Tumgik
dibandaneira · 7 years
Text
#Kita Sama-sama Suka Berterima Kasih
Bag I
Kita semua tentu punya ukuran masing-masing dalam menilai “keberhasilan”. Itu berlaku di bidang apapun, termasuk dalam musik. Apa yang membuat suatu album layak disebut berhasil? Ada yang baru puas jika album itu berhasil terjual ribuan kopi. Ada yang baru puas jika album menuai banyak pujian dari kritikus-kritikus skena setempat. Ada juga yang sekadar mampu merilis saja sudah sangat puas, tak terlampau peduli dengan pendapat siapapun mengenai kualitas musik yang ada dalam album itu. Semua orang punya ukurannya masing-masing dan kita tak perlu saling mengganggu gugat.
Jauh-jauh hari sebelum saya dan @rarasekar memulai proses rekaman, saya sering gembar-gemborkan ini ke teman-teman dekat, terutama mereka yang terlibat jauh dalam pembuatan album Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti. Kalau ada satu saja orang yang menangis mendengarkan satu atau dua lagu di dalam album itu, maka album itu saya nyatakan berhasil.
Saya tidak peduli apakah album ini nanti laku atau tidak, biar itu jadi urusan Sorge Records saja. Tak begitu peduli apakah akan mendapat ulasan-ulasan baik. Saya hanya ingin bikin orang nangis. Satu orang saja, cukup. Keinginan itu juga saya beritahu pada Rara, disampaikan dengan nada bercanda tentunya, dan seingat saya ditanggapi dengan ketawa-ketawa oleh Rara. Tapi saya tidak bercanda pada saat menyatakan itu. Saya benar-benar serius dan benar-benar berharap keinginan itu tercapai.
Melihat ke belakang sambil menyusuri kembali proses pembuatan dan rilisnya album kami, saya agaknya merasa sedikit takabur dalam berkeinginan. Saya termakan oleh keinginan sendiri. Memang kelak setelah rilis, ada sejumlah kawan datang pada saya dan mengaku ia berkaca-kaca ketika mendengarkan ini, ia menangis ketika mendengarkan itu. Dalam hati saya puas karena apa yang diinginkan tercapai. Tapi lebih sering album ini jadi senjata makan tuan. Perkenankan saya menjelaskan. Ceritanya agak panjang, begini kira-kira setelah diringkas:
Orang pertama di luar tim produksi yang diperdengarkan hasil rekaman kami adalah Oma saya, Eva Henriette Alma Koroh-Badudu. Pada saat kami rekaman di Yogyakarta medio Januari 2016 lalu, Oma saya -yang oleh keluarga biasa dipanggil Mom- masuk rumah sakit.
Mom adalah figur sentral dalam keluarga kami. Ia dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu. Ia pula yang jadi alasan kami sering kumpul-kumpul keluarga merayakan apa saja yang bisa dirayakan. Tradisi kumpul-kumpul itu sepertinya berakar dari budaya orang Manado.
Orang Manado terkenal suka memestakan apa saja. Ada yang lulus kuliah, makan-makan. Naik kelas, makan-makan. Apa saja asal ada yang bisa dirayakan, kalau bisa ya makan-makan. Tanpa disadari budaya kumpul-kumpul dan makan-makan itulah yang membuat keluarga besar Badudu yang kalau dikumpulkan semua jumlahnya sampai hampir 40 orang bisa akrab dari kecil sampai sekarang.
Saat dirawat, Mom tak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Malah keluarga diminta bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ini pertanda buruk. Saat itu tak ada yang siap kehilangan Mom. Terlebih pada saat masuk Rumah Sakit kami tak menduga ada sesuatu yang serius akan terjadi. Biasanya tiap masuk rumah sakit, setelah dirawat beberapa hari, ia akan keluar, pulang ke rumah, dan kembali menjalani hari-hari seperti biasa.
Namun kesehatan Mom ternyata terus memburuk. Oleh Rumah Sakit, keluarga dipersilakan secara bergiliran menyampaikan kata-kata terakhir selagi Mom masih bersama kami. Bahasa kasarnya, Mom sebentar lagi akan berpulang. Inilah kesempatan terakhir bertemu dengannya. Akhirnya tiba giliran saya menemui Mom di sebuah ruangan di ICU. Ruang itu, katanya, setingkat lebih tinggi dari ICU. Itu adalah ruang tempat menangani orang yang berada di ambang hidup dan mati.
Itu kali pertama saya melihat orang menghadapi sakratul maut. Sulit rasanya untuk tegar, mengingat yang terbaring di sana adalah orang yang sangat saya sayangi. Bersama dengan sepupu-sepuepu lain, kami memasangkan headphone pada telinga Mom dan memperdengarkan padanya lagu Sampai Jadi Debu. Ini seharusnya diperdengarkan di rumah Mom pada acara kumpul-kumpul keluarga, bukan di ruang ICU seperti ini.
Saya memberi tahu padanya bahwa lagu itu terinspirasi dari perjalan hidup dan kisah cinta Moma dan Popa. Tangannya yang semula bergetar terus sejenak terdiam. Saya tak tahu apakah itu pertanda ia menyimak dan mendengarkan. Mom yang sudah tak mampu membuka mata hanya diam. Sesekali ia mengangguk-angguk kecil. Sesekali juga ia mengerang pelan, sepertinya menahan sakit. Saya yang berdiri di depannya menangis sesenggukan. Dua atau tiga jam setelah itu, Mom yang semasa hidup dua kali sembuh dari kanker dan bergulat dengan diabetes, mengakhiri pertarungannya. Ia berpulang.
Kali kedua lagu dalam album diperdengarkan adalah di rumah duka, saat Mom disemayamkan. Kurang dari sepekan setelah kami selesai rekaman di Yogyakarta, Mom berpulang. Keluarga diperbolehkan menyampaikan persembahan terakhir sebelum Mom dikebumikan. Saat tiba giliran cucu-cucu menyampaikan salam perpisahan, lagu itu kembali diperdengarkan. Di samping peti, saya dan sepupu-sepupu lain, juga mereka yang datang dalam ibadah perpisahan, menangis sesenggukan.
