Tumgik
#masakan primitif
dlantakbandang · 3 years
Text
Knowledge from Novels #1
“Baiklah. Coba kita misalkan dunia ini hanya sebesar kota. Ada seribu penduduk di dalamnya. Sebagian menjadi petani, pengrajin, peternak, tukang, sebagian lainnya menjadi pedagang, tentara, serta semua profesi dan mata pencarian hidup yang kita kenal. Katakanlah berabad-abad mereka hanya mengenal barter ikan ditukar gandum, jasa cukur rambut ditukar perbaikan atap rumah, atau seporsi masakan lezat dibarter dengan jahitan baju. Hingga salah seorang genius—kita sebut saja Mister Smith—menemukan uang. Kehidupan primitif mereka dengan segera berubah drastis, perekonomian kota kecil itu bergerak maju. Transaksi lebih mudah dilakukan, itu fase pertama muasal kegilaan ini.
“Sejak uang ditemukan, berbagai teknologi juga ditemukan. Era industri datang. Sumber minyak, emas, batubara, timah dan besi dekat kota mulai ditambang. Tenaga kerja semakin produktif, perhitungan efesiensi produksi dikenal, dan tuntutan atas kemudahan transaksi keuangan meningkat. Mister Smith kembali datang dengan ide mendirikan bank, membuat seluruh penduduk kota terpesona. Benar sekali, mereka butuh modal untuk membuat perekonomian melesat lebih hebat. Tetapi mereka ragu-ragu, siapa yang akan percaya dengan selembar kertas? Mister Smith melambaikan tangan. Tenang saja, bank akan mencetak setiap lembar uang dengan jaminan cadangan emas. Jadi, uang tersebut dijamin aman. Ada nilai pelindungnya di bank, dan ssemua orang harus menerima transaksi dengan uang. Penduduk kota semakin kagum. Luar biasa, itu ide yang brilian.
“Maka, bank mulai mencetak uang dengan jaminan cadangan emas. Sebagai pemanis, Mister Smith menjanjikan bunga untuk setiap orang yang bersedia menyimpan uang di bank. Mulailah, orang kaya berbondong-bondong meletakkan uang, sedangkan yang membutuhkan uang untuk modal usaha juga datang ke bank dengan janji membayar cicilan ditambah bunga. Kau tahu, salah satu penemuan klasik Mister Smith yang menjadi dasar ilmu ekonomi modern adalah bunga.”
“Nah, dengan adanya uang dan bank, akumulasi kekayaan mulai terjadi. Pada tahun nol, total uang beredar hanya seratus dolar, katakanlah begitu. Pada tahun kesepuluh, total uang beredar di kota melesat menjadi satu miliar dolar. Bagaimana bisa? Karena begitulah sistem perekonomian baru bekerja, begitu canggih melipatgandakan kekayaan. Kau letakkan uang seratus dolar di bank yang dijamin setara satu gram emas, lantas uang itu dipinjam orang kedua, si tukang jahit. Orang kedua ini menggunakannya untuk membeli mesin jahit terbaru pada orang ketiga, si pembuat mesin, si pembuat mesin punya uang seratus dolar sekarang, hasil menjual mesin. Dia bawa uang itu ke bank lagi, ditabung. Jadi berapa uang dalam catatan bank? Dua ratus dolar.
“Bank lantas meminjamkan uang itu kepada orang keempat, si nelayan. Si nelayan membelanjakannya untuk membeli kapal terbaru pada orang kelima, si pembuat kapal. Orang kelima membawa uang seratus dolar itu ke bank, menabungkannya. Begitu terus siklus perbankan yang canggih.
“Jadi, berapa uang seratus dolar itu sekarang dalam catatan bank? Tiga ratus dolar? Kau keliru. Uang itu tumbuh menjadi tidak terhingga, karena semakin banyak yang terlibat dalam mekanisme simpan-pinjam itu. Tanpa regulasi bank harus menyisihkan sekian persen sebagai cadangan, efek pengalinya berjuta-juta tidak terhingga. Padahal, come on, berapa sejatinya uang yang dipinjam cadangan emas? Ya, hanya seratus dolar, lantas bagaimana ribuan dolar lainnya? Itu hanya ada di kertas. Benar-benar ada di kertas, dalam catatan bank, dalam catatan kekayaan masing-masing.
