Tumgik
Text
Apakah Sihir itu Masih Ampuh? (2)
Tulisan ini dibuat bersambung, hanya agar pambaca tidak kehilangan minat. Juli menuju September bukan waktu yang sebentar, terutama jika itu tentang menunggu. Kamu toh pernah merasakan jemputan yang lama datangnya atau ojol yang nampak tidak jalan-jalan di peta, sementara perut laparmu sudah berteriak sejak lama.
Begitulah kira-kira tunggu selama Juli-September. Sampai sebuah pesan masuk di WhatsApp. Bunyinya kira-kira begini "Siang, Mba Ama. Untuk informasi verlap, kita akan tiba di Luwuk, tanggal 18 Agustus, jam 13.50, berikut info tiketnya. Si pengirim menyertakan capturan tiket, ada dua nama di sana, keduanya dari Kemendikbudristek. Gugup? Siapa yang tidak gugup, Bambang?
Jadilah saya dan Tiwi menjemput di bandara, sesuai dengan apa yang tercantum dalam pesan WhatsApp. Tidak makan, tangan dingin, dan harapan yang rasanya sulit dinaikkan dengan tombol apa pun; karena beberapa orang pernah mengalami verifikasi lapangan bukan kunci utama. Masih ada pertimbangan lainnya.
Menunda untuk makan, verifikator meminta langsung ke sekretariat Babasal Mombasa. Saya meminta Kak Yanti, Kak Rahmat, dan Agung untuk datang. Verifikasinya cukup lama dari jam 15.30 dijeda salat Magrib, lalu dilanjutkan hingga pukul 19.30. Saya yakin kawan-kawan yang ada saat itu juga sama gugupnya dengan saya, apalagi saat harus menjelaskan mengapa ini dan kenapa itu.
Sampai akhirnya verifikasi lapangan selesai dan kami semua kelaparan. Akhirnya membawa kedua verifikator makan di sebuah restoran. Dalam perjalanan tidak ada ketegangan. Kami lebih banyak bertanya, bercerita, dan bercanda. Saya rasa ini upaya mencairkan kegugupan yang memanjang sejak siang hingga malam.
September yang dinanti pun tiba, di balik rasa cemas terhadap verfikator lapangan, ternyata surat undangan untuk menghadiri lokakarya di Jakarta tiba di WhatsApp saya. Tak berapa lama kemudian, disusul email resmi dari Dana Indonesiana, undangan Lokakarya Penerima Dana Indonesiana dan sekaligus penandatanganan kontrak.
Berangkatlah kami (saya dan Tiwi) pada akhir September. Tiga koper digeret melintasi runway Bandara Syukuran Aminuddin Amir, satu koper isinya full dokumen, cap, data dukung, dalam lima rangkap dokumen. Persiapan ini sifatnya lebih kepada meredam panik. Yah tentu saja, kami akan kesulitan jika ada dokumen yang tertinggal, tiket pesawat Luwuk-Jakarta bisa seharga satu lemari buku yang dipesan khusus untuk interior rumah.
Begitulah menginap sehari di Cijantung (rumah kakak Tiwi) dan masuk hotel esok harinya di Novotel Mangga Dua. Waktu masuk, saya diserang gegar kerumunan yang hampir-hampir bikin muntah. 400 manusia menumpuk, mencari-cari meja registrasi kategori yang dipilih. Saya dan Tiwi mulai insecure, bagaimana tidak mendengar program-program dan asal para pegiat budaya ini bikin kami seperti sebutir nasi. Merasa tidak ada apa-apanya sama sekali.
(bersambung part 3)
5 notes · View notes
Text
Apakah Sihir itu Masih Ampuh?
Dulu sekali, saya pernah menulis tentang sihir perayaan sastra; saya menulis tentang Makassar International Writers Festival, sebuah ruang terbuka dan membuka buat siapa saja. Seingat saya, setiap kali pulang dari sana, tas saya penuh oleh-oleh pikiran dan kesenangan. Ya, seperti sihir!
November tahun ini berlalu, Festival Sastra Banggai Tautan Keenam, berhasil digelar. Ada cerita-cerita di balik kehadiran Festival Sastra Banggai yang tak sesuai dengan jadwal di lima tahun terakhir. Cerita-cerita itu bercampur aduk menjadi kemarahan, ketegangan, ketabahan, dan kesenangan.
