Tumgik
#analoge kamera
sigalrm · 1 year
Video
Pentacon Six TL by Pascal Volk
2 notes · View notes
portraitsaushx · 2 years
Text
Shootingausschreibung
Nur Du, Ich und 36 Fotos… Ich suche ein weibliches Fotomodel für folgendes “alternative” Fotoshooting. Es soll ein Fotoshooting auf die altmodische Art mit einer analogen Kamera und einem 36er Schwarz/Weiß Film durchgeführt werden. Die Shootingdauer soll ca. 60 Minuten betragen und im Umfeld der Höxteraner Innenstadt stattfinden.Deine Outfits für das angebote Shooting sollten Kontrastreich…
View On WordPress
0 notes
matempapatyasi · 8 months
Text
Bir pikap , bir analog kamera , bir de İzmir her şeyimi geçirebilir.
10 notes · View notes
clssecurity · 1 year
Text
Kaufen Sie eine Überwachungskamera mit professioneller Installation bei CLS-Security. Es gibt viele verschiedene Modelle von IP-Kameras die richtige für Sie auszuwählen. Sie CCTV-Überwachungskameras für möchten Sie Ihr Zuhause instand halten? Alles, was Sie brauchen, ist eine IP-Kamera, die in der Umgebung platziert werden kann, drinnen und draußen, damit alles, was in der Umgebung passiert, immer unter Kontrolle ist.
2 notes · View notes
michaela-bodensee · 3 months
Text
Ich habe ein neues Video auf YouTube hochgeladen. Ich erzähle euch kurz, wieso ich wieder begonnen habe mit richtigen Kameras zu fotografieren und zeige ein paar der Kameras, die ich benutze und die ich mir letztens gekauft habe
youtube
0 notes
rajacctvpalembang · 1 year
Text
Tumblr media
#RAJA CCTV Palembang adalah sebuah perusahaan yang menyediakan jasa pemasangan CCTV#servis CCTV#dan juga menjual produk-produk CCTV di kota Palembang. Sebagai penyedia layanan CCTV#RAJA CCTV Palembang memastikan bahwa produk yang dijual dan diinstalasikan adalah produk berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau.#RAJA CCTV Palembang menawarkan berbagai produk CCTV yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan#seperti pemantauan rumah#gedung perkantoran#dan toko. Produk yang ditawarkan mencakup CCTV analog#IP#dan semua jenis pelengkap kamera CCTV.#Pada dasarnya#CCTV analog dan IP adalah dua jenis sistem CCTV yang paling umum digunakan. CCTV analog adalah sistem yang menggunakan kabel koaksial untuk#CCTV IP menggunakan jaringan internet untuk mentransfer data video dari kamera ke monitor. Keuntungan menggunakan sistem CCTV IP adalah kem#RAJA CCTV Palembang memiliki staf yang terlatih dan berpengalaman dalam instalasi dan pemasangan CCTV. Selain itu#RAJA CCTV Palembang juga memberikan garansi untuk setiap produk yang mereka jual dan layanan yang mereka berikan#sehingga pelanggan dapat merasa yakin dengan kualitas produk dan layanan yang mereka terima.#RAJA CCTV Palembang juga menawarkan layanan servis CCTV#yang mencakup perbaikan dan pemeliharaan sistem CCTV. Layanan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sistem CCTV berfungsi dengan baik d#Selain menjual dan memasang CCTV#RAJA CCTV Palembang juga memiliki toko CCTV. Di toko ini#pelanggan dapat melihat produk-produk CCTV yang ditawarkan secara langsung dan berkonsultasi dengan staf tentang produk yang sesuai dengan#Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam bisnis CCTV#RAJA CCTV Palembang memastikan bahwa produk-produk dan layanan yang mereka tawarkan berkualitas tinggi dan terjangkau. Mereka juga berusaha#https://cctvpalembang.co.id/
1 note · View note
teleprisma · 1 year
Photo
Tumblr media
I got this old analog camera yesterday and find it fits perfectly into my concept. It was a discount model in its day, is beautifully used and worn, and offers me a good introduction to analog photography, without any hipster frippery or fancy accessories.
The next step will probably be to buy black-and-white photographic film, i guess.