Memang ada keinginan saya membuat orang menangis lewat album itu, tapi bukan seperti ini maksudnya. Tak seserius ini. Dalam bayangan saya adalah menangis haru yang bertahan sebentar saja sehabis itu langsung berlalu. Bukan nangis menghadapi kehilangan yang amat besar. Seolah album ini memang disiapkan untuk menghadapi ekses-ekses kehilangan yang terjadi sebelum maupun setelah semua album selesai digarap. Tiga bulan setelah berpulangnya Mom, Popa menyusul. Satu lagi kehilangan besar yang terjadi di tahun 2016. Saya hampir tak pernah mendengarkan lagu-lagu Banda Neira lagi setelah melalui banyak kehilangan itu.
Bag II
Bubarnya Banda Neira seolah jadi puncak dari segala kehilangan yang terjadi di tahun ini. Skalanya tentu beda dengan kehilangan anggota keluarga yang berpulang. Tapi sedih ya tetap sedih. Nyesek ya tetap nyesek. Beruntung ada waktu lumayan panjang untuk mempersiapkan diri, hampir setahun lamanya. Dalam proses diskusi dan tarik-ulur pendapat itu kami bisa mencicil kesedihan, hingga di hari pengumuman kesedihan itu telah lunas terbayar. Dari sana kami boleh beroleh suatu sikap ikhlas melepaskan.
Oleh seorang teman, setelah pengumuman bubar, saya sempat ditanya apa arti Banda Neira bagi saya. Saya jawab, Banda Neira itu memulihkan. Tapi tak saya jelaskan terlampau panjang. Saya yang sekarang sama sekali berbeda dengan saya empat tahun lalu, sebelum adanya Banda Neira. Dulu saya luar biasa tidak komunikatif. Sulit bicara. Serba tak percaya diri. Belakangan saya setelah membaca informasi di sana sini saya menyimpulkan saya mengidap semacam inferiority complex, perasaan rendah diri yang berlebihan, yang irasional, yang menghambat kekaryaan, dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Hanya Ada satu hal yang bisa dibanggakan dari masalah itu. Saya baru tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah mengalami hal serupa, semasa muda ia mengidap inferiority complex. Dalam sebuah artikel wawancara ia ungkapkan satu peristiwa yang membuatnya mampu menaklukan perasaan rendah diri yang berlebihan itu: ia meniduri seorang perempuan Eropa. Peristiwa itu jadi tonggak kemenangan Pram mengatasi masalah psikis yang ia hadapi. Agak banyol memang tapi begitulah adanya yang disampaikan Pram di wawancara itu.
Bukan maksud menyanding-nyandingkan diri dengan Pram. Siapalah saya di hadapan Pram. Tapi saya senang mendengar ada orang lain pernah punya masalah sama kemudian berhasil menaklukannya. Semacam memberi optimisme bahwa masalah ini bisa juga ditaklukan sepanjang kita tidak menyerah.
Dalam bermusik, perasaan rendah diri itu barangkali tak terlampau kelihatan. Tapi itu sangat terlihat dalam aspek hidup saya yang lain, yaitu kehidupan di dunia tulis menulis. Selama enam tahun bekerja di Tempo, hampir tak pernah saya membagikan hasil kerja pada khalayak. Membagi link tulisan paling-paling hanya lima sampai enam kali sepanjang enam tahun berkecimpung di dunia jurnalistik. Ada teman-teman yang meminta tulisan yang saya bikin, saya baru kirim dua-tiga pekan setelah diminta. Seringkali saya ngeles dan tak mengirimkannya sama sekali. Sangat tidak rasional.
Dan sepanjang enam tahun itu pula, selama bekerja di media, saya berusaha menaklukan perasaan rendah diri itu. Puncaknya di tahun ini, saya bisa dibilang setengah undur diri dari dunia jurnalistik, dari dunia tulis-menulis. Kerja saya enam bulan belakangan hanya merenung dan merenung saja. Jelas bukan satu kegiatan yang asyik.
Namun dalam hal bermusik, usaha menaklukkan perasaan rendah diri itu mengalir begitu saja dan sangat menyenangkan. Itu karena saya berada dalam posisi “terjerumus” sehingga “mau tak mau” harus maju terus. Tak mungkin ada cerita kami menolak manggung, bisa-bisa didenda oleh penyelenggara acara jika kami batal datang memenuhi undangan manggung. Ketika bertemu Rara dan mulai menggarap lagu-lagu bersama pada 2012 lalu, sama sekali kami tak pernah membayangkan musik Banda Neira akan didengar banyak orang. Apalagi sampai kami bertandang ke banyak kota, tampil di hadapan kalian para pendengar.
Kami tak mungkin keliling manggung di mana-mana jika tak ada kalian yang mendengarkan Banda Neira. Tak mungkin kami manggung di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Semarang, Malang, Balikpapan, Garut, Bogor, Kiluan, Bali, dan kota-kota lain yang pernah kami sambangi sepanjang usia Banda Neira yang singkat ini. Dan semua pengalaman yang amat menyenangkan itu masih terekam jelas di kepala.
Banda Neira banyak sekali membantu usaha saya menaklukkan perasaan rendah diri yang berlebih itu. Karena banyak manggung, mau tak mau saya harus belajar public speaking agar tak canggung di hadapan penonton. Juga belajar mengelola kegugupan. Juga menjadi berani menampilkan karya. Sulit membayangkan apa jadinya sekarang jika kemarin Tuhan tak mempertemukan saya dengan Rara, dengan teman-teman Sorge Records yang banyak membantu tumbuh kembang Banda Neira, teman bermusik bersama di Yogyakarta, juga dengan teman-teman sesama musisi yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Dan yang teratas dari semua itu adalah Banda Neira tak akan jadi seperti itu tanpa kalian para pendengar Banda Neira. Jika empat tahun belakangan tak bertemu kalian semua, mungkin lagu-lagu Banda Neira hari ini masih nganggur begitu saja ngejentrung di harddisk laptop. Atau bahkan tak akan pernah tercipta sama sekali. Mungkin saya masih berkubang di lumpur yang itu-itu juga, termakan perasaan rendah diri yang tak henti-hentinya bercokol di kepala.
