Tumgik
nacotayeshida · 5 years
Text
Inley... Inley... Inley, Pagi Tiba
Jika hampir seluruh daratan Myanmar disuguhi dengan candi dan pagoda, memasuki kawasan Inle Lake (Inley) serupa berjumpa oase. Berada di wilayah Nyaunghwe, Inle Lake menyuguhkan alternatif pemandangan lain dari Myanmar. Udara dingin, hijau, para nelayan, hiruk pikuk diatas hamparan danau dan ketenangan.
Ditempuh sekitar 7-8 jam dari Nyang-U, Bagan atau 11-12 jam dari pusat Yangon dengan menggunakan bus. Meski belum memiliki fasilitas terbaik: banyak bangunan usang,  jalanan berdebu, kendaraan tua dan cenderung hening di malam hari, tempat ini masih menjadi daftar wajib bagi para pelancong. Seperti sebelumnya, akan banyak menemui masyarakat di sekitar Inle Lake yang jujur dan sederhana.
Tumblr media
Malam hari bus berangkat dari Bagan hingga jelang fajar mogok selama 3 jam di daerah entah-berantah-dimana, sebelum memasuki daerah Kalaw. Jalan membentang panjang ditengah hutan hijau, mirip jika kita pernah melewati Jalan Nasional Trans Timor. Hanya saja ini versi belum rapih, beberapa kali melihat bekas-bekas tanah longsor, berlubang sepanjang jalan.
Meski sempat mogok, bus tiba di Nyaungshwe terlalu pagi untuk jam check in. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, rupanya pihak hotel memperbolehkan check in tanpa perlu ribet ini itu. Lalu, tiba-tiba listrik padam total hingga jelang sore. Ternyata listrik padam lazim terjadi hampir di seluruh wilayah Myanmar, bahkan Yangon sekalipun.
Oh ya, sebelum memasuki wilayah Nyaungshwe akan ada pos membayar semacam 'entrance fee' hanya untuk turis asing sebesar 15.000 kyat atau sekitar 150.000 rupiah per orang. Jika beruntung kita akan dikira warga lokal, terlewati begitu saja oleh petugasnya.
Tumblr media
Menghabiskan waktu keliling kawasan Inle Lake bisa menysewa sepada dengan harga 20.000 rupiah perhari sepuasnya. Daratan Inle Lake tidak terlalu luas, sekitar 15 menit sudah bisa tamat mengelilingi. Tak lama berkeliling, bertemu satu masjid cukup besar di dekat gapura masuk Nyaungshwe sebelah kanan jalan tengah kota.
Bagian terbaik dari tempat ini bisa dimulai pagi hari dengan boat trip di dermaga menuju tengah Inle Lake. Danau ini memiliki luas sekitar 44,9 miles persegi. Boat trip menggunakan kepal motor milik warga sekitar dan mengelilingi area danau bisa ditempuh sekitar 4-6 jam tergantung permintaan dari penyewa. Tarif sewa kapal hanya sekitar 150.000 rupiah, bahkan meski saya hanya sendiri dalam satu kapal. Cukup murah kan?
Para nelayan yang legendaris di sampul Lonely Planet akan di jumpai ketika perjalanan boat trip, warga lokal yang membawa tomat, sayuran dan keperluan lainnya dengan kapal motor. Mirip seperti di Banjarmasin. Ada 'garden floating', pengrajin batu, pemukiman mengapung, wanita berleher panjang, pembuatan kain dari lotus dan beberapa pemandangan lain serupa ‘oase’ di Myanmar bisa kita jumpai disini.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
by Nacota Yeshida Sapahuma
Oktober - November 2018
IG: @nacotayeshida
4 notes · View notes
nacotayeshida · 5 years
Text
Yangon di Akhir Oktober
Dompet terjatuh tidak ada yang berani mengambil atau memindahkannya, pegawai Ooredoo yang menolak uang tip setelah hampir satu jam bantu mengatur internet handphone, bellboy yang benar-benar menolak upah usai naik tangga membawa dua tas carrier atau seorang warga lokal yang mau repot mengejar turis karena buku novel yang tertinggal di dalam bis, pagi buta. Jujur dan apa adanya: adalah kesan pertama yang terasa ketika berada di Yangon, Myanmar. Atau bisa jadi saya sedang beruntung dipertemukan dengan orang-orang baik.