1 note · View note
lucias-fotos · 2 years
Photo
Tumblr media
#photography #photo #photographer #man #dog #doglover #street #streetstyle #streetart #film #filmphotography #analogphotography #analog #analogfilm #analogcamera #kamera #italy #colorful #colorfuphotography (hier: Italy) https://www.instagram.com/p/CUp7e5eIBXM/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
kurniawangunadi · 2 years
Photo
Tumblr media
Tinggal di Bandung dalam periode 2009-2014 adalah masa-masa yang kurasa telah membentuk lebih dari separuh cara berpikir yang saat ini kumiliki. Cara berpikir yang sangat berbeda dibandingkan dengan 19 tahun sebelumnya dari aku kecil hingga lulus SMA.
Karena harus berhemat, tahun pertama dan kedua kuliah mencari kosan yang harganya tidak sampai 3 juta/tahun yang terletak di bantaran sungai cikapundung. Benar-benar kalau hujan itu rasanya kosan ini mau ikut hanyut, karena bisa mendengar derasnya aliran sungai. Kamar yang ukurannya juga tak lebih dari 2.5 x 3m dan harus muat untuk kasur, lemari kecil, lemari baju, dan dispenser, dan juga ricecooker. 
Keadaan yang memang harus berhemat itu memaksa untuk berpikir bagaimana caranya menambah pendapatan sendiri, diawali dari berjualan donat masjid salman untuk menutup biaya makan siang, berlanjut ke jualan barang-barang hobi akibat sering berselancar di facebook. Akhirnya jualan mainan diecast dan kamera analog. Ada hasilnya, lumayan, alhamdulillah. Jualan jasa gambar juga, ada hasilnya, alhamdulillah. Bantu jualan jaket angkatan, jualan apapun saat itu. Meski apa yang dihasilkan secukupnya untuk biaya makan.
Tapi, kondisi tersebut telah membuat mentalku cukup berani mengambil risiko, tidak malu untuk berdagang apa saja, dan juga memaksaku untuk bisa menyelesaikan sekolah dengan baik,
Apa yang kupelajari di jurusan, membangun cara berpikirku selama menulis. Pertemanan di sana, mempertemukanku dengan banyak sekali orang yang berperan dalam setiap proses bertumbuh yang kulalui dari remaja tanggung, patah hati, kebingungan pasca kuliah, menentukan tujuan, meyakinkan diri jadi penulis, dan banyak lainnya.
Rasanya, lima tahun telah menjadi sebuah waktu yang berat tapi sekaligus waktu yang paling kusyukuri. Sekarang, ketika harus menghadapi hal baru, membangun usaha baru, dan lain-lain. Aku sadar bahwa tahun pertama, kedua, ketiga bukanlah waktu untuk memetik hasil, Melaikan melewati rasa lelah, pusing, sakit kepala, gelisah, dan segala hal yang bagiku lima tahun pertama itu sangat “worth-it” untuk kita korbankan dibandingkan kita menyesali tahun-tahun setelahnya.
Nggak apa-apa mengorbankan lima tahun, tapi puluhan tahun setelahnya kita bisa memetik hasilnya. Tapi dengan kondisi sekarang, tidak banyak yang bersedia berkorban selama itu. Belajar setahun pun belum tentu bisa mengorbankan waktu dan rasa lelahnya. Tapi, berharap segala urusan hidup lancar tanpa aral, hidup berjalan seperti kehendak. Sayangnya, rumus hidup tidak demikian.
Karena tahu tidak seperti demikian, aku bersedia, melewati tahun-tahun pertamaku meski aku tahu itu tidak menyenangkan.
214 notes · View notes
mona-liar · 3 months
Text
I kinda want to buy a small digital kamera to keep in my coat pocket bc I don't really like taking pictures on the phone and chugging along an analog kamera becomes quite a hassle but all that's offered is not what i'm looking for :( or ultra expensive like 500€+
8 notes · View notes
wladimirkaminer · 10 months
Text
Neulich hat mich das Schicksal nach Babelsberg verschlagen. Einmal war ich schon hier, vor einem Vierteljahrhundert, beim Nachdreh für die amerikanische Filmproduktion „Enemy at the Gates“. Die ursprüngliche Variante hatte nach Meinung der Produzenten ein zu schmales Happy End, es sollten mehr Blut und Tränen fließen. Ich war einer von tausend Komparsen, die sowjetischen Soldaten spielten. In eine Uniform der Roten Armee verkleidet, mit einem großen angemalten Blutfleck in Bauchhöhe saß ich auf einem Panzer und lächelte fröhlich in die Kamera. Man hatte  mir gesagt, dass ich ernst schauen soll und ich dachte naiverweise, die Amerikaner mögen Menschen, die immerzu lächeln. Wenn ich gut lächel  nehmen sie mich vielleicht nach Hollywood mit.
