 Kodaline - Saving Grace)
Mimpi ini pula yg mengingatkanku pada kejadian belakangan ini, yaitu musibah-musibah yg berujung pada kematian. Oleh karena itu, Sabtu Untuk Berlabuh kali ini memilih untuk tinggal di linimasa "Jika esok aku tiada". Konsep "Jika esok aku tiada" membuat isi kepala terpaksa harus ditarik mundur ke belakang, mengunjungi museum ingatan di masa lampau, mengetuk kembali memori yg sudah dikunci rapat. Seperti butuh tenaga ekstra untuk menarik beberapa waktu ke belakang karena memori manusia yg cukup terbatas. Sehingga muncullah beberapa pertanyaan seperti :
Jika esok aku tiada apakah selama ini aku sudah cukup baik dan berguna bagi sesama manusia? Bagaimana caranya agar bisa menebus semua kesalahan sebelum mati? Apakah kematian akhir dari segalanya? Apakah akan ada pengampunan atas apa yg telah kita lakukan di dunia? Kemana kita pergi setelah mati?
Disclaimer, tulisan ini bukan mengenai kehidupan setelah mati, tidak mengarah pada amalan dan dosa serta tidak membahas apa yg akan terjadi di akhirat nantinya.
Kematian membuat kita takut. Enggan untuk memikirkan, membicarakan apalagi membayangkan apabila hal itu terjadi pada orang-orang terdekat kita ataupun diri kita sendiri. Jika orang-orang baik akan meninggal terlebih dahulu maka bisa dipastikan banyak orang yg tidak mau menjadi baik. Padahal kematian ini selalu misterius, tidak bisa dipecahkan dengan logaritmanya sendiri, bisa datang kapan saja dan tidak ada ilmu yg mampu memprediksi. Aku rasa mereka yg meninggal memang sudah bisa menyambut kematian itu sendiri dengan tabah sehingga yg tersisa di sini adalah impresi-impresi yg menjadi berarti di mata orang lain, lalu ingatan baiknya dibiarkan tumbuh di hati setiap orang. Sehingga sosoknya akan abadi, hidup selamanya di hati dan pikiran kita. Sejatinya setiap orang berhak untuk menjadi berarti di mata orang lain.
Some of the dead are still breathing in your heart. Some of the dead are still living in your mind.
Tapi kata Mark Manson begini, "Dengan cara yg aneh, berlawanan, kematian menjadi sebuah cahaya yang mampu menerangi bayangan makna-makna kehidupan. Tanpa kematian, semua terasa tidak penting, semua pengalaman, semua ukuran dan nilai tiba-tiba menjadi nol". Sejalan dengan apa yg telah ditulis oleh Becker pada bukunya berjudul The Denial of Death, bahwa kematian tidak bisa dihindari karena itu kita berusaha membangun satu diri konseptual yang akan hidup abadi.
Menurutku konsep sederhananya adalah jawaban dari pertanyaan ini :
Jika kamu mati apa yg bisa kamu berikan pada hidup ini? Jika kamu mati kamu akan dikenang menjadi apa atau sosok yg bagaimana? Apa pengaruh baik yg akan kamu tinggalkan nantinya?
Try to find the answers. Tidak dipungkiri jika jawaban itu adalah tujuan hidup kita. Lalu mencoba bersahabat dengan kematian, satu-persatu menciptakan kesan yg membuat keberadaan kita menjadi bernilai. Value atas jawaban-jawaban dari diri kita adalah kita yg menentukan. Bagaimana kita menciptakan gambaran tentang diri sendiri di masa dimana kita tidak lagi bisa terlibat. Becker berkata bahwa ini adalah antidot yg pahit, tapi dengan begitulah kita bisa memecahkan pola bagaimana kita akan menghadapi kematian dengan sebaik mungkin.
Tapi bagaimana jika sampai saat ini kita belum mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu? Ada banyak faktor, salah satunya adalah ketakutan. Dengan adanya ketakutan kita menolak untuk mencari tau, takut jika pada akhirnya tidak seperti yg direncanakan, takut jika pada akhirnya harus berhenti di tengah jalan, takut jika menimbulkan penolakan, takut jika diri sendiri tidak mampu dan tidak sehebat yg dipikirkan. Tanggapannya hanya satu yaitu dengan mencoba. Meskipun hingga saat ini kita masih sama-sama mencari jawaban tapi satu hal yg aku tau, jika kita tidak mencoba maka kita tidak akan menemukan jawaban, jika kita tidak mencoba maka kita tidak akan belajar seberapa mudah atau susah untuk menemukan jawaban itu, jika kita tidak mencoba maka kita belum benar-benar bisa menerima bahwa kematian ada di depan mata. Ketakutan itu candu, hingga makna keberadaan diri sendiri bisa hilang karenanya. Dinamika yg membuat kita terpaku, tidak bisa benar-benar merasa hidup. Karena satu-satunya yg pasti adalah kematian, sedangkan ketidaktauan kita bisa menambah ketakutan terhadap rencana-rencana yg ada di depan dan menyelepekan keputusan-keputusan yg akan kita buat nantinya. Ini seperti melompat jauh ke kehidupan dalam beberapa tahun ke depan. Becker menyebutnya sebagai "proyek keabadian", yg membuat diri konseptual kita tetap hidup setelah kematian fisik kita.
