Mengapa sesuatu itu menarik, mengapa ia begitu mengagumkan, memanjakan dan membuat jatuh cinta. Mungkin salah satu jawabannya adalah, karena kita tak memilikinya.
Sering kali rasa ingin dan ketertarikan itu muncul dari hasrat yang primordial, bahwa kita ingin memilikinya. Lalu kita terdorong menguasainya dengan seluruh hasrat, kita menggapainya dengan seluruh kekuatan, tak tanggung-tanggung ambisi pun tumpah di sana.
Lalu, setelah sekian waktu, kita akhirnya mendapatkannya, dan kini ada dalam genggaman. Dan kita menyangka, keinginan dan hasrat kita itu berakhir di sana. Namun kita salah. Lagi-lagi kita menginginkan hal yang lain, tapi serupa. Kita beralasan dengan dalih yang sama saat memburu yang pertama. Terus menerus selalu dengan alasan yang sama. Hasrat kita tak pernah terpenuhi.
Karena kita tak memilikinya, lalu kita melihatnya dengan kaca mata yang berbeda dengan sesuatu yang telah kita miliki. Begitulah kita manusia, rasa ingin mengontrol kehendak kita, seringkali begitu liat, menghalalkan banyak cara dengan melupakan segala konsekuensi yang pada akhirnya membuat penyesalan.
Kita bisa berlama-lama nyaman membicarakan hal-hal yang dekat dan lekat dari pengalaman pribadi kita. Namun tanpa kita sadari kecenderungan ini semakin membawa kesadaran bahwa di hadapan persoalan ini kita ringkih dan tak berdaya dibuatnya.
Memang bicara dalam sebuah pertemuan untuk bertukar pikiran sedikit membantu menguatkan pertalian solidaritas. Tidak hanya semata mencari validasi namun juga membuka indra pendengaran untuk sebentar rehat dari konsumtif kita pada dendang kesukaan atau konsumtif membaca.
Namun lompatan besar teknologi rasanya semakin meminggirkan rasa dan indera kita. Entah apakah ini hanya dialami aku yang seorang sensitif, kok bisa ya miris rasanya saat melihat kenyataan orang tua dewasa ini memilih jalan praktis memberi gadget ke buah hati supaya tenang?
Kalimat diasuh sosial media atau gadget dan berbagai kekayaan media hiburannya agak seram karena hari ini tugas mendidik sudah diberikan kepada mesin, sebagian. Kemudian standar pola asuh menjadi kaku dan sedingin bapak psikologi yang rada ngawur dengan bedah mimpi jelas tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan pemulihan mental dewasa ini.
Belum lagi ambisi dan kecenderungan terobsesi akan kesempurnaan sudah membius kita dalam merespon hidup. Menggerus habis nalar, emosi bahkan sampai perasaan.
Lagi ada semacam kebiasaan asuh jaman dulu yang membiasakan si kecil itu untuk mencari kesalahan eksternal supaya kita merasa nyaman. Ironis jarang kita pertanyakan nyaman itu apa? Seberapa lama nyaman itu hadir, dan setelah itu ada episode apa lagi?
Kenapa tidak ada panduan mengelola respon kita yang lebih bisa kita kendalikan?
Rasanya mudah saja karena kebiasaan lekat dengan mesin membuat kita menjadi pribadi yang mudah berujar "dasar problematik", lalu lalang mencari kemana perginya kemanusiaan itu?
Apa iya kita menuju pada evolusi mahluk dingin yang rentan ringsak dan mudah saja terganti seperti barang sekali pakai?
Kalau dipikir-pikir setelah jauh manusia mencoba mengejar keberadaban madani sampai sekarang, sebenarnya semua ini untuk apa?
Apakah sepadan dengan pengerusakan lingkungan dan terampasnya hak hidup kita? Entahlah..
Story about #Kahin_Aur_Chal1968Producer #JaalMistryDirector #vijayanandLyricists #Shailendra &#HasratJaipuriMusic by #ShankarJaikishan#DevAnand #AshaParekh#shankarjaikishan#shankarjaikishanji#shankarjaikishanemperorsofHFM#shankarjaikishanmaestrosofthemillennium
Tidak Sulit Memahami Orang Yang Pemikiran Dan Keinginannya Terstandarisasi
Tidak Sulit Memahami Orang Yang Pemikiran Dan Keinginannya Terstandarisasi
Hidup ini hanya untuk dimengerti tetapi kehidupan enggan memahami keinginan pribadi kita. Sebab segala yang terjadi sudah sewajarnya: sesuai dengan hukum Tuhan & peraturan yang disepakati bersama. Sedangkan keinginan kita belum tentu terstandarisasi.
Ide singkat cerita.
Tidak mudah untuk memahami kehidupan. Salah sedikit kita memahami situasi, bisa-bisa pikiran kotor berkembang, sedang perkataan…
When Franz Kafka wrote, "I long for you; I who usually longs without longing, as though I am unconscious and absorbed in neutrality and apathy, really, utterly long for every bit of you."
When Hasrat Mohani said, "chahat meri chahat hee nahi aap ke nazdik, kuch meri haqiqat hi nahi aap ke nazdik"
When Vladimir Nabokov said, "Today I can't write about anything except my longing for you."