Tumblr media
Jantung Kota Yangon Pasca berakhirnya masa junta militer digantikan dengan kemenangan National League of Democracy (NLD) dibawah Aung San Suu Kyi, praktis kehidupan masyarakat Myanmar berubah drastis. Dari mulai banyak berdiri gerai franchise seperti KFC, The Coffee Bean & Tea Leaf dsb hingga lompatan teknologi masyarakat disana. Lazim dijumpai sejumlah orang yang tak segan untuk foto selfie di jalan maupun tempat umum, tak terkecuali bapak-bapak dan mas-mas ya. Mereka masih sangat menggandrungi Facebook. Meski sudah tahun 2018 di sepanjang kota masih banyak dijumpai pria-wanita tua-muda menggunakan longyi dengan atasan tradisional. Goresan thanaka berwarna krem di kedua bagian pipi dan bagian wajah lain. Oh ya, jarang menemukan orang-orang di Yangon bertubuh gemuk atau agak gemuk sekalipun. Hampir semuanya punya badan ramping dan bagus. Mereka lebih suka berjalan kaki, naik sepeda pancal atau bus untuk bepergian
Tumblr media
by Nacota Yeshida Sapahuma
Oktober - November 2018
IG: @nacotayeshida
0 notes
nacotayeshida · 6 years
Text
Mimpi yang Belum Usai dari Tanah Sumba
Apa yang sering kita dengar dari Sumba Timur? Ada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, pemandangan padang savana, tenun Sumba dan banyak tempat wisata yang sedang naik daun. Ya, semua itu ada di Sumba Timur.
Tumblr media
Dibalik keindahan Sumba, saya dibawa ke salah satu tempat yakni Desa Matawai Pandangu, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasi yang bisa di tempuh sekitar 2,5 - hingga 3 jam dari Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur. Melewati jalan yang cukup curam dengan suguhan hijau bukit-bukit di musim penghujan, tepat disebelah kiri jalan memasuki Desa Matawai Pandangu akan dijumpai satu Sekolah Dasar yang terbuat dari dinding kayu dan atap ilalang-ilalang kering.
Tumblr media Tumblr media
Sekolah Dasar tersebut belum mempunyai nama resmi, karena baru didirikan pada tahun 2016 dengan hasil gotong royong warga setempat sendiri. Masyarakat hanya menyebutnya SD Matawai Pandangu. Sebelumnya, anak-anak SD harus menempuh sekitar 8 - 10 km lebih dengan berjalan kaki ke sekolah induk di SD Masehi, Desa Mbatapuhu. Berdirilah sekolah sederhana untuk memudahkan anak-anak agar tidak terlalu jauh berjalan terutama bagi yang masih duduk di kelas kecill, terlebih ketika musim kemarau yang terik menyengat.
Terdapat 3 ruangan sederhana. Tanpa dialiri listrik maupun fasilitas toilet. Meja, kursi dan papan tulis seadanya. Tak ada lemari, pintu, rak buku atau benda-benda lain yang lazim kita temui di sebuah sekolah dasar.  Belum lagi mengenai fasilitas buku penunjang dan banyak diantara murid yang tak memiliki alas kaki sepatu maupun tas sekolah.
Tumblr media Tumblr media
Hanya ada satu guru yang rutin mengajar. Dia bernama Arche gadis dari desa setempat yang masih lulusan SMA. Arche mengajar kelas kecil dan tidak ada gaji selama ini dia mengajar. Bulan April 2018 jika tidak ada halangan, Nona Arche akan mengikuti pelatihan di Kota Malang utamanya mengenai pendidikan untuk kelas kecil. Satu guru pendamping lagi dari SD Masehi bernama Pak Josh yang sudah 7 tahun menjadi guru honorer di gaji Rp. 250.000 perbulan dan baru cair dalam tempo 3 bulan sekali. Selama ini tidak ada yang mampu bertahan lama sebagai guru/ pengajar di daerah tersebut karena kondisi alam yang sulit air dan ekstrim. 
Sumba Timur, 14 Februari 2018.
Nacota Yeshida Sapahuma.
@nacotayeshida​
10 notes · View notes
nacotayeshida · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Hulu Sungai Selatan dan Hal-hal yang Tidak Terlupakan
Semangat selalu menemukan jalannya untuk sukses.
Dua hari waktu yang singkat untuk berbagi, tertawa, dan mengenal orang-orang baru di belahan lain negeri ini. Perihal waktu dan segala rupa yang dikorbankan tak pernah menjadi sia-sia bagi saya, bagi kami. Keluar dari rutinitas jauh dari hingar bingar malampaui batas, bertemu dengan hal-hal yang sebelumnya tak terlintas.