Tidak semua orang bisa berdamai dengan kematian, tapi semua orang berhak untuk merasa hidup.
Mungkin diantara kita ada yg merasa jiwanya telah mati, dalam artian apa yg dijalani saat ini tidak benar-benar membuat hidupnya nyala dan berarti. Tapi ingat, kegelapan berasal dari cahaya itu sendiri, cahaya akan terlihat bila kegelapan itu ada. Tidak ada salahnya mempersilahkan cahaya itu masuk ke dalam hidup kita, tidak perlu menolak lagi jika hal itu dirasa penting. Belajar untuk hidup berdampingan dengan 2 hal tersebut, menerima bahwa kegelapan memang benar-benar ada. Tdak perlu disangkal seperti halnya jika tidak ada kehidupan maka tidak ada kematian. Bukan ide yg buruk untuk membangkitkan kembali jiwa yg dirasa sudah mati, selama raga masih belum benar-benar mati. Tentang esensi diri, siapa lagi yg menentukan jika bukan kita?
Dari Sabtu Untuk Berlabuh kali ini aku belajar bahwa memikirkan inti dari jika esok aku tiada adalah suatu paradoks yg panjang, berinteraksi dengan kematian dan kerap mempertanyakan terkadang memang menakutkan tapi pada akhirnya kita semua akan belajar menerima dan berdamai menghadapi kematian itu sendiri. Rasa penasaran terhadap esensi hidup dan kematian belum benar-benar terjawab selain mempercayai bahwa kematian bisa datang kapan saja, bersyukur karena masih bisa hidup hingga saat ini, berbesar hati ketika menjalani kehidupan dan tetap berhati lapang ketika tertimpa musibah, itu adalah hal-hal penting yg sering terlewatkan. Konsep kematian dan proyek keabadian ini dipercaya mampu menghilangkan nilai-nilai lemah, buruk dan pesimis dalam hidup kita. Bisa dikatakan bahwa 2 hal tersebut adalah bensin dalam perjalanan, agar lebih bermakna tentunya. Meskipun perjalanan ini masih belum menuju ke arah sana tapi tidak apa-apa selama bensin itu tetap terisi.
Setiap orang yg pernah hidup pasti akan meninggalkan jejaknya dalam hati orang lain. Memang benar waktu mereka sudah berhenti, tapi tidak dengan waktu kita, keberadaan diri mereka tidak bisa mati dan akan tetap tinggal disela-sela waktu yg tetap berjalan. Dengan adanya jejak yg ditinggalkan, manusia yg sudah pergi tetap terasa hidup meskipun raganya tidak di sini lagi. Seperti yg dikatakan oleh Manson, semua makna dalam hidup kita dibentuk oleh hasrat alami kita untuk tidak pernah mati. Mari kita ingat-ingat lagi dari orang-orang yg telah tiada memori apa saja yg tetap melekat dan selalu mengajarkan tentang arti kehidupan? Sembari menjawab jangan lupa untuk menyelipkan lantunan Al-Fatihah ya 🙏🏻
Sebuah konsep keberadaan hidup manusia yg paling berharga adalah kematian, yg tidak direncanakan tapi kerap dipertanyakan.
Tumblr media
Syahid Muhammad dalam Saddha (2019)
"And if my time on earth were through and she/he must face this world without me."
20 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh – Tanggung Jawab
Lalu bagaimana jika reputasi itu telah dilupakan dan hilang begitu saja? Menjadi transformasi dalam diri manusia yg jauh berbeda dari reputasi awalnya. Kira-kira apa yg menyebabkan seseorang berubah berkebalikan dari reputasi yg tampak selama ini? Sabtu Untuk Berlabuh kali ini akan tinggal di linimasa “Jika esok aku tiada”, untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan di atas, mempersiapkan ketiadaan dengan sebaik-baiknya dan sebisa mungkin tanpa penyesalan atas perlakuan kita dalam memanusiakan manusia.
Apa yg menyebabkan seseorang berubah berkebalikan dari reputasi yg tampak selama ini?
Menurutku tidak ada. Tidak satupun hal yg bisa dijadikan motif kecuali memang ada dorongan dari dirinya sendiri. Ia memilih untuk menjadi sosok yg seperti itu.
Contoh sederhananya adalah eksistensi seorang pencuri, kali saja kita bertanya-tanya apa yg menyebabkan ia menjadi pencuri, anggap saja dulu ia adalah sosok yg disegani di lingkungannya. Orang-orang mulai mempertanyakan apa yg membuatnya menjadi seorang pencuri? Apakah karena ia sudah lama menjadi pengangguran, apakah karena keluarganya sedang dililit hutang? Apakah karena dirinya sudah ditolak bekerja berulang kali? Apakah karena ia telah diancam dan disuruh oleh oknum-oknum tertentu?
Bagaimana jika ia terpaksa menjadi pencuri karena harus menghidupi anak-anaknya? Apakah hal ini bisa dibenarkan?
Walaupun ada sekian banyak asumsi dan beribu-ribu alasan dibalik ia menjadi pencuri, satu-satunya dalil yg paling logis dan bisa diterima adalah karena ia memilih untuk menjadi pencuri. Keadaan ini seringkali disebut sebagai “Tryranny of the or”, maksudnya adalah apakah benar kita selalu harus memilih satu dari dua pilihan?” Padahal tidak memilih juga termasuk memilih, tapi kembali lagi karena dalam memilih hendaknya bersikap adil.