Bag III
Yang amat tak diduga-duga dari semua pengalaman ini adalah rentetan peristiwa yang terjadi setelah kami mengumumkan bubar 23 Desember 2016 lalu. Pada hari itu saya sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan buruk. Menyiapkan diri kalau saja ada yang menghujat keputusan kami. Jika ada yang marah-marah karena kami tak bisa mempertanggungjawabkan karya. Tapi respon yang kami terima malah kebalikan dari segala bayangan-bayangan buruk itu.
Sungguh sampai saat ini tak bisa saya mengerti, teman-teman sekalian malah banyak mengucapkan terima kasih ketimbang marah-marah kepada kami. Sampai-sampai di media sosial banyak bertebaran tagar #terimakasihbandaneira. Tak pernah saya bayangkan lagu-lagu yang kami buat bisa begitu menyentuh teman-teman sekalian, bahkan tak sedikit yang mengatakan jadi soundtrack fase-fase dalam hidup teman-teman sekalian.
Agak sulit membayangkannya karena saya tahu persis bagaimana proses lagu-lagu itu dibuat. Ada yang melodinya muncul tiba-tiba ketika sedang bermacet-macet ria menunggang motor di Jakarta, seperti lagu Kisah Tanpa Cerita. Lagu Rindu, misalnya, diselesaikan saat listrik di rumah sepupu saya di Jakarta padam. Kebetulan saya sedang menginap di sana, dan dalam suasana gelap gulita, panas, dan pengap karena listrik padam lumayan lama, saya ambil gitar, genjrang-genjreng tak disangka-sangka menemukan melodi lengkap lagu Rindu.
Sampai sekarang kadang saya masih tak habis pikir bagaimana lagu-lagu Banda Neira bisa bekerja dan punya arti dalam diri dan hidup teman-teman.
Menulis pesan terima kasih itu barangkali suatu hal yang ringan saja buat teman-teman. Kalian barangkali tak akan pernah tahu seberapa besar dampak ucapan-ucapan itu pada diri saya. Atau pada diri Rara. Sulit juga menjelaskannya. Kalau boleh berlebay-lebay kata, rasanya seperti orang terlahir kembali, dibangkitkan kembali setelah mengalami keterpurukan yang teramat dalam.
Seperti Pram yang berhasil beroleh tonggak kemenangan melawan perasaan rendah diri yang berlebih itu, saya pun merasa sama. Satu per satu saya baca semua ucapan terima kasih teman-teman, saya merasa hari bubarnya Banda Neira 23 Desember lalu itu adalah hari saya beroleh kemenangan menaklukkan inferiority complex. Merasa terbebas dar masalah yang menghantui bertahun-tahun belakangan.
Kebebasan itu rasanya seperti mendadak terlempar ke hutan pinus Alaska setelah bertahun-tahun hidup di gurun Sahara. Pergulatan bertahun-tahun itu akhirnya selesai juga –atau setidaknya saya nyatakan selesai. Tak ada gunanya berkubang berlama-lama dalam perasaan rendah diri. Keluar dan berkaryalah. Banyak terima kasih saya ucapkan kepada kalian yang sadar tak sadar membantu saya keluar dari masalah itu. Saya berutang banyak sekali pada teman-teman sekalian.
Bag IV
Rupanya ada untungnya juga kami tak pernah memberi nama bagi pendengar Banda Neira. Tak membuat semacam fans club atau sejenisnya. Juga ada hikmahnya kalau kami enggan menyebut Banda Neira sebagai duo walau hikmahnya baru diketahui sekarang-sekarang ini.
Setelah bubar, Banda Neira bukan lagi saya dan Rara Sekar. Namun itu justru membuka kemungkinan lebih besar. Dulu, sering kami katakan bahwa separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Rara Sekar. Atau separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Ananda Badudu. Sekarang itu tak lagi berlaku karena kami sudah berpisah jalan.
Sekarang, siapapun boleh menyebut mereka adalah Banda Neira. Hmm, terdengar aneh, tapi rasanya tak salah. Kini separuh, sebagian, atau sebagian besar dari Banda Neira adalah kalian juga. Kalian yang terus memberi nyawa dan kehidupan  pada lagu-lagu itu. Perjalanan sepanjang empat tahun itu perlahan mengubah kami menjadi kita. Lagu-lagu itu kini jadi punya mu juga.
Terima kasih untuk pengalaman yang begitu mengubah hidup. Semoga kalian pun beroleh kebaikan, sebagaimana kami banyak beroleh kebaikan dari kalian semua. Akhir kata, izinkan saya merangkai-rangkai judul album sendiri menjadikannya penutup tulisan ini. Agar yang patah lekas tumbuh dan yang hilang kelak berganti, kita mesti senantiasa berjalan dan berjalan lebih jauh.
Juga perkenankan saya untuk membalas tagar #terimakasihbandaneira dengan #terimakasihpadakaliansemua. Atau kalau itu kurang cocok, bolehlah kita coba tagar yang ini: #KitaSamasamaSukaBerterimaKasih.
Maaf kalau terlalu personal. Maaf juga kalau terlampau sentimentil. Semoga dimaklumi. Gapapa lah ya, sekali-sekali :)
Sekian. Selamat menyongsong tahun baru 2017. A luta continua.
Salam, Ananda Badudu Bandung, 31 Desember 2016
    ps:/��x�(��
771 notes · View notes
dibandaneira · 8 years
Text
Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti
'Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti' adalah album kedua Banda Neira.
Album versi digital ada di: iTunes juga di Deezer, Spotify, dll.
Beli versi fisik dengan mengirim surel ke: [email protected]
atau datang ke toko-toko berikut ini.