Selamat datang di Hulu Sungai Selatan, salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Bagi saya bukan pertama kali bekunjung ke Kalimantan Selatan tapi menjadi yang pertama berada di Hulu Sungai Selatan. Begitupun menjadi pengalaman pertama saya menggunakan transportasi umum angkot dari Bandara Udara Internasional Syamsudin Noor menuju Kandangan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Pagi pertama. Rumah panggung, rawa-rawa dan ketupat menjadi pemandangan yang lazim kami temui di Kandangan tempat Ruang Berbagi Ilmu Hulu Sungai Selatan 2017 dilaksanakan. Waktu menjukkan pukul 07.00 WITA perlahan bapak dan ibu guru dengan dibalut pakaian bermotif sasirangan mulai memadati ruangan. Bupati Hulu Sungai Selatan. Drs. H. Achmad Fikry rupanya berkenan hadir, menjadi pemompa dan menambah antusias semangat bagi panita, relawan serta para peserta.
Tidak kurang dari 195 peserta dari berbagai kecamatan di Hulu Sungai Selatan riuh memadati ruang-ruang. Ada segudang cerita yang siap diukir, ada banyak hal baik siap untuk dibagi. Tanpa mengenal umur dan latar belakang profesi, para relawan antusias untuk segera berbagi. Mulai dari penerapan K13 yang efektif, metode belajar kreatif, manajemen kelas hingga kolaborasi guru dan masyarakat. Dan ada pula relawan narsumber yang kreatif mengajak goyang dangdut, joget ala baby shark hingga bagi-bagi coklat ke para peserta. Goyang dangdut? Hmm heboh juga ya.
Berbagi juga dilakukan melalui untaian cerita dari bapak ibu guru kepada relawan. Tentang melewati daerah terpencil Kalimantan, cuaca yang tidak menentu hingga semangat tinggi anak-anak didik yang membuat guru-guru haru. Cerita dan pengalaman yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh kami, para manusia penghuni kota.
Pagi kedua. Sebelum dimulai, sebagian dari kami para relawan sepakat menyantap ketupat bakacak tak jauh dari lokasi RuBI. Hidangan khas Kandangan yang cocok dengan lauk ikan gabus, pengalaman pertama bagi saya dan beberapa relawan. Hampir-hampir saya tersedak duri ikan ketika sedang lahap menikmaktinya.
Listrik padam di lokasi RuBI ditengah-tengah berbagi materi oleh relawan. Entah kebetulan atau tidak, padam listrik ini terjadi setelah beberapa jam sebelumnya seorang tokoh politik tenar yang tiba-tiba heboh dengan kemunculannya menabrak sebuah tiang listik di Jakarta. Hmmmm... Kok bisa ya? Tapi satu yang pasti, padam listrik sama sekali tidak menyurutkan para relawan dan peserta untuk mengukir semangat-semangat baru. Dari penjuru kecamatan Kandangan, Daha Utara, Daha Selatan, Daha Barat, Kalumpang, Telaga Langsat hingga Loksado siap untuk menebarkan semangat RuBI kepada anak didik dan guru-guru lainya.
Dibalik campur tangan Tuhan, kerja keras dari teman-teman Pengajar Muda XIV Hulu Sungai Selatan, panitia lokal, relawan dan tentunya bapak ibuk guru telah mengukir cerita serta harapan di bawah langit Kalimantan Selatan. Terima kasih, tidak akan terlupakan.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Hulu Sungai Selatan, 17-18 November 2017. Nacota Yeshida Sapahuma Relawan Dokumenter [email protected] @nacotayeshida
1 note · View note
nacotayeshida · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Pertemuan Dibalik Rimba Pegunungan Meratus
Tidak mudah ketika akhirnya tiba di SD Negeri Haratai 3, Dusun Kadayang, Hulu Sungai Selatan. Sekolah Dasar ini disebut sebagai salah satu sekolah paling pelosok di ujung kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan lokasi yang terpencil di Kalimantan Selatan. 
Akses jalan terbatas, lokasi ini hanya bisa dilalui dengan motor yang baru dibuka sekitar tahun 2007 silam. Sebelumnya penduduk harus berjalan kaki menuju maupun pergi dari kampungnya, termasuk membawa barang-barang kebutuhan mereka: sofa, almari, kasur, karpet dsb. Tidak ada sinyal telepon disini. Listrik dengan daya kincir air baru masuk beberapa tahun terakhir.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Berada di pemukiman Suku Dayak Maratus, tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Anak-anaknya yang pemalu dan polos, penduduk asli yang terbuka, alam sekitar yang begitu kaya. Sumber mata air hampir-hampir mengelilingi lokasi ini tak pernah berhenti mengalir. Saya juga sempat mencicipi nasi yang diolah dari padi berumur 8 tahun. Penduduk terbiasa menyimpan hasil tanam mereka diatas gunung untuk kemudian dikonsumsi beberapa tahun kemudian.