Hal ini keliru meski sebenarnya ada banyak cara yg lebih baik dan lebih bertanggung jawab dibandingkan memilih untuk menjadi pencuri. Sudah jelas hal ini merugikan dan tidak baik bagi banyak orang. Namun ada juga yg mengatakan bisa saja ketika ia tidak sadar bahwa selama ini telah menjadi pencuri, wah tapi kalau yg ini sungguh tidak masuk akal. Tidak ada pencuri yg melakukan aksinya dalam keadaan tidak sadar, bukan?
“Intelektual tanpa keterlibatan diri dan penalarannya sendiri adalah intelektual blanko.” – Pramoedya Ananta Noer
Namun ada satu pengecualian, pernah menjadi pencuri, bukan berarti akan tetap menjadi pencuri nantinya. Berawal dari banyak pilihan yg akan membawa pada perubahan atau justru kenestapaan, kita tidak tau. Tapi diakhir pengambilan keputusan akan membawa pada suatu tanggung jawab dan usaha yg besar, tidak lupa pula untuk menanggung pilihan dengan penuh rasa sadar.
"Pernah menjadi seperti itu bukan berarti akan tetap menjadi seperti itu nantinya."
Lalu apakah hendaknya kita memberi kesempatan pada pencuri untuk berubah? Sebelumnya mari dipahami terlebih dahulu, sesungguhnya perubahan akan menuju ke arah yg lebih baik. Jika bukan ke arah yg lebih baik akan lebih cocok disebut dengan pelampiasan. Ini seperti Exchange Buffet, memberi kesempatan pada tamu-tamunya bahwa mereka berurusan dengan orang-orang yg jujur. Dengan demikian pencuri harus mempertahankan nama baiknya, yg dulu pernah diberikan oleh masyarakat.
Pada tahun 1920 ada direktur penjara Sing Sing di New York bernama Lewis Lawes dan istrinya Kathryn Lawes yg melaksanakan reformasi perikemanusiaan dengan memperlakukan para penjahat sebagai manusia seutuhnya, "Jika Tuan harus berurusan dengan seorang penjahat maka hanya satu cara saja supaya bisa bergaul baik dengan mereka. Perlakukan mereka sebagai manusia jujur. Anggaplah, mereka tak akan menipu atau mengelabui Tuan. Dengan memperlakukan demikian itu, ia merasa terpuji, sehingga mereka-pun akan tetap jujur terhadap Tuan. Karena ia bangga, bahwa akhirnya ada juga orang yang mempercayainya."
Begitulah empati dan tanggung jawab bekerja, kasih bagi orang yg telah mengasihi mereka membuat mereka dapat diandalkan meskipun mereka adalah mantan narapidana. Ketika mereka dipercaya untuk berbuat jujur maka mereka akan mengembalikan reputasi dirinya sendiri, menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanggung jawabnya.
Dari penjabaran kisah seorang pencuri di atas, maka Sabtu Untuk Berlabuh kali ini kita bisa belajar bahwa masih ada harapan bagi yg telah melakukan kesalahan untuk kembali menjadi sosok yg sebelumnya atau bahkan yg lebih baik, seperti yg sudah dituliskan di atas “Pernah menjadi seperti itu bukan berarti akan tetap menjadi seperti itu nantinya”. Tidak lupa untuk selalu menyadari ketika menjumpai seseorang yg menjadi sosok berkebalikan dari reputasinya selama ini, satu-satunya alasan yg paling logis adalah : ia hanya memilih untuk menjadi seperti itu.
Perlahan-lahan perubahan akan menuntun ke arah yg lebih baik dan lebih banyak aspek positif, mendekati ataupun sesuai dengan reputasi yg telah diberikan pada diri kita. Salah satu pengingat yg amat besar dari perumpamaan di atas sama seperti yg telah dikatakan oleh Nago Tejena, “Bagi kita yg tidak rela mengambil tanggung jawab untuk berbenah, segala jenis penjelasan bisa dijadikan alasan.”
Bukan terlalu banyak ingin, tapi ketersediaan untuk mengusahakan aspek-aspek penting dalam hidup dan berani berkecimpung dengan tanggung jawab adalah sebuah keharusan. Kemauan itulah yg akan menuntun pada kedewasaan seseorang atas reputasinya sendiri dan bisa mengambil nilai dari pengalaman-pengalaman pribadinya, sedangkan pengalaman orang lain andil hanya sepersekian persennya saja. Cukup tragis jika dikatakan berhenti dari tanggung jawab, ini seperti menghindari hidup. Nyaris tidak ada bedanya dengan mengutuk tubuh yg semakin hari harus dipaksa bertumbuh dewasa, karena ini bukan lagi tentang tanggung jawa pribadi, nantinya akan ada banyak kepala yg harus bisa dipahami. Semoga pintu empati kita terhadap sesama masih terbuka lebar, karena manusia tempatnya salah juga tempat untuk belajar. Sehingga tidak ada kata lelah untuk saling memanusiakan manusia.
“Berilah reputasi, supaya ia mempertahankannya dengan berbagai usaha dan penuh kesadaran akan tanggung jawab dalam hidupnya.”
