Tumgik
nafaridaa · 4 months
Text
Tumblr media
1 note · View note
nafaridaa · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3K notes · View notes
nafaridaa · 1 year
Text
Maret: Sebuah Kontemplasi Pembelajar
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. Al-Baqarah: 155-157]
Awal Maret
Awal Maret-ku kali ini diawali dengan ujian yang cukup menantang bagi otak, mental, sekaligus ruhiyah: pelaksanaan ujian tengah semester. Bagaimana tidak, materi ujian yang semakin ke sini semakin tidak masuk akal sulitnya, ditambah dengan beberapa pertanyaan juga kebimbangan dalam diri terkait enjoy-tidaknya, benar-salahnya, sampai pada cocok-tidaknya pilihanku dalam mengambil jurusan ini dengan minat dan kemampuanku, tak ada hentinya berkecamuk di dalam otak.
Beberapa evaluasi dari Bang Yanis di awal tahun juga tak luput menjadi pikiran dan renungan. Kerap kali aku secara spontan menanyakan kembali maksud dan tujuanku selama berkuliah hampir dua tahun ke belakang, memilih institut (yang katanya) terbaik bangsa ini sebagai pilihan studi, dengan jurusan yang kerap kali dianggap momok bagi sebagian besar siswa pada umumnya, Fisika.
Akankah sulitnya jurusan ini worth it di masa depan?
Apakah apa yang aku pelajari sekarang akan implementatif nantinya?
Mengapa aku merasa “jiwaku” tidak di sini?
Ternyata, quarter life crisis gini ya, rasanya. Sebuah istilah yang selama ini familiar kudengar sebagai lalu lalang belaka. Dulunya aku pikir, orang-orang yang mengalami fase ini hanyalah mereka yang tidak memiliki tujuan dan visi pasti dalam hidup. Tapi nyatanya, orang (yang dulunya sangat) idealis dan bervisi besar sepertiku bisa juga merasakannya.
Sekali lagi, awal Maret-ku kali ini penuh perjuangan. Penuhnya isi kepala seakan-akan menuntutku untuk pulang ke Solo—tempat aku lahir dan tumbuh mendewasa—sebelum Ramadan: beristirahat sejenak dan mengisi kekosongan ruhiyah, niatnya.
Pertengahan Maret
Pada sekitar tanggal 17-19 Maret, aku memutuskan untuk kembali ke Solo. Bukan tanpa sebab, selain ingin me-recharge ruhiyah, aku juga berniat untuk berziarah ke makam kakek. Hal ini lumrah dilakukan sebelum menjelang Ramadan oleh orang Jawa di kalanganku, entah apa esensinya, yang pasti budaya katanya. Terlepas boleh tidaknya budaya ini, aku niatkan saja ziarah kali ini untuk mendoakan kakek sekaligus mengingat kematian. InsyaAllah, tidak ada salahnya. 
Beberapa hari di awal kedatanganku di Solo terasa sangat menyenangkan sekaligus menenangkan. Aku dengan semangatnya berbagi cerita dengan Umi dan Abi, sekaligus melakukan diskusi ringan dengan adik yang berumur setahun lebih muda dariku. Wejangan-wejangan terkait iman dan kehidupan tak hentinya dilontarkan dari masing-masing dari mereka. Semua terasa hangat, aku merasa jiwaku cukup ter-recharge. Semua kegundahanku akan akademik dan masa depan seakan sirna untuk sementara. Di perantauan aku memang seorang wanita yang sebentar lagi memasuki kepala dua; wanita yang dituntut mendewasa oleh keadaan. Namun di rumah, aku tetaplah gadis kecil Abi dan Umi yang gemar berceloteh dan bermimpi.
Sampailah pada hari-hari akhir aku di Solo, sebelum kembali ke Bandung. Aku dihadapkan oleh beberapa realita pelik problematika keluarga besar. Wajar, rumahku cukup berdekatan dengan rumah keluarga besarku, baik dari Abi maupun Umi. Ada satu momen di mana aku merasa tertampar dan tersadar. Momen di mana aku merasa pertanyaan-pertanyaan yang selama sebulan terakhir dengan lihainya berenang di kepalaku—pertanyaan dan kekhawatiran akan masa depan—divalidasi oleh keluarga besarku.
Kamu kuliahnya di bagian apa sih? Nanti mau jadi apa? Kamu pinter, kenapa dulu engga pilih yang pasti-pasti aja gitu profesinya, kayak dokter, guru, tentara, atau semacamnya?
Sesak. Semakin sesak saja dada ini.
Solo—keluarga besar, yang selama ini aku anggap sebagai rumah di mana aku adalah gadis kecil di dalamnya, gadis yang bebas bermimpi dan bercerita, ternyata sama saja dengan Bandung dan isi kepala. Sesak, memang. Namun bagian menyesakkan inilah yang membuatku banyak berkontemplasi setelahnya.
Nyatanya, Solo bukan lagi tempat yang ramah untuk pulang dan mencari ketenangan.