Jika seluruhnya masuk ada 39 murid terdaftar di SD Negeri Haratai 3 dengan 4 guru dan seorang Pengajar Muda angakatan XIV dari Indonesia Mengajar. Kelas IV hanya ada 2 murid, kelas VI ada 4 murid saja. Dari 39 murid yang terdaftar, hampir-hampir tidak pernah lengkap. Banyak dari mereka yang tidak masuk sekolah, karena harus ke ladang. Terlebih jika musim hujan, 5 murid yang datang itu sudah lebih dari luar biasa. Tidak banyak dari mereka yang pernah merasakan atau sekedar tahu tentang ‘dunia luar’, bahkan untuk sekedar pernah merasakan naik mobil atau pergi ke kota, hanya segelintir anak yang mengacungkan cari.
Dibalik itu semua, beberapa dari mereka tak pernah kehilangan mimpi dan punya prestasi. Meski segelintir beberapa dari mereka pernah ikut lomba pertandingan catur menjadi juara hingga dibawa ke perlombaan di kota. Mereka menyukai olahraga voli. Urusan bertahan hidup di hutan, mereka jagonya.
Tumblr media Tumblr media
©nacotayeshida
0 notes
nacotayeshida · 7 years
Text
Sisa Sampah Sumpah-Serapah
Di goreng oleh media mainstream
menebar bebas di sosial media
hingga menjejali grup chat pribadi.
Hari ini,
rupanya sisa sampah sumpah-serapah belum usai.
Mereka dan mereka - ‘yang tiba-tiba menjadi Jakarta’
masih antre berkecamuk di segala frekuensi.
Lalu kami - ‘yang tidak dan bukan orang Jakarta’
harus ikut mengkonsumsi, bak si primadona
komoditi media nan seksi.
Apa kabar hari ini,                    
cerita anak-anak di ujung negeri?
2 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Text
Alunan Desa Takpala
Perempuan dan laki-laki suku Abui larut dalam alunan musik dan gerakan tari Lego-lego di desa Takpala, Alor. Saling bergandeng tangan sebagai simbol persatuan, mereka berdiri berputar mengelilingi mesbah yang terbuat dari batu. Mesbah dianggap sakral hingga kini, sebagai peninggalan leluhur dan digunakan setiap ritual adat oleh suku Abui.
Tumblr media
Ada tiga moko berwarna hitam dengan ukuran yang berbeda diletakkan ditengah mesbah. Pulau Alor disebut sebagai pulau dengan sejuta moko. Moko bagi orang Alor terutama suku Abui dianggap sebagai benda yang memiliki makna tinggi. Selain simbol mengukur status sosial, moko juga digunakan sebagai mahar saat seorang pria melamar gadis untuk dijadikan istri. Semakin tinggi pendikan seorang perempuan Alor, semakin tinggi pula mahar yang harus diberikan oleh sang pria.
Tumblr media Tumblr media
Tidak setiap hari mata bisa menikmati pemandangan tari lego-lego dan ragam ritual lain di desa Takpala. Hanya di waktu tertentu, saat musim pembukaan lahan atau kunjungan tamu peting datang. Beruntung, jika datang bertepatan dengan kunjungan oleh tamu penting. Tari Lego-lego dan ragam interaksi suku Abui akan menjadi pemandangan yang berharga.
Tumblr media Tumblr media
Ada 14 rumah suku Abui atau disebut sebagai Rumah Gudang di desa Takpala. Rumah-rumah yang terbuat dari bahan sederhana berjejer rapi hingga sekarang. Sejak tahun 1983 desa Takpala ditetapkan sebagai kampung tradisional oleh Dinas Pariwisata Alor saat itu. Masyarakat desa Takpala juga masih menjaga keselarasan hidup dengan alam, termasuk menolak fasilitas listrik masuk di desa mereka.
Alor memiliki banyak suku, salah satunya suku Abui dengan jumlah terbesar di Alor. Seorang teman asli Alor mengatakan, lebih dari 20 suku ada di Pulau Alor. Bisa dibilang antara satu desa dengan desa lain akan berbeda suku, bahkan desa yang saling bersebelahan sekalipun. Beda pula bahasa dan adat istiadatnya. Mereka yang tinggal di dataran tinggi juga akan berbeda suku dengan mereka yang tinggal di pesisir laut.
by Nacota Yeshida Sapahuma 
Alor, 29 April 2017
IG: @nacotayeshida
0 notes
nacotayeshida · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Merajut Cerita di Kota Atambua
Atambua menjadi saksi sejarah peristiwa jajak pendapat atau referendum kemerdekaan Timor Timur pada 30 Agustus tahun 1999 . Dari hasil referendum kemerdekaan Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia dan menjadi negara bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Banyak kisah tumbuh dan hilang, keluarga yang terpisah di kota perbatasan ini.