Wahrscheinlich fanden sie meinen Gesichtsausdruck mit der mir angemalten Verletzung aber nicht kompatibel, die Amerikaner haben mich nicht nur in Deutschland sitzen gelassen, sie haben sogar meine ganze Panzerszene aus dem Film rausgeschnitten. Im Nachhinein bin ich den Amerikanern dafür dankbar, dass aus meiner schauspielerischen Karriere nichts geworden ist. Dafür durfte ich jetzt für das deutsche  Kulturfernsehen 3 Sat eine Dokumentation über Babelsberg drehen. Babelsberg ist ein Friedhof der Träume. Nichts ist in diesen Filmstudios so wie es scheint, alles Attrappe. Die Kunst bildet bekannterweise nicht nur die Realität ab, sie schafft Realität, die wir von der Wirklichkeit nicht immer unterscheiden können.
Nach einer Woche, die ich in Babelsberg verbrachte, kam ich zum Schluss, dass vieles, was ich für meine eigenen Erinnerungen hielt in Wahrheit nur Szenen aus irgendwelchen vor langer Zeit gesehenen Filmen waren. Der Drehort Babelsberg ist vor 120 Jahren entstanden, damals hatte die Stadtverwaltung verboten, in den Wohnvierteln Berlins Filme zu drehen. Die bevorzugten Orte für Dreharbeiten waren Dachgeschoße in  Wohnhäusern, statt Scheinwerfer benutzte man leicht entzündliche Chemikalien und manchmal Fackeln, das analoge Filmmaterial fing Feuer und explodierte wie Schießpulver, sehr zu Verwunderung der Bewohner und dem Unbehagen der Feuerwehr. Also hat man die Kinematographie in Wohngegenden streng verboten. Deswegen haben dann schlaue Künstler in einer leerstehenden Kunstblumenfabrik in Babelsberg Berliner Fassaden nachgebaut. Inzwischen haben sie dort eine ganze Hauptstadt-Attrappe, ursprünglich für die Serie „Babylon Berlin“ gebaut und danach für alle möglichen Filmproduktionen benutzt. Der Hauptstadt-Fake besteht aus vier typischen Berliner Straßen. Es sind zwar nur Fassaden, sie sehen aber wie echt aus, man kann dort schnell eine Abkürzung von Charlottenburg in den Wedding nehmen, oder durch eine Tür im Westen reingehen und eine Sekunde später durch eine andere Tür im Osten rauskommen. Das ist für Verfolgungsjagden perfekt. Überhaupt ist das nachgebaute Berlin viel schöner als die echte Stadt, sauber gefegt, mit lustigen Gardinen an den Fenstern und ohne lästige Touristen, überhaupt ohne Menschen und ohne Verkehr. Jede Stadt sieht ohne Menschen und ohne Verkehr besser aus, Berlin ist aber besonders schön.
Das Filmstudio Babelsberg hat die ganze deutsche Geschichte mitgemacht, zur Zeit der Weimarer Republik anarchistisch verspielt, danach strammer Nazi, dann romantischer Kommunist und nach dem Mauerfall ein knallharter Kapitalist, der mit der ganzen Welt Geschäfte machte. Natürlich war das alles nur Attrappe. Es ging hier schon immer um die Kunst, die Politik benutzte man als Ausrede. Im Museum der Filmgeschichte Babelsberg sind viele Raritäten aus den hundert Jahren ausgestellt, besonders attraktiv und liebevoll wurde jedoch die Geschichte der DEFA erzählt, das niedliche Sandmännchen, der allen, auch Erwachsenen seinen sozialistischen Sand in die Augen streute, das Bett von Paul und Paula mit einer hüpfenden aus Karton ausgeschnittenen Paula in der Mitte und die drei Original- Nüsse vom Aschenbrödel liegen hier unterm Glas, es sind erstaunlich kleine Nüsse, ich hatte sie viel größer in Erinnerung.