Salam,
Banda Neira.
144 notes · View notes
dibandaneira · 8 years
Text
Lirik
Matahari Pagi (Lagu: Ananda Badudu; Lirik : Ananda Badudu dan Rara Sekar)
Bilur embun di punggung rerumputan Langit biru, kapas awan Sapa burung berbalasan Bisik daun dihembus angin nan pelan Senandungkan lagu alam Menyambutmu tiap hari menjelang
Matahari pagi Hangat dan menerangi Dunia yang gelap Hati yang dingin Perlahan berganti menjadi bahagia
Sebagai Kawan (Lagu: Ananda Badudu; Lirik: Disampaikan di sebuah orasi oleh Adhito Harinugroho. Konon kutipan tersebut pertama kali diucapkan oleh Albert Camus)
Jangan berdiri di depanku karena ku bukan pengikut yang baik Jangan berdiri di belakangku karena ku bukan pemimpin yang baik Berdirilah di sampingku sebagai kawan
Pangeran Kecil (lagu dan lirik: Ananda Badudu dan Rara Sekar)
Tidur, tidurlah sayang Esok kan segera datang Tutup buku kesayanganmu itu Esok atau lusa kita buka kembali
Tidur, tidurlah sayang Malam terlalu larut untukmu Simpan buku kesukaanmu itu Tarik selimutmu coba pejamkan mata
Beri tanda pada gambar yang kau suka Rubah dalam gua, atau mawar dalam kaca Beri tanda pada lembar yang kau suka Pangeran kecil kabur terbang bersama kita
Tidur, tidurlah sayang Lelah kan menidurkan matamu Singgahlah ke tempat teman-temanmu yang menyapamu di dalam lelap dan tidurmu
Pelukis Langit  (Lagu dan lirik: Ananda Badudu dan Rara Sekar)
Teringat akan sebuah kisah di balik kelabu Ketika langit tak secerah dulu Sepekan sudah tak hadir ia menemuiku Mungkinkah matahari sedang sendu? Menunggang bumi, sang pelukis bergegas menuju Mencari matahari namun tak temu Melihat itu kupu-kupu memanggil sang angin Titipkan warna pada setiap hembus
Pelukis langit lari terburu-buru Hingga dia lupa warna kuning dan biru Pelukis langit lari terburu-buru hingga yang ada hanya kelabu
Utarakan (Lagu dan Lirik : Ananda Badudu)
Lihatlah bunga di sana bersemi Mekar meski tak sempat kau semai Dan suatu hari badai menghampiri Kau cari ke mana, dia masih di sana
Walau tak semua tanya datang beserta jawab Dan tak semua harap terpenuhi Ketika bicara juga sesulit diam Utarakan, utarakan, utarakan.
Dengarlah kawan di sana bercerita Pelan ia berbisik, pelan ia berkata-kata Dan hari ini, tak akan dimenangkan Bila kau tak berani mempertaruhkan
Biru (Lagu: Ananda Badudu; Lirik: Ananda Badudu dan Bramantya Basuki)
Biru, tuk segala yang jauh Biru, tuk semua yang luruh Bayang resah tak kan lesap segala pekat, kan niscaya
Biru, tuk segala yang jauh Biru, tuk semua yang luruh Singgah saja, kita nanti Harap terang, kan menjelang
Bunga (Lagu dan Lirik: Rara Sekar) Pada akar kita tanamkan bersama, harapan Tumbuh kembang berbagi tanah udara Hingga ruang mulai beradu Hingga waktu tak lagi mampu Hari ini bukan tuk kita miliki Tapi menjadi
Bersemilah di taman Kawan jadilah bunga Bunga yang mekar Temani daun-daun Dan terangi hidupnya Jadilah bunga
Pada awan kita sering berumpama, berandai Bila daun dan tangkai ini dewasa Lahir rasa yang tak menentu Usah melangkah dan berlalu Tak semua yang kita tanam kita tuai bersama
Sampai Jadi Debu (Lagu: Ananda Badudu dan Gardika Gigih; Lirik: Ananda Badudu)
Badai Tuan telah berlalu Salahkah ku menuntut mesra? Tiap pagi menjelang Kau di sampingku Ku aman ada bersama mu
Selamanya Sampai kita tua Sampai jadi debu Ku di liang yang satu, Ku di sebelahmu
Badai Puan telah berlalu Salahkah ku menuntut mesra? Tiap taufan menyerang Kau di sampingku Kau aman ada bersama ku
Langit dan Laut (Lagu dan Lirik: Ananda Badudu; Aransemen dawai: Gardika Gigih)
Dan dengarkan ombak yang datang menerjang kuatmu Dan dengarkan arus yang datang nyatakan
Langit dan laut dan hal-hal yang tak kita bicarakan Biar jadi rahasia Menyublim ke udara Hirup dan sesakkan jiwa
Re: Langit dan Laut (Lagu dan Lirik: Rara Sekar)
Biarkan saja alam yang membahasa Biarlah saja tak akan ubahnya yang ada Dengarkan saja pasang gelombang yang bersahutan Rasakan getar dari kedalaman samudera
Di ambang gelap dan terang Di batas indah dan perih Ada, sunyi
Mewangi (Lagu dan Lirik: Ananda Badudu)
Riuh rasa diembannya Melewati hari Menyeruak Mengumbar wewangi Menuruti rindu yang tiada habis Mewangi Ke mana kau menuju, anakku? Kalah atau menang kita kan jadi Arang dan abu Arang dan abu Mewangi
Derai-derai Cemara (1949) - Musikalisasi Puisi Chairil Anwar (Lagu: Ananda Badudu; Aransemen dawai: Gardika Gigih; puisi : Chairil Anwar)
Cemara menderai sampai jauh Terasa hari akan jadi malam Ada berapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan Sudah berapa waktu bukan kanak lagi Tapi dulu memang ada suatu bahan Yang bukan dasar pertimbangan kini
Hidup hanya menunda kekalahan Tambah terasing dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Tini dan Yanti (lirik: Ida Bagus Santosa; lagu: Amirudin Tjiptaprawira; Aransemen ulang : Ananda Badudu dan Rara Sekar)
Tini dan Yanti, kepergianku buat kehadiran di hari esok yang gemilang Jangan kecewa meski derita menantang Itu adalah mulia Tiada bingkisan, hanya kecintaan akan kebebasan mendatang La historia me absolvera! La historia me absolvera!