Ada berbagai kisah terangkum diatas jembatan Mota’ain, salah satu jembatan bersejarah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste 18 tahun lalu. Perbedaan pilihan pada referendum kemerdekaan terpaksa memisahkan satu keluarga yang utuh dalam satu dinding bernama perbatasan. Sejarah mencatat, Atambua sebagai gerbang utama untuk mereka yang ingin terus merajut cerita di Indonesia.
Dari data hasil referendum kemerdekaan tahun 1999 yang diawasi langsung oleh PBB, sekitar 344,580 (78.5%) jiwa memilih untuk merdeka. Sementara itu, sekitar 94.388 (21.5%) jiwa menerima status khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Tahun 2002 Indonesia dan dunia internasional mengakui kedaulatan Timor Leste sebagai sebuah negara yang resmi.
Pasca fererendum kemerdekaan ‘memaksa’ Atambua untuk bersolek menjadi kota yang maju dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Bisa dibilang, Atambua merupakan kota kedua di Pulau Timor yang ramai (dari segi ekonomi, jumlah penduduk, dan pemerintahan) setelah Kupang sebagai ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur. Jika dibandingkan Kefamenanu, Soe, Atapupu atau Wini di Atambua ini memang terlihat lebih hidup dengan berbagai aktivitasnya. Bahkan tanggal 27 Desember 2016 lalu Presiden Joko Widodo meresmikan pos lintas batas di Mota’ain, Kabupaten Belu yang menjadikan lokasi perbatasan ini semakin mudah untuk dikunjungi.
Akses menuju Atambua terbilang mudah dengan  jalan raya yang tak kalah jika dibandingkan jalan yang ada di Pulau Jawa. Ada bis umum dari Kota Kupang menuju Kota Atambua yang ditempuh sekitar 8-9 jam perjalanan. Uniknya, bis di Pulau Timor ini bisa menjemput dan menurunkan penumpang sampai di depan rumah. Sepanjang perjalanan akan disuguhi pemandangan hijau bukit yang tertata rapi. Perpaduaan biru laut dan langit bisa dinikmati secara gratis.
Tetun merupakan bahasa yang digunakan oleh mayoritas masyarakat yang tinggal di Atambua. Sebagai ibukota dari Kabupaten Belu, masyarakat Atambua terdiri dari beragam sub-etnis dan budaya. Termasuk mereka yang berasal dar Timor Leste sebagai penduduk eksodus.
Mayoritas penduduk Kota Atambua beragama Katolik, di mana Atambua juga merupakan sebuah Keuskupan. Keuskupan Atambua adalah salah satu keuskupan di Indonesia yang persentasi penganut Katoliknya sangat tinggi yakni 95% dari total jumlah penduduknya. Wilayah Keuskupan Atambua mencakup seluruh wilayah Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
by Nacota Yeshida Sapahuma
Atambua, 27 April 2017
IG: @nacotayeshida
3 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Langit Biru Tanah Timor (1)
Biru. Warna langitnya yang cerah selalu menjadi ciri khas. Jalan yang masih begitu lenggang, tak banyak kendaraan dan bunyi klarkson yang lalu lalang. Sikap masyarakat yang bersahaja namun tetap rendah hati, menjadi hal yang begitu mudah ditemui. Gunung hijau langit biru, menyatu satu dalam simfoni alam yang saling bisu.
Katanya, inilah yang mereka sebut Tanah Air Beta. Keindahan yang tak membutuhkan banyak aksara untuk menjelaskan. Biru langit dari Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Di pesimpangan jalan, kampung-kampung, pasar tradisional lazim mendengar ucapan ‘selamat pagi’ atau kata ‘mari’ yang tidak pernah absen keluar dari bibir mereka, bahkan kepada orang baru sekalipun. Interaksi yang terjalin antar masyarakat memperlihatkan kedekatakan satu sama lain. Akrab. Entah karena faktor jumlah penduduk yang relatif sedikit atau memang inilah karakter asli dari masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Cerita tanah air beta.
by Nacota Yeshida Sapahuma
Kefamenanu, 26 April 2017
IG: @nacotayeshida
1 note · View note
nacotayeshida · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kelana dari Desa Takpala (1)
Beberapa menit sebelum foto ini diambil, pria tua di sebelah hanyalah seorang yang asing. Namanya Abner Yetimau, satu dari sekitar 40 suku Abui yang menetap di Desa Adat Takpala, Alor Tengah Utara. Abui yang berarti orang gunung. Tak perlu waktu lama, setelah sedikit berbincang suasana menjadi cair oleh sikap bersahaja masyarakat di Takpala.