_
"Hirogaru sekai wa boku dake no mono sa. Mou ichido torimodosu reset. Fumidasu chikara ga boku wo mitasu kara."
19 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Titik Enigma - Utuh Kembali
“Jika harus kehilangan beberapa hal dari dalam diriku, apakah aku masih bisa utuh kembali?”
Bersahabatlah dengan waktu. Maka ia akan mengajarkan banyak hal. Menuntunmu ketika pertama kali melangkahkan kaki, mendorongmu hingga terjatuh, bahkan menghentikanmu dari hal-hal yang kerap dipertanyakan. Terkadang dengan membiarkannya berhenti, waktu akan membentuk dirimu seutuhnya. Kamu bisa lebih berani mendengarkan dirimu, kamu bisa lebih menghargai setiap detik yang kerap berjalan, kamu bisa lebih sadar jika tarikan nafasmu amat berarti.
Tapi waktu juga kejam, ia tidak bisa membiarkanmu berhenti terlalu lama, atau kamu akan terlena hingga kehilangan banyak hal. Ia bisa bersikap tegas untuk meninggalkan hal-hal yang tidak mampu bergerak maju ataupun mengambil apa yang pernah menjadi milikmu.
Ia bahkan rela melepas tali lehermu, menyeretmu dari kandang dan menarikmu agar kamu bisa berdiri dengan kedua kakimu sendiri. Ia hanya melihat dalam diam, apakah kamu bisa berlari dengan lincah, atau kamu berlari dengan duri yang masih menancap.
Hingga kamu memutuskan memberikan segenap tenaga untuk berjalan kembali bersama waktu. Diakhir hari, merasa cukup merupakan sebuah pencapaian dan antidot untuk membuat jawaban dari tujuan keberadaan diri sendiri.
“Meski berbekas dan menjadi berbeda, pada akhirnya kamu akan kembali utuh.”
Pada setiap kekurangan yang ada pada dirimu, bersabarlah. Mereka akan bermuara di satu tempat, yaitu penerimaan. Karena sejatinya, ketika kamu kehilangan beberapa hal dari dalam dirimu, bukan berarti dirimu menjadi berkurang. Kamu akan tetap utuh bersama waktu.
“Lalu dimana letak muara penerimaan?”
Hanya dirimu yang tau, nanti setelah mampu bersahabat dengan waktu.
Silahkan menjemput apa yang seharusnya dibawa. Silahkan menuntaskan segala yang belum usai. Tidak melihatmu bukan berarti kamu tidak ada. Tidak mendengarmu bukan berarti kamu lesap. Tanpa kalimatmu bukan berarti kamu tamat.
“Tapi bagaimana jika yang tersisa adalah kata terlambat?”
Jika diperkenankan maka Sabtu Untuk Berlabuh minggu depan akan membayar kata terlambat dan mencoba belajar memaknai arti terlambat di tengah usaha untuk kembali utuh.
Pelan-pelan ya, satu-persatu. Seperti yang dikatakan oleh Muse dalam lirik lagunya : I'll be there as soon as I can, but I'm busy mending broken pieces of the life I had before.
8 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh - Terlambat
Untuk menjadi asli dan utuh sepenuhnya dibutuhkan proses yang mendalam, bukan hanya mengenai apa yang ada pada diri sendiri tapi juga relasi antara waktu dan keeksistensian diri. Butuh perjuangan besar untuk menerima apa yang sudah dilalui dan apa yang akan dihadapi.
"Apakah aku terlambat untuk memulai sesuatu hal yang baru?"
"Apakah aku terlambat atas hal-hal yang belum kumiliki?"
"Apakah aku terlambat untuk memahami diri sendiri?"
"Apakah aku terlambat atas hal-hal yang belum kulalui?"
Apakah kata terlambat benar benar ada dalam kamus hidup kita? Atau kata terlambat hanya ada pada batas antara kenyataan dan harapan? Sabtu Untuk Berlabuh kali ini akan membahas mengenai makna kata terlambat dalam perjalanan menuju hidup yang utuh.
Segala hal tentang keterlambatan selalu dimulai dari kata tanya kapan, entah tentang pekerjaan, jodoh, studi, kemapanan, anak dan lain sebagainya. Pertanyaan sederhana yang bisa menimbulkan perseteruan dengan diri sendiri.
"Sebenarnya kita terlambat berdasarkan value siapa? Terlambat dibandingkan siapa? Apakah patokan terlambat selalu berdasarkan angka, umur, ataupun gaji? Jika seperti itu apakah untuk menuju hidup yang utuh adalah serangkaian perlombaan antara manusia satu dengan yang lain?"
Seringkali terjebak dalam ranah waktu yang tidak pasti, sehingga tidak mau melakukan ini itu karena terlambat (menurut orang lain). Padahal yang seharusnya ada adalah sadar dan yakin untuk melihat lebih jauh dan lebih baik lagi. Ada peluang besar untuk menjadi diri yang utuh, sedangkan mendoktrinkan bahwa diri kita terlambat dalam beberapa hal dalam hidup justru bisa menjadi penghambat untuk meraih hidup yang utuh, karena merasa beberapa hal sudah terlanjur lalu kita tidak ingin lagi melakukannya.
"Merawat dan memberi nyawa hingga menjadikannya bermakna, untuk setiap hal yang membuatmu merasa hidup sekalipun sudah pernah redup."