Bukan, bukan karena orang-orang di dalamnya. Bukan pula karena aku yang tidak suka dan tidak kuat menerima omongan dari keluarga besar—meski tanpa ditegaskan pun, pasti kita semua tidak suka berada pada kondisi tersebut. Tapi ini tentang validasi diri sendiri, bahwa nyatanya, di mana pun tempatku berpijak di Bumi, mau di Bandung dengan segala peliknya perkuliahan, di Solo dengan segala tuntutan masa depan, atau bahkan di ujung dunia yang paling indah sekali pun, posisiku di dunia saat ini akan sama saja. Mau tidak mau, aku harus belajar.
Tentang Belajar
Salah satu temanku pernah berkata, satu hal yang harus di-highlight dari belajar: transfer ilmu itu nggak instan, butuh kesabaran. Teman yang lain juga pernah mengingatkan bahwa sejatinya, belajar itu butuh proses, semua tinggal kembali ke kita, apakah mau bersabar dalam menjalani setiap prosesnya atau tidak. Proses hancur-hancurnya nilai, membangun konsistensi belajar, menanamkan mindset pembelajar, itu semua juga termasuk dalam proses belajar.
Di samping itu, ketika aku mulai mengeluh dan menanyakan beberapa hal terkait masa depan, Umi juga sempat mengingatkanku tentang mimpi-mimpi yang dulu dengan semangatnya digaungkan oleh Nafa remaja yang idealis: mimpi ingin mendirikan yayasan X, mimpi ingin melanjutkan studi ke negara Y, mimpi ingin membantu kalangan Z, mimpi menjadi penulis, mimpi menjadi ibu terbaik bagi anak-anaknya kelak, mimpi menjadi ibu peradaban, dan mimpi-mimpi besar lain yang sangatlah mustahil dicapai dengan mindset menyerah seperti ini. Umi juga mengingatkan, semua hal yang ada di dunia ini sudah digariskan oleh Allah. Selama kita mau berusaha dan berdoa dengan maksimal, Allah akan menjamin setiap rezeki dan melukiskan lini kehidupan terbaik bagi hamba-Nya yang mau bersabar dalam menghadapi ujian sekaligus bersyukur atas sekecil apa pun kenikmatan.
Tak ketinggalan, Abi yang cenderung lebih realistis dan irit bicara juga tak luput memberikan wejangan singkat namun sangat ngena dan logis sekaligus dapat diterima akal, “Ngapain mikir jauh-jauh. Fokus aja sama apa yang dijalanin sekarang, toh nanti juga bakal terlewati. Hal yang harusnya dipikir nanti, pikir aja nanti. Selama maksimal dan gigih menjalani yang sekarang, pasti nanti ada jalannya. Toh, kamu cewek, enggak begitu besar tuntutan terkait finansial. Semangat,”
Adikku tak luput memberiku buku yang menurutnya akan sangat relate dengan kondisiku saat ini, sebuah buku berjudul “Jika Kita Tak Pernah Menjadi Apa-Apa” karya Alvi Syahrin. Awalnya aku menolak, dengan dalih aku pernah selesai membacanya dahulu. Namun, dia tetap memaksa, katanya, “Dulu kamu tidak benar-benar membaca. Dulu kondisi kamu berbeda, belum se-relate sekarang,”
Benar saja, setelah kubaca ulang, aku merasa sangat banyak tertampar dengan apa yang tertulis di buku tersebut. Satu persatu air mataku menetes ketika membaca bab demi bab bagian dari buku tersebut. Rasa-rasanya tidak ada yang tidak relate dengan kondisiku sekarang. Aku semakin yakin bahwa i’m not the only one who faces this kind of situation. Beberapa kutipan dari buku tersebut juga sukses menyadarkanku untuk bangkit dari keterpurukan dan perlahan bangkit kembali dan bergerak maju. Kecewa, galau, bimbang, dan jatuh itu wajar. Yang membuatnya tidak wajar adalah jika kita terus menerus terpaku dan tidak beranjak dari situasi-situasi pelik tersebut. Kalau kata orang di sebuah video reels yang sempat lewat di timeline IG-ku, “Make mistakes, but don’t regret it. Make mistakes, and learn from it.”
Akhir Maret
Kalau ditanya, “Apakah aku sudah selesai dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-hentinya berenang memenuhi kepala?” Jawabannya, belum sepenuhnya. Tapi apakah aku jauh lebih baik? Dengan yakin aku jawab, jauh lebih baik. Hidup ini memang melelahkan, namanya juga penuh perjuangan. Kalau cari enak, itu namanya surga, bukan dunia. Aku masih harus dan akan terus belajar, masih harus banyak bersusah payah dan berjuang. Masih akan ada banyak tangisan, fase jatuh, bangun, jatuh lagi, banyak tuntutan untuk begadang, ujian yang sulit, tugas yang semakin menumpuk dan tidak masuk akal, hari-hari penuh deadline, omongan orang yang kurang mengenakkan, beberapa ekspektasi dan tuntutan masa depan, perlombaan pencapaian yang tiada habisnya…
Tapi sebagaimana yang tertulis pada buku Alvi Syahrin, “Memang, tak semua akan menjadi sesuatu yang besar. Namun, proses-proses yang kamu lalui hari ini.. it all matters. Tak ada penyesalan bagi orang-orang yang belajar. Mereka belajar, so they find something. And when it comes to learning, I am not a quitter.”