“Perekonomian kota tumbuh tidak terbilang. Semua sektor produktif berlomba-lomba melaporkan keuntungan transaksi. Situasi berjalan aman-aman saja hingga puluhan tahun. Pada tahun kesepuluh, uang beredar di seluruh kota menjadi satu miliar dolar, dan situasinya mulai rumit, hanya segelintir orang yang menguasai uang-uang. Mereka adalah penduduk super kaya, yang terus rakus menambah nominal angka kekayaan mereka. Tidak pernah puas.
“Katakanlah pada tahun itu ada seribu penduduk kota yang meminjam uang untuk membeli rumah. Uang pinjaman dari bank dibayarkan kepada tukang-tukang untuk membuat rumah, dan tukang-tukang ternyata tidak menabung uang itu ke bank, melainkan dibelanjakan keperluan sehari-hari. Bank yang dikuasai segelintir orang kaya berpikir keras, kalau begini caranya, lambat sekali mereka bisa menambah kekayaan, uang itu tidak segera balik ke pundi-pudi bank tidak ada uang yang bisa diputar lagi, lagi, dan lagi. Tanpa uang, sistem bunga tidak bekerja, kekayaan mereka melambat. Mister Smith datang dengan ide lebih cemerlang. Dia ciptakan binatang yang disebut securitization. Bagaimana caranya? Seluruh kredit rumah itu jumlahnya ada seribu lembar surat perjanjian kredit, dikumpulkan saja menjadi satu, lantas dianggap sebagai produk, macam seribu potong tempe atau seribu ekor kambing, lantas dijual ke pemilik uang, penduduk super kaya lainnya, dengan imbalan bunga sekian persen yang dibayarkan setiap bulan plus cicilan. Tidak ada yang tertarik? Gampang, tinggal naikkan bunganya, tambahkan bumbu-bumbu janji semua aman, semua dijamin. Kalau ada masalah, semua rumah-rumah itu bisa jadi jaminan.
“Harga properti melesat naik, harga komoditas tidak terkendali. Karena juga bermunculan derivatif transaksi keuangan lainnya, Mister Smith menciptakan transaksi future: minyak bumi atau gandum yang dibutuhkan enam bulan lagi bisa dibeli sekarang, lantas uangnya bisa diputar kemana-mana, menjadi berkali lipat. Dan boom! Ribuan kredit perumahan tiba-tiba macet total, orang mulai berpikir harga-harga sudah tidak rasional. Harga komoditas jatuh bagai roller coaster, dan mulailah kekacauan merambat kemana-mana.
“Ide cerdas! Tentu itu brilian. Bank yang tadinya kekurangan uang, dengan cepat kembali punya uang. Banyak malah. Mereka tidak hanya sebagai pemberi pinjaman, tetapi sekarang sekaligus sebagai ‘nasbah’ bagi pembeli aset securitization tadi. Ide itu berhasil tidak tekira. Dengan uang hasil menjual seribu surat perjanjian kredit, bank leluasa mengucurkan kredit berikutnya ke penduduk kota. Bank menerima pembayaran dari nasabah setiap bulan. Uang itu dipergunakan untuk membayar pemegang aset securitization. Semua terkontrol, semua baik-baik saja, hingga tanpa disadari aset yang pada dasarnya hanyalah selembar kertas itu menggelembung tidak terkira.
“Bank tidak bisa menagih kredit ke penduduk kota, sedangkan pemilik aset securitization sudah mulai menagih. Panik, penduduk kota panik, si pembuat perahu, si pembuat mesin bergegas ingin mengambil uang di bank, padahal uang itu sudah dipinjamkan ke tukang jahit dan nelayan. Tidak ada uang di bank, hanya catatan pinjam-meminjam. Jaminan emas? Orang lupa bahwa itu hanya seratus dolar pertama. Posisi bank terjepit, atas-bawah. Tidak perlu seorang genius untuk menyimpulkan soal waktu seluruh surat berharga terjun bebas, tidak ada lagi harganya. Krisis aset securitization ini merambat kemana-mana.