Kemarin saya bertemu dengan salah satu klien perempuan berumur 28 tahun, beliau datang dengan membawa anak perempuannya yang berumur sekitar 4 tahun. Setelah berbincang mengenai banyak hal beliau tiba-tiba berkata kepada saya kurang lebih seperti ini,
"Menurut orang lain di umur saya yang segini sudah bukan waktunya lagi untuk mengejar hidup yang saya dambakan, maksudnya melanjutkan studi S2. Katanya akan kewalahan, apalagi saya sudah berkeluarga, sudah punya anak dan harus mengurus usaha keluarga di dua tempat sekaligus. Beberapa orang terdekat saya juga bilang sudah bukan umurnya lagi, dalam artian terlambat. Harusnya dari dulu-dulu sebelum menikah dan sebelum punya usaha. Bagi saya hal-hal di atas ataupun saran-saran mereka terdengar normal, tidak apa-apa dan sangat saya apresiasi, itu adalah pendapat dan penilaian mereka. Hanya saja yang perlu kamu ingat adalah sudut pandang dalam hidup ini tidak hanya satu arah, begitu pula dengan pendapat orang lain yang tidak bisa langsung dijadikan sebagai penilaian yang pasti. Ada beberapa hal yang tidak mereka ketahui, salah satunya adalah saya memang harus menikah terlebih dahulu dan membangun usaha dari 0 sebelum saya berani mengambil studi lagi. Yang utama adalah output dari berbagai keputusan -yang katanya terlambat untuk dilakukan-, ya apalagi kalau bukan mencapai hidup yang seutuhnya versi saya. Tapi jangan lupa bahwa keutuhan hidup setiap orang berbeda-beda, jangan lupa juga untuk melihat dari kacamata mereka terlebih dahulu."
Semua stigma mengenai keterbatasan waktu sebenarnya muncul dari pola yang ada dalam masyarakat. Tidak perlu khawatir jika merasa perubahan yang terjadi pada diri kita terasa terlambat karena kesempatan untuk memperbaiki diri senantiasa terbuka lebar. Hanya saja ada yang bersegera, menunda nunda, bahkan lari darinya. Tidak ada kata terlambat untuk menempuh hidup utuh seperti yang kita dambakan asalkan kita mau dan yakin. Seperti yang pernah ditulis oleh Taufik Aulia, “Menyegerakan tapi tak buru-buru, menyiapkan tapi tak buang-buang waktu. Waktu yang tepat adalah titik temu antara rencana yang terukur dan realitas yang mujur.”
Dari Sabtu Untuk Berlabuh kali ini aku belajar bahwa untuk dapat bertumbuh dan meraih keutuhan diri alangkah baiknya tidak menjadikan patokan orang lain menjadi penghalang hidup, melainkan sebagai pengingat bahwa kita adalah manusia biasa yang pernah lalai, tidak disiplin terhadap waktu dan berbuat salah. Kapanpun hasrat untuk berubah itu datang, jangan anggap ada kata terlambat karena keinginan untuk berubah lebih baik lagi selalu datang di waktu yang tepat. Tidak lebih cepat, tidak lebih lambat, seberapa kuat usaha dan keyakinan kita serta seberapa luas sabar kita untuk mencapai aktualisasi diri yang sesungguhnya.
8 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh – Jogja
Percaya atau tidak, ada beberapa kota yg memiliki magnetnya sendiri dan menarik kita untuk kembali ke sana. Ya, salah satunya adalah Jogja. Maka Sabtu Untuk Berlabuh kali ini ijinkan aku memilih untuk tinggal di linimasa “jika aku punya selamanya”, menikmati Jogja dengan segala ketenangannya sampai tidak ada batasan waktu.
“Mau datang berapa kali atau mau ada sekian kemalangan, Jogja masih tetap menjadi tempat ternyaman untuk mengaduh.”
Menggambarkan Kota Jogja seperti buletin, yg setiap hari menerbitkan banyak sekali bahan bacaan yg sangat mengasyikkan. Dengan penerbitan buku tersebut, fakta-fakta menjadi lebih hidup, menjadi lebih terang dan menjadikan kota yg tidak terlalu banyak bicara, pun tidak bising. Kota yg ramah, menyambut bahagia pengunjungnya, seperti ingin memeluk dan menghangatkan hati mereka. Jalanan yg membuatnya semakin dekat, dengan segudang cerita yg mengantarkan ke dunia mimpi. Sesederhana aku menyukai hobiku sendiri, tidak perlu alasan yg muluk untuk jatuh cinta pada kota ini. Mendapatkan sesuatu yg selama ini dicari, banyak hal yg bisa mendorong untuk bisa selaras dengan misi yg dimiliki. Suka dengan hawanya yg mampu membuat pengunjung merasa hidup kembali, seperti diberi suntikan semangat. Malioboro yg tidak pernah sepi meski sebagian pengunjung ada yg menyendiri, sibuk melahap bacaan-bacaannya. Angkringan yg menyatukan percakapan menjadi gagasan. Berburu buku filsafat di dekat taman pintar dan sesekali bertukar cerita dengan orang asing ketika di perjalanan menuju ke suatu tempat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kota yg istimewa terkadang hanya menjadi pemberhentian sementara.