Benderang (lagu dan lirik: Ananda Badudu dan Rara Sekar)
Benderang jalan telah terang Dan lapang jalan terbentang Tuk kau dan ku lalui Tuk berserah pada waktu
Terentang jejak di belakang Dan hilang yang kelak di depan Tak kau dan ku lalui Tak menyerah pada waktu
Terang benderang
Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti  (Lagu: Ananda Badudu; Lirik: Ananda Badudu dan Rara Sekar; Aransemen dawai: Gardika Gigih)
Jatuh dan tersungkur di tanah aku Berselimut debu sekujur tubuhku Panas dan menyengat Rebah dan berkarat
Yang, yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna Yang terus berulang suatu saat henti Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Di mana ada musim yang menunggu? Meranggas merapuh Berganti dan luruh Bayang yang berserah Terang di ujung sana
385 notes · View notes
dibandaneira · 8 years
Video
youtube
Teaser pertama album kedua Banda Neira,
"...Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti..."
Segera di tahun 2016.
Video: Guswib Hand lettering: Sapta Dwikardana & Feransis
195 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Photo
Tumblr media
Wah, senangnya. Oktober = Tur Jawa! Sampai jumpa, Semarang, Yogyakarta dan Malang! #PanggungBandaNeira Photo by @benlaksana.
42 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Video
youtube
Mungkin lagu "Tini dan Yanti" ini termasuk deretan lagu "politis" dari Banda Neira, selain "Mawar" dan "Rindu". Dimana liriknya diambil dari catatan dan guratan tahanan politik 65 di dinding penjara. Lagu masuk kompilasi Prison Songs yang di inisiasi oleh Taman 65 - Bali. Kemarin tanggal 21 Agustus 2015, kompilasi ini diluncurkan.
(via Sorge Magazine https://www.youtube.com/watch?v=Bj2zOpCECGo)
47 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Photo
Tumblr media
Rapat persiapan album kedua #BandaNeira bersama @sorgerecords. Kira-kira nuansa album kedua Banda Neira seperti apa ya?
15 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Text
Kenangan Kita Sama-Sama Suka Hujan
Halo. Berikut adalah kumpulan video yang berkaitan dengan Konser Kolaborasi Kita Sama-Sama Suka Hujan yang berlangsung pada 11 April 2015 di Bandung dan 15 April di Jakarta. Kalau teman-teman ingin berbagi foto ataupun video kenangan dari konser tersebut, silakan dikirimkan melalui fitur “Kirim Sesuatu” di atas halaman ini. Semoga suatu hari kami bisa membawa konser ini ke kota-kota lain di Indonesia!
youtube
youtube
youtube
youtube
youtube
youtube
youtube
youtube
youtube
Salam,
Banda Neira
32 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Video
youtube
Your Ex-Lover Is Dead dari Stars adalah salah satu lagu yang dimainkan oleh Banda Neira ketika pertama kali mereka tampil di perhelatan SORGE GIGS tahun 2012 (klik untuk melihat videonya http://www.sorgemagz.com/?p=339 ).
Lagu ini kembali dibawakan oleh Banda Neira ketika mereka tampil di Pasar Santa, Jakarta, 2014 kemarin. Simak video-nya..
20 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Video
youtube
Banda Neira menerima sebuah undangan dari seorang ayah yang ingin menyanyikan lagu "Di Beranda" untuk anaknya yang bernama Inez yang akan melanjutkan pendidikan di Melbourne, Australia. Sebelumnya, beberapa kali Inez meminta ayahnya untuk mendengarkan lagu "Di Beranda" sampai akhirnya sang ayah mengerti maksud dari anaknya tersebut. Dari situ Arsi, sang ayah, bersama bunda Rina dan Billy, sang adik, memberikan kejutan kepada Inez dengan mengajaknya di Bandung untuk bertemu, bercengkerama dan bernyanyi lagu "Di Beranda" bersama dengan Banda Neira. Simak spesial show dari Banda Neira yang direkam oleh tim kami.
(via @sorgemagz)
57 notes · View notes
dibandaneira · 9 years
Photo
Tumblr media
Halo :)
Kami lupa cerita bahwa kami punya: KAUS BANDA NEIRA!
Tersedia dalam dua warna: ada hijau syahdu dan biru sendu. Ukurannya beragam dari S hingga XL. Harganya Rp 120.000 saja (tanpa ongkir).
Apabila kawan-kawan tertarik untuk memilikinya, silakan kirimkan surel ke [email protected] dengan judul surel: Pesen Kaus Banda Neira. Jangan lupa cantumkan jumlah pemesanan, ukuran, nama lengkap, alamat dan nomor kontak.
Salam hangat, Banda Neira
46 notes · View notes
dibandaneira · 10 years
Text
Suara Awan, Sebuah Pertemuan
Tumblr media
Konser Kolaborasi : Banda Neira, Gardika Gigih, dan Layur 
Tajuk : “Suara Awan”
Turut bermusik bersama: Alfian Emir Aditya (cello), Jeremia Kimoshabe (cello), dan Suta Suma Pangekshi (biola)
Sabtu, 26 April 2014 Amphiteater Tembi Rumah Budaya Jl. Parangtritis km 8,4 Tembi, Timbul Harjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta Buka gerbang pukul 19.15, Konser pukul 20.00 Acara khusus undangan
Undangan bisa didapatkan mulai Sabtu 19 April 2014 di Tembi Rumah Budaya pada jam kerja (10.00-16.00) Satu orang maksimal mengambil dua undangan Kontak: 0878.394.111.92 (Forum Musik Tembi)
Penjelasan singkat:
Banda Neira, Gardika Gigih, dan Layur akan berkolaborasi menggabungkan warna musik yang mereka bawa dalam sebuah konser bertajuk “Suara Awan, Sebuah Pertemuan”. Konser ini menggabungkan kesederhanaan folk akustik Banda Neira dengan alunan piano Gardika Gigih serta nuansa elektronik pada musik Layur. Musik ketiganya akan dibuat lebih megah dengan tambahan string chamber Alfian, Jeremia, dan Suta. 