“Itulah yang terjadi di kota kecil tadi. Nah, itulah yang terjadi di dunia saat ini. Sama persis. Krisis dunia akibat kredit perumahan. Masalahnya, di dunia yang sebenarnya, nilai akumulasi uang ratusan tahun sejak ditemukan, jumlahnya triliunan dolar, tidak terbayangkan. Kau tahu, berapa total utang negara kita? Hanya seratus dua puluh miliar dolar, kecil sekali dibandingkan akumulasi uang dunia yang berjuta kali lipat, hanya nol koma nol nol. Uang-uang itu hanya dimiliki nol koma dua persen penduduk bumi, yang terus rakus menelan sumber daya. Uang itu butuh tempat bernaung. Mereka sudah punya mobil, rumah, berlian, pesawat pribadi, dan pulau pribadi. Mereka juga sudah membeli hutan jutaan hektar di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Karena itu, mereka ciptakanlah berbagai produk keuangan untuk menampungnya. Tidak puas mendapatkan lima persen bunga bank, mereka menyerbu ke obligasi dan saham. Tidak puas juga, mereka menyerbu ke komoditas dan transaksi derivatif yang semakin rumit. Uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat berkembang biak, persis seperti mutasi genetik tidak terkendali.
“Padahal kita lupa, semua hanya kertas, bukan? Secara riil, kekayaan dunia tidak berubah sejak uang pertama kali ditemukan. Jumlah cadangan emas yang menjamin uang hanya itu-itu saja. Kau tadi bertanya apa? Aku tidak peduli kemiskinan, peduli setan, karena daya rusaknya itu-itu saja, busung lapar, kurang gizi. Tetapi kekayaan, daya rusaknya mengerikan. Bahkan uang yang berlimpah itu membuat orang tidak peduli wabah, kelaparan, perusakan alam, dan tragedi kemanusiaan lainnya.
"Kau pernah kuliah ekonomi, bukan?" Aku diam sejenak, menatap wajah gadis di depanku yang matanya membulat, masih mengunyah kalimatku. “Aku pernah kuliah ekonomi lima belas tahun lalu. Salah satu dosenku adalah profesor penerima nobel ekonomi. Kau bisa membayangkan, mahasiswa model apa aku di kelas. Aku pernah bicara tentang hipotesis bodoh padanya, andaikata dunia ini tetap menggunakan barter, andaikata dunia ini tidak pernah mengenal uang dan bunga, dunia boleh jadi akan jauh lebih adil dan makmur. Profesorku tertawa: 'Thomas, bagi pialang, pengelola danareksa, eksekutif puncak, orang-orang pintar, bagi mahasiswa sekolah bisnis terbaik dunia, kalian pasti akan lebih bersyukur karena uang dan bunga pernah ditemukan.’ Kami berdebat, sia-sia. Profesor itu ringan melambaikan tangan, ‘Kau lupa petuah bijak bapak ekonomi modern, pasar memiliki “tangan tuhan”, Thomas. Dia akan selalu membuat keseimbangan, bahkan meski harus meledakkan keseimbangan sebelumnya. Jadi, jangan pernah menulis macam-macam di kertas ujian, atau kau tidak lulus di kelasku.’ Nasihat yang bagus. Sejak saat itu aku tidak peduli omong kosong kemiskinan, Julia”.
***
——— Negeri Para Bedebah, Eps. 2 Nol koma dua persen penduduk bumi, hal. 18-24.