Von modernen Filmproduktionen ist im Museum nichts zu sehen. Sie hinterlassen kaum Artefakten. Heute werden die Filme hauptsächlich digital gedreht, die hinterhältige künstliche Intelligenz übernimmt langsam, aber sicher die Filmbranche. Ursprünglich war es eigentlich ganz anders gedacht. In meiner Kindheit war viel von der Robotisierung der Arbeitsprozesse die Rede, es ging in erster Linie darum, dass die Maschinen uns die schwere Arbeit abnehmen, Straßen fegen, Röhren legen und Brücken bauen. Sie sollten Post austragen und Brote backen, während wir von der lästigen Pflicht des Frühaufstehens und der körperlichen Anstrengung befreit uns dem Kaffeetrinken widmen und kreativen Tätigkeiten nachgehen. Genau das Gegenteil ist dabei herausgekommen: Die KI übernimmt die kreativen Berufe, sie möchte malen, dichten, Musik machen, Bücher schreiben und tanzen. Und wir sollen fegen und backen. In Babelsberg hat sich die KI ein eigenes digitales Studio aufgebaut, ein kleiner Raum mit weissen Wänden und Böden wie in einer Irrenanstalt. In die Wände hat man 36 Kameras installiert, die von jedem Mensch schnell eine digitale 3D-Kopie erstellen und abspeichern können.
Abschließend wird dieser abgespeicherte Mensch durch die Landschaften seiner Wahl geschickt, er kann sprechen und Grimassen schneiden, er kann sich selbst Regieanweisungen ausdenken. Die Modelle werden immer echter, die Stars aus Hollywood haben sich leichtsinnig klonen lassen und wissen gar nicht mehr, wie viele sie jetzt sind. Es ist wohl schon vorgekommen, dass irgendwelche künstlich erzeugten Clooneys von sich behaupteten, sie seien die echten. Die Schauspieler sind verständlicherweise in Panik und patentieren ihr Aussehen, damit sie, wenn sie schon nicht mehr mitspielen, dann in Zukunft mindestens die Tantiemen fürs Benutzen ihres Aussehens bekommen - Almosen, die uns die künstliche Intelligenz großzügig überläßt. Manche Clone zucken noch ab und zu ungefragt mit dem linken Auge, doch die Entwickler sind sich sicher, so schnell wie die Maschinen rechnen, wird bald ein geklonter Schauspieler nicht mehr vom echten zu unterscheiden sein. Zurzeit hinkt es noch ein wenig bei der Stimmwiedergabe, erzählten mir die Macher. Eine Stimme ist schwieriger zu berechnen als das Aussehen. Wenn jemand klar und deutlich wie ein Nachrichtensprecher spricht, dann ist so eine Stimme nachzumachen kein Problem. Doch einen russischen Akzent kann die KI zum Beispiel nicht glaubwürdig nachahmen, Auch wenn jemand nuschelt, lispelt oder stottert. Das bringt die KI in völlige Ratlosigkeit. Ich vermute, bald werden wir alle stottern lernen müssen.
6 notes · View notes
ixiart · 4 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
bu sıralar "yakalan-an-lar" isimli bir fotoğraf dizisi üzerindeyim. telefonla çekiyorum herbir şeyi, direkt kamera uygulamasından; fiziksel olarak kamera üzerindeki koruyucu camda ince kırıklar var, ışığın geliş açısına göre bir takım sürprizler açığa çıkıyor fotoğraflarda.. bu bana analog bir kameranın kafasını veriyor..
bakırköyde çocukluğumda bu binanın önünden minibüsle geçerek okula giderdim, dönem dönem fotoğraflarını çektim, belki 15 yıllık bir geçmiş çizgisinde üç/dört farklı dönemden fotoğraflar var elimde.. binaya dair hiçbir bilgiye, fikre sahip değil-dim. -kimindir, neden ve nasıl incirli caddesinin en gözde yerinde bu yapı böylece bekler ayakta, bahçesinde yer yer yaşamın izlerini taşır, bunca rantın içinde bu derin ve güzel bahçesiyle herkes gözünü buraya dikmiş olmalı.. sadece hayallerim vardı, edgar abimizin verdiği ilhamla, gizemli, büyülü bir koruma çepheri olan bu yapıda yaşayanları düşünürdüm, çok iyi insanlar olmalıydı, geçmişte öyle saf ve güzel çocuk ve kuş sesleriyle sarılmış olan bu ihtişamlı yuvada hala hayaletleri kol geziyor, işte böylece kimse buraya dokunamıyordu.. ama zamanla ahşap keresteler ve camlar bırakıyorlardı kendini, dingince dağılıyor ve renk değiştiriyorlardı..