Konser kolaborasi ini dipicu oleh rasa saling kagum di antara Banda Neira, Gigih, dan Layur. Banda Neira mengagumi musik karya Gigih dan Layur, begitu juga sebaliknya. Awalnya, pertemuan ketiga musikus ini awalnya hanya terjadi di dunia maya. Di Soundcloud lebih tepatnya, situs di mana ketiganya mengunggah karya. Saling komentar di dunia maya akhirnya berkembang menjadi pertemuan tatap muka. Setelah beberapa kali bertemu di Yogyakarta, mereka sepakat mengadakan konser kolaborasi.
Rencananya ada 10 lagu yang akan dibawakan dalam Suara Awan. Dua lagu ciptaan Layur (Are You Awake?, Suara Awan), empat lagu ciptaan Gigih (Kereta Senja, Tenggelam, Hujan dan Pertemuan, I’ll Take You Home), dan empat lagu ciptaan Banda Neira (Hujan di Mimpi, Matahari Pagi, Derai-derai Cemara, Hal-hal yang Tak Kita Bicarakan).
Lagu-lagu yang dimainkan dalam konser kolaborasi akan terdengar sangat berbeda dengan yang selama ini diperdengarkan. Ketiganya mengubah aransemen lagu menjadikannya sesuatu yang baru. Ketiganya juga terbuka untuk ide-ide baru yang terlontar ketika latihan bersama sehingga struktur serta nuansa lagu bisa sama sekali berbeda dengan yang aslinya.
Karya-karya Gigih yang biasanya berupa komposisi instrumental akan terdengar berbeda dengan tambahan vokal dan lirik. Lagu-lagu Banda Neira yang biasanya dibuat hanya dengan satu gitar kopong dan satu xylophone akan terdengar lebih mewah dengan tambahan suara-suara dari Layur. Musik elektronik Layur pun akan jadi berbeda dengan sentuhan akustik, piano, dan iringan cello dan biola.
Profil Singkat :
Banda Neira Banda Neira adalah grup musik yang dibentuk oleh jurnalis Tempo Ananda Badudu (26) dan pekerja sosial Rara Sekar Larasati (23). Mereka menyebut musiknya sebagai musik nelangsa riang. Nelangsa karena stelan mereka bermusik amat sederhana, terdiri dari dua vokal, satu gitar kopong, dan satu xylophone. Dan riang karena lagu-lagu yang mereka buat umumnya bernada gembira.
Sejak dibentuk pada Februari 2012 lalu, Banda Neira telah merilis satu album EP (Di Paruh Waktu-2012), dan satu album penuh (Berjalan Lebih Jauh-2013). Di bawah naungan label Sorge Records, mereka menggratiskan lagu yang mereka buat dan menyebarnya di Soundcloud.com/bandaneira.
Musik mereka bisa didengar di sini Informasi Banda Neira bisa didapat di sini
Twit band dan personel: @dibandaneira @anandabadudu @rarasekar
Gardika Gigih Gardika Gigih adalah komponis dan pianis muda jebolan Institut Seni Indonesia (ISI). Pemuda 23 tahun mulai jadi pembicaraan setelah ia menggelar konser Train Music pada November 2012. Gigih memimpin orkestra memainkan karya-karya yang ia bikin, di antaranya Keretamu Berlalu dan Hujan Pun Turun, Hujan dan Pertemuan, dan Perjalanan Pulang.
Karya-karya Gigih beberapa kali dimainkan di luar negeri. Seperti komposisi berjudul Kampung Halaman, pada 2011 dipentaskan di Yokohama, Jepang, oleh pianis Makoto Nomura. Pada 2012, karya Night at My Homeland yang ditulis Gigih dipentaskan Cultural Community Center Krakow, Polandia.
Musik Gigih bisa didengar di sini Info tentang Gigih bisa dilihar di sini Twit: @musikgigih
Layur Layur adalah nama panggung Febrian Mohammad (25). Modal utama alumnus jurusan Akuntansi UII Yogyakarta bermusik ini adalah laptop dan program Fruity Loops. Yang istimewa adalah eksplorasi suara dan musik yang dilakukan Layur lewat laptop itu.
Karyanya banyak menuai pujian karena membawa musik Fruity Loop ke level yang belum pernah dicapai musikus lainnya. Ia menjadikan musik elektronik berjiwa. Bukan sekadar membuat repetisi bit dan loop semata. Pada 2013, label Totokoko dari Jepang merilis karya-karya Layur. Ada tujuh lagu dalam EP bertajuk Self Titled tersebut, di antaranya Sepotong Kecil, The Morning Hills, dan Sway.
Karya Layur bisa didengar di sini Twit: @patigenie
Profil String Chamber:
Alfian Aditya dan Jeremia Kimoshabe: Cellist Alfian dan Jeremia membentuk duo bernama Bad Cellist. Duo yang dibentuk pada Desember 2012 ini bermusik hanya dengan dua cello. Penguasaan teknik yang luar biasa hebat membuat mereka leluasa mengeksplorasi jenis musik apapun dengan instrument cello. Bad Cellist pernah tampil di Ngayogyajazz pada 2013 lalu. Dalam waktu dekat mereka akan merilis sebuah single
Musik alfian bisa didengar di sini twit: @alfianaditya @kimo_cellist
Suta Suma Pangekshi Suta Suma adalah pemain biola muda yang saat ini masih studi di Jurusan Musik ISI Yogyakarta. Ia sering bergabung dengan berbagai orkestra di Indonesia, seperti Sa’Unine String Orchestra, Gita Bahana Nusantara, dan masih banyak lagi.