“Pada akhirnya, kesuksesan di dunia ini adalah ketika kita sudah bisa merasa cukup.”
3 notes · View notes
nafaridaa · 1 year
Text
mengeliminasi distraksi
1 note · View note
nafaridaa · 1 year
Text
Tumblr media
jangan mau diperbudak sama irasionalitas, naf
1 note · View note
nafaridaa · 2 years
Text
Tiga bulan berlalu,
dan sampai hari ini,
aku masih takut.
Aku Takut
Kedua bola mata ini tak bisa-bisanya berhenti bergerak mengikuti arah gerak dari kedua bola mata itu. Mungkin memang, otak ini bisa dengan lihai mengelak, “Tatapan ini sekadar untuk menghormati lawan bicara”. Tapi sepandai-pandai ia mengelak, selalu ada hati yang dengan kejujuran penuhnya siap menyanggah, “Bukan menghormati; kedua mata itu memang terlalu indah untuk tidak diamati dengan teliti.”
Kedua telinga ini tak mau kalah. Mungkin kalau saat ini telinga punya mulut, hanya ada dua kalimat pasti yang akan digaungkannya: Jangan berhenti bercerita! Akan kudengarkan setiap untaian kata yang terucap dari mulutmu itu dengan seksama, walaupun harus menghabiskan berjam-jam lamanya.
Tak bisa dipungkiri, di satu sisi, diri ini bahagia. 
Tak bisa dipungkiri, bunga-bunga terasa tak henti-hentinya bermekaran di dalam dada dengan kelajuan tumbuh yang sebegitu cepatnya. Pun juga kupu-kupu, tak mau kalah beterbangan di dalam perut dengan semangatnya, seakan-akan menegaskan satu hal: Aku benar-benar sedang jatuh cinta.
Namun di sisi lain…
Aku takut.
Ya, sama halnya seperti yang lalu-lalu, aku takut bilamana yang kuanggap sinar bahagia ini nyatanya bersumber dari api yang siap membakarku di kemudian hari. Terlampau sering aku bermain api, dan bodohnya, selalu saja (dan tidak pernah terbiasa) aku berada pada posisi yang terbakar. Seberapa sering aku dibunuh oleh ekspektasi-ekspektasiku sendiri–jadi jangan salahkan aku yang mungkin sampai detik ini selalu berusaha mengelak atas perasaan ini.
Aku juga takut jikalau ternyata senyum yang terukir selama ini dipahat dengan pisau yang terbuat dari hal-hal terlarang, juga doa dan harap yang dilangitkan selama ini sengaja dilukis dengan kuas-kuas dosa yang menjelma sucinya cinta.
Aku takut..
Atas semua ini Ya Allah, aku serahkan segalanya padamu. Jika memang benar jalan ini, dekatkanlah kami dengan cara terbaik dan di waktu yang tepat. Jikalau memang bukan ini jalan yang benar, jagalah hati dan diri kami dari apa yang tidak Engkau ridhai.
Bandung-Solo, Juni 2022.
naff.
4 notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Dear, Future Me
Dikutip dari surat cinta bagi diriku di masa depan yang ditulis di lima belas menit terbaik pada pertemuan sesi pengenalan Rumah Kepemimpinan.
Mungkin saat ini kau sedang berdiri di depan beratus-ratus pasang mata calon penerus estafet kepemimpinan umat dan bangsa di masa depan; mencoba merangkai dan menghidupkan untaian kata membara serta menanamkan berbagai idealisme hebat untuk membangun bangsa yang hebat pula.
Atau mungkin kau sedang sibuk mengurus naskah berisi ide-ide luar biasamu yang siap dicetak sebagai sejarah; supaya nantinya ruhmu bisa tetap hidup—bersamaan dengan narasi-narasi besar yang kau wariskan pada generasi setelahmu melalui tarian aksara dalam hidup tulismu—walaupun jasadmu sudah terkubur tanah.
Atau mungkin kau sedang duduk di tengah para petinggi negeri; entah menjadi secercah harap bagi perjuangan pulihnya lingkungan yang sedang sakit, atau menjadi obat bagi sistem pendidikan yang tak kunjung membaik, atau menjadi toa bagi mereka yang suaranya tak bisa didengar oleh hati-hati yang tuli—yang pasti kau sedang sibuk berdiskusi terkait mau dibagaimanakan nasib bangsa saat ini.
Atau mungkin, saat ini kau sedang sekadar berkumpul menikmati hangatnya ruang tamu bersama anak-anakmu yang cerdas; berbagi cerita dan tawa bersama mereka, berusaha sebisa mungkin hadir membersamai mereka sebagai madrasah pertama terbaik bagi calon-calon pemimpin hebat di masa depan.