Jogja sudah terbiasa dengan pertemuan, pun terbiasa menyimpan romansanya sendiri di selasar museum kota sehingga ketika orang-orang pergi mereka tidak lagi merasa khawatir akan memori yg pernah ditinggalkan. Bahkan dikenang dalam sebuah lagu berjudul “Sesuatu Di Jogja” oleh Adhitia Sofyan. Ada yg mengatakan tentang jatuh cinta dan hal-hal manis lainnya. Di kota ini semua gagasan dikemukakan dalam bentuk sandiwara-sandiwara kecil yg estetik.
Tapi Jogja juga punya tempat spesialnya untuk menyambut kesendirian dan keambyaran, seperti ring road utara dan selatan. Sesekali menikmati kesedihan di atas kendaraan, dengan pemandangan kendaraan lainnya yg saling berlalu lalang, karena ada yg mengatakan tidak afdol jika di Jogja tidak patah hati. Meski begitu Jogja masih tetap terasa ramah walaupun sekadar berjalan-jalan sendiri di sekitar Malioboro. Hal ini tidak sedikitpun merubah romantisasi Jogja.
"Hanya dua hal yg kurang, bertemu dengan penulis-penulis asli Jogja dan menghadiri event-event seni di sana. Rasanya belum sempurna ketika belum ada kesempatan untuk melihat pameran seni ataupun buku."
Jogja bagian selatan juga tidak kalah sentimental untuk dinikmati ketenangannya, apalagi di saat mencoba sepeda lampu di malam hari. Semilir angin dari arah laut yg menyentuh kulit di saat kaki sedang mengayuh sekuat tenaga, sesederhana dianalogikan bahwa di dalam diri kita masih terselip usaha untuk tidak berhenti dan berbalik, meski sering kali ada luka yg tidak sengaja terbuka oleh goresan angin malam.
Benar adanya bahwa setiap kota yg pernah dikunjungi selalu mengajarkan tentang perjalanan hidup. Berkat mengayuh sepeda lampu sekarang aku mengerti mengapa terjatuh dari sepeda sering dijadikan simbol pengalaman berharga, karena ketika kita mengayuh sepeda kita mengayuhnya dengan kaki kita sendiri, mengendalikan arah setang dengan kedua tangan dan memegang kendali atas usaha kita sendiri. Ketika sepeda tiba-tiba tergelincir kita ikut terjatuh, padahal sudah sekuat tenaga menahan agar tidak terjatuh ke aspal, ya kan? Sama seperti ketika kita mengendalikan setiap perjalanan hidup dengan segala usaha yg dikerahkan semaksimal mungkin, semata-mata agar sepeda yg kita tumpangi bisa terus melaju dengan kecepatannya sendiri. Ketika sepeda kita tergelincir karena aspal yg kasar atau terpental karena terhalang oleh batu di tengah jalan, siapa yg patut untuk disalahkan? Tidak ada, karena aspal dan batu adalah suatu objek yg tentunya di luar kendali dan di luar kehendak dari usaha kita dalam mengayuh sepeda. Lalu kita dihadapkan pilihan untuk berhenti dan merawat luka karena terjatuh tadi atau kembali mengayuh dengan mengerahkan segenap tenaga pada kaki yg masih sempoyongan. Semua kembali pada seberapa kuat kaki dalam mengayuh sepeda, begitu pula jarak yg ditempuh akan selalu berbanding lurus dengan usaha. Pada akhirnya berada di tempat ini adalah pilihan, mau pergi atau singgah atau tetap tinggal. Tapi mengambil jeda dan beristirahat sejenak juga perlu, sekadar mengisi energi positif sebelum kembali mengayuh sepeda lagi. Jangan terlalu ngoyo (memaksakan diri).
“Jogja, terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.” – Joko Pinurbo
Dari Sabtu Untuk Berlabuh kali ini aku belajar bahwa setiap tempat yg istimewa dapat menjadi rumah atau hanya menjadi tempat singgah. Ada kalanya bermakna wilayah, ada kalanya justru bermakna lebih dalam dari perasaan manusia itu sendiri. Rasanya tidak asing lagi bukan? Hehe. Sekali lagi, semua tergantung mau pergi atau tetap tinggal. Maka carilah tempat yg mau mengerti dan menerimamu, sekaligus menjadi semangatmu untuk tidak lagi menghindari hidup. Seperti membawa jawaban yg seharusnya hanya waktu yg bisa menjawab. Yg terpenting di sana- jangan lupa untuk bahagia.
“Jika di Jawa Timur ada Malang, di Jawa Tengah ada Jogja, maka di Jawa Barat ada Bandung.”
Salam susah sinyal dari tepi selatan Jogja dan dariku yg menulis ini sambil asyik menikmati nasi goreng di pertengahan malam, ditemani hawa yg dingin dan celotehan orang-orang metropolitan. Seketika mengingatkanku pada masa ketika menjadi panitia ospek Megalodon di semester 4 dan 6. Oh it's always a good time ^^
"Dan Jakarta muram kehilanganmu, terang lampu kota tak lagi sama. Sudah saatnya kau tengok puing yg tertinggal, sampai kapan akan selalu berlari. Terbawa lagi langkahku ke sana, mantra apa entah yg istimewa."