Bapak Abner tak ragu menunjukkan kepiawaiannya menggunakan busur dan anak panah. Ada anak panah untuk binatang, ada juga untuk memanah manusia. Secara detail dirinya menjelaskan perbedaan keduanya.
Musim pembukaan lahan berladang jatuh pada bulan Juni atau Juli. Tahun ini pada tanggal 20 Juli, satu kali dalam setahun. Akan ada berbagai aktivitas perayaan adat dan menari Lego-lego sambil mengelilingi mesbah dengan moko ditengahnya. Ini adalah momen yang tepat untuk berkunjung ke Desa Takpala.
Suku Abui di Desa Takpala mempersilahkan bagi siapa saja yang ingin menginap di rumah mereka. Bahkan sejumlah menteri diakui pernah menginap di rumah yang biasa disebut sebagai Rumah Gudang. Tentunya tanpa adanya fasilitas listrik. 
Sudah sejak lama masyarakat di Desa Takpala menolak adanya modernisasi yang berlebihan, termasuk masuknya fasilitas listrik. Mereka percaya dengan menjaga nilai-nilai tradisional dan ajaran nenek moyang merupakan cara terbaik bersahabat dengan alam. Namun, urusan pendidikan mereka sangat terbuka. 
Anak-anak muda di kampung Takpala diijinkan untuk menuntut ilmu. Terlebih untuk mereka yang terlahir sebagai anak laki-laki. Sesuai dengan kebanyakaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang kental menganut sistem patriarki dalam kehidupan sosial mereka.
by Nacota Yeshida Sapahuma
Alor, 29 April 2017
IG: @nacotayeshida
2 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Text
Riuh
Tumblr media
Lamunan yang tiba-tiba luntur oleh guyuran ingatan yang entah datang dari mana. Aku tak tahu menahu. Tentang tatapan sinis lewat ujung jendela, percakapan bisik-bisik tanpa arah, dan jari-jari yang liar bermain tunjuk. Ada yang begitu riuh dibelakang sana, sibuk menerka-nerka dan menebar murka.
by Nacota Yeshida Sapahuma
2017
IG: @nacotayeshida
3 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Text
Pragmatis
Tumblr media
“Bapak bukan juragan”
“Ibuk bukan bangsawan”
Gumam seorang sahabat, diujung malam akhir Desember. Lambat waktu kemudian kami saling sepakat; melepaskan yang idealis mengejar yang pragmatis. Waktu telah merubah kami, merubah mimpi-mimpi.
by Nacota Yeshida Sapahuma
2017
IG: @nacotayeshida
3 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Text
Senja dan Kopi yang Terlewat
Tumblr media
Aku pernah mengenalmu begitu dekat. Sangat dekat. Sering aku berkata pada diriku sendiri, kau bagian dari rutinitasku. Aku mengenalmu saat kita masih sama-sama ingusan, remaja tanggung, anak kampungan. Kita selalu menghabiskan sore di belakang surau, mengadap antara laut dan langit. Seakan kau melepaskan roh kepadanya.  
“Aku jatuh cinta pada senja”, lirihmu yang diam terpana melihat kehadirannya.
Kau mencintai senja. Seperti ketika pertama kita berjumpa, aku merindukan jingga.
 **
Aku terbangun. Sore ini, diantara senja, kita saling berjanji bertemu. Setelah 3 tahun kau yang tiada rupa, hilang ditelan rimba ibukota. Aku kehilangan, perihal rutinitas yang dulu menjadi candu. Jam demi jam begitu jujur membakar halaman-halaman cerita kita. Hangus. Ya, tiga tahun lalu, setelah terahir kau melewatkan janji menyeruput kopi bersamaku. Sore di akhir Oktober. Setelahnya, semua hanya perkara rutinitas yang tak begitu enak bagiku, hambar. Entah bagimu.
 Kita yang terlanjur terlena, oleh buaian mimpi yang kita tabur di langit-langit ibukota.  Mimpi yang dulu dengan bangga kau genggam erat bersamaku. Mimpi-mimpi itu pula akhirnya yang mengajariku tentangmu. Kau yang lebih memilih jarak dan tenggelam dalam waktu. Aku terpaksa berdamai dengan keduanya.