Sedang apa pun kau saat ini, ada satu hal yang ingin kusampaikan untukmu, Naf. You’ve gone through all the bad and good things these years, and thank you for being strong walking on this tough ways. Kamu orang hebat. 
Terlepas jadi apapun kamu saat ini: entah menteri, atau ketua yayasan, atau penulis hebat, atau ibu rumah tangga yang hadirnya selalu dinanti oleh suami dan anak-anaknya, aku mau kamu pesen satu hal ke kamu: tetap jadi orang baik, ya. Tetap jadi orang yang tinggi tanpa merendahkan, orang yang rendah hati, yang haus akan kontribusi, dan senantiasa peduli dengan aktif jadi garda terdepan yang rela dengan semangat memperjuangkan kebaikan nasib ummat dan bangsa. 
Jadilah ibu peradaban terbaik, yang selama darahmu mengalir, kau senantiasa mengejar ridha-Nya melalui berbagai kontribusi-kontribusi terbaik yang bisa kau beri.
Thank you for being a great woman who always greatly stands on your own feet. Sincerely, You, years ago.
Ditulis di Bandung, 27 Juli 2022
naf.
9 notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Ngga boleh ada benteng pertahanan yang rubuh lagi. Ngga boleh ada benih-benih dosa yang terpupuk lagi. Jalanmu masih panjang, Naf. Jangan terjebak. Cuma sementara.
0 notes
nafaridaa · 2 years
Text
Catatan Awal Juli
Pekan ini dapat banyak banget insights dari pelbagai kalangan: mulai dari tutur kata manusia-manusia keren yang merepresentasikan beragamnya pemikiran-pemikiran hebat mereka, detik demi detik karya visual yang dikemas dalam bentuk film sebagai citra ide-ide yang disebarluaskan, sampai dengan untai demi untai huruf yang menari menciptakan sebuah keutuhan gagasan yang dikemas dalam bentuk buku bacaan.
Aku jadi teringat. Ke pada salah satu orang, sebut saja si A. Di mataku, dia hebat. Aktif lomba di mana-mana. Tiap malam kerjaannya nge-Zoom membahas hal-hal serta banyak istilah yang telingaku sendiri merasa asing mendengarnya. Relasinya ngga main-main; dia kenal banyak orang penting di perusahaan-perusahaan besar. Katanya, “Kalo kamu tar tertarik sama apa yang aku ambil, sering-sering aja tanya ke aku. Enak. Kamu bisa dapet relasi di banyak perusahaan. Kamu bakalan belajar gimana cara “menjual” apa yang kamu punya sekreatif mungkin, intinya otak kamu bakal diasah banget buat cari korelasi serta irisan antara produk yang kamu tawarkan dengan perusahaan yang lagi kamu approach. Intinya asyik.” Selain itu, dia juga bisa diterima sama kalangan heterogen: pandai menempatkan diri, kataku.
Di mataku, dia hebat.
Aku jadi teringat juga, ke pada salah satu yang lain, sebut saja si B. Di mataku, dia juga hebat. Aktif berorganisasi di mana-mana. Akademiknya ga main-main. Masih tetap istiqomah di tengah gempuran heterogenitas orang-orang di sekitarnya. Punya why yang besar atas jalan yang dia ambil. Katanya, “Kalo kamu tertarik sama apa yang aku ambil, ayo ikut aja sama aku. Kayanya juga kamu ada concern ke arah ini, kan? Kita tar bisa jalan-jalan buat ngedenger teriakan makhluk-makhluk terpinggirkan yang nggak bakal bisa didenger kalo kita ngga buka kuping: anak-anak Bagea yang dipaksa ngamen sama orang tuanya yang tunakarya, warga Anyer Dalam yang ngga punya daya atas penggusuran “tempat hidup mereka” yang ada di depan mata, sapi-sapi yang kesakitan karena PMK.. Mereka teriak, manggil kita, manggil kamu. Ini bukan jalan yang mudah, aku tahu kamu tahu. Tapi tergantung kamu, mau tetep di lingkungan sekarang yang “nyaman”, atau keluar dan jadi fighter nerusin langkahku. Orang-orang yang ngga sholat aja bisa dengan lancarnya ngedenger suara mereka, masa kita yang dikasi privilege buat bisa sholat lima waktu bisa acuh gitu aja?”
Di mataku, dia juga hebat.
Aku inget juga, ke pada salah satu yang lain (lagi), sebut saja Bapak Kernet. Kenapa engga pakai inisial? Karena sedikit sebel. Dia nipu aku sewaktu mengadakan perjalanan (sendirian) buat mendaki Ciremai dari Bandung-Majalengka via elf. Dia minta aku bayar ongkos 100 ribu, padahal harga normalnya di bawah 20 ribu aja. Mana diturunin di pertigaan pintu masuk tol Cileunyi lagi, belum sampe Majalengka, huft. Tapi dia baik. Lebih tepatnya, binatang jalang di jiwanya tidak seliar seperti yang di film-film, hehe. Dia menurunkan dan memasrahkanku kepada dua orang lelaki, katanya, “Ikut Aa’ ini aja ya, nanti dicarikan elf yang bisa bawa Neng sampe Majalengka tanpa harus bayar-bayar lagi,”. Lantas dia pergi dan menyisipkan uang 35 ribu ke tanganku sebelum akhirnya dia berlalu bersamaan dengan elf miliknya. Benar saja, kedua lelaki yang menjadi panjang tangannya itu baik, aku dicarikan elf jurusan Majalengka yang ongkosnya 35 ribu (persis sejumlah uang yang si Bapak Kernet berikan untukku), plus dapat bonus sebungkus tahu sumedang dan air mineral. 