0 notes
faratans · 6 years
Photo
Tumblr media
Pleasee deh aah! Dijaman millenium gini, dah gak jaman makan dgn cara2 primitif begitu...! Menjijikan tauuu.. Hanya mitos2 aja yang konon katanya kalo makan daging anjing bisa menambah khasiat untuk kekuatan, kesehatan dan menambah vitalitas, manambah darah.tapi kenyataannya Tetep aja..encok mah encok, masuk angin ujung-ujungnya ya kerokan juga, lain hal kalo makan itu bisa bikin lu ga mempan kena bacok walupun kenyataanya ga mungkin juga khan !emang GatotKaca?! Gatotkaca aja ga makan daging anjing cooyyy.... Ada yang bilang karena sudah tradisi, padahal banyak sekali tradisi-tradisi yang tidak baik sudah ditinggalkan, dikarenakan sudah tidak relevan dengan jaman ini. hal yang tidak baik untuk apa dilestarikan. mungkin jaman dulu nenek moyang yang pola pikirnya belum maju, yang masih animisme dan dinamisme, belum mengenal agama, yang ilmu pengetahuannya belum banyak, yang tidak mengenal teknologi, bisa dimaklumi. tapi buat kita dijaman maju ini memenuhi kebutuhan kesehatan bisa didapat dari berolah raga dan makan-makanan sehat, yaitu 4 sehat 5 sempurna dan bisa ditambah vitamin,lagi pula vitamin itu sebagian besar didapat dari alam bisa dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan bukan dari daging anjing. Asal tahu saja,anjing yang dagingnya diolah menjadi RW atau B1 itu, sebagian besar didapat dari hasil mencuri dari pemiliknya.itu artinya pemakan daging anjing merupakan pendukung perbuatan kriminal dan praktek-praktek kejahatan dalam mendapatkan anjing dengan cara-cara yang kejam dan tindakan biadab diluar nalar kemanusiaan. (terbukti 100% kalo daging anjing yang beredar di lapo atau di olah menjadi RW adalah anjing curian) dauble khan dosanya..ditelan pula. Padahal saat ini banyak sekali makan makanan kekinian yang beraneka ragam baik dari mancanegara atau kreasi-kreasi masakan Nusantara yang beraneka ragam yang kalo dimakannya tanpa menelan dosa dikarenakan cara mengolahnya tanpa menyiksa dan mencuri peliharaan orang. Mari berubah menjadi manusia yang beradab dan bertingkah laku baik bukan hanya terhadap sesama tapi juga terhadap hewan, karena mereka juga tidak pantas diperlakukan sedemikian rupa..selain itu apa kata Dunia, jika ternyata pola makan kamu saja masih primitif apalagi pola pikir Mu.
0 notes
sukasukaakudongblog · 5 years
Text
Kota Aira #pt1
- Selamat Datang
Aira city, kota yang sekilas akan membuatmu takjub. Satu kota yang sangat mengagungkan tekonologi dan kemajuan. Mereka yang tidak ikut dalam perubahan dianggap primitif, kaum kalahan. Transportasi udara semakin padat, darat perlahan mulai ditinggalkan. Mereka sadar bahwa daratan tidak akan mampu menampung. Dan pada saatnya daratan kalah dan amblas. Seperti atlantis yang hilang ditelan bumi. Makanya mereka mulai mengembangkan teknologi udara. Banyak ilmuan, ahli, tukang, menggunakan kota ini sebagai laboratorium percobaan mereka. Pemerintah mengglontorkan dana dan masyarakat gagap bergembira menyambut kemajuan. Tetap saja masyarakat menumpang dan bayar pajak yang terus tambah tiap tahun. Pembaruan, pembangunan kota terlalu maju tapi menyedihkan. Siapa peduli dengan planet yang mereka tumpangi. Masyarakat tidak sadar sudah diperbudak dan dimanfaatkan oleh segelintir orang dengan segala ambisi dan obsesinya. Mereka ingin membuktikan bahwa manusialah makhluk paling sempurna dengan kecerdasannya.