12 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh – Reputasi
Banyak kejutan dalam hidup tidak terlepas dari sikap kita kepada orang lain, prinsip memanusiakan manusia yg tidak pernah bisa kita hindari. Jadi ingat perkataan Shakespeare, "Bersikaplah seolah-olah Anda sudah mempunyai sifat baik itu, meskipun Anda belum mempunyainya". Oleh karena itu Sabtu Untuk Berlabuh kali ini akan tinggal di linimasa “Jika tidak ada jika”. Konsep yg mengharuskan kita untuk tetap sadar dengan apa yg ada pada saat ini, apa yg sedang kita jalani dan apa yg kita pegang teguh hingga saat ini, tidak memikirkan apa yg sudah terjadi dan tidak pula mengkhawatirkan akan masa depan yg belum datang.
Hampir semua perkembangan di sekitar kita adalah berkat orang-orang yg skeptis terhadap apapun, sebagian dari kita berani menantang dan berkata, “Buktikan saja karena semua orang mudah berbicara.” Lalu di lain waktu tantangan itu semakin besar, bahkan berat bagi sebagian orang yg tidak terlalu percaya pada dirinya.
“Reputasi Anda terbentuk dari prestasi yg telah Anda raih…”
Tapi kabar baiknya adalah sengaja atau tidak sengaja kita selalu memberikan reputasi baik bagi orang lain, seperti contohnya “Kamu itu orangnya tekun. Kamu itu orangnya cerdas. Kamu itu punya bakat. Kamu itu orangnya pekerja keras, dsb” Dibandingkan dengan banyak kemungkinan yg ada dalam diri kita, rupanya masih banyak tenaga jasmani dan rohani kita yg tidak terpakai. Tenaga yg justru membuat orang lain bisa kembali percaya kepada dirinya. Demikian kuat tenaga kepercayaannya, sehingga tak ada seorangpun bisa menggoncangkannya. Ia yakin bahwa dalam diri orang lain terdapat banyak keajaiban-keajaiban. Begitu pula dengan dirinya sendiri, seperti menanamkan hal-hal baik sehingga suatu saat nanti berbuah dan bermanfaat bagi banyak orang.
“… dan tentunya pada akhirnya Anda akan meninggalkan sebuah legacy bagi orang-orang di sekitar Anda.”
Kekuatan reputasi yg tidak banyak orang tau, sekadar untuk menghidupkan kembali semangat dan keajaiban dalam hidup seseorang, yg tetap bisa hidup bahkan setelah raga kita mati. Ketika orang lain telah memberinya suatu reputasi nama, maka ada yg harus ia pertahankan. Seburuk-buruknya ia masih membawa beberapa hal baik yg tetap terpatri dalam dirinya.
“Berilah reputasi kepadanya, supaya ia terpaksa mempertahankannya.”
Banyak yg hidup jauh di bawah dan diantara kemungkinan-kemungkinan yg ada. Pada akhirnya dari Sabtu Untuk berlabuh kali ini aku belajar bahwa reputasi akan selalu bertaruh dengan perubahan dan tanggung jawab setiap orang. Memberikan reputasi baik adalah salah satu cara untuk memanusiakan manusia. Dengan tenaga itu, kita bisa membangkitkan orang lain untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yg terpendam. Dengan tenaga itu mereka bisa mencapai hasil-hasil yg akan kita kagumi. Ini tentang harga diri dan kebanggaan. Jika kita mau berpikir beberapa menit saja dan menggunakan beberapa perkataan yg taktis dan bijaksana serta menyadari keadaan orang lain, hal ini bisa sangat mengurangi rasa sakitnya. Dengan begitu kita bisa kembali menyadarkan bahwa setiap orang berhak diberikan reputasi yg baik.
Lalu bagaimana jika reputasi itu telah dilupakan dan hilang begitu saja? Menjadi transformasi dalam diri manusia yg jauh berbeda dari reputasi awalnya. Kira-kira apa yg menyebabkan seseorang berubah berkebalikan dari reputasi yg tampak selama ini? Jawabannya akan dituliskan di Sabtu Untuk Berlabuh setelah ini ya, anggap saja untuk membayar tulisan Sabtu lalu yg sempat tertunda.
3 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh - Dalam Perjalanan
Sabtu kali ini ditemani dengan perjalanan yg panjang dan lumayan melelahkan. Semoga masih kuat untuk menulis yaa.
Dalam perjalanan menuju keotentikan diri ada kalanya kita harus memberikan banyak hal, bukan lagi kehilangan banyak hal. Ada kalanya kita harus mendengarkan, bukan lagi menghakimi. Ada kalanya kita harus berani mengalah, bukan berarti betul-betul kalah. Ada kalanya kita harus melaksanakan apa perintah hati, bukan hanya mendengarkan. Ada kalanya kita harus lepas menjadi diri sendiri, bukan lagi karena keterpaksaan menurut versi orang lain. Ada kalanya kita harus membuat batasan pada orang-orang di sekitar kita, bukan lagi memaksakan untuk masuk dalam sebuah relasi. Ada kalanya kita harus berani meng-cut-off urusan duniawi yg mengganggu, bukan lagi meng-keep urusan yg bukan milik kita.
Dalam perjalanan kembali kepada diri sendiri, ada kalanya kamu harus terbiasa tanpa kehadiranku, karena saat ini aku sedang berada di persimpangan jalan yg sepi, melakukan banyak hal dengan lepas dan bebas tanpa ada rambu-rambu lalu lintas. Tidak ada lagi keterpaksaan untuk memenuhi ekspektasi orang lain tentunya.