Di mataku, dia hebat. Kenapa? Yaa, dia emang awalnya nipu. Aku jadi rugi 65 ribu. Tapi mungkin dia butuh, mungkin pula dia washilah yang dikirim ke Allah biar aku sedekah lagi, bisa jadi selama ini aku kurang sedekah. Dia masih mikirin aku yang cewe sendirian dengan memasrahkanku ke dua lelaki baik, aku masih dikasih uang sejumlah ongkos elf ke Majalengka, intinya aku engga ditelantarin gitu aja.
Satu lagi. Aku teringat juga, ke pada salah satu yang lain (lagi dan lagi). Sebut saja si C. Di mataku, dia juga hebat. Hebat banget, ini bilangnya pake hati.. gadeng canda. Cara dia memandang banyak hal, cara dia belajar berbagai hal.. Menarik. Mungkin beberapa orang sepertiku butuh ketegasan dalam memandang mimpi, rencana, dan juga masa depan, namun fleksibilitas yang ada di hidupnya turut memperluas cakrawala pandangku terhadap visi-misi yang kurancang. Nyatanya, mereka yang realistis terhadap keadaan adalah mereka yang kerap kali berhasil membaca peluang, dan pada akhirnya diberi kemudahan di banyak jalan yang mereka ambil. Darinya aku belajar: menjadi idealis itu penting dan baik, tapi menjadi realistis adalah sebuah keharusan. Bagaimana dia menegaskan kata “urgensi” di setiap jalan yang diambil, bagaimana dia menerangkan the way he creates the system di dalam lingkungan yang dia pimpin..
Di mataku, dia hebat. Pendapatku ini objektif tanpa ada unsur lain, ya...
Aku jadi makin sadar dan yakin. Tidak ada yang lebih baik antara padi yang tumbuh di tanah gembur banyak nutrisi ataupun kaktus yang tumbuh di tanah gurun minim air. Tak ada yang lebih baik antara burung yang bisa terbang setinggi langit ataupun ikan yang bisa renang sedalam samudera. Tak ada yang lebih baik antara Matahari yang ngasih kita energi di tiap paginya ataupun Bulan sang lampu malam, yang karena energinya pula, pasang-surut air laut tercipta. 
Kita semua hebat di ranah kontribusi kita masing-masing, selama itu di bawah payung kebaikan. Tidak ada yang lebih hebat, kalau case-nya ditimbang pakai timbangan manusia. Lebih hebat atau tidaknya, tergantung seberapa besar dan konsisten kontribusi yang kita kerahkan, dan tentunya dengan timbangan yang paling adil, timbangan ketakwaan milik Allah semata.
ditulis di Bandung,
Juli 2022.
naf.
0 notes
nafaridaa · 2 years
Text
Baru (bahkan belum ada) setengah, aku sudah lengah.
Apa kabar hati yang tak terlatih sendiri?
Baru setengah, aku sudah lengah
Aku menghitung, baru lima belas.
Aku harus bergegas.
1 note · View note
nafaridaa · 2 years
Text
Aku Takut
Kedua bola mata ini tak bisa-bisanya berhenti bergerak mengikuti arah gerak dari kedua bola mata itu. Mungkin memang, otak ini bisa dengan lihai mengelak, “Tatapan ini sekadar untuk menghormati lawan bicara”. Tapi sepandai-pandai ia mengelak, selalu ada hati yang dengan kejujuran penuhnya siap menyanggah, “Bukan menghormati; kedua mata itu memang terlalu indah untuk tidak diamati dengan teliti.”
Kedua telinga ini tak mau kalah. Mungkin kalau saat ini telinga punya mulut, hanya ada dua kalimat pasti yang akan digaungkannya: Jangan berhenti bercerita! Akan kudengarkan setiap untaian kata yang terucap dari mulutmu itu dengan seksama, walaupun harus menghabiskan berjam-jam lamanya.
Tak bisa dipungkiri, di satu sisi, diri ini bahagia. 
Tak bisa dipungkiri, bunga-bunga terasa tak henti-hentinya bermekaran di dalam dada dengan kelajuan tumbuh yang sebegitu cepatnya. Pun juga kupu-kupu, tak mau kalah beterbangan di dalam perut dengan semangatnya, seakan-akan menegaskan satu hal: Aku benar-benar sedang jatuh cinta.
Namun di sisi lain...
Aku takut.