twit: @suta_suma
Pendukung Acara : Tembi Rumah Budaya Forum Musik Tembi Koperasi Keluarga Besar Mahasiswa (KKBM) Unpar Sorge Magazine Sorge Sindikasi Sorge Records Studio Mahati Forum Film Dokumenter Art Music Today
47 notes · View notes
dibandaneira · 11 years
Text
Kita Sama-sama Suka Hujan : Catatan Perjalanan Yogyakarta
Tumblr media
(Banda Neira dan Gardika Gigih di emperan kopi jos. Terima kasih mas @_wid fotonya)
Banyak orang bilang Yogyakarta adalah kota yang hidup. Konon banyaknya acara-acara kebudayaan di Yogya setara Jakarta, Bandung, Bali digabung. Belum lagi taman kotanya yang ada di mana-mana. Galeri seni dan museum ada di setiap sudut. Toko bukunya paling lengkap seantero negeri. Tak ada macet. Makan dan tempat nongkrong super murah. Kabarnya juga novel atau kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma mudah didapat di Yogya.
Pekan lalu kami berkesempatan merasakan Yogya. Dan semua yang dibilang orang itu rupanya benar. Kecuali soal kumpulan cerpen Seno Gumira.
Dari cerita kawan-kawan kami dengar banyak orang besar di Yogya suka seliweran cuek di tengah atau pinggir kota. Joko Pinurbo katanya suka baca puisi kalau bulan purnama tiba. Pelukis Agus Suwage suka nongkrong santai di tengah kota kalau karya baru terjual. Butet Kertarajasa dan Djaduk Ferianto mudah ditemui di warung punya mereka.
Orang punya karya adalah satu hal tersendiri. Tapi tak semuanya bisa jadi orang “besar”. Dalam arti, orang-orang besar itu adalah mereka yang hebat dalam berkarya, tapi tetap rendah hati, mudah ditemui dan mudah diajak bicara. Tak mesti terkenal. Hal seperti itu mungkin agak sulit ditemukan di Jakarta. Tapi di Yogya, lain cerita.
Salah satu orang besar yang kami temui di Yogya kemarin adalah Gardika Gigih Pradipta, komposer muda jebolan kampus Institut Seni Indonesia (ISI). Orangnya pemalu dan kaku kalau bicara. Jadi serasa tidak sendirian di dunia. Haha.
Perihal “Hujan” lah yang membawa kami saling menemukan satu sama lain. Antara Hujan di Mimpi atau Hujan dan Pertemuan. Kalau kata judul lagu Gigih, “Kita Sama-sama Suka Hujan.” Bermula dari lagu-lagu hujan itu rencana pun berkembang.
Pekan lalu, kami sepakat menggarap suatu proyek kolaborasi. Belum tahu seperti apa bentuknya, kapan, dan bagaimana, tapi mudah-mudahan bisa terealisasi. Yogya, kami pasti kembali.
Salam, Ananda Badudu & Rara Sekar Jakarta dan Ubud Minggu, 4 Agustus 2013
*Beberapa potongan video ketika main di Jogja:
*cek juga soundcloud musikgigih :
72 notes · View notes
dibandaneira · 11 years
Text
di Balik di Beranda
Saya sebenarnya bukan orang yang sentimentil. Juga jarang berbagi cerita pribadi, apalagi menuliskannya. Tapi tak apalah sekali dua kali sedikit sentimentil. Saya mau cerita sedikit tentang kejadian-kejadian yang menginspirasi lagu di beranda. Pertengahan 2010, beberapa bulan setelah lulus kuliah, Tempo menanggapi lamaran kerja yang saya ajukan. Saya dipanggil ke kantor Kebayoran untuk diwawancara oleh redaktur kompartemen metropolitan. Saya melamar untuk jadi koresponden Tempo di Depok. Wawancaranya singkat, hanya ditanya soal minat dan alasan melamar ke Tempo. Di akhir wawancara redaktur berpesan, "Harus segera pindah karena sudah lama tidak ada orang Tempo di Depok," katanya. Hari itu juga saya pulang ke Bandung, tentu dengan perasaan super senang. Sejak kuliah saya memang berkeinginan jadi wartawan Tempo. Kalau tidak salah hari itu adalah hari Kamis, dan Senin pekan depannya saya sudah harus ada di Depok untuk bekerja. Sesampainya di rumah, saya kasih tahu bapak dan ibu waktu untuk pindahan tak banyak. Setidaknya hari Minggu harus sudah pindah ke Jakarta. Dalam dua hari barang-barang beres dikemas. Hari Sabtu, saya, bapak, dan ibu berangkat ke Jakarta. Barang-barang penuh betul di mobil. Mulai dari lemari, rak baju, sampai kasur semua tumplek di sana. Hari itu semacam jadi penanda dalam hidup: fase kehidupan kuliah sudah selesai, berikutnya fase meninggalkan rumah dan kerja menghidupi diri sendiri. Agak sedih juga sebenarnya meninggalkan Bandung dan segala isinya, apalagi kamar saya baru selesai direnovasi DIY (Do It Yourself) style.