Dari Sabtu Untuk Berlabuh kali ini aku belajar bahwa pada akhirnya ini adalah tentang kesiapan pada kepergian yg memang tidak dihadirkan untukku dan kesiapan pada kedatangan pejalan dengan tujuan yg sama denganku. Sabtu Untuk Berlabuh kali ini memilih untuk menjadi "jika aku punya selamanya", maka aku akan tetap menjadi seperti ini, dengan versi yg lebih baik tentunya, dan tetap akan menulis dengan perasaan yg tenang dan senang. Jika ada kebaikan yg perlu dibagikan maka dengan cara inilah hidup selamanya bisa terasa nyata, keotentikan diri.
Dan satu hal yg harus diingat :
Tumblr media Tumblr media
Same energy. Sebelum orang lain mengatakan kebanggaan mereka pada setiap rute yg kamu tempuh, ada kalanya kamu harus lantang mengatakan terlebih dahulu bahwa kamu bangga pada dirimu. Jangan cari substansinya, tapi lihatlah betapa kuat kaki dan pundakmu di perjalanan ini. Apabila kamu mempercayai perkataan mereka sebelum bisa mempercayai dirimu sendiri maka kamu akan terus menerus mencari validasi dari orang lain dan percayalah hal ini sangat melelahkan, karena pandanganmu terletak pada mata orang lain bukan pada hatimu. Sama seperti membentuk keontetikan diri, harus dimulai dari diri sendiri, pelan-pelan dan satu-satu.
"As your heart gets bigger and you try to figure out what it's all about. Life passes you by, don't waste your time on your own."
3 notes · View notes
jejaktanpajeda · 3 years
Text
Sabtu Untuk Berlabuh - Terbiasa
Sudah lama tidak berkunjung ke Tumblr, semoga saja tidak berdebu. Satu hal yang jelas, yaitu sudah melewatkan banyak hal yaa wkwk. Headline kali ini adalah Sabtu Untuk Berlabuh, terinspirasi dari konsistensi tulisan si Irfan, yaitu Rabu Lebih Dekat (Irfan Thofiq yang sebentar lagi nikah uhuy).
So here we go, Sabtu kali ini ditemani oleh selang kecil yang panjang, aroma obat yang tidak lagi membuat merinding, langit-langit dinding yang berwarna putih dan suara kursi roda yang menjadi alarm pagi. Takut? Ah tidak (lagi).
Aku tidak sempat melihat hiruk pikuk sosial media, dalam artian sibuk dengan jadwal yang telah diberikan sekelompok orang berbaju putih. Awal liburan yang membuatku bersyukur, karena jika berkunjung ke tempat ini di saat sedang liburan pasti tidak ada pekerjaan hehe, tapi jika aku berakhir di tempat ini beberapa minggu kemudian pasti kerjaan akan semakin tidak karuan. Yaa bisa dibilang nikmati apa yang sedang kamu alami saat ini.
Sembari menunggu dipanggil oleh orang-orang berbaju putih aku menikmati serial Netflix yang berjudul Alice in Borderland. Menunggu antrian adalah hal yang membosankan. Tapi mereka baik, terkadang mengajak ngobrol, menanyakan keluhan dan memberikan sepatah kata untuk meningkatkan semangat para pasiennya. "Tuhkan berat badan sudah naik banyak."
Setelah melalui aktivitas yang cukup mendebarkan akhirnya memutuskan untuk mengerjakan orderan 2 jasa rangkai surat (wedding letter dan apalogize letter). Asik, karena tidak membutuhkan banyak tenaga dan pikiran, kuncinya hanyalah 'menyulap perasaan di atas kertas'. Hingga tidak sadar sudah waktunya untuk makan malam.
Jadi ingat himbauan "Jangan menyia-nyiakan waktumu" dan "Manfaatkan waktumu semaksimal mungkin" sepertinya tepat jika dikatakan di tempat ini, ada beberapa yang tidak tau jika hari ini adalah hari terakhirnya, ada beberapa yang masih punya harapan bahwa dia punya selamanya, ada beberapa yang menjalani hari dengan berbuat baik sebisa mungkin. Hmm jika digabungkan cukup bagus untuk membuat runtutan lini masa, "jika aku punya selamanya, jika esok aku tiada, jika tidak ada jika". Eh kayaknya asik untuk ide mendatang (semoga jarang ada overtime kerjaan wkwk). Oke karena ini adalah Sabtu terakhir 2020 berarti harus membeli bullet journal, Ikigai & to do list planner, financial planner dan drawing book.
Dan yah memang lebih baik tidak berkunjung ke platform sebelah, karena kabarnya sedang berdebat mengenai cara berpakaian yang selayaknya. Well, mari kita amati dulu sebelum berkomentar ya. Ingat untuk selalu memanusiakan manusia, butuh banyak perspektif sebelum bisa menilai sesuatu.
Dari Sabtu Untuk Berlabuh kali ini aku belajar bahwa pada akhirnya setiap hal akan menjadi terbiasa jika kita mau membiasakan. Sampai bertemu di 2021! Konsistensi adalah koentji.
"And maybe you could sing it with me, do-do, do-do-do, do-do-do, do-do-do"
2 notes · View notes