geçtiğimiz günlerde bakırköyde bir işim vardı, binayı izleyip çeşitli açılardan bu hayallerle etrafında dolanıp fotoğraflar çekerken kendi kendime bu kurgusal geçmişin izlerini buluyordum her yerde, kediler de eşlik ediyordu işte bir işaret gibi dolanıyorlardı binada.. o kedi bir şövalyenin ruhuna sahipti ve bölgesini koruyordu.. derken o sesi işittim,
-kızım neden çekiyorsun buranın fotoğraflarını.. hikayesini biliyor musun?
arkamı döndüğümde bu yaşlı çiftin sıcaklığıyla sarsıldım..
-ah hayır, hikayesini bilmiyorum? burayı çok severim? küçüklüğümden beri.. kaydediyorum.
-burası kurtuluş savaşında istanbul'da savaşan paşanın evidir, yıkamıyorlar, dahası..
diye hikayeyi anlatmaya başladı amca, teyze de arada lafa giriyor, yok o öyle değil, şöyle diye hikayeyi pekiştiriyor, güçlendiriyordu.
şimdi bu hikayeyi açık etmeyeceğim, sanırım binanın yaşamaya devam etmesi için bu hikayeyi saklamalıyız.
yaşlı çifte teşekkür ettim, birbirimizin elini sıktık, gülümsedik ve ben bu hikayenin bende yarattığı heyecan ve yaşadıklarımı anlamaya çalışırken biraz hızlı adımlarla yürümeye başladım, yaşlı çift gerimdeydi, kafamda olan biten dönüyordu, onlar birbirinin kolunda ağır adımlarla benimle aynı yönde yürüyordu.. dönüp bakmaktan kendimi alıkoyamordum.. sonunda durdum. -heyyy, fotoğraflarını çekmeliyim! biraz sonra yanlarına vardım ve onlardan izin istedim, amca ilk anda gönülsüz gibiydi ve sonra hadi çek kızım, sen akıllı bir çocuğa benziyorsun, n'apacaksın bu fotoğrafı, en fazla senet sepet işlerinde kullanırsın dedi, teyze de bir kahkaha patlattı, iyi hadi şöyle duralım da çek fotoğrafımızı, beyim hep fotoğraflardan çekinir zaten dedi, ne varmış yani. :) sonra 3 fotoğraflarını çektim, hızlıca onlara rahatsızlık vermeden, en çok bu kareyi sevdim, yine ellerini sıktım, teşekkür ettim. ne fotoğraflarını görmek istediler ne başka bir şey, bir dünya güzel dilekle beni yolcu ettiler.
27 aralık 2023 biterken,
öğleden sonra üçbuçuk civarı.
yakalan-an-lar
ixi
2 notes · View notes
aglayankahkahaa · 10 months
Text
çok uyguna analog kamera buldum onu alsam filme para yok filme para olsa yıkatmaya para yok diyerek aylar geçiyor :'(
4 notes · View notes
annisavanda · 2 years
Photo
Tumblr media
Sebagai penyuka kamera analog, tentunya kami tidak melewatkan kesempatan mengabadikan momen sakral ini melalui film. Taken beautifully by mas @yonsbro in the modesty of kebon depan rumah and warung tetangga. https://www.instagram.com/p/Cg8xWOdPy57uQ4mzosvYGPO-IgDF2zrQ9n9Cjw0/?igshid=NGJjMDIxMWI=
8 notes · View notes
gahabisfikri · 1 year
Text
Belajar (mungkin) Adalah Kegemaran yang Bodoh
2023.01.03
Ketika ditanyai hobi, saya lebih sering menjawab menggambar atau membaca buku. Padahal ketika ditanyakan kembali ke diri sendiri, saya termasuk cepat bosan menunggu layer pertama cat air saya kering atau membuat goresan pertama jika mensketsa dengan pensil. Buku-buku SD saya juga banyak yang tipis karena dihabiskan untuk saya sobek untuk menggambar karena suasana kelas saat itu seringkali membosankan.