FSB kali ini mengajarkan saya dan (mungkin) juga kawan-kawan untuk terus mencari jalan keluar, mengetuk pintu-pintu lain, juga membuka diri terhadap pilihan lain di hadapan. Saya pribadi sudah membuat rencana-rencana kecil untuk FSB. Sebagaimana komitmen awal, FSB harus hadir setiap tahun; besar atau kecil; megah atau sederhana; ia tetap ada di setiap kalender.
Usaha untuk hadir tahun ini, tidaklah kecil. Saya melakukan hal-hal yang tidak pernah saya lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Apakah kamu pernah membayangkan saya mengirim surel proposal dukungan dana pada Areif Muhamad, Atta Halilintar, juga beberapa influencer lain? Itu saya lakukan ketika bulan Maret, saat kepastian dana FSB belum juga ada. Saya juga mengirim email ke beberapa yayasan dari negara-negara yang aktif memberi bantuan di Indonesia. Hasilnya, nol besar. Para influencer tak ada respons, sementara yang lainnya membalas dengan bahasa santun "Mohon maaf saat ini kami belum bisa memberi dukungan atau bekerja sama. Semoga bisa terwujud di lain waktu." Jawaban santun yang kadang bikin dada sesak dan tentu saja panik.
Di masa-masa itu, tak sengaja bercakap dengan Maria Pankratia. Seorang kawan penulis, dari Ruteng, Flores. Percakapan kami cukup panjang, sampai akhirnya tiba di satu pintu--yang penunjuk jalannya (katakanlah) Maria.
Lalu mulailah saya "melihat" pintu yang ditunjukkan Maria. Sebab saya percaya jangan dulu membicarakannya dengan banyak orang, akhirnya saya hanya mengajak dua orang untuk ikut terlibat dalam penyusunan borang Dana Indonesiana (ya, pintu lain itu Dana Indonesiana x LPDP). Saya mengajak Tiwi dan Agung. Keduanya mengerjakan anggaran dan beberapa hal, saya fokus di proposal dan gagasan. Sama sekali tidak berani bicara ke kawan-kawan lain saat proses pengerjaan, sebab ya sering kali ada kekecewaan yang besar ketika harapan pupus di tengah jalan.
Setelah semua dokumen beres--yang mengambil waktu tidur siang dan merampas masa-masa nongkrong--barulah kami bilang sedang mencoba peruntungan FSB di Dana Indonesiana. Responsnya macam-macam, tetapi hampir semua berharap bisa lolos--ebab sebelumnya Babasal Mombasa pernah ikut FBK (dua kali) dan tak lolos.
Saya berdoa, juga meminta teman-teman lain berdoa terus; entah apakah doa itu yang membawa FSB ke Dana Indonesiana x LPDP ataukah memang sudah saatnya FSB menjadi bagian dari Kemendikburistek saat Pemkab Banggai memilih tidak peduli dengan acara tahunan ini. Menurut saya ini dua hal yang saling beririsan; tidak boleh menutup mata terhadap kekuatan semesta dan tidak boleh patah meski di daerah sendiri, kerja-kerja literasi, pendidikan, dan kebudayaan ini hanya didukung dalam bentuk sambutan yang di-copy-paste dari sambutan-sambutan lain di desk komputer bagian humas Pemkab Banggai.
Kami menunggu. Semua tim menunggu. Barangkali ini latihan menunggu terpanjang yang kami praktikkan. Tanggal 14 Juli 2022, sebuah pesan masuk di surel [email protected]. Pengumumannya menyatakan kelolosan FSB dalam Dana Indonesiana dan diminta untuk menyiapkan berkas. Orang pertama saya telepon, tentu saja Tiwi. Selanjutnya saya menelepon Kak Neni--manusia paling waras di antara kami--percakapan saya jadi kacau; senang dan panik bersisian, antara harus segera lengkapi proposal baru dan data dukung, juga mendengar kabar baik ini.
Ternyata tunggu belum berakhir. Kami mengalihkannya dengan mulai mengajar kelas literasi tiap pekannya. Itu cukup membantu mengalihkan pikiran-pikiran dan tunggu yang mulai berubah jadi kehilangan harapan.