Tumblr media
(hasil renovasi kamar)
Sebenarnya tidak ada yang istimewa soal kepindahan itu. Kecuali soal fase hidup dan pindahan yang buru-buru. Sisanya, ya biasa saja. Sedih juga tak sedih-sedih amat. Apalagi jarak Jakarta/Depok-Bandung tak seberapa jauh, hanya dua setengah sampai tiga jam perjalanan. Waktu pun berlalu sampai hitungan bulan. Suatu ketika, kakak saya, Nadia Badudu -yang juga tinggal di Jakarta- mengirim email. Dia menceritakan kembali obrolan yang terjadi ketika kumpul-kumpul keluarga di rumah nenek di Bandung. Setelah dirangkum kira-kira seperti ini ceritanya: Saya punya tante namanya Cisca Latuihamallo, biasa dipanggil Ma Eka. Suatu hari Ma Eka ada perlu datang ke rumah. Entah mengantar makanan, ambil panci, atau apa saya tak ingat persis. Kebetulan ibu sedang sendirian di rumah, jadi dia lah yang membukakan pintu untuk Ma Eka. Ma Eka sedikit kaget melihat mata ibu sembap, seperti sehabis menangis. Setelah ditanya, rupanya memang habis menangis. Ibu saya sedih karena rumah jadi sepi, tak seperti dulu lagi. Tak terbayang oleh saya ketika Ma Eka menceritakan kejadian itu saat kumpul-kumpul keluarga. Bukannya sedih, pasti jadi bahan ketawaan luar biasa. Masalahnya Ma Eka ini orangnya meledak-ledak kalau bercerita, lucu, selalu bikin orang tertawa-tawa. Email itu saya baca saat sedang sendiri di kamar kos, di atas kasur, dan laptop dipangku. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu juga kok bisa sampai seperti itu ya. Haha. Saya tak mengira ibu bisa sesentimentil itu. Ibu adalah orang yang amat pandai menyembunyikan perasaannya. Introvert garis keras. Tapi hari itu naas, dia kepergok. Saat sedang nangis sendiri di rumah, eh tahunya datang Ma Eka. Kena deh. Hehehe... Kejadian inilah yang menginspirasi bait pertama lagu di Beranda: "...Oh, ibu. Tenang sudah, lekas seka air matamu. Sembapmu malu dilihat tetangga..." Dipikir-pikir, kalau saya jadi ibu, pasti akan merasa sama. Sedih. Ada fase hidup yang baru, saat rumah tak lagi seramai dulu. Tak ada lagi yang diomel-omelin karena bleberan ambil nasi dari rice cooker. Atau karena ambil masakan langsung dari panci, pakai tangan pula. Masa-masa nganggur pasca lulus kuliah adalah masa rumah sedang ribut-ributnya. Saya dapat pinjaman saxophone dari Pa Edwin, suami Ma Eka. Tiap hari dimainkan, mending kalau bisa. Berhubung skill pas-pasan, dan niat hanya coba-coba, suara saxophone jauh dari merdu, malah lebih mirip klakson bernada. Masa-masa nganggur itu juga adalah masa rajin-rajinnya rekaman di kamar. Di kamar komputer lebih tepatnya. Pada masa itulah muncul ide-ide gitar yang di kemudian hari jadi lagu esok pasti jumpa, di atas kapal kertas, dan (tak lupa) forego.
Tumblr media
(rekaman kamar) Kalau sedang rekaman, biasanya berebut giliran dengan ibu. Komputer itu sering dia pakai untuk mengurus ini itu. Karena repot bulak-balik beberes, barang-barang rekaman sering saya tinggal saja berantakan. Dan ibu cuek, tetap pakai komputer meski berantakan. Setelah pindah, berantakan dan ribut-ribut itu barang tentu tak akan ada lagi. Diterjemahkan ke dalam lagu, jadilah bait ketiga: "...Kini kamarnya teratur rapi. Ribut suaranya tak ada lagi. Tak usah kau cari dia tiap pagi..." Dan terakhir, bagian reffrain. Saya tak tahu apa hal ini semestinya diungkap atau tidak. Tapi ya sudah lah, kepalang tanggung. Sebenarnya "percakapan bapak-ibu" itu hanya modus saja. Seolah yang memberi pesan demikian bukan si anak, tapi si bapak. Maksud sebenarnya adalah, bagian reffrain itu pesan dari anak buat ibunya. Berhubung saya juga sama tertutupnya seperti ibu, jadi untuk mengungkapkan sesuatu mesti pakai modus-modus tertentu. Dan di Beranda itulah modusnya. Dalam bahasa yang lebih lugas, di Beranda adalah pesan kepada ibu agar tidak bersedih. Sejauh-jauhnya anaknya pergi, sejarang-jarangnya pulang, rumah dan segala isinya akan selalu ada di pikiran. Dan pasti, kami ini akan pulang, meski hanya sesekali. "...Dan, jika suatu saat buah hatiku, buah hatimu untuk sementara waktu pergi. Usahlah kau pertanyakan ke mana kakinya kan melangkah, kita berdua tahu, dia pasti pulang ke rumah..."
Sekian cerita tentang di Beranda dari separuh Banda Neira cabang Jakarta. Rara mungkin mau cerita juga, atau sudah ya di twitter. Hehe.
Ohiya, judul lagu ini adalah hasil sayembara. Dulu kami buka sayembara kecil-kecilan di twitter, karena habis ide cari judul. Dulu judul dari kami adalah "bapa-ibu ngobrol" haha.
Di twit kami tulis lirik lalu nanya ke orang-orang kira-kira apa judulnya yan asik. Lalu akun @nindysm muncul dengan usul: "Percakapan di Beranda." Setelah diedit sedikit, jadilah usul dari Nindy kami pakai. Terima kasih Nindy.
Yak, sekian cerita tentang di Beranda. Sampai ketemu lagi di cerita-cerita selanjutnya. Terima kasih banyak telah membaca. Kalau teman-teman punya pengalaman serupa yang mirip-mirip seperti ini juga boleh lo dibagi. hehe. Salam, Banda Neira Rara Sekar dan Ananda Badudu
*Ditulis dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta, Jumat 21 Juni 2013 PS: maafkan kalau terlalu sentimentil.
243 notes · View notes
dibandaneira · 11 years
Text
terima kasih banyak bung Satrio untuk foto-fotonya :))
Nelangsa Lebih Jauh Bersama "Banda Neira"
Tumblr media
Read More
15 notes · View notes
dibandaneira · 11 years
Photo
Tumblr media
Sampai jumpa hari Minggu, 26 Mei 2013 di Newseum Cafe, Jakarta! Mari kita berlayar bersama.
25 notes · View notes
dibandaneira · 11 years
Photo
Tumblr media
Kosongkan jadwalmu. Mari kita bertemu.
27 notes · View notes