Membaca buku juga begitu, saya mudah sekali mengantuk walaupun sudah banyak mencoba membaca berbagai macam buku, padahal masa kecil saya dihabiskan dengan diantar ayah mengunjungi toko buku setidaknya sebulan sekali. Saya suka buku mengenai ensiklopedi binatang-binatang. Saking seringnya banyak tahu mengenai binatang dan alam, pelajaran Biologi adalah yang peling sedikit mendapat nilai buruk, untuk pelajaran IPA yang lain jangan ditanya, setiap mau ulangan akan terbesit pikiran “Pak, remidinya kapan, ya?”. Ketika kuliah, pilihan buku-buku bacaan saya lebih beragam, tapi utamanya adalah mengenai novel, pendidikan, atau self development, serta arsitektur dan desain.
Sampai detik ini, saya tidak mempunyai kegemaran yang konsisten, selalu bingung jika ditanya hobi. Lain kali, saya akan memilih “belajar” sebagai jawaban jika ditanya mengenai kegemaran. Jawaban yang bodoh, tapi saya punya definisi sendiri soal belajar.
Tumblr media
Buat saya, belajar merupakan konsekuensi dari rasa ingin tahu akan banyak hal. Di tahun ketiga S1, saya belajar public speaking. Tidak tanggung-tanggung, panggungnya adalah tur pembicara Indonesian Architects Week di Surabaya. Saya tidak ada modal berbicara di depan publik sedari kecil. Jelas, saat itu gemetaran di atas panggung adalah sesuatu yang bisa terlihat oleh penonton yang peka. Tapi belajar di sini membantu saya untuk mendorong zona nyaman saya. Dari titik itu, saya jadi lebih mudah dan lebih dekat untuk bertemu dan mengenal arsitek-arsitek yang lebih senior, atau mengisi moderasi di masa mendatang, tepatnya setahun kemudian pada 2019.
Tumblr media
Fotografi. tahun keempat dan tahun-tahun berikutnya diisi dengan mempelajari kamera digital dan analog. Hasilnya tidak buruk, di percobaan pertama meminjam lensa fix untuk event fotografi portrait. Karya saya langsung masuk untuk disajikan di pameran dan talks.
Kopi. Masa studi magister dan sekolah daring-nya adalah titik terendah dari jalan saya belajar. Saya sama sekali tidak senang belajar daring. Setiap hari rasanya penuh tekanan. Melihat layar dengan tidak ada siapa-siapa di sekeliling saya. Bagi saya itu adalah hal yang bodoh, karena bagi saya, sekolah adalah tempat bertemu teman-teman baru yang memiliki visi-visi yang menarik. Akhirnya saya hampir setiap hari menyempatkan ke kedai kopi untuk bersantai. Saking seringnya, yang awalnya hanya duduk di kursi pojok. Mulai berpindah duduk di kursi bar, sampai akhirnya diajari membuat kopi sendiri di sebuah kedai kopi. Bagi saya kopi sangat menarik, seperti buku yang ditulis John Gagne, banyak sekali faktor-faktor saintifik yang mempengaruhi kualitas dan rasa dari seduhan kopi. Menurut saya, di sini saya menemukan “sekolah”.
Tumblr media
Mungkin jika ditanya lagi oleh orang, saya masih tidak tahu apakah akan menjawab “belajar” sebagai sebuah kegemaran. Karena bagi saya, jika saya ada di sisi orang yang menanyakan hobi saya dan mendapati “belajar” adalah jawabannya, bagi saya masih terdengar hal yang bodoh dan tidak asyik.
2 notes · View notes
critcit · 1 year
Text
Nostalgia dan Klise
Tumblr media
Foto pertama dari klise negatif yang dicuci. Pada foto tersebut, aku mempotret kekasihku dari belakang. Hasil fotonya memiliki lightleak yang membuat foto itu seperti visualisasi potongan ingatanku.
Malam ini (8/11/22) aku datang untuk ketiga kalinya dalam rentang seminggu terakhir ke Bersoreria, salah satu tempat cuci film di daerah Prawirotaman. Aku datang pukul 20.18, parkir, masuk, kemudian menyapa seorang lelaki umur 40-an akhir yang walaupun jenggotnya panjang dan beberapa helai rambutnya mulai putih masih memancarkan aura anak muda.