(bersambung bagian selanjutnya)
0 notes
Text
sepenuhku, sekadarmu.
hidup memang tidak pernah imbang.
2 notes · View notes
Text
have i told u lately, that i miss u badly? ~
0 notes
Text
sesekali ingin jalan-jalan, menjauh dari penat dan takut. tidak usah berbicara, diam saja, dan rasakan angin menembus wajah.
atau duduk diam menghadap pagi. tidak bertukar ucap, hanya duduk, dan mendengarkan debar.
atau berdiri memandang sore, mengantar matahari pulang. tidak bercakap, hanya menjatuhkan pandang pada jauh.
barangkali semuanya memerlukan semoga, tetapi bukankah harapan adalah pisau kecil di saku jaket?
*catatan kecil tentang keinginan-keinginan yang tidak berani diucapkan padamu.
1 note · View note
Text
saya mengingat papa. laki-laki tegas dan pemarah, tetapi mudah memaafkan. ia juga laki-laki dengan kerelaan yang penuh; ia tipe yang mengurusi semua hal. mulai dari memperbaiki kaki meja yang patah, hingga memandu anaknya meracik rempah rendang. tangan-tangannya terampil meracik es buah, sekaligus piawai memperbaiki pintu kamar yang rusak. banyak hal yang saya ingat dari papa, tapi paling saya ingat adalah tangannya yang cakap; yang mampu membuat rumah tetap jadi rumah.
itulah mungkin, saya selalu merasa hangat setiap melihat laki-laki yang mampu membuat rumahnya tetap pantas disebut rumah. laki-laki yang memberi diri penuh rela, melakukan hal-hal yang bagi orang lain mungkin tampak klise.
catatan ini ditulis saat pulang ke rumah, melihat foto papa, dan diserang rindu yang lebat.
(catatan tidak penting, di Maret yang sibuk)
1 note · View note
Text
selalu ada malam-malam yang penuh pertanyaan. juga keinginan untuk percakapan panjang seperti dulu. ah ya berapa berat rata-rata ikan paus?
0 notes
Text
berbicara sendiri seperti monolog, sering kali membuatmu menemukan jawaban dari pertanyaan yang tidak berani kau tanyakan.
0 notes
Text
Penginapan Tepi Laut sedang dalam proses pengerjaan. Saya tidak tahu ia akan selesai seperti apa. Kerangka yang menunjukkan jalan ini, lebih sering tak berdaya dengan inspirasi saya.
Saya sudah memasuki “beranda”, agak takjub melihat nama-nama yang semula tak ada dalam kerangka. Sudah 12.389 kata, saya tak menyangka bisa sejauh itu. Dikerjakan dengan lambat karena tak fokus, tetapi makin ke sini saya merasa menyatu dengan Rumah Ombak.
Sebenarnya ide novel ini sudah sejak lama ada di kepala, saat saya mengerjakan penyuntingan novel Duel karya Anton Checkov. Ia berputar-putar dalam benak: rumah kayu, tirai putih, pantai, dan orang-orang.
Tulisan ini akan jadi penanda, bahwa menulis novel adalah perihal menguji ketahanan diri.
“Percayakan pada inspirasi, Ama. Jangan mengikat dirimu di tiang kerangka.” Begitu kalimat sahabat saya yang selalu tak keberatan saya recoki dengan bermacam pertanyaan.
Catatan ini akan selesai, saat novel Penginapan Tepi Laut selesai dikerjakan.
0 notes
Text
03 Januari 2021
Mau rajin membaca. Tidak ada kategori, ingin baca apa pun. Semalam selesai satu buku, hari ini sedang di halaman 56, buku lainnya.
Daftar bacanya ditulis di sini, di tempat lebih tertutup.
1. CADL, Triskaidekaman, GPU, 2019
2. The Mountain Echoed, Khaled Hosseini
3. Gadis Minimarket, Sayaka Murata, GPU, 2020
4. Shopachollic in Las Vegas, Sophie Kinsella, GPU
5. Perkutut untuk Bapak, Gunawan Maryanto, Diva Press
6. Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, Aan Mansyur, GPU, 2021
Ada banyak usaha untuk melewati hari-hari tak biasa dengan memasang ekspresi biasa-biasa saja. Pekerjaan melambat, karena susah konsentrasi. Membaca buku yang ringan menjadi semacam pelarian kecil—semacam upaya relaksasi yang murah untuk tetap waras.