Ya, sama halnya seperti yang lalu-lalu, aku takut bilamana yang kuanggap sinar bahagia ini nyatanya bersumber dari api yang siap membakarku di kemudian hari. Terlampau sering aku bermain api, dan bodohnya, selalu saja (dan tidak pernah terbiasa) aku berada pada posisi yang terbakar. Seberapa sering aku dibunuh oleh ekspektasi-ekspektasiku sendiri--jadi jangan salahkan aku yang mungkin sampai detik ini selalu berusaha mengelak atas perasaan ini.
Aku juga takut jikalau ternyata senyum yang terukir selama ini dipahat dengan pisau yang terbuat dari hal-hal terlarang, juga doa dan harap yang dilangitkan selama ini sengaja dilukis dengan kuas-kuas dosa yang menjelma sucinya cinta.
Aku takut..
Atas semua ini Ya Allah, aku serahkan segalanya padamu. Jika memang benar jalan ini, dekatkanlah kami dengan cara terbaik dan di waktu yang tepat. Jikalau memang bukan ini jalan yang benar, jagalah hati dan diri kami dari apa yang tidak Engkau ridhai.
Bandung-Solo, Juni 2022.
naff.
4 notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Catatan Hari Ini
Pagi tadi, angin sepoi Kampus Ganesha mengiringi langkah kecilku bersamaan dengan sambutan dari percikan ringan air mancur di tengah bangunan labtek milik gedung yang katanya institut terbaik bangsa. Rasa-rasanya langkah tadi adalah langkah terberatku dalam beberapa tahun terakhir. Hari ini, Allah menakdirkanku berjuang membela diri atas apa yang tidak pernah aku lakukan. Kedua mataku bertemu dengan kedua mata yang siap menilai setiap gerakan. Lisannya siap menghujaniku dengan berjuta pertanyaan, menuntut setiap pembelaan atas tuduhan yang diberikan.
Aku yang masih sempat-sempatnya tidak berhenti mengutuk keadaan mendadak tertampar dengan tanggapan Abi dan Umi tepat ketika aku berkabar dan mengeluh, “Gapapa, tetap berdoa yang baik. Allah Maha Membolak-balikkan hati, minta yang terbaik sama Allah. Abi dan Umi yakin, ini memang ujian buat kamu.”
Apa yang terjadi hari ini mengingatkanku pada mereka, orang-orang yang tertuduh dan harus menanggung hukuman atas apa yang tidak mereka lakukan. Mereka, yang dengan tulus mengabdikan diri untuk negeri namun tercoreng namanya sebab dikhianati golongan pemegang kendali. Mereka, yang dengan kerasnya memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas namun pada akhirnya harus hidup di balik jeruji karena tak punya daya melawan yang punya kuasa.
Apa yang terjadi hari ini pun sukses menamparku atas apa yang selama ini aku gaungkan. Aku, yang katanya punya mimpi mau jadi pemuda yang siap membela yang benar atas yang salah. Aku, yang katanya punya visi mau mengambil jalan riskan yang siap melukai juga menjatuhkan, bukan karena terjalnya jalan, melainkan banyaknya ranjau paku yang sengaja disebar dan siap mengandaskan perjalanan. Aku, yang katanya sudah sadar kalau apa yang ada di masa depan tentunya jauh lebih kejam daripada cakrawala sederhana yang selama ini aku gunakan.
Tapi aku juga, yang dengan lemahnya meneteskan air mata seakan-akan angkat tangan atas apa yang terjadi hari ini. Memang, tears don’t mean we’re losing. Tapi tidakkah itu cukup untuk membuktikan kalau atas apa yang aku gaungkan, aku sama sekali belum siap?
Apa yang terjadi hari ini mengingatkanku juga pada sabda Rasûlullâh ﷺ :
“Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba di hari kiamat sehingga ditanya dengan empat macam, yaitu:
(1) tentang umurnya habis digunakan untuk apa, (2) jasadnya rusak digunakan untuk apa, (3) ilmunya bagaimana mengamalkannya, (4) hartanya dari mana mencari dan ke mana membelanjakannya." (HR. Ibnu Hibban dan At Tirmizi).”
Mungkin Allah hendak menamparku keras-keras lewat apa yang terjadi hari ini. Aku jelas-jelas belum siap. Mungkin selama ini aku kurang menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk menghadapi hari persaksian. Mungkin juga, atas apa pun yang aku perbuat dan kumpulkan selama ini, aku cenderung abai dan tidak memikirkan berat-tidaknya pertanggungjawaban.
Bersama dengan apa yang terjadi hari ini, semoga Allah semakin menguatkan kaki. Masih banyak rintangan di terjalnya jalan pendakian yang menunggu untuk ditapaki. Laa haula wa laa quwwata illaa billah.
Bandung, Juni 2022.
naff.
5 notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Catatan Diri Sendiri
-untukmu yang sedang alpa dan menghamba dunia.
Di tengah heningnya malam, kakimu bersimpuh bersamaan dengan telapakmu yang menengadah. Jiwamu bermuhasaba. Akhir-akhir ini, rasa-rasanya air matamu acap kali terjatuh. Sembari menyeka, kau sentuh dadamu dengan tangan mungil penuh dosa.