"Mau ambil atau cuci film, mas?" Tanyanya.
"Enggak, mas. Ini, saya mau memastikan film yang kemarin saya cuci," sambil mengeluarkan gulungan klise film negatif.
Sabtu kemarin (5/11/22), aku dan kekasihku habis mengikuti workshop merangkai bunga. Di sana kami menghabiskan sisa exposure dari film yang sudah hampir setahun bersarang di kamera analog tipe rangefinder-ku, Ricoh 500GX. Selesai workshop berangkatlah kami ke Bersoreria untuk mencuci film itu.
"Jadinya besok ya, mas," kata seorang perempuan berhijab umur 20-an yang jaga di meja kasir, "Nanti kalau file digitalnya udah dikirim lewat drive, berarti klisenya udah bisa diambil," lanjutnya. Pulanglah kami dengan perasaan penuh debar, mengantisipasi hasil jepretan kami akan seperti apa.
Minggu siang (6/11/22), masuklah email dan link menuju drive tempat hasil scan klise film negatif yang kami cuci. Rasanya seperti nostalgia karena film itu mulai masuk kamera di kencan pertama kami setelah beberapa bulan terpisahkan oleh jarak. Ada juga beberapa foto pada waktu tertentu yang menunjukkan rambut gondrongku waktu itu.
Namun, ketika kulihat-lihat foto yang ada di drive rasanya ada yang kurang. Ternyata beberapa foto terakhir yang kami ambil di acara workshop itu tidak ada. Kebingungan, sore itu aku pergi ke Bersoreria untuk mengambil klise dan menanyakan jumlah fotonya.
"Sudah bener kok, mas," kata kasir itu.
"Mungkin itu karena underexposure, mas. Makanya gak bisa di-scan," sambut lelaki itu.
Penjelasan yang masuk akal pikirku, sebab aku baru sadar ISO film itu 200 dan bukan 400 setelah film dikeluarkan dari kamera yang aku setting untuk ISO 400. Langit sore itu sudah gelap, maka aku putuskan menerima penjelasan itu dan melaju pulang sambil berharap tidak kehujanan.
Aku kemudian sampai kos sekitar pukul lima sore dengan kabar baik dan buruk. Kabar baiknya adalah aku tidak kehujanan. Tepat saat hujan tiba-tiba deras dan angin bertiup kencang, tepat pula aku parkir di garasi. Kabar buruknya adalah setelah kuhitung dan urutkan klise filmnya, ternyata klise foto terakhir hilang.
Film yang kupakai adalah Kodak Color Plus ISO 200 36 Exposure, artinya nomor terakhir yang ada di gulungan klise harusnya 36, tapi di sana cuma sampai 31. Berangkat dari keraguan dan kebingungan itu, malam ini aku berangkat lagi ke Bersoreria.
"Oh iya, saya lupa jelasin lebih lanjut kemarin. Jadi karena gak bisa di-scan itu, saya potong. Salah saya, mas, harusnya klise yang terakhir tetap saya masukkan. Saya masih ingat, klise terakhir itu kosong soalnya. Maaf tapi mas, kayanya udah saya buang. Nanti saya coba cari, mudah-mudahan ada," lelaki itu menjelaskan, "Jadi pelajaran juga buat saya, mas. Saya gak kepikiran bakal ada masalah kaya gini. Ke depannya kalau ada yang kosong gitu juga, paling enggak saya ikutkan di gulungan klisenya".
Baiklah... Mau bagaimana lagi?
Setelah itu, aku sempat mau langsung pulang, tapi entah dari mana, aku rasanya ingin mengobrol dulu dengan lelaki ini. Basa-basilah aku bilang kalau mulai main analog karena baca Majalah Hai edisi khusus yang membahas hype kamera analog. Setelah ngubek-ngubek gudang dan ketemu kamera pocket milik bapakku, cobalah main analog dan keterusan sampai 2018 beli kamera rangefinder dengan pinjam uang teman dulu.
"Sambil duduk aja kali ya, mas?" Aku bilang ke lelaki itu. Lalu terlibatlah kami dalam pembicaraan seru soal bisnis kamera analog. Dia bilang harga mahal sekarang itu karena ada "mafia" yang pegang stok barang banyak. Sengaja dibikin langka supaya harga melambung, barulah barang dikeluarkan.