Meski belum sepenuhnya meninggalkan daratan, sudah banyak rumah-rumah paduan aluminium alloy melayang seperti badan pesawat berdiri berundak dan berjajar, kereta beroperasi tanpa rel, separo kehidupan sudah di udara, seperti pemandangan kota melayang. Warga Aira menyimpan tanaman kecil seperti kecambah bercabang lima. Sudah menjadi peraturan kota, tiap rumah wajib menanamnya. Mereka tanam di dalam botol kaca dan dilingkarinya jimat-jimat seperti pohon keramat. Bukankah yang mereka lakukan tidak ada beda seperti nenek moyang mereka dulu. Kemajuan tidak dapat menghapuskan akar. Bagaimanpun mereka tetap makhluk ciptaan, takut akan kematian. Entah kenapa. Mereka begitu menjaga tanaman itu tetap hidup. Mereka sadar kota ini butuh pohon. Dari tahun ke tahun mereka kehilangan mesin penghasil oksigen, pohon masuk daftar kepunahan makhluk hidup di Aira. Dan sudah puluhan tahun pula saintis, botanis mencoba menciptakan pohon buatan. Salah satunya si V atau Virgia Radiate Plantae, kecambah cabang lima dan tanaman artifisial lainnya. Misi lain adalah menciptakan hutan buatan yang mampu hidup tanpa atau dengan sedikit tanah. Meski mereka paham itu semua tidak sebaik dan semurah hutan asli. Ya, manusia tidak bisa hidup tanpa oksigen.
Dibalik hiruk pikuk pembangunan kota, ada kelompok sayap kiri, terdiri dari ‘orang-orang biasa’ yang sadar akan kota mereka yang makin menggila. Mereka menyebut diri mereka Lubang Semesta. Mereka ingin memeluk daratan kembali, setelah merusaknya, meninggalkan milyaran sampah dan rongsokan. Meskipun begitu, mereka tetap hidup dengan kecanggihan teknologi yang ada. Lebih tepatnya memanfaatkan teknologi dengan bijak. Mereka ingin bertahan dengan ilmu warisan dan hidup diantara.
Mereka mengumpulkan buku, artikel, manuskrip dan sumber-sumber lain untuk pengembangan. Mencuri bentuk bangunan, rumah tinggi dengan tiang-tiang penyangga seperti panggung dengan kekuatan dan sesuai guna. Rumah semacam itu juga dibangun dibantaran kali. Menghindari banjir. Badan rumah dibuat minim sekat dan jendela lebar baik sirkulasi udara. Sempurna. Mereka menggunakan material yang paling tepat untuk kebutuhan mereka. Tidak cuma arsitek rumah yang mereka tiru, cara hidup dan pangan, salah satu misinya adalah membuat tanah subur kembali. Jika mereka berhasil, dengan kembalinya tanah dan mulai bercocok tanam, ada harapan. Mereka tidak lagi bergantung pada pil makanan dan bisa merasakan tekstur sayuran dan masakan lain.
Tidak mudah mengembalikan tanah dalam kondisi semula. Sama seperti sawah yang sudah berpuluh-puluh tahun disemprot dengan pestisida. Cara cepat memperoleh keuntungan dan pasok melimpah, disisi lain lingkungan tercemar dan mereka akan terus bergantung pada obat karena hama walang sangit semakin kebal dan kunang-kunang hilang. Mereka dulu sering dengar cerita tentang kunang-kunang, hewan malam yang terbang mengeluarkan cahaya seperti lampu. Jika melihat mereka diinternet berasa hidup di negeri dongeng peri saja. Andai hidup di masa itu, malam begitu romantis.
~bersambung..
Ipeh Nur
Maret, 2019
0 notes
Photo
Tumblr media
Kadang ngerasa kangen banget sama kampung halaman, Yang paling dikangenin adalah suasananya dan makanannya. Dan ini adalah salah satu makanan favorit aku disana waktu masih jadi cabe keriting, Hihihi... Namanya mie teboy, gak akan pernah ditemuin di manapun, bahkan resepnya pun gak ada waktu nanya di Mbah Google. Masakan ini lebih primitif dari pada suku pedalaman di Papua, Meskipun sebenarnya cuma kreasi masyarakat lokal setempat tapi rasanya itu yg gak bisa dilupain, Penasaran rasanya ? Bisa cek di blog ya.. Cirebon I Miss you #fotography #foodpict #foodatyle #foodphototgraphy #homemade #masakankhas #cirebon #makananrumahan #qoechingphie
0 notes