"Tidak, ini tidak benar."
Teringat seberapa keras kau menahan, seberapa kuat kau berusaha mengelak atas apa yang engkau rasakan; perasaan yang tak henti-hentinya mengundang tanya untuk jiwa sepertimu, jiwa yang katanya tak mudah memilih rumah untuk berteduh.
Hingga pada akhirnya pertahananmu jatuh (lagi).
Kau, yang sampai detik ini masih menyalahkan orang lain atas jalan yang kau kikis sendiri. Kau, yang kerap kali memilih kalimat, "Kalau dia ga gitu, aku ga akan segininya. Seharusnya dia dulu ga gitu.." daripada, "Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam bertapak.." Kau, yang dengan kerasnya berusaha untuk menjauh dan tak acuh, namun semakin gencar kau berusaha, semakin banyak pula alasan bagimu untuk mempertahankan apa yang kau rasakan.
Tidak ada yang salah dari engkau yang memilih untuk menerima apa yang kau rada, karena kau memang punya banyak alasan baik untuk tetap mempertahankannya.
Hanya saja, kau memupuknya di waktu yang tidak tepat.
Seperti apa dikatakan banyak orang bijak,
"Cinta sejati bukanlah ia yang menjauhkanmu dari Allah, melainkan ia yang bisa membuatmu lebih mencintai Yang Maha Memiliki Hati."
Simpan dulu apa yang kau rasakan. Biarlah takdir berjalan sebagaimana ia dituliskan. Biarkan juga doa-doa yang kau langitkan bertarung, berkompetisi dalam mengetuk Arsy-Nya. Toh jika memang takdirnya, pasti ada jalannya. Kalaupun tidak, setidaknya dua malaikat di pundakmu jadi saksi, bahwa masih ada hamba-Nya yang tertatih untuk menahan dan menjaga sucinya hati, juga melangitkan doa sebagai tanda kalau memang atas apa yang ia pinta, ia sama sekali tak punya kendali.
ditulis di Bandung,
Mei 2022.
1 note · View note
nafaridaa · 2 years
Text
Tumblr media
3K notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Tumblr media
0 notes
nafaridaa · 2 years
Text
May Allah accept our fasting and good deeds, forgive our sins, and guide us all to the Straight Path.
82 notes · View notes
nafaridaa · 2 years
Text
Akan datang suatu masa di mana pintu-pintu ilmu dibuka selebar-lebarnya sehingga orang dengan mudah mendapatkannya namun mereka kehilangan makna dan keberkahannya... Sepertinya masa itu telah terjadi di zaman ini.
Zaman dulu orang-orang saleh menempuh perjalanan hingga bertahun - tahun dari kota ke kota negeri ke negeri hanya untuk mendapatkan satu hadist (ilmu),
Sedangkan di zaman ini kita dengan mudah mendapatkan banyak ilmu hanya dengan membuka gadget.
Namun apa yang menyebabkan para alim di zaman dulu begitu terpuji dengan riwayat dan karya2nya. Mengapa semakin mereka berilmu semakin mereka tawadhu ,zuhud dan bertambah ideal diteladani
Sedangkan di zaman ini, semakin seseorang berilmu maka semakin ia ingin tampak menonjol, dihormati, dihargai, dan semakin merasa diri lebih baik dari orang lain.
Ternyata yang menyebabkan perbedaan di antara keduanya adalah keberkahan.
Para ulama di zaman dahulu mencari ilmu karena Allah dan senantiasa mengamalkan setiap ilmunya, sehingga ia mendapatkan berkah dari ilmunya.
Sedangkan para penuntut ilmu di zaman ini menuntut ilmu karena tujuan selain Allah, misalnya karena dunia dan penilaian manusia. Sangat wajar bila setiap orang menginginkan , kebahagiaan, kedudukan dan keselamatan dalam hidupnya. Namun amat rugi orang yang mencari kebahagiaan dan kedudukan dengan mengorbankan keselamatan sehingga ia tidak menyadari salahnya niat ketika menuntut ilmu dan beramal.
Banyak juga orang yang pada akhirnya pandai bicara namun tidak berusaha mengamalkan semua yang ia katakan, sehingga hilanglah manfaat dan keberkahan dari ilmunya. itulah mengapa seorang ulama berkata jika ingin melihat ilmu seseorang maka lihatlah amalnya karena amal seseorang mencerminkan ilmunya.
Dan Rasulullah pun mengajari kita agar selalu berdoa meminta ilmu yang bermanfaat bukan ilmu yang banyak juga amalan yang diterima bukan amalan yang banyak.
Sebab banyak nya amal dan ilmu itu akan dihisab dan hanya yang diterima yang akan menyelamatkan.
Meski tidak ada larangan dan tidak buruk bagi kita bila ingin mengkaji kitab atau mengkhatamkan Alquran , sesering, sebanyak , secepat mungkin. Sebagaimana para sahabat dan imam madzhab ada yg mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam semalam, dalam seminggu atau sebulan. Namun apakah derajat keimanan dan keilmuan kita sama dengan mereka?