**
Tumblr media
Tidak ada yang berubah dariku. Aku masih menunggu. Diantara pemandangan sibuk dan suara pelayan kafe yang nyaris cepreng mengusik lamunan, aku memilih duduk di sudut jendela. Tempat favoritmu. Menghadap arah matahari, mengakhiri keterpura-puraan yang sehari tadi dicumbui. Kau selalu mencintai senja. Katamu, senja menjadi rumah bagi jiwa mereka yang sunyi.
Aku melamun dalam perjalanan tadi. Melamun dengan banyak percakapan dikepalaku. Masihkah kau menggilai senja. Kau yang selalu memberikan senyuman pada secangkir kopi sebelum bertemu bibirmu. Bagaimana kabarmu?
 **
Hampir pukul sebelas malam. Pelayan kafe bersuara cempreng kini menjelma dengan raup muka yang lelah, gincunya mulai pudar, ia memberikan tanda padaku, kafe sebentar lagi tutup.
Tidak ada kau, tidak ada senyum itu, tidak ada seseorang di depanku yang menggilai senja.
Hari ini seperti tiga tahun lalu. Kau melewatan kopi bersamaku. Aku rindu. Rindu yang kuberi nama, jingga.
**fin**
by Nacota Yeshida Sapahuma
2017
IG: @nacotayeshida
7 notes · View notes
nacotayeshida · 7 years
Photo
Tumblr media
I share, therefore I am.
Aku membagi, maka aku ada. Istilah dari suatu gejala yang dituliskan oleh Putut Widjanarko, dosen Ilmu Komunikasi di Univesitas Paramadina yang ia tuang melalui majalah Tempo. Putut menulis untuk tema besar “Wabah Hoax” yang terbit di edisi 2-8 Januari 2017. Betul, dunia maya kini cenderung menjadi medan saling ejek, asal memaki, menebar fitnah, dan bahkan adu domba. Sejatinya gejala polarisasi media sosial ini bukan karakter masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah masyarakat yang terpolarisasi dan demokrasi yang kian terkoyak.
Jika menoleh kebelakang, Indonesia banjir informasi ‘sesat’ sebetulnya bukan hal baru. Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, Joko Widodo yang dikabarkan keturunan kader Partai Komunis Indonesia. Setelah ia terpilih pun arus berita bohong semakin menggila. Mulai dari isu Obama meninggalkan Jokowi yang sedang berpidato di sebuah forum internasional, pencopotan Panglima TNI, ajakan menarik uang di ATM, hingga dramatisasi kedatangan tenaga kerja dari Tiongkok.
Sebenarnya gejala polarisasi media sosial ini bukan khas masyarakat Indonesia. Kampanye Brexit di Inggris pada Agutus 2016 yang memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah contoh lain. Tapi yang lebih sengit dan terbaru adalah pemilihan Presiden Amerika Serikat antara Donald Trump dan Hillary Clinton, ketika jagad media sosial diwarnai polarisasi yang terpicu oleh kabar bohong, hoax, rumor, atau ujaran kebencian.
Menarik. Era banjir informasi ini celakanya tidak diimbangi peningkatan daya kritis. Tak sedikit yang mudah terpancing judul provokatif, lalu membaginya tanpa paham betul isi tulisan. Mereka yang disebut dengan istilah clicking monkey; monyet yang bersuka-ria melempar pisang ke segala arah. Berjayanya hoax juga karena tumbuhnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap media mainstream. Ada keyakinan bahwa media besar yang kebanyakan milik pengusaha konglomerat tidak lagi independen karena sarat kepentingan bisnis dan politik.
Dari perspektif lain, Suller (2004), ahli psikologi internet mengidentifikasi faktor-faktor kenapa ketika daring (online) orang bisa mengatakan atau melakukan tindakan yang mungkin tidak mereka lakukan dalam komunikasi tatap muka. Alasannya, mereka lebih bebas, merasa tak terkekang, dan mengeksplorasikan diri lebih terbuka – fenomena yang disebutnya online disinhibition effect (efek nirkekang daring).
Karena efek ini, orang bisa menjadi lebih mudah menunjukkan simpati dan murah hati yang dalam dunia nyata sukar mereka ungkapkan. Sebaliknya, pada ujung yang lain kita juga melihat sering digunakannya secara terbuka kata-kata kasar, kemarahan, kebencian, bahkan ancaman – sekali lagi hal yang mungkin tidak mereka lakukan di dunia nyata.
Orang juga cenderung dengan serta merta membagi (share) atau menyiatkan (broadcast) informasi yang diterimanya. Menurut Sherry Turkle (2012), ahli psikologi dana peneliti internet, dunia daring membuat orang selalu terhubung dan menawarkan pemenuhan tiga kepuasan (gratification): (1) bebas memberi perhatian dimanapun kita berada, (2) selalu akan didengarkan atau diperhatikan, dan (3) kita tak akan pernah sendirian. Dengan demikian, jika kita tiba-tiba memiliki waktu jeda (misalnya saat menunggu waktu lampu merah atau di tengah percakapan dengan orang lain), kita merasa “cemas” dan segera menuju dunia daring dalam genggaman kita.