"Persis kaya kasus minyak goreng kemarinlah, mas," katanya.
Di saat itu, aku bersyukur sempat menggeluti jurnalisme jadi tipis-tipis punya kemampuan bertanya dan menjaga obrolan tetap berjalan. Pelan-pelan aku bertanya soal proses cuci film, stok barang, bisnis Bersoreria dan lainnya.
"Kalau lagi gak ada bos sih, pas saya cuci film boleh kalau mau liat prosesnya, mas," tawarnya, "Soalnya kalau pas ada, saya bisa dimarahin," ucapnya sambil nyengir. Aku tentu diam-diam berharap kesempatan bakal datang dan bisa melihat proses cuci film suatu saat nanti.
Dia juga cerita soal kelakuan-kelakuan lucu konsumen yang baru pakai analog. Suatu waktu ada dua perempuan dari Jakarta lagi wisata ke Jogja. Perempuan yang satu cakepnya luar biasa, tapi yang satu biasa aja katanya. Mereka jalan bareng, jepret foto bareng, cuci film bareng juga. Sewaktu hasilnya sudah jadi, perempuan yang cakepnya biasa ini protes, "Jangan mentang-mentang saya jelek, tapi temen saya cakep jadi hasil temen saya dibikin lebih cakep dong, mas," protes perempuan itu.
"Ya, saya diam aja, mas. Mau jelasin apa lagi coba? Permasalahannya bukan karena perempuan yang satu lebih cakep, tapi emang kameranya yang satu lebih cakep. Kan mau gak mau hasilnya tentu beda, ya?" terangnya, "Ya sudah saya ketawa aja sehabis kejadian itu. Kan kesalahan bukan di saya, tapi di kebodohan dia yang gak ngerti alat. Biasa saya dimaki-maki kaya gitu sama orang yang baru main analog dan ngeyel harusnya hasilnya bagus. Gak saya masukin hati yang kaya gitu, mas. Repot entar".
Aku bertanya beberapa hal pribadi juga. Ternyata lelaki itu asli Semarang dan sempat kuliah fotografi di IKJ walaupun gak selesai. Sudah hampir 30 tahun dia bekerja di bisnis fotografi, terutama analog. Baru sekitar awal 2021 dia pindah ke Jogja setelah ditawari mengurus cabang Bersoreria di Jogja.
"Suntuk saya di Jakarta, mas," ucapnya, "Apalagi setelah istri saya gak ada. Jadi ya, mlipir dulu lah ke jogja biar dapet suasana baru. Anak saya juga kuliah di UNY ikut mbahnya kok".
"Ini berarti masnya tinggal di toko ini?"
"Iya, di situ," menunjuk kamar kecil di samping ruang gelap tempat cuci film.
"Sendiri, mas?"
"Iya. Mbak kasir yang itu kan part-time, jadi kalau udah jam enam sore dia pulang," ucapnya. Menarik menurutku part-time di Bersoreria, kalau ada bukaan lagi aku akan coba daftar juga sepertinya. "Wah, tapi saingannya anak-anak Fotografi ISI, mas. Tapi ya keputusan di bos, bukan di saya kalau soal part-time," katanya.
Diam-diam aku menyadari kalau kemungkinan lelaki ini cuma lelaki biasa yang kebetulan sedang mengalami mid-life crisis. Tinggal sendiri, suntuk dengan suasana yang itu-itu saja, dan istri yang dicintainya sudah tidak ada lagi.
Tanpa terasa ternyata sudah pukul 21.15.
"Oh udah lewat jam sembilan, mas. Tutup jam sembilan kan ya, siapa tau masnya mau istirahat," ucapku sambil pamit.
Sambil berdiri aku berkata, "Oh iya, sorry, mas. Nama mas siapa ya?"
"Nama saya Yono," ucapnya sambil menyodorkan tangan berkenalan. "Saya Rizal, mas," balas saya kemudian menjabat tangannya.
"Saya pamit dulu ya, mas."
"Iya, maaf ya mas klisenya malah kebuang. Nanti kalau ketemu saya kasih tau," ucapnya lagi.
"Gapapa, mas. Santai," kataku sembari keluar dari toko.
3 notes · View notes