Lagipula para ulama papan atas juga bersepakat bahwa, kunci keberkahan ilmu adalah sabar. artinya seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa.
Bagian ini kita tutup dengan riwayat yang disampaikan oleh Al Hafidz Munawi’: “Ada seorang pemuda yang ketika menyempurnakan hafalannya, berusaha mengkhatamkan Al Quran semalam suntuk dalam keadaan terjaga hingga pagi. Pagi harinya, tentu saja ia menghadap kepada gurunya dengan wajah pucat. Sang Guru, yang memiliki kapasitas sebagai seorang mursyid, baik dari segi materi maupun maknawi bertanya kepada teman-temannya yang lain. Jawaban teman-temannya: ‘Ustadz, anak ini setiap malam tidak tidur, ia berusaha mengkhatamkan Al Quran hingga pagi tiba.’ Sang Guru, tidak berkenan dengan cara yang ditempuh muridnya ini. Maka suatu hari, beliau memanggil muridnya untuk menghadap. Sang Guru berkata:’Anakku, Al Quran harus dibaca sebagaimana ia diturunkan. Mulai sekarang, janganlah engkau baca ia seperti biasanya. Bacalah ia seakan engkau sedang membacakannya di hadapanku.’ Anak muda inipun bangkit dan keluar dari ruangan gurunya. Malamnya, ia membaca Al Quran sesuai dengan yang dinasihatkan oleh gurunya. Pagi harinya, ia menemui gurunya dan berkata ’Ustadz, tadi malam saya hanya berhasil menyelesaikan setengah Al Quran.’ Sang Guru berkata ‘Baiklah, kalau begitu malam ini bacalah ia seakan engkau membacakannya di hadapan Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.’ Di dalam hati sang murid, ia bergumam ‘Aku akan berada di hadapan Sosok yang Al Quran diturunkan kepadanya. Aku harus membacanya dengan tartil. Maka di malam itu, ia membaca Al Quran dengan lebih berhati-hati. Keesokan paginya, ia menyampaikan kepada gurunya bahwa ia hanya berhasil menyelesaikan seperempat Al Quran. Sang Guru ketika melihat kemajuan yang dicapai muridnya, sebagaimana halnya ketika seorang mursyid menambah pelajaran untuk murid-muridnya, kembali memberikan nasihat,’Bacalah ia sebagaimana Malaikat al Amin, Jibril, mewahyukannya kepada Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam!’ Keesokan harinya, sang murid berkata ‘Ustadz demi Allah, saya hanya bisa membaca satu surat saja dari Al Quran.’ Sang Ustadz kemudian mengeluarkan langkah terakhirnya. ‘Anakku, kali ini bacalah ia seakan engkau membacanya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang terdapat ribuan hijab di hadapan kita untuk bisa menyaksikannya. Bayangkanlah bahwa Allah sedang menyimak apa yang kamu bacakan. Bayangkanlah bahwa demi dirimu yang juga merupakan salah satu hambaNya, Dia berkenan untuk menyimak qiraat Al Quranmu.’ Keesokan harinya, sang murid datang ke hadapan gurunya sambil menangis. Ia berkata: ‘Ustadz, aku hanya mampu membaca “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Arrahmanir rahim. Maliki yaumiddin.” Tetapi lidahku kelu dan kaku untuk membacakan ayat “Iyyaka na’budu”. Karena ketika aku ingin mengatakan bahwa “Hanya Engkaulah yang kami sembah...” akan tetapi, pada kenyataannya aku menyembah banyak sesembahan, dan betapa aku telah menundukkan diriku kepada banyak hal lain selain DiriNya. Ketika aku membayangkan bahwa aku sedang berada di hadapanNya, sungguh aku tak sanggup untuk membaca “Iyyaka na’budu.”  
Al Hafidz Munawi menyampaikan bahwa pemuda ini tidak hidup lama melainkan wafat satu-dua hari kemudian. Sang Guru, yang telah mengantarkan muridnya sampai ke level ini, ketika menyaksikan keadaan muridnya tersebut saat ia menziarahi makamnya, mendengar suara yang terdengar jelas oleh telingannya: “Ustadz, sesungguhnya aku masih hidup. Aku telah sampai di hadapan Sang Sultan Yang Hayyu dan Qayyum, dan aku sama sekali tidak dihisab olehNya.” 
Ketika aku menyampaikan riwayat ini, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk melarang kalian untuk membaca Al Quran jika tidak bisa membaca Al Quran sesuai dengan kriteria di atas.  Akan tetapi ada satu hakikat yang tidak boleh dilupakan. Jika Al Quran tidak bisa memberikan perubahan dalam kehidupan ruhani kita, bagaimana bisa ia dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan masyarakat kita? Kita harus bisa berubah dengan bimbingan Al Quran; kita harus bisa menghadapkan diri kita ke arah ufuk Al Quran; dan kita pun harus memperhatikan Al Quran dengan kedalaman yang dimilikinya, sehingga rahasia Ilahi yang terdapat di dalamnya dapat mengisi relung hati kita. 
Wallahualam Bishawab
169 notes · View notes