Apalagi akhir-akhir ini jaringan tertutup seperti WhatsApp (yang beda sifat platformnya dengan media sosial seperti Facebook dan Twitter) menjadi semakin luas penggunaannya. Jamak kita dengar grup WA yang pecah (bahkan grup WA keluarga besar) setelah anggotanya terlibat percakapan yang panas. Fitnah dan hoax lalu-lalang dalam grup-grup tertutup semacam itu.
Melek media digital, salah satu dari apa yang disebut sebagai 21st century skills menjadi penting untuk disebarkan. Melek media digital memungkinkan orang memahami bagaimana menggunakan media sosial dan internet untuk kemaslahatan bersama.
Sumber:
Majalah Tempo edisi 2-8 Januari 2017 page 40-41 “Wabah Hoax”.
0 notes
nacotayeshida · 8 years
Photo
Tumblr media
Holiday is over...
0 notes
nacotayeshida · 9 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Aylan Kurdi dan Konflik Suriah (1)
Aylan Kurdi, 3 tahun, naik ke atas perahu karet dari Pantai Akyarlar di pinggiran Kota Bodrum, Turki. Bocah kecil itu telah menempuh jarak ribuan kilometer dari kampung halamannya di Kobani, Suriah. Bersama ayahnya, Abdullah, ibunya, Rehan, 35 tahun, dan kakaknya, Galib, 5 tahun, Aylan lari dari perang tak berujung di Suriah. Terkatung-katung di Turki, Abdullah dan keluarganya memutuskan ikut gelombang besar pengungsi Suriah: hijrah ke Eropa.
Dua perahu itu terbalik digulung ombak. Seluruh penumpangnya tumpah ke laut. Mayat Aylan Mayat Aylan terbawa ombak hingga terdampar di Pantai Ali Hoca, Bodrum. Ibu dan kakaknya pun juga meninggal.
”Jika foto kematian bocah Suriah di pantai itu tak mampu mengubah sikap para pemimpin Eropa terhadap pengungsi, lalu apa lagi yang bisa menggugah mereka?”
Banyak negara Uni Eropa yang menolak kedatangan pengungsi Suriah. Penanganan pengungsi di beberapa negara Eropa dikecam banyak kalangan. Cara penanganan mereka bahkan mengingatkan kenangan hitam warga Yahudi saat dijebloskan ke kamp-kamp Nazi pada tahun 1940-an.
Hungaria, misalnya, mengecoh pengungsi ke kamp penampungan setelah dijanjikan akan dibebaskan. Di Ceko, lengan pengungsi ditandai nomor-nomor tertentu. Yunani, Bulgaria, dan Perancis meninggikan kawat-kawat pebatas di perbatasan wilayah mereka. Eropa seperti dalam kegelapan.
Dalam situasi ini, Jerman menampilkan wajah berbeda pada pengungsi: ramah, toleran, dan manusiawi.
Apakah kematian tragis Aylan Kurdi, juga saudara dan ibunya, benar-benar akan membuka mata dunia, mata negara maju dan hati para pemimpin negara Eropa, mata orang-orang beradab bahwa tragedi kemanusiaan akibat perang sudah sudah sedimikian tak terkira? Ratusan ribu orang menerjang perbatasn dan berusaha menundukkan laut untuk masuk ke Eropa. Lebih dari 2.500 orang di antaranya tewas saat menggapai mimpi. Ratusan ribu orang mati akibat perang. Ratusan ribu lainnya terluka.
cont....
Sumber Data: Majalah Detik, Edisi 7-13 September 2013, halaman 148-156. Harian Kompas, Edisi Minggu 6 September 2015, halaman 4.
1 note · View note
nacotayeshida · 9 years
Photo
Tumblr media
Aku bukan sedang mencintai hujan, yang akan habis musimnya untuk kunikmati rintiknya. Lalu aku harus menunggu hingga kemarau berakhir untuk mendapatkan rintik yang sama. Aku bukan sedang mencintai bunga, yang akan habis waktunya untuk kucium wanginya. Lalu aku harus menunggu sekian pagi lagi untuk medapatkan wangi yang sama. Tapi, aku mencintai kamu, seseorang yang mengekal sepanjang waktu. Dan aku harus menunggu, tak tahu sampai kapan habis waktuku. Teruntuk, kamu.
4 notes · View notes