7. I Owe You One, Sophie Kinsella, GPU 2020
8. Selama Laut Masih Bergelombang, Mariati Atkah, GPU 2020
9. Wedding Night, Sophie Kinsella, GPU
Sekarang (7 Feb), sedang membaca buku NH Dini dan Clarissa Goenawan. Juga satu PR membaca novel kawan untuk proses edit (jadinya malah meminta dia menambahkan beberapa poin dari hasil pembacaan).
10. Sharp Object, GPU, Paula Hawkins
Tidak jadi membaca NH Dini karena urusan menyunting. Empat hari lalu membaca Sharp Object, selesai malam tadi. Rasanya “drain” sampai saar menulis ini saya tidak tahu kenapa; lemas dan datar. Apakah energi gelap novel itu memasuki saya atau pengaruh cuaca. Satu yang pasti di novel berlatar Missouri, US, seorang tokoh bernama sama dengan saya, adalah seorang tokoh jahat dan kejam. Baru kali ini menemukan nama sendiri di sebuah novel asing. Eh dua kali, satu di sebuah novel Pakistan.
Saya melanjutkan baca novel dan puisi hari ini, di samping harus menulis prolog untuk karya seorang penulis muda.
11. Bermain Kata, Beribadah Puisi, Joko Pinurbo
Dibaca karena ingin mencatatkan prolog pada sebuah puisi biblikal yang bercerita tentang perjalanan mencari Tuhan.
12. Pulang ke Rinjani
13. Buku lama dari lemari, IEP yang cukup tebal.
14. Tragedi di Halaman Belakang, sebuah reportase yang ditulis dengan gaya jurnalistik sastrawi.
15. Ugly Love, karya Coleen Hoover. Random saya dipilih di iPusnas. Novel ringan untuk kepala yang terlalu penuh.
16. Museum Kehilangan, Kumpulan Puisi
17. Sekong!
18. Yang Pergi dan Berlalu, James Bryson
19. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, Luis Sepulveda
20. Kayori, Seni Merekam Bencana, Lala Bohang dan Ibe S. Palogai
0 notes
Text
ada pelarian-pelarian dari duka. ia mungkin hanya sedepa dari luka, tetapi tetap saja penting. menjadi ruang napas, dengan udara yang benar-benar berbeda.
0 notes
Text
mencintai orang lain, pekerjaan yang mudah. sebaliknya mencintai diri sendiri, adalah perilaku yang sulit dan butuh pembelajaran terus-menerus.
0 notes
Text
pada hal-hal yang tidak imbang, jangan pernah memasang harap, puan.
0 notes
Text
Tumblr media
sebuah usaha menulis novel ~
0 notes
Text
kepercayaan diri itu perlu, tetapi dalam komposisi yang tepat. saya yang mungkin tidak memiliki level percaya diri yang baik, merasa bersyukur. saya pernah percaya diri menerbitkan novel, yang kemudian saya tarik setelah merasa karya itu jelek. ini menolong saya dari rasa malu (jika novel itu dibaca banyak orang). meskipun pada beberapa pembeli awal, impresi mereka cukup baik (entah karena saya temannya atau karena hal sebenarnya).
dalam tulisan ada banyak aspek yang perlu dipelajari terus menerus. saya sedang mengedit sebuah buku filsafat sambil diselingi membaca sebuah kumcer, lalu dihinggapi pertanyaan: “apakah yang harusnya lebih dulu hadir, rasa percaya diri terhadap karya atau apa pun, ataukah kualitas kekaryaan kita?”
ini berlaku untuk semua hal.
0 notes
Text
ingin pergi berjalan sedikit jauh. membiarkan angin menyentuh seluruh wajah: mengambil banyak riuh di kepala.
0 notes
Text
ada saat setiap diri pergi ke tempat yang tidak pernah menyakiti. barangkali persinggahan, atau mungkin ruang kecil untuk menetap.
0 notes